• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kota Bogor. Pembangunan properti merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan Pembangunan properti merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan

14 TERMINAL DAN SUB TERMINAL 1,51 0,01

5.2. Dampak Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kota Bogor. Pembangunan properti merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan Pembangunan properti merupakan aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan juga Ruang Terbuka Hijau (RTH). Developer yang ingin membangun properti harus mengetahui isi RTRW agar wilayah yang dikembangkan sesuai dengan rencana pembangunan yang dinginkan pemerintah. Kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal, tempat rekreasi, olah raga, maupun tempat belanja, mempengaruhi keputusan developer maupun pemerintah daerah untuk mengembangkan suatu kawasan. Penyediaan fasilitas kota seperti perumahan, pusat belanja, dan fasilitas lainnya yang bertambah banyak akan mengorbankan lahan pertanian.

Menurut Dinas Tata Kota Bogor, perubahan penggunaan lahan dan pembangunan properti yang terjadi di Kota Bogor telah sesuai dengan RTRW. Tabel 5.5. menunjukkan pemanfaatan penggunaan lahan dan penyusutan lahan pertanian di Kota Bogor. Peningkatan jumlah properti dapat dilihat dengan kenaikan persentase penggunaan lahan dalam sektor permukiman dari 69,73 persen pada tahun 1998 menjadi 70,042 persen pada tahun 2003, pusat perbelanjaan modern yang terlihat pada sektor perdagangan dan jasa dengan kenaikan persentase dari 3,06 persen pada tahun 1998 menjadi 6,133 persen pada tahun 2003, dan sektor perkantoran/pemerintahan yang mengalami peningkatan dari 0,72 persen pada tahun 1998 menjadi 0,827 persen pada tahun 2003.

Pembangunan properti, seperti perumahan, pusat belanja, maupun perkantoran yang dibangun meskipun bukan diperuntukkan bagi adanya bangunan properti tersebut namun berada pada kawasan permukiman, perdagangan, dan perkantoran, tetap diperbolehkan.

Tabel 5.5. Penggunaan Lahan Kota Bogor

No Jenis Penggunaan Lahan Tahun 1998 Tahun 2003

Luas (ha) Persentase

(%) Luas (ha) Persentase (%)

1. Permukiman 8.263,15 69,73 8.300,00 70,042 2. TPA Sampah 9,21 0,08 - -3. Kolam Oksidasi 1,50 0,01 1,50 0,013 4. Pertanian 1.190,66 10,05 854,67 7,217 5. Kebun Campuran 98,55 0,83 85,00 0,717 6. Industri 115,03 0,97 115,03 0,971

7. Perdagangan dan Jasa 416,81 3,52 726,80 6,133 8. Perkantoran/Pemerintahan 85,28 0,72 98,00 0,827 9. Hutan Kota 141,50 1,19 141,50 1,194 10. Taman/Lapangan Olahraga 250,48 2,11 250,48 2,114 11. Kuburan 299,28 2,53 299,28 2,526 12. Sungai/situ/danau 342,07 2,89 337,07 2,845 13. Jalan 629,37 5,31 629,37 5,311

14. Terminal dan Sub Terminal

1,51 0,01 2,70 0,023

15. Stasiun Kereta Api 5,60 0,05 5,60 0,047

16. RPH dan Pasar Hewan - - 3,00 0,025

Jumlah 11.850,00 100,00 11.850,00 100,00

Sumber: Dinas Permukiman Kota Bogor, 2008

Pusat perbelanjaan modern, dan perumahan merupakan properti yang mengalami peningkatan dalam presentase penggunaan lahan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah fisik yang mengalami peningkatan.

Saat ini, terdapat ruko-ruko yang digunakan untuk kepentingan perdagangan dan jasa, seperti di Kecamatan Tanah Sareal. Hal ini diperbolehkan karena Kecamatan Tanah Sareal juga merupakan kawasan perdagangan dan jasa, walaupun fungsi utamanya adalah sebagai kawasan perkantoran/pemerintahan.

