• Tidak ada hasil yang ditemukan

Antosianin dan kuersetin adalah bahan bioaktif dari golongan senyawa flavonoid yang telah digunakan sebagai anti kanker pada manusia (Lamson et al.

2000, Katsube et al. 2003, Zhang et al. 2005). Untuk meningkatkan kandungan antosianin dan kuersetin pada pertumbuhan daun dewa di lapang dibutuhkan kualitas bahan tanam yang tinggi. Peningkatan kualitas bahan tanam salah satunya dapat dilakukan melalui pembentukan plantlet berkandungan bioaktif tinggi melalui studi in vitro.

Hasil penelitian pada studi in vitro menunjukkan bahwa plantlet yang memiliki kandungan antosianin yang tinggi (0.071%) diperoleh pada komposisi media MS yang menggunakan IAA 0.5 ppm dan sukrosa 30 g/l. IAA berperan untuk menginduksi perakaran melalui fungsinya pada proses pemanjangan sel, sedangkan sukrosa berperan sebagai penyedia energi bagi perkembangan plantlet, pengatur tekanan osmotik media dan meningkatkan pigmentasi antosianin (Salisbury dan Ross 1992, Gunawan 1992, Smith 2000, Hiratsuka et al. 2001, Hosokawa et al. 1996). Pada tanaman Gardenia (Gardenia jasminoides Ellis), pemberian IAA hingga 10 µM meningkatkan jumlah akar dan persentase kultur berakar mencapai 100% tetapi panjang akar mengalami penurunan dengan semakin meningkatnya konsentrasi IAA (Al Juboory et al. 1998). Pada proses pigmentasi antosianin secara in vitro, Hiratsuka

et al. (2001) dan Hosokawa et al (1996) melaporkan bahwa pada tanaman Vitis labruscana Bailey cv. Olympia, penggunaan gula (fruktosa, sukrosa, glukosa dan ramnosa) masing-masing 2.5 dan 10% dapat meningkatkan pigmentasi antosianin, sedangkan pada Hyacinthus orientalis, penggunaan sukrosa 30g/l menghasilkan glikosida antosianin berbeda dengan tanaman yang ditumbuhkan di lapang. Penambahan sukrosa meningkatkan aktivitas enzim invertase yang mengkatalisis sukrosa menjadi senyawa heksosa selama proses translokasi dan menstimulasi biosintesis antosianin pada kultur in vitro (Hiratsuka et al. 2001).

Plantlet yang dihasilkan pada kultur in vitro selanjutnya digunakan sebagai bahan tanam pada percobaan lapangan untuk tujuan meningkatkan biomasa tanaman sehingga produksi flavonoid semakin tinggi. Pada kondisi lapang, stimulasi produksi bioaktif bahan tanam asal kultur in vitro dilakukan melalui periode pencahayaan dan pemupukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode pencahayaan berpengaruh pada morfo-anatomi daun dan fisiologi tanaman, sehingga berpengaruh pada proses

pertumbuhan, produksi biomasa dan produksi bioaktif, sedangkan pemupukan meningkatkan produksi biomasa dan bioaktif melalui peningkatan serapan hara ke tanaman.

Perubahan morfo-anatomi (panjang dan lebar daun, jumlah stomata, trichoma dan ketebalan daun) pada periode pencahayaan yang berbeda menunjukkan perubahan adaptasi tanaman pada kondisi tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun dewa yang tumbuh pada naungan 50% selama 4 bulan terjadi peningkatan panjang dan lebar daun sehingga daun semakin luas, tetapi jumlah stomata dan trichoma semakin berkurang. Perubahan ini merupakan bentuk adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah.

Levitt (1980) menjelaskan bahwa adaptasi tanaman terhadap intensitas cahaya rendah dilakukan melalui : 1) mekanisme penghindaran (avoidance) terhadap kekurangan cahaya, dan 2) mekanisme toleransi (tolerance) terhadap kekurangan cahaya. Pada mekanisme penghindaran, tanaman akan meningkatkan luas area penangkapan cahaya melalui peningkatan luas daun dan meningkatkan penangkapan cahaya per unit luas fotosintesis melalui pengurangan jumlah cahaya yang direfleksikan. Pengurangan jumlah cahaya yang direfleksikan dilakukan oleh tanaman melalui pengurangan jumlah trichoma (Hale dan Orcutt 1987). Liakoura (1997) juga melaporkan bahwa kerapatan trichoma Olea europaea lebih rendah pada daun yang dinaungi dibanding dengan daun pada cahaya penuh. Hal ini menyebabkan peningkatan efisiensi penggunaan cahaya oleh daun dalam proses fotosintesis.

