• Tidak ada hasil yang ditemukan

TOLERANSI KLON JERUK KEPROK ( Citrus reticulata L.) MUTAN PUTATIF TOLERAN TERHADAP CEKAMAN

POLYMORPHIC DNA)

4 TOLERANSI KLON JERUK KEPROK ( Citrus reticulata L.) MUTAN PUTATIF TOLERAN TERHADAP CEKAMAN

KEKERINGAN MELALUI SIMULASI POLY-ETHYLENE

GLIKOL(PEG)

Abstrak

Cekaman kekeringan yang relatif lama pada fase vegetatif maupun pada fase generatif (proses perkembangan bunga dan buah) dapat menyebabkan penurunan produksi buah jeruk keprok Garut. Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan klon-klon jeruk keprok Garut mutan toleran terhadap cekaman kekeringan melalui simulasi menggunakan PEG pada media tanam cair dan memperoleh konsentrasi PEG yang optimum sebagai agen seleksi cekaman kekeringan. Penelitian dilaksanakan mulai November 2013 sampai dengan April 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Laboratorium Elektroforesis Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. Bahan yang digunakan adalah lima klon jeruk keprok Garut mutan (KG 3, KG 13, KG 23, dan KG 24) dan jeruk kerprok Garut (wild type) sebagai pembanding. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dua faktor dengan faktor pertama adalah lima klon jeruk keprok Garut mutan, dan faktor kedua adalah empat taraf konsentrasi PEG (0%, 10%, 20% dan 30%) pada media tanam MS+vitamin MW yang diulang delapan kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PEG konsentrasi 20% dapat dijadikan agen seleksi cekaman kekeringan klon-klon jeruk keprok Garut mutan, hal ini diindikasi dengan terjadinya penurunan pertumbuhan vegetatif. Klon KG 13 dan KG 23 merupakan klon yang memberikan respon cekaman kekeringan yang lebih baik dengan penurunan karakter jumlah daun, tinggi tanaman, kandungan klorofil, dan ukuran stomata (panjang dan lebar stomata, jumlah serta kerapatan stomata) lebih rendah dibandingkan dengan klon lainnya.

Kata kunci: jeruk keprok Garut mutan, respon kekeringan, PEG

Abstract

Relatively long drought in the vegetative phase and generatative phase (in the process of development of flowers and fruit) can cause a decrease in the production of fruit tangerines Garut. The objective of research is to obtain clones tangerines Garut mutant tolerant to drought stress through simulation using the PEG to the growing media liquid and obtaining optimum concentration of PEG drought stress as the selection agent. The experiment was conducted from November 2013 until April 2014 at the Tissue Culture Laboratory Department of Agronomy and Horticulture IPB and Electrophoresis Laboratory Quality Testing Center for Development of Food Crops and Horticulture Seeds. The plant materials used are five keprok Garut mutant clones (KG 3, KG 13, KG 23 and KG 24) and keprok Garut citrus as a comparison. The experiment was arranged in completely randomized design of two factors with the first factor is five keprok

Garut mutant clones, and the second factors is a four-level concentrations of PEG (0%, 10%, 20% and 30%) in the planting medium MS + vitamin MW which is repeated eight times. The results showed that PEG concentration of 20% can be used as agents of selection of drought stress clones of keprok Garut mutant, it is indicated by the decline in vegetative growth. Clones KG 13 and KG 23 is a clone who responded drought stress better with a decrease in the number of characters of leaves, plant height, chlorophyll, and morphology of the stomata (stomata length and width, the number and density of stomata) is lower compared to other clones.

Keywords: keprok Garut mutants, drought response, PEG

Pendahuluan

Setiap tanaman termasuk jeruk keprok Garut memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi lingkungan tempat tanaman berada selalu mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi mungkin masih berada dalam batas toleransi tanaman tersebut, namun seringkali tanaman mengalami perubahan lingkungan yang dapat menurunkan produktivitas bahkan kematian tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa setiap tanaman memiliki faktor pembatas dan daya toleransi terhadap lingkungan (Purwadi 2011).

Perubahan lingkungan yang ekstrim ialah lingkungan yang dapat menimbulkan cekaman pada tumbuhan. Penyebab cekaman dapat berupa berbagai bahan kimia dan faktor-faktor fisik yang bersifat permanen maupun dapat balik kembali. Cekaman kekeringan merupakan hambatan utama dalam peningkatan produksi tanaman budidaya, termasuk jeruk keprok. Pengaruh stress kekeringan terhadap pertumbuhan tanaman sangat ditentukan oleh besarnya tingkat stress yang dialami dan fase pertumbuhan tanaman tersebut saat mendapat stress kekeringan.

Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungannya yaitu media tanam. Cekaman kekeringan pada tanaman dapat disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran dan permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi yang melebihi laju absorpsi air walaupun keadaan air tanah tersedia dengan cukup (Harjadi dan Yahya 1988). Cekaman kekeringan dapat mengakibatkan perubahan-perubahan pada morfologi, fisiologi dan biokimia tanaman, yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh buruk terhadap pertumbuhan serta produktivitas tanaman (Levit 1980).

Tanaman jeruk dalam syarat tumbuhnya memerlukan 5-6, 6-7 atau 9 bulan basah atau musim hujan dalam siklus hidupnya. Periode bulan basah ini diperlukan untuk perkembangan bunga dan buah agar tanahnya tetap lembab. Di Indonesia tanaman ini sangat memerlukan air yang cukup terutama di bulan Juli- Agustus, dimana pada bulan tersebut pada umumnya merupakan periode terjadinya perkembangan bunga dan buah. Pada musim kemarau, tanaman jeruk disiram minimal satu kali dalam seminggu. Namun apabila air kurang tersedia

maka tanah di sekitar tanaman digemburkan atau ditutupi mulsa (Balitbangtan 2012).

Cekaman kekeringan yang relatif lama pada fase vegetatif maupun pada pada proses perkembangan bunga dan buah dapat menyebabkan penurunan produksi buah jeruk keprok Garut. Oleh karena itu pengembangan galur-galur jeruk keprok Garut yang toleran terhadap cekaman kekeringan merupakan salah satu program pemuliaan tanaman yang sangat penting baik secara konvensional maupun non konvensional. Induksi mutasi jeruk keprok Garut menggunakan metode iradiasi sinar gamma pada beberapa dosis telah menghasilkan beberapa klon jeruk keprok Garut mutan putatif (Karyanti et al. 2015).

Salah satu metode karakterisasi toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan dengan tingkat homogenitas yang lebih baik adalah dengan menggunakan larutan Poly-ethylene Glikol (PEG) 6000. PEG 6000 merupakan senyawa polimer dari ethylene oxyde yang memiliki kemampuan mengontrol penurunan potensial air secara homogen sehingga dapat digunakan untuk meniru besarnya potensial air tanah atau tingkat cekaman kekeringan. Penurunan potensial air bergantung pada konsentrasi dan bobot molekul PEG yang terlarut dalam air (Sunaryo 2002) Selain itu larutan PEG berat molekul 6000 tidak dapat masuk ke dalam jaringan tanaman, sehingga tidak bersifat racun bagi tanaman. Seleksi dini atau karakterisasi awal secara in vitro bertujuan untuk mengurangi jumlah galur dan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam melakukan seleksi di lapang (Efendi et al. 2009). Karakterisasi toleransi tanaman terhadap kekurangan air atau cekaman kekeringan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ciri-ciri morfologi, anatomi dan fisiologi yang berkaitan erat dengan hasil produksi tanaman dilingkungan yang kekurangan air.

Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan klon-klon jeruk keprok Garut mutan putatif toleran terhadap cekaman kekeringan melalui simulasi menggunakan PEG pada media tanam cair, dan memperoleh konsentrasi PEG yang optimum sebagai agen seleksi cekaman kekeringan. Hipotesis yang diajukan adalah terdapat klon jeruk keprok Garut mutan putatif yang toleran terhadap cekaman kekeringan dan terdapat konsentrasi PEG yang optimum sebagai agen seleksi cekaman kekeringan.

Bahan dan Metode

Penelitian karakterisasi jeruk keprok garut mutan toleran terhadap cekaman kekeringan melalui simulasi agen PEG ini dilaksanakan mulai November 2013 sampai dengan April 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB dan Laboratorium Elektroforesis Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Bahan yang digunakan adalah eksplan dari lima klon jeruk keprok Garut mutan (KG 3, KG 13, KG 23, dan KG 24) serta KG 0 adalah jeruk keprok varietas Garut (wild type) sebagai pembanding yang diperbanyak secara in vitro generasi M1V4, media kultur cair MS ditambah vitamin MW (Husni et al. 2010), PEG, kertas filter, aseton 80%, dan aquades.

