• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum Officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum Officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku)"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERENCANAAN

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TEBU

(

Saccharum officinarum

) BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR,

PROVINSI MALUKU)

PRIMA JIWA OSLY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2015

Prima Jiwa Osly

(4)

RINGKASAN

PRIMA JIWA OSLY. Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu

(Saccharum officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian

Timur, Provinsi Maluku). Dibimbing oleh WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA dan KUKUH MURTILAKSONO

Pembangunan perekonomian Indonesia berkaitan erat dengan pembangunan pertanian, mengingat Indonesia sampai sekarang masih merupakan negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Pembangunan pertanian dengan pendekatan agroindustri merupakan alternatif pilihan yang perlu dikembangkan, sejalan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan di era globalisasi yang menuntut adanya efisiensi dan efektivitas usaha. Upaya untuk mendukung pembangunan pertanian tersebut adalah melalui pengembangan agroindustri komoditas. Tebu merupakan salah satu komponen penting dalam ekonomi beberapa negara tropis dan subtropis di dunia termasuk Indonesia. Sebagian besar negara yang bergantung kepada tebu merupakan negara berkembang karena gula merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi selain komoditas lainnya. Tanaman ini menyediakan lapangan pekerjaan tidak hanya pada industri hulu (pertanian lapangan) namun juga sampai pada industri hilir (pabrik gula). Komoditas tebu menempati kurang lebih 460 ribu ha lahan di Indonesia dan terdapat 284 500 ha yang merupakan lahan potensial. Pemerintah mencanangkan program pengembangan tanaman tebu untuk swasembada gula. Secara umum, kondisi industri gula nasional paling tidak memiliki tiga masalah utama. Pertama, rendahnya harga gula karena sering terjadi impor gula. Kedua, rendahnya produktivitas akibat teknis agronomi tidak dilakukan dengan sempurna dan ketiga, banyaknya pabrik gula yang tidak efisien.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Desember 2013. Penelitian ini bertujuan : (1) mengetahui kesesuaian lahan tebu di Kabupaten SBT, (2) mengetahui klahan prioritas tnruk kawasan perkebunan tebu di wilayah Kabupaten SBT, dan (3) merumuskan model yang dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengembangan perkebunan tebu di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.

Analisis kesesuaian lahan tebu di Kabupaten SBT dilakukan dengan menggunakan metode matching yang diawali dengan pengambilan sampel tanah pada lokasi penelitian. Langkah selanjutnya adalah melakukan analisis laboratorium untuk melihat karteristik, sifat fisik dan sifat kimia tanah. Hasil kesesuaian lahan pada lokasi penelitian adalah lahan yang memiliki kelas kesesuaian S1 (14,9%), S2 (19,2%), S3 (10,6%), potensial S3 (45,1%) dan N (10,3%).

Identifikasi faktor penentu prioritas dan prioritas lahan dilakukan dengan menggunakan metode Multi Criteria Decision Making (MCDM) berbasis

Analytical Hierarcy Process (AHP) yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi

(5)

lahan. Pemrioritasan pada bagian penelitian ini menghasilkan tiga kelas yaitu prioritas I, II, dan III. Luasan lahan pada masing-masing kelas prioritas adalah Prioritas I sebesar 2 129,1 ha (3,4 %), Prioritas II sebesar 21 268 ha (34 %), dan kelas Prioritas III sebesar 39 093,4 ha (62,6%).

Model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan dibangun dengan pendekatan sistem. Model ini terdiri atas tiga sub model yaitu sub model biofisik, sub model ekonomi, dan sub model sosial. Pemodelan dibangun menggunakan bantuan perangkat lunak STELLA versi 9.0. Model disimulasikan ke dalam tiga skenario yaitu kondisi business as usual, skenario aspirasi investasi (AI), dan skenario aspirasi masyarakat (AM). Masing-masing skenario mewakili kepentingan stakeholder yang terlibat dalam pembangunan model. Simulasi yang dihasilkan dari skenario menjadi acuan dalam pengambilan kebijakan dalam pengelolaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada kondisi business as usual rerata produksi mencapai 96,2 ton/ha, pada skenario AI rerata produksi mencapai 96,4 ton/ha, dan pada skenario AM rerata produksi mencapai 89,7 ton/ha. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa pada kondisi business as usual BCR bernilai 1,63; pada skenario AI BCR bernilai 5,18, dan pada skenario AM BCR bernilai 1,01. Selain itu, hasil simulasi menunjukkan bahwa pada kondisi business as usual rerata peningkatan pendapatan penduduk adalah 7,9 kali dibandingkan dengan pendapatan saat ini, pada skenario AI rerata peningkatan pendapatan penduduk adalah 2,2 kali dibandingkan dengan pendapatan saat ini, dan pada skenario AM rerata peningkatan pendapatan penduduk adalah 4,8 kali dibandingkan dengan pendapatan saat ini.

(6)

SUMMARY

PRIMA JIWA OSLY. Planning Model for Sustainable Agriculture Plantation (Case Study : East Seram Regency, Maluku Province). Supervised by WIDIATMAKA, BAMBANG PRAMUDYA and KUKUH MURTILAKSONO

Indonesia's economic development is closely related to the development of agriculture, considering that Indonesia is still a largely agricultural country whose people are farmers. Agricultural development in agro-industry approach is an alternative option that needs to be developed, in line with the economic and trade development in the era of globalization demands for efficiency and effectiveness of business. Efforts to support the agricultural development is through the development of agroindustrial commodities. Sugarcane is one of the important components in the economy of several tropical and subtropical countries in the world including Indonesia. Most countries are dependent on sugarcane is a developing country where the sugar is one of the commodities that make a major contribution to the economy in addition to other commodities. These plants provide jobs not only in the upstream industry (agriculture field) but also to the downstream industry (sugar mills). Commodities cane occupies approximately 460 thousand hectares of land in Indonesia and there are 284 500 ha which is a potential field. The government launched a program for the development of self-sufficiency in sugar cane crop. In general, the condition of the national sugar industry had at least three major problems. First, the low price of sugar as often happens import sugar. Second, the low productivity due to technical agronomy not done perfectly and the third, the number of sugar mills inefficient.

The experiment was conducted in East Seram Regency (SBT), Maluku province in August 2010 to December 2013. This study aims: (1) analyze the suitability land for sugarcane in the SBT Regency, (2) identify the determinants factors and priority land for sugar cane plantation area in SBT Regency, and (3) Produce a model that can be used to decision support making in spatial planning sugarcane-based commodities SBT Regency.

Sugarcane land suitability analysis in SBT Regency is done by using the matching method that begins with the soil sampling at the study site. The next step is to conduct laboratory analysis to see karteristik, physical properties and chemical properties of the soil. The results of the land suitability study is land that has the suitability class S1 (14.9%), S2 (19.2%), S3 (10.6%), the potential S3 (45.1%), and N (10.3 %).

(7)

Regional planning model for sustainable sugarcane plantation built with systems approach. This model is built on three sub-models are production pattern sub models, economic sub-model and social sub-models. Modeling software using STELLA version 9.0. The model was simulated in three scenarios ie business as usual, an investment aspiration (AI) scenario and a people aspiration (AM) scenario. Each scenario represents the interests of the stakeholders involved in the development of the model. Simulation scenarios resulting from a reference in policy making in the management for sustainable sugarcane plantation area. The simulation results show that the condition of the business as usual average production reached 96,2 tons/ha, in the AI scenario the average production reached 96,4 tons/ha and the AM scenario the average production reached 89,7 tons/ha. The simulation results also show that the condition of the business as usual BCR-value of 1,63; the AI scenario BCR-value 5,18 and the AM scenario BCR-value of 1,01. In addition, the simulation results show that the condition of the business as usual average increase in incomes of the population was 7,9 times compared with current income, the AI scenario the average increase in revenue population is 2,2 times compared with current income and the AM scenario BCR average increase in income population was 4,8 times compared with current income.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

MODEL PERENCANAAN

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN TEBU

(

Saccharum officinarum

) BERKELANJUTAN

(STUDI KASUS KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR,

PROVINSI MALUKU)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr Ir Eriyatno, MSAE Prof. Dr Ir Santun RP Sitorus

