• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman toleran cekaman kekeringan dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain: 1) berpegang pada kearifan lokal untuk menseleksi kultivar lokal yang adaptif terhadap cekaman kekeringan, 2) persilangan antara tanaman toleran kekeringan produktivitas rendah dengan tanaman peka produktivitas tinggi, 3) persilangan tanaman dengan seleksi menggunakan marka toleran kekeringan 4) transformasi genetik, yaitu dengan menyisipkan gen penyandi toleransi kekeringan ke dalam genom. Transformasi genetik dapat dilakukan secara tidak langsung menggunakan agrobacterium tumefaciens dengan menggunakan gen target tertentu. Dalam penelitian ini dilakukan dua pendekatan pemuliaan untuk mendapatkan tanaman toleran kekeringan. Pendekatan pertama ialah transformasi genetik dan pendekatan kedua melalui seleksi terhadap galur-galur lanjut hasil persilangan.

Keberhasilan transformasi menggunakan gen penanda dan gen penyeleksi pada cv. Batutegi dan Kasalath (pada awal penelitian) menjadi dasar dalam melakukan transformasi menggunakan gen target oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan OsLEA. Pada populasi transforman generasi pertama, pita hpt hasil amplifikasi dapat muncul pada sebagian tanaman dan tidak pada sebagian lainnya meskipun tanaman-tanaman tersebut berkembang dari satu embrio, diduga tanaman-tanaman tersebut berkembang dari sel yang berbeda. Hasil transformasi diperoleh masing-masing 12 galur independen untuk cv. Batutegi dan Kasalath, dengan jumlah salinan gen sisipan antara 1-4. Gen hpt diwariskan secara Mendellian dengan pola 3:1, bersifat dominan dan terintegrasi dalam inti sel pada semua galur transgenik yang diuji. Pola segregasi gen hpt menjadi indikasi pewarisan gen oshox6. Adanya daun tanaman transgenik yang nekrotik ketika diuji higromisin sangat ditentukan oleh tingkat ekspresi gen hpt pada tiap individu tanaman. Ekspresi yang terjadi mungkin sangat rendah atau sama sekali tidak ada.

Percobaan kekeringan dengan metode FTSW menunjukkan bahwa akhir dari periode cekaman kekeringan pada cv. Batutegi lebih lama dibandingkan cv. Kasalath, diduga hal ini sangat ditentukan latar belakang genetik. Kurva hubungan NTR dan FTSW menunjukkan bahwa transpirasi cv. Batutegi dan cv.

Kasalath dalam tingkat cekaman berat. Pada kisaran FTSW yang demikian, akar tanaman tidak mampu lagi menunjang suplai air yang cukup ke bagian atas tanaman (daun) dan stomata secara bertahap menutup menyesuaiakan dengan kehilangan air agar turgor daun dapat dipertahankan. Pada Batutegi nilai FTSW mendekati fase kritis. Pada tahap ini, akar tidak dapat lagi mencukupi air untuk transpirasi, stomata menutup dan semua proses fisiologis yang terlibat dalam pertumbuhan termasuk fotosintesis terhambat (Bhratnagar-Mathur et al. 2008).

Berdasarkan tingkat skoring kekeringan daun dan nilai NTR serta FTSW diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan satu galur moderat toleran. Integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan pada cv. Batutegi maupun Kasalath. Namun demikian, peningkatan toleransi tanaman pada cv. Batutegi untuk karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin akibat integrasi promotor OsLEA::gen oshox6 secara statistik tidak berbeda nyata antara galur-galur transgenik terhadap Batutegi kontrol (BT- WT), sementara pada transgenik Kasalath nyata. Peningkatan nilai karakter fisiologis yang tidak nyata cv. Batutegi diduga karena latar belakang genetik cv. Batutegi yang bersifat moderat toleran terhadap cekaman kekeringan. Akan tetapi diperolehnya galur-galur transgenik yang lebih toleran dibandingkan cv. Batutegi kontrol menjadi indikasi bahwa gen oshox6 cukup berperan dalam upaya peningkatan pertahanan tersebut. Diperoleh lima galur toleran dan satu moderat pada cv. Kasalath. Pada Kasalath, perbedaan yang nyata pada karakter Ψd, RWC dan kandungan prolin diakhir periode kekeringan mengindikasikan bahwa promotor OsLEA terekpsresi kuat dan mengendalikan gen oshox6 ketika cekaman semakin berat (di akhir periode kekeringan).