Pada intensitas cahaya rendah juga terjadi pengurangan jumlah stomata. Pengurangan jumlah stomata adalah bentuk adaptasi tanaman terhadap penurunan laju transpirasi pada intensitas cahaya rendah. Logan et al. (1999) melaporkan bahwa pada intensitas cahaya rendah akan terjadi penurunan laju transpirasi, sehingga tanaman mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata.

Pada naungan 50% selama 4 bulan, di samping terjadi pengurangan jumlah stomata dan trichoma, juga terjadi pengurangan ketebalan daun. Hasil tersebut sesuai dengan penjelasan Lee et al. (2000) dan Atwell et al. 1999 bahwa intensitas cahaya rendah dapat mempengaruhi perkembangan daun melalui perubahan ukuran dan ketebalannya. Perkembangan daun pada intensitas cahaya yang tinggi lebih didominasi oleh peningkatan jumlah sel daripada peningkatan ukuran sel sehingga daun menjadi tebal, sedangkan pada intensitas cahaya rendah peningkatan jumlah sel terhambat sehingga daun menjadi tipis. Di samping itu penipisan daun pada intensitas

cahaya rendah disebabkan oleh pengurangan lapisan palisade dan sel-sel mesofil (Taiz dan Zeiger 1991).

Pada aspek fisiologi, periode pencahayaan berpengaruh pada perubahan struktur kloroplas, kandungan enzim SOD, klorofil, serapan hara ke jaringan tanaman dan laju pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur kloroplas pada naungan 25 dan 50% berbeda dengan kloroplas pada cahaya 100%, sedangkan apabila tanaman yang tumbuh pada kondisi naungan kemudian diekspos pada cahaya 100%, struktur dan bentuk kloroplas berubah menyerupai kloroplas cahaya 100%. Semakin meningkat persentase naungan juga meningkatkan total klorofil, kandungan enzim SOD, dan serapan hara N, P, K dan SO4 ke jaringan tanaman, tetapi rasio klorofil a/b semakin rendah.

Perubahan struktur dan bentuk kloroplas daun dewa pada intensitas cahaya rendah disebabkan karena meningkatnya tumpukan grana (stack granum), meningkatnya volume stroma dan ukuran butir pati. Peningkatan ukuran kloroplas dan tumpukan grana akan meningkatkan penangkapan dan penyerapan cahaya pada intensitas cahaya rendah (Chitchley 1997), sedangkan peningkatan ukuran butir pati menunjukkan rendahnya respirasi pada intensitas cahaya rendah. Pada intensitas cahaya rendah kandungan gula-pati kedelai toleran Ceneng lebih rendah dari Genotipe peka Godek (Lestari 2005), sedangkan kloroplas pada daun yang diberi perlakuan gelap 5 hari masih terdapat butir pati (Tyas 2006). Rendahnya kandungan gula dan masih adanya butir pati pada kondisi kekurangan cahaya menunjukkan laju respirasi yang rendah (Tyas 2006). Peningkatan volume stroma pada kloroplas daun dewa yang tumbuh pada intensitas cahaya 75 dan 50% menunjukkan peningkatan aktivitas enzim-enzim fotosintetik. Aktivitas enzim fotosintetik pada stroma kloroplas daun yang ternaungi lebih tinggi dibanding daun yang berkembang pada cahaya penuh (Bjorkman dan Demmig-Adams 1995, Salisbury dan Ross 1992).

Intensitas cahaya rendah juga meningkatkan ukuran kloroplas Liquidambar styraciflua L. menjadi lebih besar (Lee et al. 1985), dan terjadi peningkatan tumpukan grana seperti pada Gusmania monostachia (Maxwell et al. 1999). Khumaida (2002) juga melaporkan bahwa genotipe kedelai toleran naungan Pangrango dan B613 mengalami peningkatan volume grana dan butir pati lebih banyak pada kondisi naungan 50%. Peningkatan volume grana berhubungan dengan peningkatan pigmen antena (klorofil a dan b) pada light harvesting complex II (LHC II) dimana proporsi klorofil b meningkat sehingga rasio klorofil a/b semakin rendah (Tanaka et al. 1998,

Hidema et al. 1992). Penurunan rasio klorofil a/b pada kondisi naungan juga ditemukan pada genotipe toleran padi gogo dan kedelai (Khumaida 2002, Sopandie et al. 2003a, Sopandie et al. 2003b).

