• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini melakukan pengembangan metode antara dua pendekatan untuk memberikan alternatif penyelesaian masalah pada pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Dua pendekatan tersebut yaitu pendekatan EAFM (Ecosystem Approach to Fisheries Management) dan pendekatan SSM (Soft System Methodology). Pendekatan EAFM umum digunakaan saat ini sebagai prinsip pengelolaan perikanan secara berkelanjutan, sementara itu pendekatan SSM merupakan suatu pendekatan yang telah banyak digunakan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan manajemen yang terjadi pada aktivitas manusia. Pengembangan metode yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk saling melengkapi, yaitu pendekatan SSM untuk melengkapi tahapan analisis yang belum terdapat pada tahapan EAFM, serta pendekatan EAFM digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara yang tidak dimiliki oleh pendekatan SSM.

Metode pendekatan EAFM merupakan salah satu bentuk pengelolaan perikanan yang mempertimbangkan perilaku, karakteristik atau sifat dari alam yang selama ini dinomor-duakan setelah kepentingan manusia (FAO 2008). Penelitian ini mengacu pada tahapan penyusunan rencana pengelolaan perikanan melalui pendekatan EAFM yang digunakan oleh Heenan et al. (2015), yaitu (1) mendefinisikan dan menetapkan ruang lingkup unit pengelolaan perikanan

(analisis situasi), (2) identifikasi dan prioritas isu dan tujuan, (3) menyusun rencana EAFM (rencana aksi), (4) implementasi rencana aksi, dan (5) monitoring, evaluasi, dan adaptasi. Namun, penelitian ini hanya dilakukan hingga tahap menyusun rencana aksi.

Pada penelitian ini, tahap pertama pendekatan EAFM dilakukan sebagai batasan sistem (ruang lingkup). Sistem yang dikaji pada penelitian ini dibatasi pada wilayah Nusa Tenggara karena wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki alternatif daerah penangkapan ikan tuna yang banyak, yaitu pada bagian selatan dan bagian utara wilayah tersebut. Pada bagian selatan Nusa Tenggara merupakan bagian dari Samudera Hindia (bagian dari WPP 573) dan pada bagian utara Nusa Tenggara terdapat Laut Flores yang merupakan bagian dari WPP 713. Sementara itu, sumberdaya ikan yang menjadi fokus penelitian ini adalah ikan tuna madidihang, ikan tuna mata besar, dan ikan albakora atau seringkali ketiganya disebut tuna besar oleh nelayan tuna di Nusa Tenggara.

Pada tahap pertama pendekatan EAFM dilakukan pula analisis situasi untuk mengetahui kondisi terkini dari sistem yang sedang dikaji. Pada penelitian ini, analisis situasi tersebut dilakukan melalui penentuan pola pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Analisis terhadap empat aspek kajian dilakukan untuk dapat menentuka pola pemanfaatan tersebut, yaitu aspek sumberdaya ikan, teknologi penangkapan ikan, ekonomi-sosial, dan kelembagaan. Indikator pada masing- masing aspek tersebut dikutip dari National Working Group Ecosystem Approach to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014). Namun, indikator tersebut disesuaikan dengan pengelolaan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara, sehingga indikator yang digunakan pada penelitian ini seperti yang terlihat pada Tabel 34.

Tabel 34 Indikator pada masing-masing aspek kajian yang digunakan pada penelitian ini

Aspek Indikator

Sumberdaya ikan - CPUE baku

- Ukuran ikan

- Pola musim penangkapan ikan - Daerah penangkapan ikan Teknologi penangkapan ikan - Desain alat penangkap ikan

- Efisiensi teknis kapasitas penangkapan

- Metode penangkapan ikan - Selektivitas alat penangkap ikan - Desain alat bantu penangkapan Ekonomi-sosial - Pengolahan ikan