Karakter pengamatan yang bisa dijadikan karakter seleksi pada galur-galur transgenik (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk mendapatkan galur toleran ialah skoring kekeringan daun, nilai NTR, Ψd dan RWC, sementara kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi. Galur-galur yang dianggap toleran dan moderat cenderung tidak menunjukkan peningkatan prolin di akhir periode kekeringan. Pada galur-galur ini kandungan prolin terdeteksi lebih tinggi di awal periode kekeringan, hal ini diduga sebagai respon awal tanaman ketika terjadi kekeringan. Ketika periode kekeringan lebih lama, diduga tanaman mensintesis

senyawa lain untuk pertahanan diri namun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut. Dalam penelitian ini, galur-galur transgenik Batutegi dan Kasalath toleran dan moderat cenderung memiliki respon pertahanan diri melalui mekanisme penghindaran namun demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan menganalisis senyawa-senyawa lain yang terkait dengan mekanisme toleransi. Hal tersebut disebabkan kerena cekaman yang terjadi sangat berat, dan umumnya tanaman akan melakukan beberapa respon sebagai upaya pertahanan diri.

Tanaman transgenik moderat dan toleran kekeringan tidak selalu memiliki produktivitas tinggi. Percobaan pot yang dilakukan lebih ditujukan untuk melihat parameter fisiologis. Seleksi galur unggul produktivitas tinggi perlu dilakukan di fasilitas rumah kasa bebas hujan atau lapang, sebelum dilakukan pengujian kekeringan. Hal ini sekaligus untuk melihat efek posisi gen sisipan, adakalanya gen sisipan yang terintegrasi meningkatkan produktivitas tanaman atau sebaliknya. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter fisiologis, skoring kekeringan daun dan karakter agronomi diperoleh galur potensial unggul yang berdasarkan kenaikan bobot gabah per rumpun, biomassa kering dan jumlah gabah bernas per malai ketika terjadi kekeringan yaitu galur T1-BT II.1A, T1-BT II.2A, T1-BT III.1A, dan T1-Kas. IV.1A.

Seleksi genotipe hasil silangan cv. Vandana x Wayrarem menunjukkan bahwa karakter jumlah anakan produktif sulit dijadikan karakter seleksi karena perlakuan cekaman kekeringan dilakukan ketika jumlah anakan maksimum (menjelang fase generatif). Oleh karena itu perlu dievaluasi kembali untuk menentukan waktu perlakuan kekeringan yang dilakukan. Sementara karakter bobot gabah per plot dan jumlah gabah bernas per malai dapat dijadikan karakter seleksi. Karakter jumlah gabah bernas sangat dipengaruhi oleh taraf cekaman kekeringan dan fase generatif tanaman. Lingkungan kekeringan menyebabkan gagalnya proses penyerbukan sehingga meningkatkan kehampaan. Berdasarkan pengujian pada MK 2008, terseleksi 21 genotipe kandidat unggul yang terdiri dari 13 genotipe mengandung qtl 12.1 dan 8 genotipe tidak mengandung qtl 12.1.

Pada percobaan MK-2009, kekeringan cekaman parah dapat menurunkan bobot gabah per umpun, tinggi tanaman, jumlah gabah bernas per malai, bobot gabah per petak, indeks panen dan memperlambat pembungaan. Karakter-karakter

agronomi tersebut serta indeks sensitivitas tanaman terhadap kekeringan dan indeks panen dapat menjadi karakter seleksi dalam memilih genotipe potensial toleran dan produktivitas tinggi. Diperoleh 12 genotipe moderat dan satu toleran pada cekaman berat. Genotipe-genotipe tersebut memiliki daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan, artinya jika ditanam pada lokasi tanpa cekaman produktivitas tanaman tinggi, dan ketika dalam lingkungan tercekam, produktivitas tanaman masih cukup tinggi. Genotipe dengan daya adaptasi tinggi terhadap lingkungan akan bermanfaat jika ditanam di berbagai lokasi lahan kering dan dapat mengantisipasi kemungkinan kekeringan yang tidak dapat diprediksi.

Berdasarkan percobaan di lapangan, seleksi genotipe potensial dan toleran kekeringan cukup berdasarkan data dari lingkungan normal dan cekaman berat berat, karena hasil pengamatan lingkungan cekaman sedang tidak berbeda nyata dengan normal. Nilai indek sensitivitas kekeringan pada saat cekaman berat dapat mengubah kategori suatu genotipe yang disebabkan oleh tingkat cekaman tersebut. Artinya bahwa suatu galur toleran pada cekaman sedang menjadi moderat atau peka ketika cekaman berat.