Perubahan struktur dan bentuk kloroplas daun dewa yang menyerupai kloroplas cahaya 100% pada saat tanaman diekspos ke cahaya langsung (direct sun exposure), disebabkan karena terjadi perubahan adaptasi kloroplas pada cahaya 100%. Respon kloroplas terhadap perubahan intensitas cahaya tergantung pada skala waktu perubahan tersebut. Respon jangka pendek terjadi dalam beberapa detik sampai menit yang melibatkan penyusunan kembali struktur dan fungsi komponen kloroplas. Aklimatisasi jangka panjang terhadap cahaya melibatkan sintesis yang selektif dan degradasi komponen kloroplas untuk menyusun komposisi dan organ fotosintesis (Mohr dan Schopper 1995).

Pertumbuhan daun dewa pada naungan 50% selama 4 bulan juga menghasilkan peningkatan kandungan SOD. Enzim SOD adalah enzim yang berfungsi menghambat O2- sebagai salah satu bentukradikal bebas di samping H2O2 yang menyebabkan kerusakan membran tilakoid pada kloroplas melalui reaksi oksidasi-reduksi (Hideg 1997). Peningkatan total enzim SOD pada daun dewa dalam kondisi naungan mengindikasikan peningkatan penghambatan terhadap aktivitas O2-, sehingga kloroplas tidak terdegradasi. Tanaman yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap aktivitas O2- menghasilkan enzim SOD yang lebih tinggi dari tanaman yang peka (Ismail et al. 2001).

Persentase naungan yang semakin tinggi meningkatkan serapan hara ke jaringan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K dan SO4 tertinggi ke jaringan tanaman diperoleh pada naungan 50% selama 3-4 bulan. Peningkatan serapan hara tersebut disebabkan karena meningkatnya kebutuhan tanaman untuk melangsungkan pertumbuhan. Pertumbuhan tanaman pada kondisi tersebut lebih pesat sehingga memerukan pasokan hara yang lebih banyak. Urnemi et al. (2002) melaporkan bahwa taraf naungan 50 dan 75% meningkatkan respon tanaman daun jinten terhadap pupuk fosfor dan menstimulasi peningkatan kadar kumarat dan vanilat.

Aspek fisiologi lainnya yang dapat menjelaskan pengaruh intensitas cahaya terhadap pertumbuhan tanaman adalah melalui analisis pertumbuhan tanaman, diantaranya adalah pengukuran ILD, RGR, LAR dan NAR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada naungan 50% selama 4 bulan, ILD dan LAR mengalami

peningkatan, tetapi RGR dan NAR menurun. Peningkatan ILD dan LAR dipengaruhi oleh peningkatan luas daun pada naungan 50% selama 4 bulan, tetapi efisiensi setiap luas daun dalam menghasilkan bahan kering tanaman semakin rendah yang menyebabkan penurunan RGR dan NAR. Semakin luas permukaan daun untuk menghasilkan bahan kering tanaman, dinyatakan sebagai daun yang memiliki efisiensi yang rendah dalam menghasilkan bahan kering tanaman (Sitompul dan Guritno 1995). Laju pertumbuhan tanaman meningkat secara linier dengan meningkatnya fotosintesis, dan terjadi penurunan produksi bahan kering per satuan luas daun apabila terjadi pembatasan fotosintesis (Fichtner et al. 1995). Pembatasan fotosintesis diantaranya dipengaruhi oleh saling menutupi diantara daun bagian atas dan daun- daun di bawahnya. Apabila tajuk dibagi ke dalam beberapa bagian, cahaya yang jatuh pada permukaan bawah semakin sedikit jika letak daun dalam bidang vertikal mendekati permukaan tanah, akibatnya laju fotosintesis daun-daun lapisan tajuk bawah akan semakin rendah (Gent 1995).

