• Tidak ada hasil yang ditemukan

SSR Markers Selection for Tolerance to High Temperature Stress on the Population of F2 in Rice

5 PEMBAHASAN UMUM

Sejak krisis ekonomi hingga sekarang, kemampuan Indonesia untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan bagi penduduk terus menurun. Laju peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, jagung dan kedelai mengalami leveling off (Sopandie 2006). Salah satu faktor terjadinya leveling off adalah terjadinya cekaman abiotik seperti cekaman terhadap suhu tinggi. Suhu merupakan unsur iklim yang sangat berperan dalam memberikan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Las 2008). Walaupun secara umum peningkatan suhu udara akan berakibat meningkatkan reaksi metabolisme tanaman yang dapat meninggikan hasil fotosintat, tetapi karena dampak lainnya secara keseluruhan dapat bersifat destruktif (tingginya respirasi dan transpirasi) maka berakibat akan menurunkan produktivitas tanaman (Koesmaryono 2009).

Setiap tanaman mempunyai ambang batas suhu dalam sistem budidaya, contoh tanaman padi mempunyai ambang batas suhu 34 °C, melebihi ambang batas tersebut, maka tanaman padi di katakan mulai tercekam suhu tinggi (Yoshida 1981). Oleh sebab itu di perlukan suatu galur/varietas yang mampu beradaptasi terhadap cekaman suhu tinggi. Pendekatan untuk memperoleh galur/varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap cekaman suhu tinggi bisa dilakukan melalui serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman.

Perakitan varietas padi yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi masih jarang dilakukan di Indonesia. Adapun penelitian yang baru dilakukan saat ini adalah penapisan varietas padi untuk mencari varietas yang adaptif terhadap suhu tinggi seperti yang dilakukan oleh Khamid (2014). Dalam penelitian tersebut di dapatkan bahwa varietas ciherang, IPB 3S, Jatiluhur dan Menthik Wangi peka terhadap suhu tinggi. Varietas IPB 3S sendiri memiliki hubungan historis dengan varietas IPB 4S (tetua peka suhu tinggi dalam penelitian ini), keduanya berasal dari satu persilangan yang sama yaitu: IPB 6-d-10s-1-1-1/Fatmawati (Aswidinnoor et al. 2012a dan 2012b). Ini menunujukkan bahwa hasil penelitian Mubarozzah (2013) dan Khamid (2014) memiliki keterkaitan bahwa kedua varietas ini memang peka terhadap cekaman suhu tinggi.

Tim Peneliti Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2012 mencoba memulai penelitian untuk memperoleh galur/varietas padi yang adaptif terhadap cekaman suhu tinggi melalui pendekatan fisiologis, pemuliaan dan marka molekuler (Wirnas et al. 2015b). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviarini (2013) dan Mubarrozah (2013) di Institut Pertanian Bogor melakukan screening pada 64 plasma nutfah padi baik berupa galur murni, varietas dan kultivar lokal untuk toleransi terhadap cekaman suhu tinggi di dapatkan hasil genotipe yang ekstrim peka adalah: IPB 6R, IR64, IPB 4S dan genotipe yang ekstrim toleran: Mekongga, Situ Patenggang dan Marinah. Kemudian hasil penelitian tersebut di jadikan dasar sebagai calon pemilihan tetua untuk dilakukan persilangan. Ginting (2014) dan Sasti (2014) melakukan penanaman benih F1 untuk melihat keragaan karakter agronomi benih tersebut pada kondisi cekaman suhu tinggi. Berdasarkan hasil yang di dapatkan oleh Ginting (2014) menyatakan bahawa genotipe F1 hasil persilangan IPB 4S X Situ Patenggang memiliki keragaan komponen hasil, antara lain: persentase gabah bernas, jumlah gabah bernas per malai, jumlah gabah

56

hampa per malai, bobot gabah bernas per tanaman, bobot gabah hampa per tanaman, dan bobot 1000 butir yang lebih baik dibandingkan kedua tetuanya.

