• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlakuan hari ke-

PEMBAHASAN UMUM

Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon, seng (Zn) dan vitamin E terhadap fertilitas tikus jantan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang diberi tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) pada dosis isoflavon (IF) 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum secara lengkap (IZE) menghasilkan fertilitas paling baik dibanding pemberian tunggal atau dua kombinasi diantaranya. Sebaliknya, kelompok perlakuan tanpa pemberian TKI- RL, Zn dan vitamin E (Kontrol negatif/ K-) menghasilkan fertilitas paling rendah. Hasil pengamatan memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan terhadap berat testis, angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina.

Perlakuan dengan pemberian secara lengkap TKI-RL pada dosis isoflavon (IF) 3 mg/ekor/hari, Zn 6.14 mg/kg ransum, dan vitamin E 100 mg/kg ransum menyebabkan : meningkatnya motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan tetap tinggi melalui deteksi secara imunohistokimia. Sebaliknya, perlakuan tanpa pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E menyebabkan : rendahnya beberapa parameter seperti motilitas, konsentrasi spermatozoa, kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel spermatogenik; tingginya kadar MDA testis; rendahnya aktivitas enzim SOD testis, dan rendahnya kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis.

Hasil penelitian menunjukkan nilai IC50 TKI-RL sebesar 51.96 μg/ml, nilai ini

lebih tinggi dibandingkan nilai IC50 vitamin E (sigma) sebesar 8.27 μg/ml. Hal ini

menunjukkan bahwa vitamin E merupakan anti radikal bebas yang lebih efektif apabila dibandingkan dengan TKI-RL yang diuji, karena vitamin E mampu menangkap radikal bebas sebanyak 50% pada konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan TKI-RL. Walaupun nilai IC50 TKI-RL lebih tinggi dibandingkan nilai

IC50 vitamin E, isoflavon yang terkandung dalam TKI-RL menunjukkan kemampuan

sebagai antioksidan sehubungan dengan lebih rendahnya nilai potensial reduksi senyawa isoflavon bila dibandingkan dengan PUFA. Buettner (1993) diacu dalam Muchtadi (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa memiliki potensi antioksidan lebih tinggi dan mampu mencegah oksidasi lipid apabila nilai potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). Dilaporkan lebih lanjut bahwa vitamin E (α-tokoferol) memiliki potensial

reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid/katekol (isoflavon termasuk salah satu golongan flavonoid) memiliki potensial reduksi 530 mV.

Fenomena keterkaitan antar parameter pengujian sehingga menghasilkan fertilitas yang paling tinggi akibat perlakuan kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E dapat dijelaskan sebagai berikut : Pada pemberian TKI-RL dengan dosis IF 3 mg/ekor/hari, diduga isoflavon bersifat antagonis terhadap kerja reseptor estrogen dalam sel target, yaitu menghambat respon estrogen dengan berperan sebagai antioksidan. Sebagai salah satu golongan flavonoid, senyawa bioaktif isoflavon yang mengandung gugus fenolik telah dilaporkan mempunyai kemampuan sebagai antioksidan dan mencegah terjadinya kerusakan akibat radikal bebas melalui dua mekanisme, yaitu : mendonorkan ion hidrogen (Saija et al. 1995; Arora et al. 1998), dan bertindak sebagai scavenger radikal bebas secara langsung (Arora et al.

1998; Nijveldt et al. 2001). Struktur meta 5,7-dihidroksil pada cincin A menunjukkan kemampuan isoflavon untuk berperan sebagai donor ion hidrogen sehingga terbentuk senyawa yang lebih stabil dan terbentuk radikal fenoksil yang kurang reaktif (Oteiza et al. 2005), sedangkan gugus 4’-hidroksil pada cincin B senyawa isoflavon berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Pokorny et al. 2001). Konfigurasi grup hidroksil pada cincin B senyawa flavonoid telah dilaporkan berperan sebagai scavenger senyawa ROS (Heim et al. 2002). Dikemukakan lebih lanjut bahwa grup hidroksil pada cincin B dapat mendonorkan ion hidrogen dengan mendonorkan sebuah elektron ke radikal hidroksil dan peroksil; menstabilkan kedua radikal tersebut, serta membentuk radikal flavonoid yang relatif lebih stabil.