- Pemasaran ikan - Pendapatan usaha - Konflik

- Pengetahuan lokal

Kelembagaan - Kepatuhan

- Kelengkapan aturan main

- Mekanisme pengambilan keputusan - Kapasitas pemangku kepentingan

Analisis terhadap kondisi terkini yang dilakukan dengan menggunakan indikator pada pendekatan EAFM tidak terlepas dari kesulitan yang dihadapi. Pada penelitian ini, ketersediaan data time series untuk melakukan analisis pada beberapa indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem merupakan kesulitan utama yang dihadapi. Keakuratan hasil analisis yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh data time series tersebut. Namun, kesulitan tersebut dapat diatasi dengan menggunakan data yang tersedia pada DKP Provinsi NTB dan DKP Provinsi NTT, PPP Labuhan Lombok, PPP Kupang, PPI Oeba, dan/atau PPI Amagarapati. Sementara itu, penelitian ini tidak berhasil memperoleh data time series pada DKP Kabupaten Dompu, DKP Kabupaten Bima, PPI Sape, serta lokasi pendaratan ikan yang berada di remote area. Indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem yang membutuhkan data time series dalam melakukan analisis yaitu:

- Trend CPUE

- Pola musim penangkapan ikan

- Efisiensi teknis kapasitas penangkapan

Pemerintah provinsi seharusnya sudah mulai menata pendataan data time series perikanan tangkap secara lebih mendetail, karena tidak dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan dan pengambilan keputusan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya bersumber dari data-data kualitatif saja, namun perlu adanya data kuantitatif dalam jangka waktu yang panjang. Umumnya, data yang terdapat pada DKP Provinsi dan pelabuhan perikanan yang berada di bawah DKP Provinsi telah memiliki pendataan yang cukup baik. Sementara itu, pihak DKP Kabupaten dan pangkalan pendaratan ikan (pelabuhan perikanan kelas D) belum memiliki pendataan yang baik, bahkan terkesan sangat tidak memberikan perhatian terhadap ketersediaan data.

Tahap kedua pada pendekatan EAFM adalah melakukan identifikasi dan penentuan isu dan tujuan. Pada penelitian ini, tahap tersebut dilakukan dengan analisis yang terdapat pada tahap kedua dan ketigas pendekatan SSM. Sementara itu, tahap ketiga pada pendekatan EAFM selanjutnya dilakukan dengan menggunakan analisis-analisis pada tahapan proses SSM keempat hingga ketujuh. Pengembangan metode antara kedua pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini bukan dimaksudkan untuk memperlihatkan kekurangan pendekatan yang satu dengan pendekatan yang lainnya, tetapi dilakukan untuk saling melengkapi. Pendekatan EAFM sangat umum digunakan untuk mencapai tujuan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, sementara itu pendekatan SSM sangat umum digunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan manajemen yang terkait dengan aktivitas manusia.

Pendekatan SSM merupakan suatu pendekatan sistem yang dikembangkan oleh Peter Checkland pada awal tahun 1980an (Williams 2005; Ulloa and Caceres 2005; Martin et al. 2008). Checkland and Poulter (2006) menjelaskan bahwa SSM merupakan proses mencari tahu yang berorientasi pada aksi atas situasi masalah dari kehidupan nyata sehari-hari, dimana proses mencari tahu tersebut dimulai dari menemukan dan mengenali situasi sampai merumuskan dan atau mengambil tindakan guna memperbaiki situasi masalah. Proses mencari tahu terjadi melalui proses yang terorganisir ketika situasi nyata dieksplorasi dengan menggunakan alat intelektual berupa sejumlah model aktivitas yang dibangun dengan tujuan tertentu berdasarkan sejumlah sudut pandang (worldview) yang murni. Alat

intelektual yang digunakan tersebut memungkinkan terjadinya diskusi yang terarah.

Awalnya pendekatan SSM dikembangkan sebagai alat modeling, namun beberapa tahun kemudian pendekatan SSM tersebut berkembang menjadi suatu alat untuk mempelajari dan memaknai dunia nyata. Model yang dihasilkan dengan pendekatan SSM adalah model yang tidak hanya mempresentasikan dunia nyata, tetapi dengan menggunakan aturan dan prinsip sistem yang dikaji maka dapat menyusun atau membangun pemikiran tentang dunia nyata. Penggunaan pendekatan SSM untuk menghasilkan model dapat membantu penggunanya untuk membatasi pemikirannya pada suatu obyek yang diteliti sehingga pemikiran yang dihasilkan lebih mendalam mengenai obyek yang diteliti tersebut (Williams 2005).