Berdasarkan perubahan adaptasi morfo-anatomi dan fisiologi daun dewa pada intensitas cahaya rendah yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa tanaman ini lebih toleran pada kondisi naungan dibanding pada intensitas cahaya 100%, dan pada kondisi tersebut menghasilkan pertumbuhan dan peningkatan biomasa yang lebih tinggi. Peningkatan total biomasa akan mempengaruhi peningkatan produksi bioaktif dalam tanaman, khususnya produksi senyawa-senyaawa golongan flavonoid.

Peningkatan bioaktif tanaman di samping dipengaruhi oleh intensitas cahaya, faktor pemupukan juga sangat berpengaruh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada naungan 50% selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman menghasilkan produksi total flavonoid dan kuersetin per tanaman tertinggi dibanding cahaya 100% dan tanpa pemupukan. Produksi antosianin per tanaman tertinggi dihasilkan pada naungan 25% selama 2 bulan dan 2 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman. Peningkatan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin tersebut di samping karena pengaruh cahaya, juga dipengaruhi oleh meningkatnya serapan hara. Berdasarkan data serapan hara ke jaringan tanaman, terjadi peningkatan serapan N pada naungan 50% selama 4 bulan dan dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman, sedangkan K tertinggi diperoleh pada naungan 50% selama 4 bulan tanpa pemupukan. Kandungan P dan SO4 tertinggi dihasilkan pada naungan 50%

selama 3 bulan dan 1 bulan cahaya 100% serta dosis pupuk kandang ayam 100g + SO4 0.8g/tanaman.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peningkatan produksi flavonoid daun dewa asal kultur in vitro secara nyata dipengaruhi oleh periode pencahayaan dan pemupukan. Peningkatan produksi total flavonoid, antosianin dan kuersetin pada periode pencahayaan tersebut, disebabkan oleh pengaruh stres cahaya atau kejutan pada saat tanaman diekspos ke cahaya 100%. Senyawa-senyawa golongan flavonoid dapat mengalami peningkatan karena pengaruh cahaya (Salisbury dan Ross 1992). Cahaya dalam proses fotosintesis akan menghasilkan glukosa-6-fosfat sebagai prekursor pembentukan asetil CoA yang selanjutnya menghasilkan senyawa-senyawa flavonoid termasuk antosianin dan kuersetin (Vickery dan Vickery 1981). Di samping itu peningkatan senyawa flavonoid daun tanaman yang diekspos pada cahaya langsung (direct sun exposure) menunjukkan adanya peningkatan aktivitas enzim flavonone 3-hydroxylase (F3H) yang mengkatalisis hidroksilasi flavonon menjadi dihidroflavonol dan selanjutnya berpengaruh pada biosintesis flavonol, proantosianidin dan antosianin (Bohm 1998).

Pada tanaman Bilberry (Vaccinium myrtillus L.) terjadi peningkatan aktivitas enzim F3H pada daun tanaman yang sebelumnya tumbuh pada kondisi naungan kemudian diekspos pada cahaya langsung. Peningkatan aktivitas enzim F3H tersebut mengindikasikan peningkatan produksi senyawa flavonol (Jaakola 2003). Senyawa kuersetin adalah salah satu golongan senyawa flavonoid turunan dari senyawa flavonol (Vickery dan Vickery 1981). Untuk pengaruh naungan, beberapa penelitian lain yang sudah dilaporkan juga menunjukan adanya pengaruh naungan terhadap kandungan antosianin. Pada tanaman kedelai, kandungan antosianin meningkat pada persentase naungan 50% (Lamuhuria et al. 2006), sedangkan pada beberapa klon daun dewa yang tumbuh pada kondisi 100% cahaya menghasilkan kadar antosianin yang tidak berbeda nyata (Ghulamahdi et al. 2006). Antosianin dalam kondisi naungan diperoleh pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Woodall et al. 1998, Gould et al. 2000). Konsentrasi antosianin pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari penuh (Jackson 1980, Barritt 1997).