Flavonoid efektif sebagai scavenger radikal hidroksil dan radikal peroksil (Lee et al. 2004). Flavonoid (flavonoid–OH) dilaporkan dapat beraksi sebagai

scavenger radikal peroksil (ROO*) yang akan diregenerasi menjadi ROOH, dan bertindak sebagai scavenger radikal hidroksil (OH*) yang akan diregenerasi menjadi H2O. Senyawa hasil regenerasi radikal peroksil dan radikal hidroksil bersifat lebih

stabil, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk (flavonoid-O*) menjadi bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi (Arora et al. 1998). Senyawa radikal fenoksil menjadi inaktif akibat tingginya reaktivitas grup hidroksil senyawa flavonoid yang terjadi melalui reaksi ( Nijveldt et al. 2001) :

ROO* + Flavonoid-OH → ROOH + Flavonoid-O* HO* + Flavonoid-OH → H2O + Flavonoid-O*

Dengan berperan sebagai antioksidan, isoflavon mempunyai kemampuan untuk mencegah peroksidasi lipid. Dalam hal ini, isoflavon berfungsi sebagai antioksidan primer karena berperan sebagai akseptor radikal bebas sehingga dapat menghambat reaksi rantai radikal bebas pada oksidasi lipid. Menurut Pokorny et al. (2001), kemampuan antioksidan untuk mendonasikan hidrogen mempengaruhi

aktivitasnya. Dilaporkan bahwa suatu molekul akan mampu bereaksi sebagai antioksidan primer apabila dapat mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipida, radikal yang diturunkan dari antioksidan lebih stabil dibandingkan radikal lipid awal, atau dikonversi menjadi produk yang lebih stabil. Dengan demikian, maka reaktivitas radikal bebas dapat diredam. Lee et al. (2004) menyatakan bahwa radikal antioksidan menjadi lebih stabil akibat proses resonansi dalam struktur cincin aromatiknya, sehingga tidak mudah untuk terlibat pada reaksi radikal yang lain.

Seperti halnya isoflavon, α-tokoferol juga berperan sebagai antioksidan primer karena kemampuannya sebagai akseptor radikal bebas dalam menangkap radikal bebas dan memutus reaksi peroksidasi lipid dengan melepaskan ion hidrogen bersama elektronnya. α-tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil (LOO*) membentuk radikal tokoferol (α-tokoferol-O*) dan hidroperoksida (LOOH). Selanjutnya radikal tokoferol bereaksi lagi dengan radikal peroksil yang lain

membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal (LOO-α-

tokoferol), sehingga reaksi berantai peroksidasi lipid dapat terhenti (Liebler & Burr 1992; Therond et al. 1996; Yamauchi et al. 2002). Kestabilan dan pembentukan radikal tokoferol (α-tokoferol-O*) yang lebih lambat dibandingkan perambatan atau propagasi radikal lipid peroksil (LOO*) dapat menekan dan memperlambat berlangsungnya reaksi berantai peroksidasi lipid. Mekanisme kerja α-tokoferol memutus rangkaian reaksi berantai dan sebagai scavenger radikal bebas terjadi melalui reaksi :

α-tokoferol-OH + LOO* → α-tokoferol-O* + LOOH

α-tokoferol-O* + LOO* → LOO-α-tokoferol

Kinerja α-tokoferol dalam memelihara stabilitas membran sel dan

melindungi struktur sel terhadap kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas dan peroksidasi lipid adalah dengan membloking reaksi inisiasi dan menginterupsi reaksi propagasi peroksidasi lipid di dalam membran sel. Vitamin E berperan memperlambat berlangsungnya reaksi peroksidasi karena berperan sebagai

scavenger radikal bebas dan memutus rantai proses peroksidasi lipid di dalam membran dengan menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas. Hal ini menyebabkan terbentuknya radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak (Almatsier 2002; Landvik et al. 2002), serta menghentikan reaksi rantai propagasi yang bersifat merusak pada proses peroksidasi lipid (Combs 1992).

