• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 MODEL PERENCANAAN KAWASAN PERKEBUNAN TEBU DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR

UMPAN BALIK Proporsi INTI : PLASMA

7 PEMBAHASAN UMUM

Penelitian ini menghasilkan laporan dalam bentuk dokumen ilmiah disertasi. Disertasi ini dimulai dengan melakukan analisis tanah di Kabupaten SBT yang memungkinkan untuk dilakukan pengembangan kawasan perkebunan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis kesesuaian lahan untuk komoditas tebu dengan menggunakan metode matching. Hasil analisis kesesuaian ini akan menghasilkan peta kesesuaian lahan tebu di Kabupaten SBT yang akan menjadi salah satu parameter dalam penentuan prioritas pengembangan kawasan perkebunan. Tahapan kedua adalah membuat areal prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu. Metode yang digunakan dalam tahapan ini adalah integrasi metode MCDM berbasis AHP dengan SIG. Hasil pada tahap ini adalah prioritas areal pengembangan kawasan perkebunan yang terbagi menjadi tiga jenis prioritas. Areal prioritas ini akan menjadi nilai acuan dalam sub model biofisik. Tahapan ketiga atau tahapan akhir adalah membuat model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan di

Kabupaten SBT. Metode dalam tahapan ini menggunakan metode pendekatan sistem (system approach). Model terdiri dari tiga sub model yaitu sub model biofisik, sub model ekonomi, dan sub model sosial tenaga kerja. Pembuatan model dibantu dengan perangkat lunak STELLA ver. 9.0. Analisis kebijakan dibangun berdasarkan perilaku model pada kondisi business as usual, skenario AI, dan skenario AM.

Analisis tanah dilakukan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) pengambilan sampel tanah dengan melakukan survei tanah di lokasi penelitian dengan mengumpulkan 228 sampel tanah yang sebarannya didasarkan atas hasil

desk study, (2) hasil sampel tanah tersebut di analisis pada Laboratorium Balai Penelitian Tanah Bogor, dan (3) hasil analisis laboratorium tersebut kemudian dibandingkan menggunakan metode matching agar dapat dinilai kelas kesesuaian lahan untuk komoditas tebu pada lokasi penelitian. Hasil analisis kesesuaian lahan membagi kelas kesesuaian lahan menjadi 5 kelas yaitu kelas kesesuaian lahan S1 (sesuai), S2 (cukup sesuai), S3 (sesuai marginal), potensial S3 (dapat menjadi S3 dengan beberapa perbaikan), dan N (tidak sesuai). Kelas kesesuaian lahan ini dibuat menjadi peta kesesuaian lahan skala 1 : 50 000 (semi detil) dengan bantuan program ArcGIS versi 10.1 dengan jenis data yang digunakan adalah data vektor. Hasil yang didapat adalah sebagian besar lahan pada lokasi penelitian (89,7% dari 206 235 ha) adalah lahan yang dapat digunakan sebagai kawasan perkebunan tebu. Lahan tersebut terbagi atas kelas kesesuaian S1 (14,9%), S2 (19,2%), S3 (10,6%), potensial S3 (45,1%), dan N (10,3%).