Peralatan yang digunakan adalah laminar air flow, pinset, gunting, cawan petri, tabung reaksi, mortar, pestle, spektrofotometer Biodrop, mikropipet volume

0.5-10 µL dan 20-200 µL, tip mikropipet volume 0.5-10 µL dan 20-200 µL,

vortex, mikroskop stereo, mikroskop compound, kaca preparat dan cover glass. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua faktor. Faktor pertama adalah lima klon (KG 3, KG 13, KG 23, dan KG 24) dan jeruk kerprok Garut (wild type), dan faktor kedua adalah empat taraf konsentrasi PEG pada media tanam MS+vitamin MW yaitu 0%, 10%, 20%, dan 30% yang setara dengan tekanan osmotik secara berturut-turut yaitu 0 MPa, -0.19 MPa, -0.67 MPa, dan -1.35 MPa. Jumlah kombinasi perlakuan adalah 20 kombinasi perlakuan, dan setiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak 8 kali. Satu ulangan terdiri dari satu eksplan tunas jeruk keprok Garut mutan. Jumlah total satuan percobaan adalah sebanyak 160 unit percobaan.

Pengamatan toleran cekaman kekeringan dilakukan dua minggu sekali selama delapan minggu pada masing-masing unit percobaan. Peubah yang diamati adalah pengamatan secara morfologi yaitu pertumbuhan vegetatif eksplan yang dilihat melalui jumlah daun dan tinggi tunas, pengamatan secara fisiologis yang dilihat melalui kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total, serta anatomi stomata yang dilihat melalui ukuran stomata (panjang dan lebar), dan kerapatan stomata.

Analisis kandungan klorofil daun dilakukan dengan cara klorofil diekstrak menggunakan metode baku yang telah dimodifikasi (Ardie 2006) yaitu 0.1 gram jaringan daun segar digerus hingga halus menggunakan mortar dan pestle. Kemudian ditambahkan aseton 80% sebanyak 1 ml sehingga jaringan menjadi homogen dan dimasukkan kedalam microtube. Jaringan tersebut diaduk hingga menghasilkan supernatan menggunakan vortex, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 10 menit untuk memisahkan debris jaringan daun dengan larutan klorofil. Supernatant atau cairan paling atas secara perlahan dipindahkan kedalam tabung mikro menggunakan mikropipet kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer UV Visible pada panjang gelombang 663 nm dan 645 nm. Penetapan konsentrasi klorofil (mg/gram) didasarkan pada metode (Ardie 2006) sebagai berikut:

Konsentrasi klorofil a = 12.7 A663 – 2.69 A645

Konsentrasi klorofil b = 22.9 A645 – 4.68 A663

Konsentrasi klorofil total = 8.02 A663 + 20.20 A645

Pengamatan ukuran stomata diawali dengan persiapan preparat dibawah mikroskop stereo Olympus, sedangkan penghitungan jumlah stomata dan pengukuran panjang serta lebar stomata dilakukan dibawah mikroskop compound

Olympus dengan pembesaran 40x. Kerapatan stomata dihitung berdasarkan perhitungan :

Kerapatan stomata = Jumlah stomata Luas bidang pandang

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam menggunakan program STAR (Statistical Tool for Agricultural Research), apabila sidik ragam memberikan hasil yang berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT pada tingkat kepercayaan 95% untuk mengetahui beda antar perlakuan.

Kondisi kultur in vitro tunas dari klon-klon jeruk keprok Garut mutan putatif selama perlakuan cekaman kekeringan selama 8 MST menunjukkan pertumbuhan yang baik, hal ini terlihat dari rendahnya kontaminasi mikroorganisme baik cendawan maupun bakteri pada media tanam cair. Pertumbuhan tunas eksplan klon KG 0 pada beberapa taraf konsentrasi PEG sebagai visualisasi pertumbuhan tunas ditunjukkan melalui Gambar 5. Selama pelaksanaan penelitian karakterisasi toleransi cekaman kekeringan, media cair MS ditambah vitamin MW dan PEG yang digunakan hanya terdapat dua botol dari 160 botol atau 1.25% yang terkontaminasi cendawan. Hal ini memberikan arti bahwa selama proses persiapan media, penanaman, laminar air flow, dan kondisi ruang tumbuh kultur ruangan telah cukup steril.