Membran plasma umumnya bersifat sangat rentan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh, karena sebagian besar komponen utama penyusun membran

adalah PUFA. PUFA bersifat paling rentan/labil terhadap peroksidasi lipid karena banyak mengandung ikatan rangkap. Menurut Pokorny et al. (2001), keberadaan karbon-karbon yang memiliki ikatan rangkap akan melemahkan ikatan karbon- hidrogen, terutama atom hidrogen yang letaknya dekat dengan ikatan rangkap, sehingga atom hidrogen tersebut bersifat rentan untuk terabstraksi. Apabila atom hidrogen pada karbon α-metilen dari ikatan rangkap PUFA hilang, maka akan terbentuk sebuah radikal alkil (R*) yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil. Terjadinya peroksidasi lipid akan menyebabkan hilangnya integritas dan permeabilitas membran (Geva et al. 1998).

Suatu senyawa dapat bertindak sebagai antioksidan dan mencegah oksidasi lipid apabila potensial reduksi standar 1-elektron lebih rendah dari 600 mV (lebih rendah dari potensial reduksi PUFA). α-tokoferol memiliki potensial reduksi sebesar 480 mV, sedangkan flavonoid (katekol) memiliki potensial reduksi 530 mV (Buettner 1993 diacu dalam Muchtadi 2008).

Berdasarkan data potensial reduksi tersebut, mekanisme efek sinergis antioksidan pada kelompok IZE karena α-tokoferol dan isoflavon berperan sebagai antioksidan primer dengan mendonasikan atom hidrogen secara cepat pada radikal lipid. α-tokoferol yang memiliki potensial reduksi lebih rendah lebih dahulu dapat memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Selanjutnya, isoflavon yang termasuk kelompok flavonoid dengan potensial reduksi lebih tinggi dari α-tokoferol bekerja dengan memberikan satu atom hidrogen kepada radikal peroksil, sebelum PUFA memberikannya. Senyawa yang terbentuk sebagai hasil regenerasi radikal peroksil bersifat lebih stabil. Radikal tokoferol dapat bereaksi dengan radikal peroksil yang lain membentuk produk yang lebih stabil berupa senyawa non radikal, sedangkan radikal fenoksil yang terbentuk dari flavonoid bersifat kurang reaktif untuk melakukan reaksi propagasi. Walaupun tidak berperan sebagai antioksidan, Zn dilaporkan oleh Taylor

et al. (1988) memainkan peran penting dalam stabilitas biomembran dan mempertahankan integritas sel. Dengan demikian, diduga kombinasi α-tokoferol, isoflavon dan Zn menghasilkan sinergisme aktivitas antioksidan yang lebih baik.

Kombinasi ketiganya diduga mampu memperkuat kerja sistem antioksidan akibat terpeliharanya stabilitas membran dan terlindungnya struktur sel dari kerusakan oleh radikal bebas, serta menggambarkan bahwa kombinasi antioksidan vitamin E, isoflavon kedelai, dan Zn memberikan pengaruh yang paling berarti dan paling baik dalam mengeliminir dan menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk. Dengan sel yang utuh karena stabilitas membran terpelihara dan struktur serta fungsi membran sel terlindung dari kerusakan oleh antioksidan

vitamin E, isoflavon maupun Zn, maka sel mampu mempertahankan diri dari serangan oksidatif radikal bebas dan peroksidasi lipid. Hal ini didukung oleh pendapat Freisleben (1998), bahwa reaksi radikal bebas dapat ditiadakan melalui tiga cara, yaitu : mencegah atau menghambat pembentukan radikal bebas, inaktivasi radikal dan menghambat reaksi propagasi (chain breaking), serta memperbaiki kerusakan akibat reaksi radikal bebas.