Martin et al. (2008) menyatakan bahwa pendekatan SSM merupakan suatu pendekatan serba sistem yang umum dilakukan untuk menangani masalah- masalah manajemen yang muncul dari sistem aktivitas manusia, misalnya konflik. SSM berbentuk kerangka kerja (frame work) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus untuk situasi masalah yang sulit didefinisikan. Menurut Chapman (2004) vide Ningsih (2013), SSM merupakan sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti (siklik), yang menggunakan model sistem aktivitas manusia. Model tersebut melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam situasi masalah melalui persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan tindakan yang terarah dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai aktor yang berbeda. SSM menyediakan pendekatan yang koheren terhadap pemikiran kelompok dan individual mengenai konteks, kompleksitas dan ambiguitas kebijakan. Namun, penerapan SSM berparadigma interpretative atau dengan kata lain penggunaan SSM sangat bergantung dengan konteks penelitian, situasi permasalahan, perilaku aktor-aktor, serta kemampuan pengguna (Martin et al. 2008; Ningsih 2013).

Pendekatan SSM telah banyak diaplikasikan untuk membantu dalam pemecahan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas interaksi manusia, yaitu tercatat terdapat 250 referensi berupa makalah jurnal, makalah seminar, dan buku teks (Holwell 2000 vide Ningsih 2013). Sementara itu di Indonesia, pendekatan SSM masing jarang digunakan oleh peneliti dan praktisi (Eriyatno 2003; Ningsih 2013). Pada bidang perikanan tangkap di Indonesia, penerapan SSM masih sangat minim digunakan. Referensi yang ditemukan menunjukkan bahwa Rahmah et al. (2013) menggunakan pendekatan SSM untuk membangun model konseptual berdasarkan situasi permasalahan yang terjadi pada sistem perikanan tonda dengan rumpon di PPP Pondokdadap Sendang Biru; Rahmawati (2014) untuk membangun model konseptual permasalahan pengelolaan kuota penangkapan tuna sirip biru selatan di Indonesia; dan Sarwanto (2015) untuk menyusun rencana implementasi kebijakan pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan pantai Kabupaten Gunungkidul.

Masih minimnya penerapan pendekatan SSM pada bidang perikanan tangkap menjadi salah satu latar belakang penggunaan SSM pada penelitian ini, yaitu adanya keinginan untuk memberikan alternatif pendekatan sistem yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pada bidang perikanan tangkap. Melalui pendekatan SSM tersebut, permasalahan dianalisis berdasarkan pada peran masing-masing aktor yang terlibat pada kegiatan pemanfaatan ikan

tuna di Nusa Tenggara, yaitu mengidentifikasi sejauh mana para aktor menjalankan perannya pada dunia nyata. Sementara itu, pendekatan SSM menghasilkan solusi berdasarkan pada model konseptual yang dibangun pada setiap permasalahan yang ada, yaitu suatu model berbentuk diagram alir yang menunjukkan tahapan proses atau saran tindakan untuk mencapai solusi yang disarankan. Selanjutnya, saran tindakan yang direkomendasikan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada berasal dari perbandingan antara model konseptual dengan dunia nyata.

Secara teknis, pendekatan SSM memiliki tujuh tahap proses yang dikelompokkan menjadi empat kelompok tahapan (Checkland and Scholes 1990). Kelompok pertama adalah tahap menentukan situasi permasalahan dengan memahami situasi yang bersifat problematik dan tahap menggambarkan situasi permasalahan. Kelompok kedua adalah tahap menyusun definisi permasalahan, dimana tahap ini digunakan sebagai dasar dalam pengembangan model pada tahap keempat pada kelompok ketiga. Kelompok keempat adalah tahap mengambil tindakan untuk melakukan perbaikan, yaitu melakukan perbandingan model dengan dunia nyata, melakukan perubahan yang diinginkan dan layak secara sistematis, serta melakukan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah. Maqsood et al. (2001) serta Checkland and Poulter (2006) menyatakan bahwa tahapan-tahapan dalam pendekatan SSM tidak bersifat baku, dapat dimulai pada setiap tahapan dengan interaksi penelusuran ulang sebagai komponen penting, sehingga dapat disesuaikan denga situasi dalam pelaksanaanya.

