Tujuan penelitian ini ingin mengetahui pengaruh pengasuhan yang dilakukan oleh ibu di dua wilayah berbeda yakni di perdesaan dengan di perkotaan, lewat tiga sudut pandang pengasuhan yakni kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas lingkungan pengasuhan terhadap karakter anak, khususnya pada anak usia prasekolah. Rata-rata kelekatan ibu di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan diperkotaan, dan uji beda menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kelekatan ibu di perdesaan dengan di perkotaan. Hal tersebut diduga karena telah terbangunya kelekatan yang aman pada anak di perdesaan yang lebih baik, sehingga anak mampu dekat dengan orang selain ibunya, ceria, dan menyukai bermain dengan temannya, anak juga langsung mencari sosok ibu ketika anak ketakutan atau menangis karena ibu cepat merespon dan mudah di jangkau anak. Ibu di desa selalu ada di dekat anak dan cepat merespon kondisi anak karena wilayah di desa berbatu dan berbukit-bukit, sehingga ibu tidak membiarkan anaknya jauh dari sisi ibu, namun tetap memberikan anak kebebasan bermain dengan teman di lingkungan rumah. Keadaan di desa yang memiliki kedekatan hubungan antar masyarakatnya, juga mendukung dalam kemudahan anak untuk mampu dekat dan merasa aman dengan orang selain ibu. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Sukardi (2011) dan Permatasari (2011), yang mengungkapkan bahwa masyarakat desa memiliki tingkat kelekatan ibu dan anak yang cukup baik serta kedekatan kekerabatan sesama anggota masyarakat yang tinggi.
Rata-rata penerimaan ibu lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan di perdesaan, dimana kekerasan, pengabaian, dan penolakan ibu di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan. Uji beda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara gaya pengasuhan penerimaan ibu di perdesaan dengan di perkotaan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahini & Ismawati (2005), yang mengungkapkan bahwa ibu di perkotaan memiliki tingkat kekerasan dan pengabaian yang lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Hal ini di duga karena daerah di perdesaan
memperbolehkan ibu berinteraksi dengan anak melalui kata-kata yang kasar, menyalahkan, rendah mengekspresikan rasa kasih sayang melalui ucapan, jarang mengungkapkan pujian, membandingkan anaknya dengan anak lain, membentak, mengajuhkan pertanyaan anak, serta menganggap anak merepotkan, dan mengeluhkan keadaan anak di depan orang lain. Rata-rata kualitas lingkungan pengasuhan ibu di perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan, namun uji beda tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan. Kualitas lingkungan pengasuhan ibu di perdesaan memiliki keunggulan untuk dimensi stimulasi belajar, stimulasi bahasa, lingkungan fisik, kehangatan dan penerimaan, serta pemberian hukuman. Kualitas lingkungan pengasuhan ibu di perkotaan memiliki keunggulan untuk dimensi modeling dan variasi stimulasi.
Karakter anak pada penelitian ini menunjukan bahwa rata-rata karakter anak di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan. Hal tersebut dikarenakan anak di perkotaan memiliki pemahaman mengenai perilaku yang baik, menyukai melakukan hal kebaikan, dan melakukan tindakan kebaikan. Anak di perkotaan memiliki kemauan belajar yang lebih baik (kebijaksanaan dan pengetahuan), merapihkan mainanya selesai bermain serta tidak mengambil barang teman (keberanian), memimjamkan barang pada temannya (kemanusiaan), menyayangi adiknya (keadilan), mampu memaafkan teman (kesederhanaan), dan menyayagi hewan dan tumbuhan serta melakukan ibadah bersama orang tua (transenden).
Hasil uji korelasi menunjukan hubungan yang positif dan signifikan antara usia anak, usia ayah, dan usia ibu dengan karakter anak. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi usia anak, usia ayah, dan usia ibu maka karakter anak akan semakin baik. Perkembangan moral seseorang terkait dengan faktor individu, salah satunya usia (Pranoto 2011). Semakin tinggi usia menandakan kematangan pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek yang mampu meningkatkan capaian moral yang lebih baik. Usia ibu yang lebih matang juga terkait dengan kemampuannya dalam mengasuh anak (Hurlock 1990). Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin anak, usia anak, usia ibu, dan kelekatan mempengaruhi karakter anak usia prasekolah. Menurut Hastuti dan Alfiasari (2008) jenis kelamin anak dan peningkatan usia anak secara signifikan berpengaruh pada perkembangan karakter anak. Menurut Holden (2010), perkembangan moral anak saat usia dini bagi anak permpuan cenderung lebih baik dibandingkan dengan anak laki-laki karena adanya faktor kematangan sosial anak perempuan yang lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki, namun pada perkembangan selanjutnya keduanya membutuhkan stimulasi perkembangan moral yang sama baiknya agar mampu mengembangkan karakter yang hingga usia dewasa. Semakin bertambah usia anak diduga berhubungan dengan perkembangan moral dan karakter anak (Megawangi & Hastuti 2005; Santrock 2009). Usia ibu yang semakin tinggi diduga akan memiliki perkembangan pengetahuan dan moral yang lebih baik sehingga terkait dengan perkembangan karakter anak (Papalia et al. 2009). Kelekatan ibu dengan anak juga berpengaruh terhadap karakter anak. Hasil penelitian longitudinal menunjukan bahwa kelekatan yang aman antara ibu dan anak, sejak usia dini akan berdampak pada perkembangan anak ketika mencapai usia dewasa (Waters et al. 2000).