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 ini ialah model pengembangan wilayah berbasis perkebunan tebu, dengan judul Model Perencanaan Pengembangan Perkebunan Tebu (Saccharum officinarum) Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Widiatmaka, DAA, Bapak Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, MEng, Bapak Prof. Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MSc selaku pembimbing, serta (alm) Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, MSc yang telah banyak memberikan bimbingan dan sarannya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak M. Dedi Rahadian selaku Direktur PT. Agro Manise Group, Ibu Mahartika Setianingsih, SP dan Ibu Ajeng Trimaharini, SP beserta staf PT. Agro Wahana Bumi, yang telah membantu selama pengumpulan dan analisis data. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Arben Virgota yang telah membantu dalam pembuatan model. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ayah Prof (RIS). Dr Ir Osly Rachman, MS, Ibu Nursahati Osly, SH, Istriku Puspita Sari, ST dan kedua anakku Azumi Sultanica dan Atlas Al-Idrisi serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 10

Manfaat Penelitian 10

Kerangka Pemikiran 10

Kebaruan 12

2 TINJAUAN PUSTAKA 13

3 KONDISI WILAYAH PENELITIAN 16

Kondisi Fisik Wilayah 16

Kondisi Sosial dan Ekonomi 18

Ketersediaan Lahan di Kabupaten Seram Bagian Timur 20 4 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TEBU PADA SKALA SEMI

DETIL DI KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR 22

Pendahuluan 22

Bahan dan Metode 23

Hasil dan Pembahasan 28

Simpulan 32

5 PRIORITAS PENGEMBANGAN KAWASAN PERKEBUNAN TEBU DI

KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR 33

Pendahuluan 33

Bahan dan Metode 35

Hasil dan Pembahasan 37

Simpulan 43

6 MODEL PERENCANAAN KAWASAN PERKEBUNAN TEBU DI

KABUPATEN SERAM BAGIAN TIMUR 43

Pendahuluan 43

Bahan dan Metode 47

Hasil dan Pembahasan 64

Implikasi Kebijakan 82

Simpulan 83

7 PEMBAHASAN UMUM 84

8 SIMPULAN DAN SARAN 91

Simpulan 91

Saran 91

DAFTAR PUSTAKA 92

LAMPIRAN 103

(15)

DAFTAR TABEL

1 Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman tebu 27 2 SPL dan kesesuaian lahan aktual tebu di Kab. SBT 30 3 Kelas kesesuaian aktual lahan tebu berdasarkan faktor pembatas di

Kab. SBT 31

4 Kesesuaian lahan aktual tebu di Kab. SBT 32

5 Hasil pembobotan dan perangkingan parameter untuk penentuan

prioritas lahan 39

6 Hasil pembobotan, skor, dan perangkingan parameter dan sub

parameter untuk penentuan prioritas lahan 39

7 Kelas prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu 40 8 Analisis perbandingan kawasan budidaya dengan prioritas

lahan kawasan perkebunan 41

9 Beberapa indikator kinerja industri gula nasional 50 10 Analisis kebutuhan stakeholders perencanaan kawasan perkebunan

tebu berkelanjutan Kabupaten SBT 52

11 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model biofisik 60 12 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model ekonomi 63 13 Asumsi dan nilai yang dipergunakan pada sub model sosial tenaga

kerja 64

14 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kabupaten

Seram Bagian Timur 1971-2014 67

15 Nilai peubah pada parameter dalam simulasi 74 16 Perbandingan hasil simulasi pada masing-masing skenario 86

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 12

2 Lokasi penelitian Kabupaten Seram Bagian Timur 17 3 Pembagian kawasan budidaya dan non budidaya di Kabupaten SBT 21

4 Peta lokasi pengambilan sampel tanah 25

5 Peta satuan lahan pada Kabupaten Seram Bagian Timur 29 6 Kesesuaian lahan aktual pada Kabupaten Seram Bagian Timur 32 7 Parameter penentuan prioritas pengembangan kawasan

perkebunan tebu di Kabupaten SBT 38

8 Prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu di

Kabupaten SBT 41

9 Peta tutupan lahan di Kabupaten Seram Bagian Timur tahun 2014 42 10 Peta prioritas lahan pengembangan perkebunan tebu di Kab. SBT 43 11 Diagram lingkar sebab akibat model perencanaan pengembangan

perkebunan tebu di Kabupaten SBT 53

12 Diagram lingkar sebab skibat untuk sub model biofisik 54 13 Diagram lingkar sebab akibat untuk sub model ekonomi 56 14 Diagram lingkar sebab akibat untuk sub model sosial 57 15 Diagram input output model dinamis perencanaan kawasan

(16)

16 Diagram alir sub model biofisik perkebunan tebu 60 17 Diagram alir sub model ekonomi perkebunan tebu 62 18 Diagram alir sub model sosial tenaga kerja perkebunan tebu 64

19 Pola produksi tahunan tanaman tebu 66

20 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi pada Kabupaten

Seram Bagian Timur 1971-2014 67

21 Pola produksi tahunan tanaman tebu untuk kebun inti dan plasma

Kab. SBT 69

22 Pola ekonomi perkebunan tebu Kab. SBT 70

23 Pola sosial tenaga kerja perkebunan tebu Kab. SBT 72 24 Pola produksi pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT 75 25 Pola ekonomi pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT 76 26 Pola sosial pada skenario Aspirasi Investasi (AI) Kab. SBT 77 27 Pola produksi pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT 79 28 Pola ekonomi pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT 80 29 Pola sosial pada skenario Aspirasi Masyarakat (AM) Kab. SBT 81

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kesesuaian lahan masing-masing SPL di Kabupaten Seram Bagian 103 2 Hasil analisis contoh tanah pada areal penelitian 104

3 Matriks pairwise comparison 109

4 Pola produksi pada model 116

5 Validasi model 117

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan perekonomian Indonesia berkaitan erat dengan pembangunan pertanian, mengingat Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya adalah petani. Pembangunan pertanian dengan pendekatan agroindustri merupakan alternatif pilihan yang dapat dikembangkan, sejalan dengan perkembangan ekonomi dan perdagangan di era globalisasi yang menuntut adanya efisiensi dan efektivitas usaha. Salah satu upaya untuk mendukung pembangunan pertanian tersebut adalah melalui pengembangan agroindustri komoditas. Produk pertanian dan agroindustri semakin diharapkan perannya dalam pembangunan nasional. Terdapat lima peran yang diharapkan dalam pengembangan pertanian dan agroindustri di Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja, pendorong pemerataan pembangunan, pemacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, dan pendorong pengembangan wilayah. Untuk dapat mengoptimalkan peran tersebut, diperlukan transformasi pembangunan pertanian ke arah agribisnis dan agroindustri sehingga sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Pengembangan produk unggulan agroindustri memerlukan upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing. Untuk itu diperlukan manajemen pengelolaan yang profesional pada seluruh komponen sistem pertanian mulai dari penentuan lokasi berdasarkan kesesuaian lahan yang tepat, pembibitan, budidaya, monitoring, pasca panen, pengolahan, transportasi/distribusi hingga pemasaran. Karena keterbatasan sumberdaya, diperlukan pemrioritasan dalam pengembangan agroindustri sehingga diperoleh hasil yang optimum dari setiap penggunaan sumberdaya. Kriteria yang dapat digunakan dalam penentuan prioritas pengembangan suatu agroindustri antara lain adalah prospek pasar, adanya keunggulan komparatif yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif, serta perannya bagi perekonomian Indonesia sebagai negara agraris. Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan momentum saat ini untuk mulai menggalakkan lagi sektor industri pertaniannya mengingat tingkat kesuburan tanah dan ketersediaan lahannya masih cukup serta didukung pula oleh tenaga kerja yang melimpah.

(18)

nilai tambah yang tinggi, dan memberi tingkat kesejahteraan yang memadai kepada para pelakunya, khususnya petani.

Indonesia pernah mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Saat itu pabrik gula yang beroperasi adalah 179 pabrik gula (PG) dengan rendemen mencapai 11-13,8%. Ekspor gula pernah mencapai sekitar 2,4 juta ton dengan produksi puncak mencapai sekitar 3 juta ton (Sudana et al., 2000 dalam

Susila dan Sinaga, 2005). Pada periode 1991-2001, industri gula Indonesia mulai menghadapi berbagai masalah signifikan. Salah satu indikator masalah industri gula Indonesia adalah kecenderungan volume impor yang terus meningkat dengan laju 16,6% per tahun pada periode tersebut. Hal ini terjadi karena konsumsi terus meningkat dengan laju 2,96% per tahun sedangkan produksi gula dalam negeri menurun dengan laju 3,03% per tahun. Pada lima tahun antara 1997 sampai dengan 2002, produksi gula bahkan mengalami penurunan dengan laju 6,1% per tahun (Susila dan Sinaga, 2005). Degradasi industri pergulaan nasional antara lain disebabkan produktivitas lahan tebu yang terus menyusut, penurunan efisiensi pabrik gula karena berusia tua, serta harga gula yang tidak stabil sehingga melemahkan semangat petani untuk menanam tebu.