Berdasarkan penelitian tersebut kemudian benih F2 hasil persilangan IPB 4S x Situ Patenggang di tanam dan dijadikan bahan genetik untuk mempelajari pola pewarisan suhu tinggi pada padi. Hasil penelitian yang di dapatkan pada penelitian ini terlihat secara umum nilai tengah tetua IPB 4S lebih besar dari pada nilai tengah tetua Situ Patenggang untuk hampir semua karakter agronomi kecuali jumlah anakan total dan jumlah anakan produktif. Hal ini dikarenakan varietas IPB 4S merupakan padi tipe baru (PTB) dimana jumlah anakan sedikit dan menghasilkan jumlah bulir yang lebih banyak (IPB 2013). Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa karakter produksi tetua IPB 4S lebih unggul dari pada tetua Situ Patenggang, sementara jika di lihat dari karakter produksi tetua IPB 4S pada penelitian yang dilakukan Noviarini (2013) dan Mubarrozah (2013) pada kondisi cekaman suhu tinggi tergolong peka dan tetua Situ Patenggang toleran. Hal ini di duga bahwa IPB 4S memiliki karakter produksi yang unggul namun peka terhadap suhu tinggi sedangkan Situ Patenggang toleran terhadap cekaman suhu tinggi namun berproduksi di bawah daya hasil IPB 4S.

Penelitian ini dilakukan di rumah kaca merupakan upaya untuk menginduksi terjadi cekaman suhu tinggi, hal ini karena rumah kaca mampu menyerap panas matahari sehingga terperangkapnya energi panas di dalam rumah kaca. Oleh sebab itu dapat di katakan bahwa pada penelitian ini telah mampu untuk menginduksi terjadinya cekaman suhu tinggi. Berdasarkan data suhu lingkungan selama penelitian mencapai 24.69 °C (suhu minimum) dan 42.33 °C (suhu maksimum) pada fase vegetatif (0-54 HST), sedangkan saat fase vegetatif akhir (55-70 HST), suhu rata-rata mencapai 24.64 °C (suhu minimum) dan 34.42 °C (suhu maksimum). Fase generatif (71 HST-panen), suhu harian minimum mencapai 27.49 °C dan suhu maksimum 38.59 °C. Awal panen suhu harian maksimum mencapai 39.57°C. Menurut Yoshida (1978) suhu optimal untuk stadia penganakan yang optimal berada pada kisaran suhu 25-31 °C, stadia antesis suhu optimum berada pada kisaran 30-33 °C dan stadia pematangan pada suhu 20- 29 °C. Jika berdasarkan kriteria stadia suhu yang di kemukan oleh Yoshida (1978) maka dapat di katakan bahwa penelitian ini mampu menginduksi terjadinya cekaman suhu tinggi.

Penelitian pewarisan sifat toleransi suhu tinggi yang telah dilakukan di rumah kaca didapatkan bahwa populasi F2 padi hasil persilangan IPB 4S dan Situ Patenggang pada kondisi tercekam suhu tinggi memiliki nilai tengah lebih tinggi dari nilai tengah kedua tetua untuk beberapa karakter agronomi yang diamati dan terdapat segregan transgesif. Karakter agronomi yang diamati dikendalikan oleh gen aditif, epistasis duplikat, epistasis aditif dan epistasis komplementer. Nilai heritabilitas arti luas untuk karakter agronomi yang diamati tergolong sedang sampai tinggi. Koefisien keragaman genetik yang diamati tergolong sempit sampai luas. Seleksi langsung berdasarkan bobot gabah bernas dengan intensitas 25% menghasilkan diferensial seleksi 58.39% pada karakter bobot gabah bernas dan 50 segregan berdaya hasil tinggi, sementara diferensial seleksi multikarakter menghasilkan diferensial seleksi sebesar 53.13% dn 50 segregan berdaya hasil tinggi.