Seleksi genotipe toleran kekeringan tidak efektif bila berdasarkan kerberadaan marka qtl 12.1, karena genotipe unggul diperoleh pula dari genotipe yang tidak mengandung marka tersebut. Berdasarkan karakter-karakter seleksi yang digunakan dalam penelitian ini sulit membedakan antara tanaman toleran dari genotipe yang memiliki marka qtl 12.1 dengan genotipe toleran yang tidak memiliki marka qtl 12.1. Terpilihnya galur unggul dan toleran dari tanaman yang tidak mengandung marka qtl 12.1, diduga karena karakter kekeringan disandikan oleh banyak gen sehingga marka terkait cekaman kekeringan bukan hanya marka qtl 12.1. Pada genotipe unggul yang tidak memiliki marka qtl 12.1, diduga terdapat marka lain yang belum diidentifikasi yang responsif terhadap cekaman kekeringan.

Genotipe-genotipe pembanding (QTL 71 (+) dan QTL 98(+)) yang diuji bersama dengan tanaman transgenik di rumah kaca memiliki respon pertahanan diri yang cenderung melalui penghindaran yaitu dengan mempertahankan Ψd dan RWC, namun hal ini masih perlu pembuktian lebih lanjut. Sementara karakter

kandungan prolin tidak dapat dijadikan karakter seleksi karena kandungan prolin tidak meningkat ketika cekaman semakin lama.

Hasil uji kekeringan di rumah kaca dengan tujuan memvalidasi metode uji kekeringan menunjukkan bahwa metode FTSW dapat membedakan tingkat cekaman dan tingkat toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan yang diberikan. Tingkat cekaman yang terjadi diamati berdasarkan nilai FTSW yang diukur berdasarkan berat air yang ditranspirasi setiap hari. Semakin rendah nilai FTSW semakin berat cekaman yang terjadi. Nilai FTSW yang rendah mempengaruhi nilai normalisasi transpirasi (NTR). Dengan semakin rendah nilai FTSW maka jumlah air yang dapat ditranspirasi semakin rendah. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tingkat cekaman yang terjadi bersifat berat yang terjadi pada fase reproduktif. Hasil skoring kekeringan daun dalam menentukan klasifikasi toleransi galur-galur tanaman yang diuji. Hasil ini selaras dengan nilai NTR dan FTSW. Tanaman toleran hasil transformasi maupun tanaman hasil seleksi diduga memiliki daya adaptasi luas, sehingga bisa ditanam diberbagai kondisi dan dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang tidak dapat diduga.

Ada keselarasan tingkat toleransi kekeringan di lapangan dan di rumah kaca pada genotipe terpilih Qtl 71 (+) dan Qtl 98(+) menunjukkan bahwa metode FTSW di rumah kaca mampu menggambarkan kondisi cekaman di lapangan. Metode FTSW dapat digunakan untuk menguji kekeringan sekaligus menapis galur-galur potensial unggul.

Diperolehnya informasi peran gen oshox6 yang dikendalikan promotor terinduksi kekeringan OsLEA pada dua kultivar padi gogo (cv. Batutegi dan cv. Kasalath) untuk meningkatkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah hal penting. Galur padi gogo toleran yang telah dihasilkan dapat digunakan untuk bahan persilangan dengan padi sawah, atau gen dan promotor yang sama dapat digunakan untuk transformasi pada padi sawah. Hal ini disebabkan karena masih besarnya sumbangan produksi nasional dari padi sawah, sementara anomali musim yang menyebabkan kemarau panjang semakin sering terjadi. Oleh karena itu insersi gen oshox6 dengan promotor OsLEA dapat mengantisipasi cekaman kekeringan yang terjadi di lahan sawah atau lahan tadah hujan.

Berdasarkan penelitian ini, tanaman toleran kekeringan dapat diperoleh dari dua pendekatan yaitu melalui transformasi genetik OsLEA::Oshox6 maupun pendekatan seleksi hasil persilangan, namun tidak selalu berdasarkan keberadaan marka qtl 12.1 (seleksi menggunakan marka tidak efektif). Diperoleh 3 galur Batutegi transgenik toleran dan satu galur moderat toleran sementara pada Kasalath diperoleh lima galur toleran dan satu moderat. Tiga galur Batutegi dan satu Kasalath diantaranya adalah merupakan galur potensial unggul. Hasil seleksi dari lapangan diperoleh 12 genotipe moderat toleran dan satu toleran pada cekaman parah dan lima genotipe diantaranya (71(+), 94(+), 96(-), 98(+) dan 134(-)) potensial unggul terhadap karakter produksi.

Dokumen terkait