Namun sejak tahun 2003 industri dan perdagangan gula Indonesia kembali menggeliat dan mendapatkan angin segar dengan adanya Program Akselerasi Peningkatan Produksi Gula Nasional serta Program Rehabilitasi Pabrik Gula. Implementasi dari strategi tersebut adalah dengan dilakukannya (a) penguatan kemitraan dengan petani besar (pemasok) yang mempunyai jaringan yang kuat dengan petani kecil (pemilik lahan), (b) pengembangan areal utama tebu di lahan historis dan sentra bahan baku dengan optimalisasi masa tanam dan pengelolaan sesuai baku teknis, (c) penyediaan kredit dan sarana produksi tepat sasaran dan (d) upaya penggalian nilai tambah (diversifikasi). Hasil dari program ini adalah produksi gula nasional meningkat dari 1,6 juta ton pada tahun 2003 menjadi 2,25 juta ton pada tahun 2005 dan meningkat lagi menjadi 2,27 juta ton pada tahun 2006. Pada tahun 2008 lalu, produksi gula nasional dari 58 pabrik gula yang ada mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun sebelumnya menjadi 2,78 juta ton. Apabila digabung dengan produksi gula rafinasi yang berbahan baku impor, total produksi gula nasional di tahun 2008 adalah 4,2 juta ton. Jumlah tersebut terdiri atas gula konsumsi sebanyak 2,7 juta ton dan gula rafinasi untuk industri makanan, minuman dan farmasi sebanyak 1,5 juta ton (Susila dan Sinaga, 2005).

Seiring dengan peningkatan populasi penduduk pada tahun-tahun mendatang, permintaan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Menurut Mulyadi et al. (2009), dengan jumlah penduduk kurang lebih 225 juta jiwa dan rata-rata 12 kg gula konsumsi per kapita/tahun, kebutuhan gula untuk konsumsi langsung mencapai 2,7 juta ton dan konsumsi tidak langsung 1,1 juta ton. Tingkat konsumsi gula masih jauh di bawah tingkat kejenuhan yang umumnya telah dicapai negara-negara maju (30-55 kg/kapita/tahun). Dalam analisis pada waktu itu, mulai tahun 2010 diperkirakan kenaikan konsumsi gula rata-rata adalah 3,87% per tahun. Untuk mewujudkan swasembada gula secara penuh, baik untuk rumah tangga maupun untuk industri, pemerintah telah menyusun Road Map Swasembada Gula Nasional Tahun 2010-2014. Salah satu program untuk mencapai swasembada gula tersebut adalah Program Revitalisasi Industri Gula BUMN dan BUMS Tahun 2010-2014. Revitalisasi tersebut meliputi

(19)

gula dan revitalisasi sektor off-farm: rehabilitasi, peningkatan kapasitas giling amalgamasi, peningkatan efisiensi pabrik, dan peningkatan kualitas gula. Disamping itu, juga akan dibangun PG baru, pemberdayaan penelitian dan pengembangan gula dan peningkatan kualitas SDM di bidang industri gula. Namun, sampai dengan penutupan tahun 2014, program ini belum dapat mencapai target yang dicanangkan sehingga berbagai upaya masih perlu dilakukan.

Berbagai usaha untuk meningkatkan produksi gula dan program swasembada gula yang diharapkan tersebut dipicu oleh tekad pemerintah Indonesia dan para pemangku kepentingan di bidang agribisnis dan agroindustri gula untuk membangkitkan industri gula nasional sehingga mampu bersaing di tingkat internasional. Saat ini, Pemerintah telah melakukan program revitalisasi perkebunan tebu, revitalisasi pabrik gula, serta menarik para investor untuk membangun pabrik gula baru terutama di luar Pulau Jawa. Pulau-pulau lain seperti Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Papua memiliki potensi lahan untuk perkebunan tebu seluas 576 000 ha. Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Gula Indonesia (P3GI) (Balitbangtan, 2005), dari seluruh luas potensi-potensi lahan tersebut terdapat 284 500 ha telah dinilai sesuai untuk pengembangan tanaman tebu dengan potensi produksi di atas 65 – 70 ton tebu per ha.

Kawasan Timur Indonesia (KTI) dikenal sebagai kawasan yang kaya akan sumberdaya alam namun menghadapi tantangan pembangunan yang berat dalam hal perbaikan iklim investasi, peningkatan kualitas pelayanan dan penguatan pemerintahan. Keterisolasian secara geografis dan terbatasnya akses pengetahuan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan individu yang berpikiran maju untuk saling belajar dan bekerjasama akibatnya sulit tercipta kerjasama efektif antar para individu dan antar wilayah dalam mencapai tujuan-tujuan pembangunan.

Salah satu daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) yang memiliki potensi sumberdaya lahan yang sesuai untuk pengembangan perkebunan tebu adalah Provinsi Maluku. Provinsi Maluku merupakan suatu wilayah yang dideklarasikan sebagai Provinsi kepulauan sejak tahun 2005. Secara fisiografi Provinsi Maluku merupakan jazirah kepulauan yang terletak pada Sabuk Busur Kepulauan sebagai bagian dari lingkar sirkum Pasifik, yang bergerak dari Provinsi Nusa Tenggara Timur bagian utara sampai ke Provinsi Maluku Utara. Provinsi Maluku memiliki dua buah pulau besar yaitu pulau Seram dan Pulau Buru. Iklim di Maluku dipengaruhi oleh iklim tropis dan iklim musim yang disebabkan oleh kondisi Kepulauan Maluku yang terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi lautan. Pola hujan di Maluku berbeda dengan pola hujan yang terdapat di Indonesia bagian barat, namun secara umum hampir sama dengan di Papua. Hal ini mengindikasikan bahwa kepulauan Maluku memiliki ekosistem yang cocok untuk tanaman tebu. Indikasi kesesuaian lahan untuk tanaman tebu di KTI ini diperkuat dengan asal tanaman tebu (centre of origin) yang telah ada sejak 6 000 tahun sebelum masehi di Kepulauan Papua dan sekitarnya (James, 2004)

(20)

pada daerah berpotensi antara lain di wilayah Indonesia bagian timur yang memenuhi kesesuaian lahan untuk komoditas tebu, secara ekonomi dapat meningkatkan taraf hidup petani, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat setempat dan secara ekologis tidak merusak lingkungan. Dengan menggunakan metodologi sistem yang bersifat holistik maka pengujian terhadap kemampuan penyelesaian berbagai persoalan pembangunan perekonomian daerah termasuk sistem agroindustri dapat dilakukan. Industrialisasi pertanian yang tidak lepas dari upaya peningkatan partisipasi rakyat memerlukan kebijakan publik yang sistematis dan berkeadilan. Oleh sebab itu, untuk menciptakan perkebunan tebu yang memiliki profil seperti di atas, maka perlu dibangun sebuah model perencanaan penataan ruang perkebunan tebu berbasis kesesuaian lahan, sosial, ekonomi, dan keberlanjutan atas tebu sebagai komoditas agroindustri. Dengan model ini diharapkan pembangunan perkebunan tebu dapat diintegrasikan dengan perencanaan industri gula di wilayah setempat dan rekayasa manajemen perkebunan sesuai dengan kondisi wilayah serta kondisi sosial ekonomi setempat.

Perumusan Masalah

Tebu merupakan salah satu komponen penting dalam ekonomi beberapa negara tropis dan subtropis di dunia termasuk Indonesia. Sebagian besar negara yang bergantung kepada tebu merupakan negara berkembang karena gula merupakan salah satu komoditas yang memberikan kontribusi besar bagi ekonomi selain komoditas lainnya (Graham et al., 2005). Tanaman ini menyediakan lapangan pekerjaan tidak hanya pada industri hulu (pertanian lapangan) namun juga sampai pada industri hilir (pabrik gula). Komoditas tebu menempati kurang lebih 460 ribu ha lahan di Indonesia dan terdapat 284 500 ha yang merupakan lahan potensial. Pemerintah mencanangkan program pengembangan tanaman tebu untuk swasembada gula.