Pendekatan SSM diawali dengan tahap penentuan situasi masalah. Pada tahap tersebut, dilakukan pemahaman dan penyusunan situasi permasalahan. Pada penelitian ini, pemahaman situasi permasalahan dilakukan dengan menggunakan tahap analisis kondisi terkini pada pendekatan EAFM. Melalui analisis tersebut, dilakukan kajian terhadap pola pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara, yaitu menggunakan indikator pada pendekatan EAFM. Pola pemanfaatan ikan tuna tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kondisi terkini dari kegiatan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Empat aspek kajian pada pendekatan EAFM digunakan untuk menentukan pola pemanfaatan ikan tuna tersebut. Masing- masing aspek tersebut memiliki indikator, namun tidak semua indikator pada pendekatan EAFM tersebut digunakan karena menyesuaikan dengan obyek yang diteliti, yaitu pemanfaatan ikan tuna yang hampir seluruh kegiatan penangkapannya menggunakan rumpon. Indikator pada masing-masing aspek yang digunakan pada penelitian ditunjukkan pada Tabel 34.

Hasil analisis untuk masing-masing indikator pada masing-masing aspek kajian akan menunjukkan apakah kegiatan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip penangkapan ikan tuna yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Melalui hal tersebut penelitian ini melakukan tahap pemahaman situasi permasalahan yang merupakan langkah awal dalam pendekatan SSM, yaitu memahami permasalahan yang ada pada pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Pada dasarnya, tahap pertama ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi terkini dari obyek yang sedang diteliti atau diamati, sehingga pada tahap ini dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan yang mendukung untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Tahap kedua pada pendekatan SSM adalah menyusun situasi permasalahan menggunakan tiga analisis, yaitu analisis intervensi, analisis sosial, dan analisis politik. Inti dari tahap ini adalah mengidentifikasi aktor-aktor yang terlibat pada obyek penelitian serta mengidentifikasi peran mereka yang seharusnya berdasarkan pada susunan kekuasan yang berlaku. Pada penelitian ini, identifikasi aktor terbatas pada pihak-pihak yang terlibat pada pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Peran masing-masing aktor dapat diperoleh melalui wawancara dan berdasarkan pada peraturan yang berlaku. Perlu diperhatikan, bahwa pada analisis intervensi, terdapat kelompok aktor client, problem solver, dan problem owner. Beberapa penelitian menetapkan bahwa problem solver hanyalah peneliti yang melakukan penelitian terhadap obyek yang dikaji. Pada kenyataanya, problem owner memiliki peran sebagai problem solver pula karena penyelesaikan masalah yang direkomendasikan dengan menggunakan pendekatan SSM adalah hasil dari interpretasi problem owner terhadap permasalahan yang ada dan penyelesaian yang mereka harapkan. Kelebihan lain dari pendekatan SSM, selain yang telah dijelaskan sebelumnya adalah melihat permasalahan berdasarkan sudut pandang aktor-aktor yang terlibat di dalamnya sehingga solusi yang diberikan merupakan solusi yang aplikatif bagi seluruh problem owner.

Peran aktor yang terlibat pada pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara selanjutnya digambarkan pada suatu gambar yang menunjukkan keseluruhan obyek penelitian berdasarkan seluruh sudut pandang dari masing-masing aktor. Penyusunan situasi permasalahan tersebut dilakukan menggunakan rich picture, dimana bentuknya dapat berupa diagram alir atau gambar kartun. Pada rich picture tersebut akan terlihat permasalahan yang ada sebagai akibat dari peran masing-masing aktor yang tidak berjalan dengan baik. Pada penelitian ini, rich picture menggunakan gambar kartun untuk menggambarkan sistem pada kegiatan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Gambar kartun tersebut dipilih untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai sistem melalui simbol-simbol gambar yang menunjukkan masing-masing aktor. Gambar kartun tersebut dilengkapi pula dengan tanda arah yang menunjukkan proses kegiatan yang terjadi serta struktur peran yang terjadi pada aliran kegiatan. Pada rich picture juga dimunculkan simbol yang menunjukkan permasalahan pada masing-masing aliran kegiatan.