PEG 0% PEG 10% PEG 20% PEG 30%

Gambar 5. Kondisi kultur in vitro tunas klon KG 0 perlakuan cekaman kekeringan empat konsentrasi PEG pada 2 MST

Data peubah pengamatan yang diamati dianalisis secara statistika, namun pada peubah pengamatan jumlah daun dan tinggi tunas sebelum analisis data dilakukan transformasi data dengan menggunakan metode transformasi Log Y+10 untuk memperkecil nilai koefisien keragaman pada hasil analisis ragam sehingga data yang diperoleh memiliki tingkat validitas yang baik. Berdasarkan analisa homegenitas dan kenormalan menggunakan metode Bartlett dan Saphiro-Wilk ragam data peubah-peubah pengamatan seragam dan menyebar secara normal. Nilai koefisien keragaman untuk setiap peubah pengamatan berkisar antara 0.84 sampai dengan 20.56% (Tabel 5). Nilai koefisien keragaman tertinggi terdapat pada peubah pengamatan kandungan klorofil b pada daun.

Tabel 5. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh klon dan konsentrasi PEG terhadap toleransi cekaman kekeringan beberapa klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada akhir pengamatan (8 MST)

Peubah pengamatan Klon Konsentrasi PEG KlonxKonsentrasi PEG Nilai koefisien keragaman

Pertambahan jumlah daun tn ** tn 5.91

Tinggi tunas ** ** ** 0.84 Klorofil a ** ** ** 7.37 Klorofil b ** ** ** 20.56 Klorofil total ** ** ** 7.75 Kerapatan stomata tn tn tn 13.54 Panjang stomata ** tn tn 7.99 Lebar stomata ** tn tn 9.66

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara kelima klon jeruk keprok Garut mutan putatif dan konsentrasi PEG berpengaruh terhadap peubah pengamatan tinggi tunas, dan kandungan klorofil daun (klorofil a, b dan total). Perlakuan klon jeruk keprok Garut mutan putatif berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tunas, kandungan klorofil (a, b, dan total), ukuran stomata (panjang dan lebar stomata), dan tidak berbeda nyata terhadap pertambahan jumlah daun dan kerapatan stomata. Hal ini menunjukkan bahwa antar klon memiliki respon yang berbeda terhadap taraf konsentrasi PEG dan memberikan peluang untuk mendapatkan klon yang toleran cekaman kekeringan. Perbedaan respon genotipe terhadap simulasi kekeringan melalui simulasi PEG juga terjadi beberapa genotipe padi (La Ode et al. 2013). Pengaruh konsentrasi PEG sangat nyata terhadap pertambahan jumlah daun, tinggi tunas, dan kandungan klorofil daun (klorofil a, b, dan total), namun tidak berpengaruh secara nyata terhadap kerapatan stomata, panjang dan lebar stomata ditunjukkan melalui Tabel 5.

Jumlah daun

Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan dapat merupakan perubahan ditingkat selular dan molekuler yang ditunjukkan dengan penurunan laju pertumbuhan, berkurangnya luas daun dan peningkatan rasio akar dan tajuk. Tingkat kerugian tanaman akibat kekeringan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain intensitas kekeringan yang dialami, lamanya kekeringan dan tahap pertumbuhan saat tanaman mengalami kekeringan (Nio & Kandou 2000). Respon pertambahan jumlah daun secara nyata dipengaruhi oleh taraf konsentrasi PEG yang ditambahkan pada media tanam cair. Media tanpa PEG memiliki jumlah daun tertinggi dibandingkan dengan media yang ditambahkan PEG. PEG 10% berbeda nyata dengan PEG 20% dan 30% (Tabel 6). Perbedaan laju pertambahan jumlah daun berkaitan dengan ketersedian air dalam larutan media cair. Pada konsentrasi PEG 0% dan 10% pembelahan, pembesaran dan pemanjangan sel berjalan dengan baik, sedangkan pada konsentrasi PEG 20% dan 30% diduga terjadi penghambatan pembelahan, pembesaran dan pemanjangan sel akibat rendahnya kandungan air yang tersedia. Peningkatan konsentrasi PEG dalam media tumbuh menyebabkan penurunan pertumbuhan kecambah kedelai (Rosawanti 2015; Savitri 2010).