Permasalahan yang dihadapi industri gula nasional adalah menurunnya produktivitas tebu terutama di Pulau Jawa. Karena itu, perluasan tanaman tebu di luar Jawa juga sedang dikembangkan sebagai upaya pemenuhan dalam negeri (Jayanto, 2002). Hakim (2010) menjelaskan fakta yang terjadi saat ini, kebutuhan konsumsi terus meningkat sementara produksi gula dalam negeri tidak mencukupi, sehingga impor gula tidak dapat dihindari. Secara umum, kondisi industri gula nasional paling tidak memiliki tiga masalah utama. Pertama, rendahnya harga gula karena sering terjadi impor gula. Kedua, rendahnya produktivitas akibat teknis agronomi tidak dilakukan dengan sempurna dan ketiga, banyaknya pabrik gula yang tidak efisien karena berusia tua. Orgeron (2003)

dalam Hakim (2010), menyataan bahwa tebu dapat menghasilkan gula sebanyak

125-145 ton/ha/tahun. India mencatat produktivitas tebu mencapai 180 ton/ha/tahun setelah menggunakan teknik irigasi, bahkan ada petani yang berhasil memproduksi sampai 220 ton/ha/tahun dibandingkan dengan penanaman konvesional yang hanya menghasilkan 135 ton/ha. Menurut Jintakanon et al.

(21)
(22)

Wajo-Sulawesi Selatan dan Kabupaten Sambas-Kalimantan Selatan. Apabila dibandingkan dengan potensi lahan secara keseluruhan, kawasan areal potensial yang siap dikembangkan untuk industri gula relatif kecil. Selain itu, potensi lahan yang tersedia pada satu hamparan luas sangat terbatas. Sumberdaya lahan ini tentu memiliki karakteristik fisik lingkungan yang memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri untuk pengembangan industri gula baru. Potensi lahan sesuai untuk tebu yang tersedia dengan tingkat aksesibilitas rendah dan situasi pergulaan yang kurang kondusif sering menjadi kendala utama dalam pengembangan industri gula baru. Situasi ini sering menyebabkan para investor kurang tertarik untuk mengembangkan industri gula baru. Oleh karena itu, informasi secara lengkap kondisi fisik lingkungan di areal lahan potensial menjadi penting untuk memberikan gambaran peluang pengembangan. Selain itu dalam rangka mempercepat realisasi pembangunan industri gula di kawasan Indonesia bagian timur, diperlukan dukungan pemerintah (pusat dan daerah) serta masukan teknologi yang handal yang mampu menjamin efisiensi tinggi (Mulyadi et al.,

2009).

Dalam rangka menyambut usaha pemerintah dalam mencanangkan program pengembangan tanaman tebu untuk swasembada gula, pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI telah mencanangkan pengembangan tanaman tebu seluas 300 000 ha.. Upaya ekstensifikasi ini diarahkan ke lahan di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua yang luas areal pertaniannya masih cukup luas dibandingkan Pulau Jawa yang sudah semakin padat. Kementerian Pertanian juga telah menetapkan sepuluh provinsi sebagai basis pengembangan perkebunan tebu dan lokasi pabrik gula baru. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan swasembada gula dan sudah dituangkan dalam lima poin kebijakan pemerintah. Kesepuluh provinsi tersebut adalah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Papua, Maluku, Lampung, Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Setiap provinsi direncanakan memiliki beberapa kawasan yang akan dijadikan sentra perkebunan tebu. Pemerintah memilih lahan pengembangan basis produksi tebu dan gula di luar Jawa karena ketersedian lahannya masih luas. Perluasan lahan tersebut akan dimulai tahun 2016 hingga 2019, serta pembangunan 10 pabrik gula. Penambahan luas area kebun tebu dan penetapan 10 provinsi basis perkebunan tebu di luar Jawa tersebut masuk dalam program pembangunan swasembada pangan untuk tahun 2015-2019 (Siska, 2014).

(23)

pemerintah pusat yang telah dipercayakan langsung kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri belum berjalan sinergis, sehingga dampak pembangunan berjalan lamban di KTI. Kemiskinan dan melambatnya pertumbuhan ekonomi daerah menjadi indikator belum berhasilnya pemerintah. Selain itu, potensi sumber daya yang dikelola oleh pemerintah pusat di KTI sering tidak sejalan dengan kebijakan yang diluncurkan ke daerah. Krisis ekonomi dan pembangunan yang berkepanjangan berpengaruh nyata terhadap pembangunan ekonomi nasional dan regional. Laju pertumbuhan ekonomi menjadi lambat, pendapatan menurun, dan kesempatan kerja terbatas. Hal ini memicu konflik di daerah yang sering terjadi. Realitas ini menunjukkan belum berhasilnya pemerintah pusat memajukan kawasan pembangunan di KTI.

Saat ini pemerintah kembali mencanangkan kebijakan dan strategi ekonomi nasional yang baru dalam bentuk Visi Ekonomi Indonesia 2030, yang disebut sebagai Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI, 2011-2025). Adanya kata perluasan sebenarnya mengisyaratkan semacam pengakuan bahwa memang selama ini terjadi konsentrasi pembangunan ekonomi di tanah air, secara geografis atau wilayah dan mungkin juga secara sektoral (Mony, 2012). Atas dasar permasalahan diatas maka KTI memerlukan kebijakan strategis pemerintah pusat guna memperkuat posisi tawar pembangunan maupun memajukan ekonomi daerah. Dengan melihat fenomena dan dinamika pengembangan kawasan pembangunan ekonomi yang dinamis, maka diperlukan sebuah kajian komprehensif dan desain agenda grand strategy pembangunan untuk menakar pembangunan serta meningkatkan ekonomi di daerah KTI sehingga pembangunan dapat tercipta berdasarkan lokus dan swakelola sumber daya potensi daerah yang berkeadilan dan berkelanjutan (Sustainable

Development).

(24)

rendah pada daerah ini, sehingga ± 80 % lahan yang berpotensi untuk tanaman perkebunan di wilayah Kabupaten SBT tidak ditanami/terbengkalai (Osly et al.,

2012). Kurangnya minat investor pada lahan di Kabupaten SBT juga disebabkan infrastruktur yang kurang memadai. Dengan pecahnya menjadi kabupaten sendiri membuat Kabupaten SBT dapat mengatur sumberdaya alam dan sumberdaya lahan yang tersedia. Keinginan untuk memajukan wilayah Kabupaten SBT terlihat dari RTRW Kabupaten SBT 2008-2028 (Perda No. 9 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten SBT) yang menerapkan strategi untuk mempercepat pembangunan ekonomi wilayah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara peningkatan tersebut adalah dengan pengembangan wilayah yang berbasis sektor unggulan yaitu perkebunan, perikanan dan pertambangan. Beberapa survei tanah telah dilakukan antara lain oleh Pusat Penelitian Tanah pada tahun 1985 yang tertuang dalam laporan akhir Proyek No 50/1985 (Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Tingkat Tinjau Daerah P. Seram bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1996 yang tertuang dalam Laporan Akhir Proyek Nomor 06/PSLA/01.02-A/96 (Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detil Daerah Wahai, Seram Utara, Maluku Tengah, Propinsi Maluku Untuk Pengembangan Perkebunan, Irigasi dan Transmigrasi) memberikan gambaran mengenai kondisi ekosistem wilayah Kabupaten SBT yang sangat cocok untuk tanaman-tanaman perkebunan. Kondisi ekosistem yang digambarkan mirip dengan Papua dan Papua Barat ini mengindikasikan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik di Pulau Seram pada umumnya dan Kabupaten SBT pada khususnya.

(25)

pengamatan atau tingkat survei sumberdaya lahan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan kajian yang lebih mendalam adalah metode Multi

Criteria Decision Making (MCDM). Metode ini mengintegrasikan parameter

biofisik, sosial dan ekonoi secara simultan. MCDM juga merupakan metode pengambilan keputusan untuk menetapkan alternatif terbaik dari sejumlah alternatif berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria biasanya berupa ukuran-ukuran atau aturan-aturan atau standar yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Secara umum dapat dikatakan bahwa MCDM menyeleksi alternatif terbaik dari sejumlah alternatif

Penggunaan pendekatan sistem (system approach) dalam sebuah perencanaan kawasan atau penataan ruang merupakan pendekatan yang mulai sering dilakukan di Indonesia. Lebih dari 50 tahun belakangan di negara maju, metode pemodelan menggunakan sistem (statik maupun dinamik) telah berkembang dengan pesat menjadi sebuah pendekatan yang sangat kuat. Simulasi sebuah model pengambilan kebijakan yang secara eksplisit mempertimbangkan informasi umpan balik yang berinteraksi dalam sistem menjadi sebuah alat yang memiliki kekuatan besar. Kemampuan sistem ini sudah terbukti dalam pengambilan keputusan di dunia industri, sosial, dan keilmuan. Salah satu keuntungan dari model simulasi yang dibangun oleh sistem adalah bahwa model dapat dengan mudah dikomunikasikan kepada khalayak. Model sistem dibangun dan dianalisis menggunakan pendekatan yang mudah dipahami (menggunakan gambar) dengan sedikit banyak mengeliminasi persamaan diferensial dan aspek matematika dalam modelnya (Forrester, 1972; Ford, 1999; Guo et al., 2001). Dengan menambahkan aspek spasial dalam model maka pendekatan sistem dapat digunakan sebagai alat pengambilan keputusan yang dapat divalidasi dalam perencanaan tata ruang kawasan sehingga pengambil kebijakan dapat memutuskan model terbaik bagi sebuah wilayah dan dapat menjamin proses keberlanjutan (Scheffran et al., 2007).