Dalam pembuatan model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan ini data yang digunakan adalah data luasan wilayah pengembangan yang terbagi menjadi tiga jenis prioritas (I, II, dan III). Bagian penelitian selanjutnya menerangkan mengenai pemrioritasan wilayah yang digunakan untuk pengembangan wilayah perkebunan tebu. Pemrioritasan ini dilakukan untuk menentukan pembukaan wilayah yang dilakukan dalam model perencanaan (sub model biofisik). Penelitian bagian ini menghasilkan faktor-faktor yang akan digunakan untuk menentukan prioritas dan luasan pada masing-masing prioritas. Penelitian ini menggunakan metode MCDM berbasis AHP yang diintegrasikan dengan SIG. MCDM dibangun berdasarkan pendapat tenaga ahli (expert) dengan menggunakan pendekatan AHP. Expert dipilih melalui seleksi dan berdasarkan kompetensi keahliannya. Expert yang terdiri dari 3 orang meliputi expert pada bidang tebu, manajemen perkebunan dan pengembangan usaha perkebunan. Survei dilakukan dengan memberikan wawancara yang terdiri dari parameter- parameter dalam pengembangan usaha perkebunan tebu. Pendapat expert tersebut dihitung menggunakan pendekatan AHP menggunakan bantuan software Expert Choice 11. Nilai CR yang dihasilkan adalah 0,04 atau konsistensi masing-masing tenaga ahli dapat dipertanggung jawabkan sehingga hasil pemeringkatan, pembobotan, dan skoring yang dihasilkan dapat digunakan sebagai acuan. Peta prioritas lahan berdasarkan bobot dan skor di atas dibuat dengan menggunakan fasilitas model builder pada perangkat lunak ArcGIS 10.1. Hasil prioritas lahan tersebut kemudian dibandingkan dengan ketersediaan lahan di Kabupaten SBT dan tutupan lahan. Ketersediaan lahan didasarkan atas arahan pengembangan yang termaktub dalam Perda No. 9 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten SBT. Tutupan lahan didasarkan atas interpretasi citra satelit LANDSAT 8 OLI/TIRS tahun 2014. Ketersediaan lahan dan tutupan lahan merupakan faktor pembatas

dalam rencana prioritas penggunaan lahan, hal ini disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal serta peraturan perundang-undangan yang berlaku di tingkat lokal. Hasil prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu ini terbagi menjadi tiga yaitu Prioritas I yaitu sebesar 2 129,1 ha (3,4%), Prioritas II sebesar 21 268 ha (34%), dan Prioritas III sebesar 39 093,4 ha (62,6%).

Langkah terakhir dalam penelitian ini adalah membangun model perencanaan pengembangan kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT. Model terdiri dari tiga sub model yang dibangun yaitu sub model biofisik, sub model ekonomi, dan sub model sosial. Model dibangun dengan menggunakan pendekatan sistem dan menggunakan bantuan perangkat lunak STELLA versi 9.0. Uji validasi terhadap model menghasilkan nilai Root Mean Square Percent Error

(RMSPE) sebesar 3,4%, nilai koefisien Theil U1 sebesar 0,007 dan U1 sebesar 0,041. Hal ini berarti bahwa prediksi yang dilakukan dapat diterima dan model

valid. Untuk dapat menghasilkan kebijakan maka model disimulasikan

berdasarkan skenario-skenario yang dibuat untuk mewakili kepentingan

stakeholders. Simulasi yang dibangun adalah sebagai berikut: (1) Simulasi

pertama yang juga merupakan skenario pertama merupakan kondisi business as

usual, yakni parameter-parameter dipilih berdasarkan kondisi yang berpihak

terhadap investasi dan masyarakat yaitu pola inti : plasma sebesar 80 : 20 (UU No. 39 Tahun 2014), pola pengelolaan perkebunan full mekanisasi, persentase jumlah tenaga kerja lokal maksimal 70% yang terserap di perkebunan inti, nilai kepastian

supply sebesar 80%, dan rentang toleransi BCR sebesar 1-5, (2) Simulasi kedua yang juga merupakan skenario AI merupakan kondisi yakni, parameter-parameter yang dipilih berdasakan kondisi yang berpihak terhadap investasi yaitu pola inti : plasma sebesar 80 : 20 (UU No. 39 Tahun 2014), pola pengelolaan perkebunan

full mekanisasi, persentase jumlah tenaga kerja lokal maksimal 30% yang terserap di perkebunan inti, nilai kepastian supply sebesar 100%, dan rentang toleransi BCR sebesar 3-5, (3) Simulasi ketiga yang juga merupakan skenario AM merupakan kondisi yakni, parameter-parameter yang dipilih berdasarkan pada kondisi yang berpihak terhadap masyarakat yaitu pola inti : plasma sebesar 60 : 40, pola pengelolaan perkebunan manual, persentase jumlah tenaga kerja lokal maksimal 100% yang terserap di perkebunan inti, nilai kepastian supply sebesar 60% dan rentang toleransi BCR sebesar 1-2. Hasil dan perbandingan dari simulasi model diatas disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Perbandingan hasil simulasi pada masing-masing skenario Skenario