Spermatozoa kaya akan asam lemak tidak jenuh. Sekitar 50 % asam lemak tidak jenuh yang ditemukan dalam sebuah sel spermatozoa adalah dokosaheksaenoat/DHA (Aitken 1997). Membran plasma mitokondria spermatozoa juga tersusun oleh asam lemak tidak jenuh yang bersifat sangat rentan terhadap oksidasi. Jika asam lemak tidak jenuh dari fosfolipid dioksidasi oleh radikal bebas, akan terjadi kerusakan spermatozoa akibat meningkatnya peroksidasi lipid sehingga mengganggu motilitasnya. Menurut Sanocka & Kurpisz (2004), DHA memainkan peran utama terhadap fluiditas membran spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid akan menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran spermatozoa (Sanocka & Kurpisz 2004), mengganggu stabilitas membran dan mengacaukan aktivitas enzim-membran seperti ATP-ase, sehingga mengakibatkan terganggunya regulasi kation intraseluler seperti Ca2+ yang memegang peranan sangat penting terhadap motilitas spermatozoa (Sevanian et al. 1988; Aitken et al. 1993).

Dalam penelitian ini terlihat adanya keeratan hubungan antara motilitas spermatozoa, kadar MDA testis, aktivitas SOD testis dan profil antioksidan Cu,Zn- SOD pada tubuli seminiferi testis akibat pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Secara langsung, kombinasi TKI-RL, Zn dan vitamin E diduga mampu menetralisir lebih banyak radikal bebas yang terbentuk dan mengeliminir pembentukan radikal bebas pada membran plasma spermatozoa sehingga membran plasma spermatozoa tidak mengalami kerusakan (tetap utuh), peroksidasi lipid terhambat, sehingga dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih tinggi. Dalam penelitian ini, terhambatnya peroksidasi lipid yang diperlihatkan dengan rendahnya kadar MDA testis terbukti mengakibatkan peningkatan motilitas spermatozoa. MDA merupakan salah satu produk akhir dari peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal dan digunakan sebagai indikator kerusakan oksidatif membran sel. Penurunan kadar MDA menunjukkan terhambatnya proses oksidasi membran sel, pada kelompok tersebut diikuti dengan meningkatnya aktivitas enzim SOD melalui pengukuran menggunakan spektrofotomoter, maupun pengamatan terhadap profil antioksidan Cu,Zn-SOD melalui pewarnaan jaringan testis secara imunohistokimia.

Hasil penelitian menunjukkan keeratan hubungan antara konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tubuli seminiferi testis akibat

pemberian TKI-RL, Zn dan vitamin E. Kombinasi secara lengkap ketiganya menghasilkan konsentrasi spermatozoa dan jumlah sel spermatogenik tertinggi. Eliminasi radikal bebas pada jaringan yang memproduksi spermatozoa diduga mampu menghentikan reaksi berantai peroksidasi lipid asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid membran sel sehingga secara keseluruhan akan melindungi fungsi spermatozoa. Dengan terlindungnya jaringan yang memproduksi spermatozoa dari proses oksidasi, proses spermatogenesis menjadi tidak terhambat atau terganggu, produksi spermatozoa tidak terganggu, sehingga dihasilkan konsentrasi spermatozoa yang lebih tinggi. Peningkatan konsentrasi spermatozoa didukung oleh tingginya total sel spermatogenik melalui penghitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal dan spermatid akhir.