Berdasarkan uraian diatas, disusun rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut :

1. Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) sebagai bagian dari KTI merupakan wilayah yang memiliki potensi untuk pengembangan perkebunan tebu namun belum ada arahan pengembangan perkebunan tebu berdasarkan kondisi edafik pada skala detil yang dapat digunakan untuk pengembangan perkebunan tebu di Kabupaten SBT.

2. Diperlukan penentuan lahan-lahan yang dapat diprioritaskan untuk pengembangan perkebunan tebu

3. Diperlukan sebuah model untuk perencanaan wilayah yang saat ini merupakan suatu hal yang mutlak untuk menghasilkan sebuah pembangunan yang berkelanjutan. Model perencanaan pengembangan perkebunan tebu di Kabupaten SBT perlu dirancang untuk dapat menghasilkan sebuah perencanaan yang komprehensif sehingga status keberlanjutan pembangunan dapat dicapai.

Dari uraian permasalahan di atas, pertanyaan penelitian (research question) yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

(26)

2. Dimana saja lahan yang dapat diprioritaskan dalam pengembangan perkebunan tebu dan berapa luas lahan prioritas untuk kawasan perkebunan tebu di wilayah Kabupaten SBT

3. Bagaimana model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan di wilayah Kabupaten SBT?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan umum untuk merancang sebuah model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan di Indonesia dengan mengambil studi kasus ada Kabupaten SBT yang dapat digunakan sebagai alat penunjang pengambilan keputusan. Adapun tujuan khusus penulis adalah :

1. Menyusun kesesuaian lahan untuk komoditas tebu di Kabupaten Seram Bagian Timur.

2. Menyusun lahan yang dapat diprioritaskan untuk pengembangan perkebunan tebu di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.

3. Merumuskan model yang dapat digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan dalam pengembangan perkebunan tebu di wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain :

1. Memberikan informasi mengenai kondisi fisik, sosial dan ekonomi serta kesesuaian lahan untuk tebu di Kabupaten SBT

2. Memberikan arahan dalam menetukan prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT

3. Mendapatkan model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai alat untuk pengambilan keputusan oleh pemerintah daerah, investor dan masyarakat

Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT). Pendekatan utama dari penelitian ini adalah melakukan identifikasi potensi yang terdapat di lokasi penelitian. Langkah awal penelitian ini adalah melakukan inventarisasi terhadap kondisi agroklimat dan ketersediaan lahan kemudian dilanjutkan dengan pengkajian kesesuaian lahan terhadap komoditas tebu dan usaha-usaha untuk mendukung optimalisasi hasil panen tebu. Pengkajian kesesuaian lahan ini akan menghasilkan sebuah peta kesesuaian lahan untuk komoditas tebu yang akan digunakan sebagai dasar dalam penentuan alokasi ruang optimal untuk komoditas tebu tersebut.

(27)

sosial masyarakat dan kondisi ekonomi daerah, sedangkan faktor eksternal antara lain adalah: kebijakan pemerintah yang relevan, kebutuhan masyarakat akan komoditas tebu, tingkat permintaan pasar, sarana dan prasarana yang mendukung, prospek dari komoditas tersebut, dan kendala-kendala yang akan dihadapi. Dengan memberikan masukan tambahan tentang daya dukung lingkungan, infrastruktur dan lain sebagainya maka akan didapatkan alokasi ruang untuk kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT. Alokasi ruang optimal ini akan menjadi acuan dalam penyusunan pola ruang (penataan ruang) kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT. Pengkajian ini akan menghasilkan lahan-lahan yang menjadi prioritas pengembangan kawasan perkebunan tebu di Kabupaten SBT. Prioritas ini akan menentukan lahan-lahan yang dapat digunakan dan tidak dapat digunakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kondisi sosial masyarakat yang berlaku.

Pertimbangan-pertimbangan dari berbagai aspek di atas tujuannya adalah agar usaha pengembangan kawasan perkebunan tebu berbasis agroindustri di Kabupaten SBT dapat terintegrasi dan mudah diterjemahkan serta diaplikasikan oleh stakeholder di daerah. Stakeholder tersebut diharapkan mempunyai kepekaan dan komitmen yang tinggi untuk dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraaan pekebun dan semua pihak yang terlibat dalam pembangunan kawasan perkebunan. Dinamika dan pola masyarakat KTI (Provinsi Maluku umumnya dan Kabupaten SBT khususnya) berbeda dengan masyarakat Kawasan Barat Indonesia (KBI) sehingga perlu perencanaan yang komprehensif dengan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat tersebut. Kelayakan usaha perkebunan juga memegang peranan penting dalam analisis yang akan dilakukan, karena investasi perkebunan bukan merupakan investasi bernilai kecil. Dengan demikian, dua faktor penting tersebut dapat menentukan status keberlanjutan kawasan perkebunan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan acuan dalam pengembangan wilayah memegang peranan penting dalam sebuah perencanaan kawasan. Peraturan yang terkait menjadi batasan dalam pengelolaan kawasan mulai dari aspek biofisik, aspek ekonomi, dan aspek sosial. Peraturan yang telah dijadikan acuan menjadi landasan perlakuan terhadap lahan, pola ekonomi, dan pola sosial yang ada di masyarakat. Kebijakan investasi dan peraturan perundang-undangan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan karena hubungan antara masing-masing komponen merupakan hubungan check and balance.

(28)

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

Kebaruan

Berdasarkan studi pustaka terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat dikemukan kebaruan (novelty) penelitian ini sebagai berikut :

1. Penelitian ini melakukan identifikasi kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian pada skala semi detil (1 : 50 000) karena perencanaan yang efektif memerlukan data sampai tingkat semi detil. Sampai saat ini, penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten SBT hanya sampai pada tingkat tinjau (Pusat Penelitian Tanah, 1985). Penelitian tanah tingkat semi detil baru dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah dan sekitarnya (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996).

2. Penelitian ini merancang model berbasis penentuan prioritas penggunaan lahan untuk komoditas tebu (metode Multi Criteria

Decision Making (MCDM) berbasis Analytical Hierarcy Process

(AHP) yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan nilai yang didapat digunakan oleh model berdasarkan kondisi biofisik, ekonomi, dan sosial kawasan yang dipilih dan daerah

Kondisi wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur

Ketersediaan Lahan

Biofisik Ekonomi Sosial

Alokasi ruang untuk pengembangan perkebunan tebu

Kebijakan investasi pengembangan Perkebunan Tebu di Kabupaten Seram Bagian Timur

Model perencanaan kawasan perkebunan tebu berkelanjutan

Peraturan

(29)

sekitarnya sehingga dapat dijadikan sebagai alat pengambilan keputusan dalam penerapan kebijakan yang tepat sasaran.

3. Penelitian ini membangun model perencanaan yang dalam beberapa studi literatur dan penelitian yang ada, pendekatan pemodelan sistem di Indonesia masih terfokus pada penggunaan pemodelan untuk pengelolaan sebuah kawasan, pengembangan model kebijakan dan perencanaan pada wilayah kota. Hal ini terlihat antara lain pada penelitian Darmono (2005), Adiatmojo (2008), Wibowo (2008), Nopiyanto (2009), Hamzah (2011), Puspaningsih (2011) dan Rumajomi (2011). Model pada tingkat perencanaan yang disusun dalam penelitian ini menjadi penting untuk pembangunan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari pemerataan pembangunan.

4. Perumusan kebijakan yang dibangun dalam penelitian ini didasarkan pada kondisi sekarang (existing condition) sesuai dengan faktor-faktor yang ditemukan saat ini dengan mempertimbangkan kondisi perubahan yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Pemilihan kebijakan didasarkan atas pilihan logis atas kondisi saat ini yang diinginkan yang menghasilkan peramalan kondisi di masa yang akan datang. Pendekatan ini dikerjakan mengikuti skala perencanaan yang efektif.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bertumpu pada pembangunan ekonomi semata telah menimbulkan dampak negatif terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan. Sebagai gambaran, sektor pertanian yang bertumpu pada potensi sumber daya alam banyak mengalami pengurasan sehingga ketersediaan dan kualitas sumber daya alam makin menurun (Saptana dan Ashari, 2007). Akibatnya, setelah hampir empat dasawarsa pembangunan berlangsung, kondisi pertanian nasional masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain: 1) menurunnya kesuburan dan produktivitas lahan, 2) berkurangnya daya dukung lingkungan, 3) meningkatnya konversi lahan pertanian produktif, 4) meluasnya lahan kritis, 5) meningkatnya pencemaran dan kerusakan lingkungan, 6) menurunnya nilai tukar, penghasilan dan kesejahteraan petani, 7) meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran di pedesaan, dan 8) terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat.