Pola Produksi Gula (ton/tahun)

Ekono mi

Sosial

(Peningkatan Pndptn pekerja)

Maks. Min. Rerata BCR Maks. Min. Rerata

Business as usual 819 366 153 393 607 158 1,63 11,5 6,2 7,9 Aspirasi Investasi 833 330 197 107 606 107 5,18 6,7 0,2 2,2 Aspirasi Masyarakat 774 240 185 128 563 307 1,50 15,1 0,2 4,8

Berdasarkan hasil simulasi pada setiap skenario di atas, masing-masing

stakeholder memberikan kontribusi pada besaran nilai yang terjadi. Kebijakan

yang diambil dengan menerapkan win-win solution dapat terjadi pada kondisi

business as usual. Kondisi ini merupakan kondisi yang paling layak dalam

mengakomodasi kepentingan masyarakat dan investasi. Selain itu, untuk kurun waktu 60 tahun, model ini memenuhi status keberlanjutan. Namun apabila terjadi perubahan dalam kurun waktu tersebut maka akan memerlukan revisi terhadap model sehingga simulasi dalam model dapat dipergunakan kembali. Skenario diatas juga memiliki keunggulan dan kelemahan pada penerapannya. Skenario

business as usual memiliki keunggulan dapat mengakomodasi seluruh keinginan

stakeholders (win-win solution) dan pagar sosial yang dibangun memiliki

kekuatan cukup karena baik investasi (perusahaan) sebagai pemain kunci diharapkan dapat bekerjasama dengan masyarakat. Kelemahannya skenario ini adalah minimalnya keuntungan investasi pada kawasan perkebunan dikarenakan rendahnya kemampuan masyarakat dalam pengelolaan kawasan perkebunan. Skenario AI memiliki keunggulan untuk mengakomodasi keinginan investasi (investasi mendapatakan keuntungan yang sangat besar) namun pagar sosial yang terbangun memiliki kelemahan yang besar. Hal ini terjadi karena masyarakat sebagai pemilik lahan hanya dijadikan sebagai tuan tanah tanpa ikut dalam pengelolaan perkebunan. Skenario AM memiliki keunggulan untuk mengakomodasi seluruh keinginan masyarakat dalam pengelolaan kawasan perkebunan sehingga skenario ini menghasilkan pagar sosial yang sangat kuat karena hampr keseluruhan areal perkebunan yang ada merupakan lahan milik masyarakat dan dikelola oleh masyarakat. Kelemahan skenario ini adalah rendahnya keuntungan investasi bila masyarakat sebagai pengelola kawasan perkebunan tidak memiliki kecukupan keahlian dalam pengelolaan tebu sehingga untuk kawasan KTI (dilihat dari kondisi sosial dan masyarakat) bukan merupakan pilihan untuk perusahaan dalam berinvestasi.