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dari pengasuhan yang dilihat dari ketiga aspek yakni kelekatan, gaya pengasuhan, dan kualitas lingkungan pengasuhan, hanya kelektatan yang berpengaruh pada karakter anak. Hal tersebut diduga karena penting bagi terbangunya kelekatan antara ibu dan anak di usia prasekolah, sebagai fondasi awal interaksi ibu dengan anak selama proses pengasuhan berikutnya serta bagi perkembangan anak yang lebih baik, dan hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Greenberg et al. (1990).
Hasil penelitian untuk pembahasan berikutnya terkait pengaruh kualitas lingkungan pengasuhan dan keikutsertaan pendidikan anak usia dini terhadap karakter anak menunjukan bahwa kualitas lingkungan pengasuhan lebih baik pada anak yang tidak mengikuti pendidikan anak usia dini. Hal tersebut diduga karena orang tua yang sudah mengikutsertakan anaknya pada pendidikan anak usia dini mengalami penurunan dalam menstimuli pendidikan anak di rumah dan menyerahkan pendidikan anak kepada sekolah, serta masih rendahnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Agung (2014), yang menyatakan masih rendahnya partisipasi orang tua dalam pendidikan anak usia dini, yang disebabkan oleh faktor kurangnya waktu, materi, dan rendahnya pendidikan orang tua Berdasarkan uji pengaruh menunjukan bahwa dalam model yang disusun dalam penelitian ini, bahwa jenis kelamin, usia anak, usia ibu, status bekerja ibu, dan kualitas lingkungan pengasuhan pada dimensi stimulasi akademik yang berpengaruh pada pembentukan karakter anak usia prasekolah, sedangkan keikutsertaan pendidikan usia dini tidak berpengaruh pada pembentukan karakter.
Menurut Hastuti dan Alfiasari (2008) jenis kelamin anak dan peningkatan usia anak secara signifikan berpengaruh pada perkembangan karakter anak. Kemudian menurut Holden (2010), perkembangan moral anak saat usia dini bagi anak permpuan cenderung lebih baik dibandingkan dengan anak laki-laki karena adanya faktor kematangan sosial anak perempuan yang lebih dahulu dibandingkan dengan anak laki-laki, namun pada perkembangan selanjutnya keduanya membutuhkan stimulasi perkembangan moral yang sama baiknya agar mampu mengembangkan karakter yang hingga usia dewasa. Anak memiliki dasar moral karakter yang baik sejak ia lahir, sedangkan semakin bertambahnya usia anak akan memiliki kematangan perkembangan baik secara menyeluruh sehingga perkembangan karakternya juga tentu akan lebih baik seiring bertambahnya usia (Bloom 2013; Megawangi & Hastuti 2005). Ibu yang memiliki usia yang lebih dewasa diduga akan memiliki pengetahuan yang lebih luas termasuk pengetahuan dalam pengasuhan dan pembentukan karkter anak (Papalia et al. 2009). Pada penelitian ini ibu yang bekerja memiliki pendidikan yang rendah atau tidak tamat pendidikan dasar, sehingga diduga ibu yang bekerja selain memiliki keterbatasaan waktu juga memiliki keterbatasan pengetahuan yang baik terkait stimulasi anak prasekolah. Menurut Carneiro et al. (2007) pendidikan ibu terkait dengan pekerjaan ibu dan penundaan pengasuhan pada anak. Menurut Chang (2010) pendidikan orang tua berhubungan dengan perkembangan anak. Menurut Chang (2010) pendidikan orang tua berhubungan dengan perkembangan anak.
Berdasarkan hasil analisis regresi, keikutsertaan pendidikan anak usia dini tidak berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Hal tersebut diduga karena selain keikutsertaan terdapat faktor lain dari kualitas pendidikan anak usia dini yang juga perlu diketahui untuk melihat output perkembangan anak yang
lebaih optimal. Menurut Essa (2011), kualitas pendidikan anak usia dini dapat dilihat dari rasio guru dengan anak, besarnya grup anak dalam kelas, kualifikasi guru dan staf, pelaksanaan program yang patut, interaksi anak dengan guru atau pengasuh, kekonsistenan staf pendidik, rasa hormat dan kesejahteraan guru, lingkungan fisik sekolah, dan dukungan dan keikutsertaan keluarga.
Hasil penelitan menegaskan pentingnya peran ibu dalam membentuk karakter anak sejak usia prasekolah melalui kualitas lingkungan pengasuhan yang baik. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Hastuti (2006) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan dominan pengasuhan orang tua terhadap kecerdasan majemuk dan karakter anak. Pada penelitian ini dimensi kualitas pengasuhan pada stimulasi akademik berpengaruh positif terhadap karakter anak. Stimulasi lingkungan anak berhubungan dengan perkembangan anak (Chang 2010). Karakter dibentuk dari adanya unsur kognitif, emosi, dan sosial yang saling berkaitan sehingga mampu menghasilkan keputusan serta tindakan yang berkarakter pada seorang individu, dimana unsur kognitif menunjukan kematangan kempuan berfikir anak. Jika anak memiliki kemampuan berfikir dan memproses informasi, maka anak juga akan mampu berfikir dan memilah tindakan yang berkarakter atau tidak berkarakter. Anak usia prasekolah telah memiliki kempuan memproses informasi yang terbagi kedalam tiga tahap, pertama yakni memperoleh informasi dari indra mereka, kedua adalah mengolah informasi, dan ketiga adalah keluaran perilaku dan tindakan, termasuk interaksi sosial dari informasi yang diperolah (Vasta et al. 1999). Kognisi dan emosi dalam diri seorang anak bekerja secara terpisah dan bersama-sama, serta masing-masing berperan dalam hal penilaian moral (moral judgment) dalam pengambilan keputusan tindakan berkarkakter dari informasi yang diperoleh indra tubuh (Kihlstrom 2013; Prinz 2006).