Masalah tersebut muncul karena pembangunan selama ini cenderung bias pada pemacuan pertumbuhan produksi, serta peran pemerintah dan swasta yang sangat dominan. Masyarakat petani hanya berperan sebagai objek, bukan sebagai subjek pembangunan. Sektor pertanian juga tidak lagi ditempatkan sebagai pondasi ekonomi nasional, tetapi hanya sebagai penyangga untuk mensukseskan industrialisasi sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sebagai penyangga, sektor pertanian berperan untuk mendongkrak produksi pangan dalam negeri secara cepat dan tidak berisiko secara politik (Soetrisno, 2001; Suharto, 2005).

(30)

perdagangan (pertanian) dalam skala besar dan dipasarkan ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal (Hazriani, 2011; Setiawan dan Purwadio, 2013). Perkebunan dapat ditanami oleh tanaman keras/industri seperti tebu, kakao, kelapa, dan teh, atau tanaman holtikultura seperti pisang, anggur, atau anggrek. Ukuran luas perkebunan sangat relatif dan tergantung ukuran volume komoditas yang dipasarkannya. Namun demikian, suatu perkebunan memerlukan suatu luas lahan minimum untuk menjaga keuntungan melalui sistem produksi yang diterapkannya. Selain itu, perkebunan selalu menerapkan cara monokultur, paling tidak untuk setiap blok yang ada didalamnya. Penciri lainnya, walaupun tidak selalu demikian, adalah terdapat instalasi pengolahan atau pengemasan terhadap komoditas yang dipanen dilahan perkebunan itu, sebelum produknya dikirim ke pembeli. Usaha sektor perkebunan memegang peranan strategis dalam mendukung perekonomian Indonesia melalui kegiatan ekspor hasil primer perkebunan yang memberikan kontribusi pada negara berupa pemasukan pajak dan dividen, dan secara langsung maupun tidak langsung keberadaan perusahaan perkebunan besar turut serta dalam upaya-upaya pengembangan wilayah yang secara nyata berdampak terhadap kemajuan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial (Soewandita, 2008). Pembangunan perkebunan saat ini dihadapkan pada pergeseran paradigma, baik di lingkungan global maupun domestik khususnya dalam pelaksanaan pengembangan wilayah. Kecenderungan tersebut menuntut jajaran perkebunan untuk dapat menyesuaikan diri, sehingga usaha untuk membangun sistem dan usaha agribisnis perkebunan berkelanjutan dapat dilaksanakan secara optimal

Keberlanjutan menurut Reijntjes et al. (2006) dapat diartikan sebagai

“menjaga agar suatu upaya terus berlangsung”, atau “kemampuan untuk bertahan

dan menjaga agar tidak merosot”. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada

dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan ketersediaan sumber daya. Technical Advisory Committee of The

CGIAR (1988 dalam Reijntjes et al., 2006) menyatakan, pertanian berkelanjutan

(31)

membayar buruh dan biaya produksi lainnya. Keuntungan menurut ukuran ekonomi tidak hanya diukur langsung berdasarkan hasil usaha taninya, tetapi juga berdasarkan fungsi kelestarian sumberdaya dan menekan kemungkinan resiko yang terjadi terhadap lingkungan, (3) Adil menurut pertimbangan sosial, berarti sumberdaya dan tenaga tersebar sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi. Demikian juga setiap petani mempunyai kesempatan yang sama dalam memanfaatkan lahan, memperoleh modal cukup, bantuan teknik dan memasarkan hasil. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam menentukan kebijakan, baik di lapangan maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri, (4) Manusiawi terhadap semua bentuk kehidupan, berarti tanggap terhadap semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia). Prinsip dasar semua bentuk kehidupan adalah saling mengenal dan hubungan kerja sama antar makhluk hidup adalah kebenaran, kejujuran, percaya diri, kerja sama dan saling membantu. Integritas budaya dan agama dari suatu masyarakat perlu dipertahankan dan dilestarikan, dan (5) Mudah diadaptasi (luwes), berarti masyarakat pedesaan atau petani mampu dalam menyesuaikan perubahan kondisi usaha tani, misalnya: pertambahan penduduk, kebijakan dan permintaan pasar. Hal ini tidak hanya berhubungan dengan masalah perkembangan teknologi yang sepadan, tetapi termasuk juga inovasi sosial dan budaya (Anita et al., 2012; Ferreira et al., 2012; Struik et al., 2014)

Untuk menjamin keberlanjutan perkebunan tebu jangka panjang dan lintas generasi perlu dilakukan perencanaan yang dapat mengakomodir seluruh aspek dalam pembangunan berkelanjutan tersebut. Model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan di Kabupaten SBT merupakan model perencanaan yang dibangun atas kebutuhan untuk merencanakan pengembangan sebuah wilayah secara berkelanjutan. Aspek yang dikaji pada penelitian ini meliputi aspek penentuan prioritas pengembangan perkebunan yang diawali dari penyelidikan terhadap kondisi fisik dan lingkungan calon areal perkebunan yang telah diamanatkan oleh Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten SBT tahun 2010-2030. Penelusuran kondisi fisik dan lingkungan Kabupaten SBT ini dilakukan karena tidak tersedianya data-data kondisi fisik dan lingkungan Kabupaten SBT yang dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan kesesuaian lahan. Penelitian ini melakukan identifikasi kesesuaian lahan untuk komoditas tebu pada tingkat skala semi detil (1 : 50 000). Sampai saat ini, penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten SBT hanya sampai pada tingkat tinjau (Pusat Penelitian Tanah, 1985). Penelitian tanah tingkat semi detil baru dilakukan di Kabupaten Maluku Tengah dan sekitarnya (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996). Hasil penelitian ini dijadikan acuan dalam menetukan kelas kesesuaian lahan untuk komoditas tebu pada penentuan prioritas pengembangan perkebunan tebu tersebut.

(32)

pada wilayah kota sedangkan model perencanaan kawasan-kawasan pertanian masih sangat jarang. Hal ini terlihat antara lain pada penelitian Hamzah (2011) yang menekankan pada model pengembangan perkebunan karet dalam kawasan transmigrasi, Puspaningsih (2011) yang menekankan kepada model monitoring kawasan pertambangan, Rumajomi (2011) yang menekankan kepada model pengembangan kebijakan dalam kawasan agropolitan, Adiatmojo (2008) dan Wibowo (2008) yang menekankan pada model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi, Nopiyanto (2009) yang menekankan pada model perencanaan lanskap pada kawasan perkotaan dan Darmono (2005) yang menekankan pada model perencanaan tata ruang perkotaan. Pendekatan pemodelan sistem di negara maju dapat dikatakan lebih maju terutama untuk model perencanaan untuk perkebunan. Hasil tersebut dapat terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Keating et al. (1999) yang membuat model perencanaan untuk memprediksi hasil panen tebu, Keating et al. (2003) yang membuat model untuk sistem pertanian, Paraskevopoulos dan Singels (2013) yang membuat model monitoring air pada perkebunan tebu dan Georgescu et al (2013) yang membuat model ekspansi area perkebunan tebu. Berdasarkan tinjauan hasil penelitian terdahulu maka model pada tingkat perencanaan ini menjadi penting untuk pembangunan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari pemerataan pembangunan. Model perencanaan pengembangan perkebunan tebu berkelanjutan yang mengintegrasikan proses penentuan kesesuaian lahan, penentuan prioritas pengembangan perkebunan yang kemudian menjadi nilai pada model perencanaan menjadi sesuatu model baru dalam sebuah perencanaan wilayah.