Model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan ini merupakan model spesifik yang dapat diterapkan pada kawasan perkebunan yang baru akan dibuka di Kabupaten SBT. Namun penerapan model ini dapat dilakukan pada kawasan-kawasan yang ada pada Provinsi Maluku secara keseluruhan, karena model ini dibangun berdasarkan kondisi eksisting lingkungan dan sosial yang secara spesifik mengacu kepada kondisi eksisting yang ada pada kepulauan Maluku. Model ini dapat diterapkan misalnya pada Pulau Buru (Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan) dan Pulau Seram (Kabupaten Seram Bagian Barat dan Kabupaten Maluku Tengah). Untuk penerapan pada KTI lainnya seperti Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Maluku Utara masih diperlukan kajian mengenai lingkungan, sosial dan ekonomi yang hasilnya akan digunakan untuk menggantikan asumsi-asumsi yang digunakan dalam model perencanaan kawasan perkebunan tebu diatas. Dalam konteks pembangunan KTI (Provinsi Maluku) skenario yang memungkinkan untuk diterapkan adalah skenario business as usual. Skenario tersebut dapat berjalan dengan adanya dukungan dari kondisi sosial ekonomi di Provinsi Maluku. Kondisi sosial yang dimaksud dalam model ini adalah hal yang berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam mengelola sebuah komoditas pertanian sedangkan untuk kondisi ekonomi adalah nilai kebutuhan hidup masyarakat lokal. Namun pada beberapa daerah KTI lainnya seperti Papua dan Papua Barat skenario yang

memungkinkan untuk dilaksanakan adalah skenario AI. Hal ini dikarenakan kondisi sosial masyarakat Papua dan Papua Barat yang relatif tidak menguasai komoditas pertanian dan tingkat kebutuhan hidup yang rendah. Untuk Kawasan Barat Indonesia (KBI) dapat digunakan skenario AM karena kemampuan masyarakat dalam mengelola komoditas pertanian sudah sangat maju dan kebutuhan hidup masyarakat KBI lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat KTI.

Model perencanaan kawasan tebu berkelanjutan ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan program pemerintah untuk melaksanakan swasembada gula nasional. Pada kondisi business as usual kebutuhan gula yang dapat dipenuhi dari kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT adalah berkisar antara 500 ribu ton sampai dengan 800 ribu ton gula atau dapat mengurangi 18 % – 29 % impor gula nasional.

Pengembangan kawasan perkebunan tebu perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat karakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan kawasan perkebunan yang bagian terbesar pelakunya petani plasma adalah bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan hard-step reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar. Koperasi : (a) secara kolektif dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab. Walaupun demikian, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan kawasan perkebunan di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan kebijakan pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian bentuk kebijakan pemerintah tersebut harus ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materi-materi di bidang produksi dan pemasaran.

Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan kawasan perkebunan memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi kawasan perkebunan yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya,

kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan kawasan perkebunan di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU), Kelompok Usaha Bersama Agribisnis (KUBA), Desa Cerdas Teknologi, Lembaga Usaha Lepas Panen Pedesaan (ULP2), Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasi-asosiasi Petani, pemanfaatan tenaga- tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial

(social capital) yang harus terus-menerus didorong sebagai embrio dalam

mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawar petani (plasma) dalam kawasan perkebunan. Mengembangkan kelembagaan- kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan kawasan perkebunan bagi para petani plasma di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemerintah yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat netral dan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang.

Solusi terhadap kelembagaan pada tingkat kebun plasma adalah dengan pendekatan klaster yang mempunyai ciri pusat pertumbuhan industri sejenis yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang dengan baik yang merupakan modal untuk membangun pelaku bisnis kecil di kawasan atau sentra produksi. Dalam kerangka itu penguatan sumberdaya pada dasarnya dapat dilakukan melalui sentra-sentra. Prinsip yang akan dikembangkan adalah menciptakan dinamika klaster dengan memainkan instrumen dukungan finansial dan non-finansial. Dukungan finansial penting karena sentra-sentra tersebut diharapkan menjadi inti kawasan yang terdiri dari kebun plasma yang telah dikembangkan. Persyaratan kebun plasma tersebut adalah arealnya relatif stabil dari waktu ke waktu dan di luar jangkauan kapasitas pabrik gula yang ada atau mengalami kelebihan pasokan bahan baku dapat dikembangkan pengolahan tebu skala kecil yang menjadi pengolahan antara bagi pabrik gula atau industri pengguna langsung lainnya. Pendekatan pengembangan klaster yang dinamis pada dasarnya adalah menjaga dinamika klaster agar tumbuh menjadi pusat pertumbuhan yang melahirkan industri terkait baik hulu maupun di hilir atau pendukung maupun outlet. Untuk menjamin dinamika tersebut, diperlukan dua macam dukungan yaitu yang bersifat non-finansial maupun yang bersifat finansial. Dukungan non-finansial menjadi