Secara umum, terlihat bahwa hasil pengukuran terhadap berbagai parameter pengujian seperti motilitas spermatozoa, konsentrasi spermatozoa, jumlah sel spermatogenik, kadar MDA, aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis kelompok yang tidak mendapat TKI-RL, Zn dan vitamin E (kontrol negatif/K-) menunjukkan kualitas spermatozoa yang paling rendah dibanding ZE yang dalam ransumnya diberi Zn dan vitamin E, kelompok yang mendapat perlakuan tunggal cekok TKI-RL yang mengandung isoflavon saja (I), dua kombinasi yaitu isoflavon-Zn (IZ) dan isoflavon-vitamin E (IE), atau kombinasi secara lengkap TKI-RL, Zn dan vitamin E (IZE). Kelompok yang mendapat perlakuan tunggal atau dua kombinasi juga menunjukkan kualitas spermatozoa yang lebih rendah dibanding kelompok yang mendapat kombinasi ketiganya.

Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tanpa TKI-RL, Zn dan vitamin E (Kontrol negatif/K-), perlakuan tunggal atau dua kombinasi saja belum mampu menghambat proses peroksidasi lipid akibat oksidasi oleh radikal bebas sehingga kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa juga tidak dapat dicegah. Kerusakan membran disebabkan oleh hilangnya asam lemak esensial penyusun fosfolipid membran akibat terikatnya elektron hidrogen asam lemak tidak jenuh penyusun membran plasma membentuk radikal peroksi lipid, sehingga mengganggu proses metabolisme sel spermatozoa. Peningkatan peroksidasi lipid telah dilaporkan Sanocka & Kurpisz (2004) menyebabkan gangguan fungsi membran dan menurunkan fluiditas membran spermatozoa, serta mengakibatkan hilangnya integritas membran dan permeabilitas membran (Geva et al. 1998). Akibatnya dihasilkan motilitas spermatozoa yang lebih rendah, peningkatan kadar MDA testis yang menunjukkan terjadinya proses oksidasi pada membran sel, serta penurunan aktivitas SOD testis dan kandungan Cu,Zn-SOD pada tubuli seminiferi testis. Keberadaan antioksidan endogen seperti Cu,Zn-SOD dapat menekan produk akhir hasil peroksidasi lipid. Oleh karena itu, menurunnya status antioksidan

endogen intrasel sangat berbahaya karena radikal bebas dalam tubuh menjadi tidak dapat dinetralisir dengan baik dan pada saat tertentu jumlahnya dapat meningkat atau berlebihan di dalam tubuh.

Di samping itu, kerusakan membran plasma mitokondria spermatozoa yang tidak dapat dicegah mengakibatkan terhambatnya proses spermatogenesis sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis. Hal ini mengakibatkan terganggunya produksi spermatozoa yang diperlihatkan dengan lebih rendahnya konsentrasi spermatozoa dibanding kelompok IZE. Konsentrasi spermatozoa berhubungan erat dengan proses spermatogenesis, di mana akan dihasilkan spermatozoa yang mampu membuahi sel telur.

Jumlah sel spermatogenik sangat bergantung pada aktivitas tubuli seminiferi yang dipengaruhi oleh sistem hormon. Hal ini sesuai dengan pendapat Junqueira et al. (1998) yang menyatakan bahwa faktor endokrin mempunyai pengaruh paling penting terhadap spermatogenesis. Dilaporkan bahwa hormon testosteron dibutuhkan untuk berlangsungnya proses spermatogenesis pada tubuli seminiferi. Apabila terjadi hambatan proses spermatogenesis pada tahap awal, maka akan menyebabkan hambatan pada perkembangan tahap selanjutnya. Gangguan terhadap proses spermatogenesis mengakibatkan peningkatan resiko terhadap rendahnya kualitas spermatozoa yang dihasilkan.