Selain itu Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa cekaman kekeringan yang ringan pada tanaman dapat menurunkan laju pertumbuhan tanaman pada fase vegetatif. Pertumbuhan pada fase vegetatif mencakup pertumbuhan akar, batang, dan daun. Pada fase ini tanaman memerlukan banyak cadangan makanan yang akan diubah menjadi energi untuk pertumbuhan. Kekurangan air pada fase vegetatif mengakibatkan daun-daun menjadi lebih kecil. Cekaman kekeringan dari tingkat paling ringan sampai paling berat mempengaruhi proses-proses biokimia yang berlangsung dalam sel.

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan jumlah daun lima klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada akhir pengamatan (8 MST)

Konsentrasi PEG Rata-rata pertambahan jumlah daun

0% 3.675a

10% 2.475b

20% 0.575c

30% -0.050c

Keterangan : Angka pada kolom diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%

Pertambahan jumlah daun sampai akhir pengamatan menunjukkan bahwa penurunan tekanan osmotik larutan media tanam cair menyebabkan penurunan kecepatan pertumbuhan pertambahan jumlah daun. Hal ini disebabkan oleh kondisi air yang tersedia bagi tanaman semakin rendah sehingga mempengaruhi proses fisiologi termasuk terhadap pertumbuhan pertambahan jumlah daun eksplan klon jeruk keprok Garut mutan putatif. Hal ini merupakan mekanisme tanaman untuk mengurangi kehilangan air melalui transpirasi pada daun.

Pada media tanam yang ditambahkan PEG konsentrasi 30% atau setara dengan media tanam yang bertekanan osmotic -1.35 MPa terdapat tiga klon (KG 3, KG 13 dan KG 24) yang mengalami pengurangan jumlah daun atau terjadi gugur daun. Sedangkan pada PEG 20% telah terjadi penurunan jumlah daun yang cukup drastis namun tidak menyebabkan kerusakan atau daun gugur (Gambar 6). Menurut Harjadi dan Yahya (1988), pengaruh yang paling penting dari cekaman kekeringan adalah pengurangan luas permukaan fotosintesis, karena adanya penurunan proses perluasan daun dan terlalu awal terjadinya proses penuaan (senescence) pada daun. Tingkat cekaman kekeringan dalam penelitian ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi PEG dalam media cair, semakin tinggi konsentrasi PEG menyebabkan penurunan pertambahan jumlah daun bahkan menyebabkan gugur daun.

Gambar 6. Pertambahan jumlah daun klon jeruk keprok Garut mutan putatif pada empat konsentrasi PEG pada akhir pengamatan (8 MST)

Dari kelima klon jeruk keprok Garut mutan putatif yang digunakan terdapat dua klon yang tidak mengalami gugur daun yaitu KG 0 dan KG 23. Klon KG 0 adalah klon pembanding yang merupakan klon yang tidak memperoleh perlakuan induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma, dan klon KG 23 adalah klon hasil iradiasi sinar gamma pada dosis 150 Gray. Pada media cair yang mengandung PEG konsentrasi 30%, klon KG 23 memiliki nilai pertambahan

jumlah daun yang lebih tinggi dari klon pembanding. Klon KG 3 lebih responsif terhadap penurunan potensial air terlihat dari penurunan jumlah daun yang terendah dibandingkan dengan klon lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa induksi mutasi menyebabkan terjadinya perubahan susunan basa genetik yang berpengaruh terhadap kemampuan adaptasi klon jeruk keprok Garut mutan putatif terhadap cekaman kekeringan. Perubahan genetik tersebut dapat bernilai positif yaitu meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap cekaman kekeringan seperti yang terjadi pada klon KG 23. Dan dapat pula berubah ke arah negatif yaitu menurunkan toleransi klon jeruk keprok Garut mutan putatif terhadap kondisi cekaman kekeringan.

Tinggi Tunas

Cekaman kekeringan menyebabkan menurunnya potensial air tanaman akibat berkurangnya difusi air dari larutan tanah (media tanam) ke dalam tanaman sehingga menurunnya turgor sel. Menurunnya tekanan turgor sel tanaman juga menyebabkan terhambatnya proses pembelahan dan pembesaran sel (Taiz dan Zeiger 2002) sehingga tanaman menjadi pendek akibat pertumbuhan tanaman terhambat. Respon tinggi tunas dipengaruhi secara nyata oleh interaksi antara klon dan konsentrasi PEG, peubah tunggal klon jeruk keprok Garut mutan putatif, dan peubah tunggal taraf konsentrasi PEG. Tinggi tunas yang dicapai pada semua klon pada media tanpa PEG lebih tinggi dibandingkan dengan media yang ditambahkan PEG. Secara umum respon pertambahan tinggi tunas mengalami penurunan seiring dengan peningkatan konsentrasi PEG ditunjukkan melalui Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi tunas pada akhir pengamatan (8 MST) jeruk keprok Garut mutan putatif