Dalam penelitian ini beberapa alat analisis yang digunakan untuk mengetahui kesesuaian lahan dan penetapan lahan prioritas pengembangan adalah

Multi Criteria Decision Making/MCDM (Davidson et al., 1994; Ceballos dan

Lo’pez. 2003; Chen et al., 2008; Marinoni, 2009; Al-Mashreki et al., 2011a;

Al-Mashreki et al., 2011b; Yu et al., 2011a; Yu et al., 2011b; Arunkumar dan Ragunath. 2013) berbasis Analytical Hierarcy Process/AHP (Saaty dan Varga, 1991; Wu, 1998; Sicat et al., 2005; Ohta, 2007; Chen et al., 2010a; Chen et al.,

2010b; Elaalem et al., 2010;) yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografis/SIG (Jankowski dan Retvield, 1990; Carver. 1991; Joerin et al., 2001; Marinoni , 2004; Malczewski, 2006; Chen et al., 2007; Nekhay et al, 2008;

(33)

dengan Laut Arafura, dan di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 2. Luas wilayah Kabupaten Seram Bagian Timur seluruhnya ± 20 656,9 Km2 yang terdiri dari luas laut 14 877,8 Km2 dan luas daratan 5 779,1 Km2 (Sumber: Kabupaten Seram Bagian Timur dalam Angka Tahun 2014).

Gambar 2 Lokasi penelitian Kabupaten Seram Bagian Timur

Kondisi iklim Kabupaten SBT termasuk iklim musim dan iklim laut tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi sepanjang tahun. Terjadinya iklim tersebut karena Kabupaten SBT dikelilingi oleh laut yang luas, sehingga iklim di daerah ini sangat dipengaruhi oleh laut. Data dari stasiun Meteorologi Geser (BMG tahun 2003-2009), menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan tahunan adalah 2 172 mm/tahun. Hari hujan tercatat antara 11 dan 18 hari per bulan dengan rata-rata hari hujan bulanan adalah 15 hari. Kondisi hujan mengindikasi bahwa wilayah Kabupaten SBT termasuk ke dalam zona agroklimat C-1 (Oldeman et al., 1980) dan tipe hujan A (Schmidt dan Fergusson, 1951). Bulan-bulan basah (> 200 mm) terjadi selama 5 bulan dan bulan kering (<100 mm) terjadi selama 1 bulan.

(34)

tersebut mengakibatkan kegiatan pembangunan berstruktur di wilayah utara harus benar-benar mempehatikan kondisi wilayah yang rentan bencana pada kawasan berisiko terhadap bencana gempa bumi (SKSP Migas, 2012).

Kondisi Sosial dan Ekonomi

Pemerintahan

Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) terdiri dari 15 Kecamatan dengan jumlah desa pada tahun 2013 sebanyak 160 desa. Kecamatan yang terdapat di Kabupaten SBT adalah Puau Gorom (terdiri dari 12 desa dan 67 dusun), Wakate (terdiri dari 14 desa dan 32 dusun), Seram Timur (terdiri dari 7 desa dan 36 dusun), Tutuk Tolu (terdiri dari 10 desa dan 29 dusun), Werimana (terdiri dari 10 desa dan 20 dusun), Bula (terdiri dari 10 desa dan 36 dusun), Kilmury (terdiri dari 12 desa dan 23 dusun), Siwalalat (terdiri dari 12 desa dan 20 dusun), Teor (terdiri dari 10 desa dan 13 dusun), Gorom Timur (terdiri dari 17 desa dan 54 dusun), Bula Barat (terdiri dari 11 desa dan 19 dusun), Pulau Panjang (terdiri dari 6 desa dan 6 dusun), Kian Darat (terdiri dari 10 desa dan 16 dusun), Lian Vitu (terdiri dari 10 desa dan 17 dusun), Teluk Waru (terdiri dari 9 desa dan 22 dusun).

Penduduk

Jumlah penduduk di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) pada tahun 2013 sebesar 104 902 jiwa yang terdiri dari laki-laki 53 371 jiwa dan perempuan 51 531 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata sebesar 18,15 jiwa/Km2. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Bula yaitu 15 546 jiwa atau sekitar 15% dari total keseluruhan penduduk. Kepadatan penduduk tertinggi tercatat pada Kecamatan Gorom Timur yaitu sebesar 239,13 jiwa/ Km2 (BPS Kabupaten Seram Bagian Timur, 2014).

(35)

Indikator status kesehatan masyarakat menunjukkan pelayanan kesehatan masih memerlukan upaya pemerataan, perbaikan, maupun peningkatan. Pada tahun 2013 terjadi peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, tercatat jumlah Rumah sakit terdapat sebanyak 1 unit, Puskesmas sebanyak 18 unit, Posyandu sebanyak 191 unit, klinik sebanyak 1 unit, dan Poskesdes sebanyak 4 unit. Selama tahun 2013 penyakit yang paling banyak diidap oleh masyarakat Kabupaten SBT adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), yaitu tercatat sebanyak 10 983 kasus.

Jumlah penduduk miskin di Kab. SBT, berdasarkan data survei Pemkab SBT tahun 2006 tercatat sebanyak 20 766 Rumah Tangga Miskin (62%). Jumlah RTM yang memperoleh bantuan langsung tunai (BLT) sebanyak 6 719 RTM partisipasi angkatan kerja pada tahun 2012 sebesar 61,3% sedangkan tahun 2013 sebesar 59,9%. Sebagian besar penduduknya bekerja di bidang pertanian (BPS Kabupaten Seram Bagian Timur, 2014).

Sumberdaya alam

Di bidang perikanan dan kelautan, potensi lestari sektor perikanan meliputi ikan permukaan (pelagis) dan ikan dasar (demershal) diperkirakan 128 692,2 ton/tahun namun sampai tahun 2005 baru dapat dikelola 9 340,6 ton (7,8%) dengan nilai produksi Rp 13 561 250 000. Disamping itu masih terdapat berbagai potensi kelautan bernilai ekonomis tinggi seperti teripang, lola, cumi-cumi, kepting, udang penaide, dan lain-lain. Di bidang pertanian, luas lahan potensial 131 364 ha. Rincian peruntukan dan pengelolaannya sebagai berikut: Tanaman Pangan dan Hortikultura 27 096 ha (20,6%). Sampai saat ini baru dikelola seluas 9 500 ha (35,1%) dengan jenis komoditas padi, palawija, jagung, kacang tanah, sayur dan buah-buahan.Di bidang peternakan, luas lahan potensial 99 212 ha (75,5%), sampai saat ini baru dikelola 340,13 ha (6,7%) dengan jenis ternak yakni sapi, kambing, ayam ras dan itik. Potensi pertambangan umum meliputi batu bara, emas, tembaga, nikel, krom, kobalt, besi, magnesium, mangan, dan zirconium. Pertambangan Migas meliputi minyak bumi dan nafta (BPS Kabupaten Seram Bagian Timur, 2014).

Transportasi

Hingga tahun 2012, teridentifikasi panjang jaringan jalan negara yang berhasil dibangun 129 Km (dengan rincian diaspal 50 Km dan tanah 79 Km), Jalan propinsi 132,6 Km, sedangkan jalan kabupaten 580,2 km (dengan rincian 58,4 Km diaspal, 50,9 Km tanah, dan 470,9 Km tidak dirinci). Jembatan darat teridentifikasi 188 buah dengan total panjang bentangan kurang lebih 8 562 meter. Sedangkan jembatan darat yang terdapat pada jalan antar wilayah dan lingkar pulau sebanyak 143 unit dengan total panjang bentangan kurang lebih 4 127 meter.

(36)

perusahaan minyak di Bula. Untuk umum diberikan 3 seat setiap penerbangan dengan frekuensi 3 kali seminggu. Untuk itu Pemerintah Kabupaten SBT merencanakan membangun bandara baru dengan panjang landasan pacu kurang lebih 2 000 meter (BPS Kabupaten Seram Bagian Timur, 2014).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Pendapatan Regional Perkapita

PDRB Kabupaten SBT tahun 2013 sesuai hasil penghitungan atas dasar harga yang berlaku sebesar Rp 434 427,48 juta. Kontribusi terbesar diberikan oleh sektor pertanian sebesar Rp 179 345,15 juta, diikuti oleh sektor perdagangan, restoran, dan hotel sebesar Rp 125 069,72 juta. Pendapatan regional per kapita tahun 2013 menurut harga berlaku sebesar Rp 3 878 799 dan telah mengalami kenaikan sebesar 14,8% dari tahun sebelumnya yang hanya Rp 3 377 303 (BPS Kabupaten Seram Bagian Timur, 2014).