Secara umum, terlihat bahwa keempat kelompok tikus yang mendapat cekok TKI-RL pada dosis isoflavon 3 mg/ekor/hari (I, IZ, IE, IZE) menghasilkan kadar hormon testosteron lebih tinggi dan berbeda nyata dibandingkan kelompok ZE dan K-. Hal ini sejalan dengan temuan Fritz et al. (2003) yang melaporkan penurunan aktivitas aromatase testis (enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen) sehingga mengakibatkan peningkatan hormon testosteron akibat pemberian genistein (isolat isoflavon murni) sebesar 250 mg genistein/kg diet (± 5 mg genistein/ekor/hari). Dalam penelitian ini, tepung kedelai kaya isoflavon yang diberikan secara oral dengan dosis 3 mg/ekor/hari, diduga masih tergolong pada kategori rendah sehingga belum memperlihatkan gangguan terhadap perkembangan, morfologi maupun proses spermatogenesis. Sebaliknya, rendahnya kadar hormon testosteron kelompok kontrol negatif/K- terbukti menyebabkan rendahnya konsentrasi spermatozoa dan menurunkan jumlah sel spermatogenik melalui perhitungan terhadap jumlah sel spermatogonia, spermatosit, spermatid awal, dan spermatid akhir.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa keenam perlakuan mempunyai kriteria spermatozoa yang normal karena kelainan morfologi (abnormalitas spermatozoa) yang ditemukan kurang dari 20%. Tidak terlihat perbedaan nyata

pada berat relatif testis keenam perlakuan, diduga perlakuan cekok (oral) TKI-RL pada dosis 3 mg/ekor/hari masih tergolong dalam konsentrasi rendah sehingga tidak mempengaruhi berat testis. Menurut Martin (1983), atropi testis pada mencit jantan terjadi apabila genistein (salah satu komponen isoflavon) diberikan dalam bentuk isolat isoflavon murni pada dosis 9 mg/ekor/hari.

Hasil pengamatan terhadap angka kebuntingan dan jumlah fetus pada tikus betina menunjukkan bahwa semua tikus betina yang dikawinkan dengan keenam jantan perlakuan menghasilkan angka konsepsi 100%. Sumber protein ransum yaitu kasein dengan kualitas, jumlah dan kadar yang tinggi (15%) diduga menyebabkan keberhasilan fertilisasi pada keenam jantan perlakuan. Menurut Baker et al. (1979), kadar protein ransum dari sumber protein hewani sebesar 10% telah mencukupi untuk proses reproduksi dan pertumbuhan tikus. Tikus betina yang digunakan untuk melihat fertilitas tikus jantan juga mendapat kasein sebagai sumber protein ransum dalam jumlah dan kadar yang tinggi (15%), dan selama percobaan berada pada kondisi sehat. Tidak terlihat adanya pengaruh yang nyata antar perlakuan pada tikus jantan (p>0.05) terhadap jumlah fetus pada tikus betina. Angka konsepsi 100% juga terlihat pada tikus betina yang dikawinkan dengan kelompok tikus jantan yang tidak mendapat isoflavon, Zn dan Vitamin E (Kontrol negatif/K-). Diduga pada kelompok kontrol negatif/K-, Zn dan vitamin E tidak berada pada kondisi defisien yang sangat ekstrim. Kemungkinan tikus jantan kelompok kontrol negatif/K- masih mendapat asupan Zn yang berasal dari kasein sebagai sumber protein ransum, serta mendapat vitamin E yang terkandung dalam minyak jagung sebagai komponen penyusun ransum. Namun demikian, Zn dan vitamin E mungkin terdapat pada konsentrasi rendah. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa peneliti sebelumnya, bahwa ada spermatozoa yang dapat mencapai sel telur, tetapi tidak dapat melakukan pembuahan karena kualitas spermatozoa yang kurang baik. Lebih lanjut dinyatakan bahwa peluang terjadinya kehamilan atau konsepsi lebih besar pada jantan yang memiliki jumlah spermatozoa sedikit namun berfungsi dengan baik dibandingkan dengan jantan yang memiliki jumlah spermatozoa banyak namun mempunyai fungsi yang kurang baik.