Klon Konsentrasi PEG dalam media tanam cair

0% 10% 20% 30% Rata-rata - Tinggi tunas (cm) - KG0 0.763aA 0.400abB 0.150aC 0.125aC 0.360 KG3 0.688aA 0.238bcB 0.063aB 0.063aB 0.263 KG13 0.800aA 0.500aB 0.138aC 0.125aC 0.391 KG23 0.250bA 0.100cA 0.150aA 0.050aA 0.138 KG24 0.650aA 0.213bcB 0.188aB 0.063aB 0.279 Rata-rata 0.630 0.290 0.138 0.085

Keterangan : Angka pada baris diikuti oleh huruf besar pada baris yang sama dan angka diikuti oleh huruf kecil pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Pertambahan tinggi tunas mulai mengalami penurunan pada konsentrasi PEG 10%, namun pada PEG 20% dan 30% tidak terdapat perbedaan tinggi tunas yang cukup signifikan. Ketiga klon (KG 0, KG 3, dan KG 13) memberikan respon tinggi tunas dengan pola penurunan seiring peningkatan taraf konsentrasi PEG yang relatif sama dan terjadi perbedaan pola pertambahan tinggi tunas pada klon KG 23 dan KG 24.

Klon 13 memiliki pertambahan tinggi tunas paling tinggi (0.391 cm) diantara klon mutan putatif lain dan dan klon pembanding. Klon KG 13 merupakan klon hasil perlakuan iradiasi sinar gamma dosis 50 Gray, dimana perlakuan iradiasi tersebut merubah susunan basa genetik kalus jeruk keprok varietas Garut. Perubahan tersebut kemungkinan mempengaruhi proses pembelahan, perbesaran, dan pemanjangan sel berjalan menjadi lebih baik sehingga meningkatkan kualitas karakter tinggi tunas klon. Selain itu terdapat indikasi bahwa klon jeruk keprok Garut mutan putatif memiliki mekanisme toleran terhadap cekaman kekeringan yang berbeda untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya. Tanaman yang lebih toleran terhadap cekaman PEG menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding dengan tanaman yang peka. Menurut Kadir (2011), tanaman padi mutan yang toleran mampu melakukan fotosintesis dan fotosintat yang dihasilkan akan lebih banyak, dan selanjutnya fotosintat tersebut segera didistribusikan ke seluruh bagian tanaman sehingga akan menghasilkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik.

Kandungan Klorofil Daun

Pengukuran kandungan klorofil merupakan pendekatan fisiologis untuk mempelajari pengaruh cekaman kekeringan terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tanaman karena berkaitan erat dengan laju fotosintesis (Li et al. 2006). Berkurangnya potensial air yang tersedia bagi tanaman

menurunkan fotosintesis melalui pengaruh kandungan dan organisasi kloroplas di dalam jaringan atau sel yang aktif berfotosintesis. Hal ini disebabkan oleh integritas membran kloroplas sangat peka terhadap kondisi stress air (Harjadi dan Yahya 1988). Cekaman kekeringan pada penelitian ini menyebabkan penurunan kandungan klorofil pada daun. Larutan klorofil empat taraf konsentrasi PEG pada klon KG 0 dan KG 13 sebagai visualisasi ditunjukkan melalui Gambar 8. Klorofil merupakan sebagian besar pigmen yang ditemukan dalam membran tilakoid kloroplas. Ada dua macam klorofil yang dikenal yaitu klorofil a dan klorofil b. Klorofil a berwana hijau kebiruan, sedangkan klorofil b berwarna hijau kekuningan (Salisbury dan Ross 1992).

Gambar 7. Kandungan klorofil klon jeruk keprok Garut KG 0 dan KG 13 pada empat taraf konsentrasi PEG

Kandungan klorofil (a, b dan total) menunjukkan terdapat interaksi antara faktor klon jeruk keprok Garut mutan putatif dengan konsentrasi PEG yang ditambahkan pada media yang ditunjukkan melalui Tabel 8. Namun pengaruh

Dokumen terkait