Ketersediaan Lahan di Kabupaten Seram Bagian Timur

Penentuan areal/lokasi yang dapat dikelola untuk budidaya di Kabupaten SBT sangat penting. Hal ini menyangkut peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemangku kebijakan daerah. Dalam SK.382/Menhut-II/2004 tentang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) didefinisikan bahwa Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) adalah areal hutan negara yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi menjadi bukan kawasan hutan, sedangkan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan. Kawasan budidaya dibedakan menjadi kawasan budidaya tanaman tahunan dan kawasan budidaya tanaman semusim. Kawasan budidaya tanaman tahunan adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman tahunan, seperti hutan produksi, perkebunan, dan tanaman buah-buahan, sedangkan kawasan budidaya semusim adalah kawasan budidaya yang diusahakan dengan tanaman semusim/setahun, khususnya tanaman pangan (Departemen Kehutanan, 1997 dan Sudaryanto, 2010). Berdasarkan SK MENHUT NO 598/MENHUT-II /1989 areal ini sudah ditetapkan pembagiannya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konservasi (HPK), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW), dan Badan Air (BA) Adapun luasnya adalah, APL seluas 22 241 ha, HL seluas 91 304, HP seluas 24 843 ha, HPK seluas 159 495 ha, HPT seluas 266 989 ha, HSAW seluas 5 ha, dan badan air seluas 288 ha.

(37)
(38)

4 ANALISIS KESESUAIAN LAHAN UNTUK TEBU PADA

SKALA SEMI DETIL DI KABUPATEN SERAM BAGIAN

TIMUR

Pendahuluan

Tebu (saccharum officinarum) adalah tanaman spesies rumput abadi yang berasal dari genus Saccharum. Tanaman ini sesuai tumbuh pada suhu daerah tropis, memiliki batang yang kekar, bersendi, batang berserat yang kaya akan gula, dan memiliki tinggi dua sampai enam meter. Tebu adalah tanaman industri penting bagi daerah subtropis dan tropis (Mnisi dan Dlamini, 2012). Tebu tumbuh di 107 negara dan produsen terbesar dunia adalah Brazil, India, dan Cina yang menyuplai 50% dari kebutuhan dunia. Beberapa negara penghasil gula termasuj Amerika Serikat telah memberlakukan peraturan untuk melindungi industri domestik milik negara tersebut (Abdel-Rahman dan Ahmed, 2008).

Keberhasilan budidaya suatu jenis komoditas tanaman sangat tergantung kepada kultivar tanaman yang ditanam, agroekologis/lingkungan tempat tumbuh tempat melakukan budidaya tanaman dan pengelolaan yang dilakukan oleh petani/pengusaha tani. Khusus mengenai lingkungan tempat tumbuh (agroekologis), walaupun pada dasarnya untuk memenuhi persyaratan tumbuh suatu tanaman dapat direkayasa oleh manusia, namun hal itu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dalam rangka pengembangan suatu komoditas tanaman, pertama kali yang harus dilakukan adalah mengetahui persyaratan tumbuh dari komoditas yang akan dikembangkan kemudian mencari wilayah yang mempunyai kondisi agroekologis/faktor yang relatif sesuai dengan persyaratan tumbuh tersebut. Upaya memanfaatkan lahan bagi pengembangan pertanian membutuhkan informasi mengenai potensi sumber daya tanah. Informasi tersebut penting untuk mengetahui kendala dan alternatif pemecahannya. Evaluasi kesesuaian lahan ditujukan untuk menilai sifat dan menentukan kendala utama serta alternatif pemecahannya dalam upaya meningkatkan produktivitas tanah. Kecenderungan di atas mendorong pemikiran-pemikiran untuk memecahkan permasalahan tersebut. Salah satu pendekatan untuk memecahkan masalah tersebut yaitu melalui kegiatan evaluasi kesesuaian lahan.

Tanaman Tebu merupakan tanaman perkebunan agroindustri yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan hasilnya dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Meningkatnya konsumsi gula dari tahun ke tahun disebabkan oleh bertambahnya penduduk dan peningkatan pendapatannya. Sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor gula dari negara lain. Salah satu usaha untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman tebu di lahan-lahan baru di luar Pulau Jawa dengan memilih kondisi lahan-lahan yang sesuai untuk tanaman tebu dengan faktor pembatas seminimal mungkin.

(39)

penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan. Evaluasi kesesuaian lahan melibatkan karakteristik tanah di daerah tertentu untuk jenis penggunaan lahan tertentu. Informasi yang dikumpulkan dalam survei tanah membantu dalam pengembangan rencana penggunaan lahan melalui evaluasi dan prediksi efek dari penggunaan lahan pada lingkungan (Isitekhale et al., 2014). Informasi ilmiah yang tepat tentang karakteristik tanah, potensi, keterbatasan, dan kebutuhan pengelolaan tanah yang berbeda sangat diperlukan untuk pengembangan sumber daya lahan yang direncanakan untuk mempertahankan produktivitas tanah dan untuk memenuhi tuntutan masa depan. Ketersediaan data sumber daya tanah dapat memberikan wawasan potensi dan keterbatasan tanah untuk pemanfaatan optimal. Data tersebut juga memberikan informasi yang memadai dalam hal bentuk lahan, medan, vegetasi serta karakteristik tanah yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan dan pengembangan sumberdaya lahan (Manchanda et al., 2002). Pemanfaatan sumber daya lahan yang rasional dapat dicapai dengan mengoptimalkan penggunaannya dan memastikan pemanfaatan berkelanjutan (Arunkumar dan Ragunath, 2013).

Evaluasi karakteristik sumber daya lahan dan iklim pada skala 1 : 1 000 000 menghasilkan luas daratan Indonesia 188,2 juta ha. Dari luas tersebut, lahan yang cocok untuk pengembangan pertanian mencapai 100,8 juta ha (Puslitanak, 1997; Mulyani dan Las, 2008). Sementara itu, berdasarkan nilai potensi sumberdaya lahan untuk memproduksi bioenergi beberapa komoditas, terdapat 76 475 451 ha lahan cocok untuk kelapa sawit, kelapa, tebu, jarak, kapas, ubi kayu, dan sagu (Hakim, 2010). Evaluasi lahan dengan menggunakan data sumberdaya tanah dan iklim pada skala eksplorasi juga telah dilakukan untuk tebu.

Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis kesesuaian lahan untuk tebu di Kabupaten SBT ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian lahan untuk tanaman tebu melalui analisis data spasial menggunakan hasil observasi lapangan dan analisis laboratorium sehingga dapat disajikan data dan informasi yang akurat, objektif dan lengkap sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Keputusan penggunaan lahan yang tepat sangat penting untuk mencapai produktivitas optimal tanah dan memastikan kelestarian lingkungan. Hal ini memerlukan manajemen yang efektif dari informasi spasial lahan yang akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan (Osly et al., 2014).

Bahan dan Metode

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Citra satelit, peta-peta, dan data sekunder yang digunakan, yang meliputi:

1. Citra satelit Landsat ETM +7 Band 543 Path/Row 107/62 akuisisi tahun 2008, 2009, dan 2010 (USGS, 2010), interpretasi dilakukan dengan berpedoman pada Peta Rupa Bumi skala 1:50.000 lembar 2713-13, 2713-32, 2712-61 sampai dengan 2712-64, 2812-41 sampai dengan 2812-43, 2712-33 sampai dengan 2712-34 dan 2812-11 sampai dengan 2812-14 (dikumpulkan dari Badan Informasi Geospasial).

Gambar

Gambar 2  Lokasi penelitian Kabupaten Seram Bagian Timur
Gambar 3 Pembagian kawasan budidaya dan non budidaya di Kabupaten SBT
Tabel 1  Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk tanaman tebu
Tabel 2  SPL dan kesesuaian lahan aktual tebu di Kab. SBT
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGAMATAN HAMA PENTING TBNAMAN TEBU (Saccharupl.. ofMcinarum Linn. ) DI KECAMATAN BABAKAN,

Siti Sulastri (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Tebu Pada Lahan Kering di Kecamatan Simo Kabupaten Boyolali Provinsi Jawa Tengah”, bertujuan

Uji Korelasi pada Komponen Produksi Tebu di PTPN II Unit Kwala Bingai Kota Stabat Kabupaten Langkat pada Tanaman Tebu Selama. 5 Tahun

Ruang lingkup penelitian potensi ekonomi di Kabupaten Aceh Tengah mulai perkebunan kopi dan tebu sekaligus mengindentifikasi kluster ekonomi danmenyusun strategi

Evaluasi kesesuaian lahan di Wilayah Pengembangan Tanaman Pangan Kecamatan Wasile Timur bertujuan untuk mengetahui potensi lahan yang sesuai, faktor penghambat lahan

Hal yang melatarbelakangi pemilihan judul tesis: Analisis Kesesuaian Lahan dan Pengembangan Kawasan Perikanan Budidaya di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur ini adalah:

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penerimaan, pendapatan, keuntungan usahatani, serta kelayakan usahatani tebu Saccharum officinarum L di lahan sawah dan lahan kering di Desa

Melindungi area dengan nilai cadangan karbon tinggi hutan alam dan lahan gambut: • Mempertahankan Ekosistem hutan alam di Kawasan Peruntukan Perkebunan seluas640.000 hapada tahun 2030