Walaupun perlakuan pada kelompok kontrol negatif/K- menyebabkan terjadinya peningkatan kadar MDA testis, serta penurunan aktivitas dan kandungan enzim SOD testis, kelompok kontrol negatif/K- menghasilkan motilitas spermatozoa sebesar 66.5%, konsentrasi spermatozoa 1182.5 juta/ml, serta abnormalitas spermatozoa 13.49% yang masih tergolong pada kategori spermatozoa normal. Hal ini diduga menyebabkan tikus jantan kelompok kontrol negatif/K- memiliki

kemampuan untuk melakukan proses fertilisasi dan akhirnya mampu membuntingi tikus betina.

Pengaruh pemberian tepung kedelai kaya isoflavon pada berbagai tingkatan dosis isoflavon terhadap fertilitas tikus jantan

Hasil penelitian menunjukkan dua hal yang berlawanan akibat pemberian tepung kedelai kaya isoflavon rendah lemak (TKI-RL) dengan berbagai tingkatan dosis isoflavon pada tikus jantan. Pemberian TKI-RL dengan dosis isoflavon (IF) terendah yaitu 1.5 mg/ekor/hari, merupakan dosis IF optimum, menghasilkan kualitas spermatozoa terbaik. Sebaliknya, pemberian TKI-RL dengan dosis IF tertinggi yaitu 6 mg/ekor/hari menghasilkan kualitas spermatozoa yang paling rendah. Hasil pengamatan terhadap semua parameter pengujian memperlihatkan bahwa tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari tidak berbeda nyata, namun terlihat perbedaan yang nyata pada kedua dosis tersebut dengan kelompok tikus yang dicekok TKI-RL pada dosis IF lebih rendah. Perbedaan nyata antara dosis IF 4.5 mg/ekor/hari dan 6 mg/ekor/hari terlihat pada pengamatan terhadap butiran sitoplasma dan angka kebuntingan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian tepung kedelai kaya isoflavon dengan dosis isoflavon yang semakin tinggi menyebabkan peningkatan kadar hormon testosteron serum dan jumlah sel Leydig.

Pemberian TKI-RL dengan dosis IF terendah (1.5 mg/ekor/hari) mengakibatkan : meningkatnya beberapa parameter seperti berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; menurunnya kadar MDA testis; aktivitas enzim SOD testis dipertahankan tetap tinggi; serta kandungan Cu,Zn-SOD pada sel spermatosit dan spermatid awal tubuli seminiferi testis dipertahankan tetap tinggi. Sebaliknya, pemberian TKI-RL pada dosis IF tertinggi (6 mg/ekor/hari) mengakibatkan: menurunnya berat testis, motilitas dan konsentrasi spermatozoa, serta jumlah sel spermatogenik pada tubuli seminiferi testis; meningkatnya butiran sitoplasma, kadar hormon testosteron serum, serta kadar MDA testis; menurunnya aktivitas enzim SOD testis; serta menurunnya kandungan Cu,Zn-SOD. Angka konsepsi pada tikus betina hasil perkawinan dengan tikus jantan kontrol dan yang dicekok TKI-RL dengan dosis IF 1.5 dan 3 mg/ekor/hari sebesar 100%, pada dosis IF 4.5 mg/ekor/hari sebesar 60%, sedangkan pada dosis IF 6 mg/ekor/hari sebesar 0%. Namun telah terbukti terjadi kopulasi pada semua tikus betina yang dikawinkan dengan kelima kelompok tikus jantan perlakuan tersebut, dengan terdeteksinya spermatozoa melalui metode deteksi ulas vagina. Angka konsepsi 0% menunjukkan

bahwa pemberian TKI-RL pada dosis IF 6 mg/ekor/hari menyebabkan infertilitas pada