Sifat pewarisan toleransi terhadap cekaman suhu tinggi pada tanaman padi merupakan karakter kuantitatif yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh faktor

57 lingkungan. Seleksi terhadap sifat toleransi yang merupakan karakter kuantitatif harus dilakukan di lingkungan target untuk mengurangi pengaruh interaksi genotipe x lingkungan Hobbs & Sayre (2001). Hal inilah yang menyebabkan pemanfaatan marka molekuler dalam seleksi karakter toleransi terhadap cekaman abiotik dianggap dapat membantu, karena seleksi dilakukan terhadap genotipe sehingga tidak dipengaruhi oleh lingkungan (Collard & Mackill 2007).

Seleksi marka simple sequence repeat (SSR) yang terpaut sifat toleransi suhu tinggi telah dilakukan pada populasi F2 yang ditanam di rumah kaca. Seleksi marka SSR pada percobaan kedua menggunakan metode bulk segregant analysis (BSA) telah berhasil menyeleksi hanya satu marka yang polimorfik pada bulk dan individu bulk. Marka yang terseleksi dengan metode BSA adalah marka RM 337. Penggunaan BSA mengenai penelitian terhadap cekaman abiotik pada tanaman padi juga telah dilaporkan oleh Salunkhe et al. (2011) untuk toleransi terhadap kekeringan, Zhang et al. (2009) untuk toleransi terhadap suhu tinggi, Boopathi et al. (2012) untuk toleransi terhadap kekeringan. Kemudian dari hasil seleksi marka pada bulk dan individu bulk, selanjutnya di ujikan pada ke seluruh individu F2 untuk mengetahui ko-segregasi dari marka tersebut dan di dapatkan bahwa marka RM 337 bersegregasi 1:2:1 menurut kaidah Hukum Mendel I.

Untuk memverifikasi pekerjaan BSA maka dilakukan kegiatan selanjutnya yaitu menggunakan metode single marker analysis (SMA) Metode SMA telah berhasil menyeleksi hanya satu marka yang polimorfik pada bulk dan individu bulk. Marka yang terseleksi dengan metode SMA adalah marka RM 337. Hasil yang di dapatkan dalam BSA dengan SMA tidak lah jauh berbeda. Ini menunjukkan bahwa kedua metode bisa di pakai. Penggunaan BSA bisa dilakukan berdasarkan kondisi penelitian yang akan dilakukan oleh pemulia, apabila pemulia hendak menskrining sejumlah ratusan primer pada tetua maka penggunaan BSA akan menjadi lebih baik (Ribaut et al. 2001; Salunkhe et al. 2011). Akan tetapi jika melakukan skrining primer dalam jumlah terbatas maka setiap primer yang polimorfik pada tetua hendaknya di analisis genotipenya pada seluruh individu populasi F2 dan kemudian melakukan analisis marka tunggal.

Berdasarkan hasil single marker analysis maka kemajuan seleksi akan memberikan perbaikan nilai tengah bobot gabah bernas sebesar 37.96%. Sementara diferensial seleksi multikarakter menghasilkan diferensial seleksi sebesar 53.13%, nilai selisih antara seleksi multikarakter dengan marka molekuler sangat jauh, akan tetapi seleksi berbasiskan marka molekuler akan memberikan tingkat kepercayaan yang lebih akurat karena sifatnya yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sehingga memiliki nilai heritabilitas 100% dan dilakukan pada tahap awal. Penanda yang digunakan dalam percobaan ini adalah SSR karena memiliki tingkat polimorfik yang tinggi dan stabil, serta bersifat kodominan. Pendugaan respon seleksi yang telah dilakukan terhadap semua karakter yang diamati pada populasi F2 dengan menggunakan seleksi langsung dan multikarakter menunjukkan bahwa nilai dugaan respon seleksi terbaik adalah dengan menggunakan seleksi multikarakter indeks terboboti. Pendugaan respon seleksi dengan menggunakan primer RM 337 akan memberikan perbaikan nilai tengah bobot gabah bernas pada generasi berikutnya (F3) menjadi 62.52 g.

59

Dokumen terkait