Permasalahan yang telah diidentifikasi pada tahap penggambaran situasi permasalahan selanjutnya dilakukan perumusan root definitions untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Root definitions yang dihasilkan merupakan rumusan yang dirangkai berdasarkan rumus umum PQR sehingga diketahui apa seharusnya yang dilakukan melalui transformasi yang dirancang sehingga tercapai rangkaian aspek yang mencirikan kegiatan penangkapan ikan tuna yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Kemudian masing-masing root definitions yang telah dirumuskan dianalisis secara lebih detail menggunakan analisis CATWOE. Pada analisis CATWOE tersebut, poin transformasi merupakan poin penting yang selanjutnya digunakan dalam pembuatan model konseptual. Transformasi tersebut akan memberikan rekomendasi perbaikan sistem yang diperlukan dalam menyelesaikan permasalahan. Perihal yang penting untuk diperhatikan dalam menentukan transformasi adalah menggabungkan berbagai aspirasi para aktor yang merupakan problem owner sehingga transformasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang dapat menguntungkan

semua pihak atau meminimalisir kerugian pada salah satu pihak. Selain itu, transformasi yang dihasilkan merupakan sesuatu yang tidak mustahil untuk diimplementasikan pada obyek penelitian.

Transformasi yang telah dihasilkan pada tahap penyusunan root definitions

dan analisis CATWOE selanjutnya dirancang pada suatu model konseptual yang ideal sesuai dengan kondisi obyek penelitian. Model merupakan abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual dalam bentuk kata-kata, diagram dan/atau persamaan matematis suatu sistem sehingga memberikan gambaran mengenai keadaan yang sebenarnya serta dapat digunakan sebagai jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan suatu masalah (Eriyatno 2003; Fauzi dan Anna (2005); Tarumingkeng (1994) vide

Ernaningsih (2012) Adapun model konseptual pada pendekatan SSM ini adalah suatu abstraksi dari ide atau gagasan penelitian dan/atau aturan formal yang berlaku yang berupa diagram yang menunjukkan proses untuk mencapai transformasi yang direkomendasikan untuk menyelesaikan masing-masing permasalahan.

Pada tahap pembuatan desain model konseptual, dirancang pula kriteria 3E (efficacy, efficiency, dan effectiveness) yang berfungsi sebagai kriteria pengukuran kinerja pada saat monitoring. Kriteria 3E penting sebagai acuan pihak yang berkepentingan dalam menerapkan transformasi yang direkomendasikan. Seperti yang diketahui bahwa segala program atau kegiatan harus mempunyai kriteria pengukuran sehingga dapat diketahui sejauh mana keberhasilan yang diperoleh untuk memperbaiki sistem yang sebelumnya bermasalah.

Model konseptual yang dihasilkan oleh peneliti sebaiknya berbentuk diagram yang menggambarkan sistem yang terdiri dari subsistem-subsistem. Hal tersebut dikarenakan model konseptual yang dirancang atau dibangun pada pendekatan SSM merupakan suatu proses untuk mencapai upaya atau solusi penyelesaian masalah. Model konseptual dirancang pada masing-masing permasalahan, sehingga jumlah model konseptual yang dihasilkan akan sama jumlahnya dengan permasalahan yang ada. Pada penelitian ini, model konseptual yang dirancang berisi gagasan yang tidak asing lagi bagi peneliti perikanan tuna di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan permasalahan yang terjadi pada perikanan tuna di Nusa Tenggara merupakan permasalahan yang umum terjadi pada perikanan tuna di Nusa Tenggara. Namun, proses yang dirancang oleh peneliti pada penelitian ini disesuaikan dengan kondisi sumberdaya yang terdapat di Nusa Tenggara.

Pada dasarnya telah banyak penelitian mengenai perikanan tuna yang dilakukan oleh peneliti di Indonesia. Namun, seringkali yang tidak diperhatikan oleh peneliti adalah Indonesia terdiri dari berbagai keanekaragaman dengan karakteristik yang berbeda-beda sehingga permasalahan yang sama pada lokasi atau wilayah yang berbeda akan membutuhkan treatment upaya penyelesaian yang berbeda. Karakteristik perikanan tuna di Jawa berbeda dengan karakteristik perikanan tuna di Nusa Tenggara, bahkan karakteristik perikanan tuna di Palabuhanratu berbeda dengan karakteristik perikanan tuna di Cilacap, walaupun keduanya merupakan wilayah Jawa.