Di samping cahaya, pengaruh pemupukan terutama ditentukan oleh serapan hara ke dalam jaringan tanaman. Data serapan hara menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kandungan N, P, K dan SO4 dalam tanaman pada dosis pemupukan yang

berbeda. Unsur hara N, P dan K dalam tanaman secara bersama-sama berperan sebagai unsur penting dalam pembentukan klorofil daun, pembentukan metabolit sekunder dan proses translokasi dalam tanaman (Jones 1998, Malkin dan Niyogi 2000, Marschner 1995). Sulfur dalam bentuk (SO42-) berperan penting pada produksi senyawa-senyawa metabolit sekunder dalam tanaman seperti flavonoid dan terpenoid (Hornok 1992). Sulfur dalam bentuk sulfat (SO4) menstimulasi pembentukan senyawa asetil CoA dan selanjutnya memacu pembentukan senyawa-senyawa metabolit sekunder termasuk golongan senyawa flavonoid (Vickery dan Vickery 1981). Di samping itu aktivitas beberapa enzim kloroplas yang berperan pada metabolisme karbon dan proses fotosintesis lainnya diregulasi oleh S dalam bentuk ikatan disulfida (Buchanan et al. 2000).

Dalam sel-sel akar SO4 terdapat pada vakuola dan plastid kemudian melalui xylem diangkut menuju kloroplas dan sebagian pada vakuola sel-sel mesofil daun. Di kloroplas SO4 membentuk sistein sebagai prekursor pembentukan acetyl CoA (Buchanan et al. 2000, Marshner 1995). Acetyl CoA selanjutnya akan membentuk malonyl CoA dalam proses biosintesis flavonoid (Vickery dan Vickery 1981, Hornok 1992). Kekurangan unsur ini akan menghambat pertumbuhan melalui penghambatan sintesis protein (Ahn 1993, Marshner 1995) dan S dalam bentuk SO42-menghambat sintesis senyawa metabolit sekunder terutama pada golongan flavonoid (Vagujfalvi 1992).

Aspek lainnya yang ikut berperan dalam proses pertumbuhan dan peningkatan kandungan flavonoid daun dewa pada percobaan lapang adalah kondisi iklim terutama intensitas cahaya. Berdasarkan data iklim dan pengukuran intensitas cahaya pada dua periode penelitian lapang (Lampiran 9 dan 10) menunjukkan bahwa kondisi iklim untuk periode Desember-April berbeda dengan periode Juli-Nopember.

Pada periode Desember-April merupakan periode musim hujan sampai menjelang akhir musim hujan yang ditunjukkan oleh jumlah curah hujan, suhu rata- rata harian dan kelembaban relatif yang lebih tinggi dibanding periode Juli-Nopember yang merupakan awal musim kemarau sampai menjelang awal musim hujan. Intensitas cahaya tertinggi pada periode Desember-April diperoleh pada bulan Maret dan April dengan intensitas cahaya tertinggi pada pengukuran pukul 12.30 masing- masing 1533 (x100 lux) pada bulan Maret dan 1525 (x100 lux) pada bulan April. Pada periode Juli-Nopember terjadi peningkatan intensitas cahaya lebih tinggi dibanding periode Desember-April dengan rata-rata intensitas cahaya pada

pengukuran pukul 12.30 masing-masing 1715 (x100 lux) untuk bulan September dan 1682 (x100 lux) untuk bulan Oktober.

Berdasarkan data iklim dan pengukuran intensitas cahaya tersebut, menunjukkan bahwa pada periode dua bulan menjelang panen pada masing-masing periode percobaan terjadi peningkatan intensitas cahaya. Peningkatan intensitas cahaya dua bulan menjelang panen pada percobaan periode Juli-Nopember lebih tinggi dari intensitas cahaya periode percobaan Desember-April. Peningkatan intensitas cahaya tersebut berpengaruh pada pertumbuhan tanaman dan peningkatan produksi flavonoid. Semakin tinggi intensitas cahaya, maka laju transpirasi akan semakin tinggi dan serapan hara dari dalam media tanam juga akan meningkat pada kondisi air tetap tersedia. Peningkatan serapan hara tersebut akan meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produksi flavonoid. Di samping itu pengaruh suhu yang semakin tinggi dengan meningkatnya intensitas cahaya juga akan berpengaruh pada aktivitas enzim-enzim fotosintesis. Sassenrath-Cole dan Pearcy (1994) menjelaskan bahwa aktivitas enzim rubisco sebagai salah satu enzim fotosintesis sangat tergantung pada cahaya. Aktivitas enzim rubisco sebagai enzim yang berperan mengikat CO2 dan RuBP dalam siklus Calvin untuk menghasilkan 3-PGA meningkat sangat cepat apabila tanaman dipindahkan dari intensitas cahaya rendah ke intensitas cahaya tinggi (Taiz dan Zeigher 2002).

Dokumen terkait