sangat penting untuk menjamin dinamika klaster, oleh karena itu setiap sentra seharusnya tersedia layanan pengembangan bisnis bagi pekebun, pengolah dan pelaku usaha kegiatan terkait. Layanan pengembangan bisnis tersebut meliputi konsultasi manajemen, pengembangan teknologi dan jaringan pasar, serta pelatihan. Lembaga Pengembang Bisnis (LPB) juga berperan untuk mendorong kelancaran penyediaan input dan pemasaran dengan memfasilitasi hubungan dengan para pemasok dan pelaku pemasaran. Saat ini, Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah RI telah menginisiasi kelahiran Pusat Layanan Usaha Terpadu (PLUT) diseluruh Provinsi Indonesia sebagai sarana layanan komprehensif bagi pengembangan usaha pelaku koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah. Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (PLUT KUMKM) merupakan Program Pengembangan PLUT- KUMKM yang diharapkan mampu mensinergikan dan mengintegrasikan seluruh potensi sumber daya produktif, yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Daerah serta

Stakehoders terkait dalam rangka penyediaan jasa layanan bagi pengembangan

usaha KUMKM, sehingga fungsi penyedia jasa pengembangan agrobisnis ini juga dapat dilakukan oleh instansi pemerintah seperti balai pelatihan dan lain-lain, tetapi yang terpenting harus ada kontak di kawasan dimaksud. Kegiatan ini juga dapat dilakukan oleh koperasi para petani tebu di kawasan tersebut atau kantor pelayanan koperasi. Untuk menjamin kelancaran kegiatan usaha di kawasan sentra-sentra memang ideal apabila tersedia lembaga keuangan untuk mendukung pembiayaan usaha yang sifatnya khusus dan fleksibel sesuai kebutuhan pengusaha setempat. Pada daerah semacam ini pengalaman keberhasilan lembaga keuangan harus sesuai dengan kondisi pasar setempat dan tingkat persaingannya. Secara garis besar sebenarnya ada mekanisme fungsional dalam pembagian pasar yang dapat dilihat dari segi penyedia kredit dan pengguna dana . Dalam prakteknya perkreditan mikro di kawasan sentra-sentra dapat dikerjakan oleh koperasi simpan pinjam, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun kantor cabang pembantu/unit desa dari bank-bank komersial. Dengan demikian pembiayaan akan terjamin tersedia langsung di pusat sentra. Peranan pembiayaan dari pasar modal dapat menjadi penyedia likuiditas bagi Koperasi simpan Pinjam (KSP)/BPR yang berada di sentra-sentra, dengan demikian gagasan untuk menjadikan kawasan kebun plasmatebu masuk ke dalam pasar modal juga akan mendukung pembiayaan usaha tani melalui koperasi simpan pinjam. Jika sinergi ini terjadi maka dinamika dari klaster kebun plasma tebu akan dapat bergerak cepat. Dalam hal ini berbagai industri yang memanfaatkan produk dari tebu dapat ikut dikembangkan. Pembiayaan dari pasar modal juga memungkinkan tersedianya investasi baru disektor pengolahan untuk mengembangkan produk-produk baru dari tebu selain gula pasir. Dengan cara demikian kebun plasma tebu dapat menjadi prioritas bagi tumbuhnya industri makanan dan minuman di pedesaan. Pengembangan kebun plasma harus menekankan pada orientasi misi untuk memanfaatkan peluang pengembangan produk dari tebu. Pendekatan klaster kebun plasma dapat diperkenalkan dan gagasan untuk mengkaitkan dengan sumber dana dari pasar modal adalah strategi tepat untuk membuat kebun plasma tebu secara komersial yang layak dan dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat lokal.

Dokumen terkait