Tahap kelima yang dilakukan pada pendekatan SSM adalah melakukan perbandingan antara model konseptual dengan dunia nyata. Hasil perbandingan tersebut akan menghasilkan suatu gagasan terhadap penentuan perubahan yang

diperlukan pada sistem yang sedang dikaji, dimana hal tersebut merupakan tahap keenam pada tahapan proses pendekatan SSM. Pada penelitian ini, perubahan yang direkomendasikan adalah kegiatan yang belum dilakukan oleh pemerintah Nusa Tenggara tetapi kegiatan tersebut merupakan suatu proses yang penting, yaitu tanpa adanya proses tersebut upaya penyelesaian masalah tidak dapat dilakukan. Perubahan yang diperlukan merupakan strategi yang direkomendasikan kepada problem owner untuk menyelesaikan atau meminimalisir permasalahan yang ada. Selanjutnya, untuk melengkapi strategi tersebut, disusun pula renca aksi untuk setiap tujuan pengelolaan kegiatan pemanfaatan ikan tuna di Nusa Tenggara. Adapun tujuan pengelolaan yang dimaksud berasal dari analisis CATWOE, analisis RDs, dan model konseptual yang dihasilkan.

Pendekatan SSM merupakan pendekatan sistem yang sangat komperehensif digunakan untuk menghasilkan penyelesaian masalah yang aplikatif pada kegiatan pemanfaatan ikan tuna. Komperehensif dikarenakan permasalahan diidentifikasi berdasarkan peran masing-masing aktor, dan aplikatif karena solusi yang diberikanan merupakan upaya penyelesaian masalah yang disesuaikan dengan kondisi sumberdaya di lokasi penelitian dengan memberikan proses untuk mencapai solusi. Pendekatan SSM ini merupakan pendekatan sistem yang layak untuk dijadikan alternatif metode pendekatan masalah. Namun, pendekatan SSM memiliki beberapa kelemahan, yaitu hasil analisis yang bergantung dengan kemampuan peneliti dalam menggali dan menangkap informasi yang diberikan oleh responden, serta kondisi permasalahan yang fluktuatif sesuai dengan waktu. Selain itu, persepsi responden terhadap permasalahan yang sama akan berubah- ubah seiring dengan bertambahnya waktu, pengalaman, dan informasi yang diperoleh responden. Hal tersebut menyebabkan metode SSM akan memberikan hasil analisis yang berbeda jika digunakan ulang pada waktu yang berbeda dengan lokasi dan permasalahan yang sama. Namun, kelemahan tersebut bukanlah menjadi sesuatu yang perlu diperdebat, karena dari kelemahan tersebut maka akan dihasilkan solusi penyelesaian masalah yang tepat sesuai dengan kondisi terkini.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa metode pendekatan SSM dapat digunakan menjadi alternatif bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian terkait desain model yang ideal untuk suatu sistem, perubahan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki suatu sistem, atau merumuskan alternatif strategi dan/atau rencana aksi untuk memperbaiki sistem. Pengembangan metode tersebut memperkaya analisis yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian terhadap evaluasi pengelolaan perikanan yang telah berlangsung melalui perbandingan antara real world dengan model ideal. Evaluasi tersebut akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan tahapan proses pada pendekatan SSM dan menggunakan prinsip-prinsip penangkapan ikan bertanggungjawab pada pendekatan EAFM. Allen et al. (1994) vide Bunch (2003) menyatakan bahwa SSM merupakan metodologi yang sangat cocok untuk membuat pendekatan EAFM menjadi suatu pendekatan yang operasional. Ditegaskan oleh Bunch (2003) bahwa SSM memberikan beberapa kontribusi pada pendekatan EAFM, yaitu teknik partisipasif pada proses, menstimulasi pendekatan holistik untuk situasi permasalahan, mengembangkan pembelajaran, menyediakan tools untuk mengidentifikasi prioritas pada situasi permasalahan yang tidak terstruktur, sebagai model sistem aktivitas manusia yang terarah, dan dapat digunakan sebagai bahan diskusi atau perdebatan mengenai perubahan yang

Pendekatan SSM Pemahaman situasi permasalahan Penyusunan situasi