Tabel.5.6. Jumlah dan Sebaran Perumahan dan Pusat Perbelanjaan di Kota Bogor

Kecamatan Perumahan Pusat perbelanjaan37

Tahun 2005 2008 2005 2008 Bogor timur Bogor tengah Bogor utara Bogor barat Bogor selatan Tanah Sareal 10 4 22 31 13 27 13 4 22 33 13 29 3 5 1 - - 2 3 8 1 1 - 2 Jumlah 107 114 11 15

Sumber: Properti Indonesia, 2008

Tabel 5.7. Fungsi Utama dan Fungsi Kecamatan – Kecamatan Kota Bogor

Kecamatan Fungsi Utama Fungsi Penunjang

Bogor Tengah ƒ Pusat kota satelit

ƒ Pusat perdagangan dan jasa

ƒ Perkantoran/pemerintahan ƒ Permukiman

ƒ Obyek wisata Bogor Selatan ƒ Kota satelit I

ƒ Permukiman ƒ Perdagangan dan jasa ƒ Daerah konservasi Bogor Barat ƒ Kota satelit II

ƒ Permukiman

ƒ Perdagangan dan jasa ƒ Daerah obyek wisata ƒ Daerah konservasi Tanah Sareal ƒ Kota Satelit III

ƒ Perkantoran/Pemerintahan ƒ Permukiman ƒ Perdagangan dan jasa Bogor Utara ƒ Kota satelit IV

ƒ Industri non – polutan

ƒ Permukiman

ƒ Perdagangan dan jasa Bogor Timur ƒ Kota satelit V

ƒ Permukiman ƒ Industri non – polutan ƒ Perdagangan dan jasa Sumber : Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, 2008

Perubahan konsep wilayah terjadi di sepanjang Jl. Pajajaran yang berada di Bogor Timur dan Bogor Tengah. Awalnya, Jl. Pajajaran tersebut merupakan kawasan rumah-rumah dinas pemerintahan kota Bogor telah berubah menjadi factory outlet dan hotel. Perubahan ini diperbolehkan, walaupun Bogor Timur mempunyai fungsi utama sebagai daerah permukiman, namun juga mempunyai fungsi sebagai daerah pusat perdagangan dan jasa seperti Bogor Tengah (Tabel 5.7).

Pada Tabel 5.6. terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah perumahan di kawasan Bogor Timur, Bogor Barat, dan Tanah Sareal. Saat ini, kota Bogor

      

memiliki 15 pusat perbelanjaan dengan adanya Botani Square, Electronic World, dan Taman Topi Square, dan wilayah Bogor Barat yang dapat dilihat dari adanya Giant Taman Yasmin.

Pada Tabel 5.5. terlihat bahwa penurunan lahan pertanian adalah sebesar 335,99 Ha atau sebesar 2,78 persen dari tahun 1998 hingga tahun 2003. Secara tidak langsung, dari Tabel 5.7. Kecamatan Bogor Barat dan Kecamatan Bogor Selatan mengalami penurunan lahan pertanian yang diubah menjadi perumahan. Perumahan Pakuan Regency dan Bogor Nirwana Residence telah mengubah lahan pertanian atau perkebunan milik masyarakat menjadi lahan terbangun. Pembangunan properti walaupun dapat berdampak positif, yaitu meningkatkan kesejahteraan dan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu penurunan lahan pertanian dan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Ketentuan dari Departemen Pekerjaan Umum menerangkan bahwa porsi tersedianya lahan untuk RTH adalah 15m²/penduduk atau minimal 10 persen dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Secara umum, dari 100 persen pembangunan, terdapat 60 persen dari total areal pembangunan yang digunakan untuk kavling efektif dan 40 persen dari areal pembangunan yang terdiri dari 20 persen untuk jalan/infrastruktur, 10 persen untuk taman/tempat terbuka, dan 10 persen untuk fasilitas sosial (fasos) maupun fasilitas umum (fasum)38.

Luas RTH kota hijau merujuk UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2007 tentang RTH di Wilayah Perkotaan       

38 Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2008 terhadap Deri S, Staf Penyusunan Bangunan dan Lingkungan Dinas Tata Kota Bogor, sebagai narasumber untuk mengetahui Presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH). Beliau sering terlibat dalam pembuatan site plan Kota Bogor.

minimal 30 persen dari total luas kota (20 persen RTH publik, 10 persen RTH privat). Kebutuhan RTH pada pusat perbelanjaan modern dan perumahan disesuaikan dengan Koefisien Daerah Hijau (KDH) dan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang telah ditentukan. KDH dan KDB menunjukkan RTH yang harus disediakan developer untuk menjaga keseimbangan ekosistem kota.

Ketentuan KDH sebesar 30 persen dari luas lahan tidak sepenuhnya dipenuhi oleh para kontraktor pusat perbelanjaan modern. Pemenuhan kebutuhan KDH tersebut masih sebatas pada ada tidaknya tanaman pada pusat perbelanjaan modern yang dibangun dengan jumlah berada di bawah ketentuan yang ditetapkan. Secara umum, KDB ditentukan dengan proporsi 60 persen kavling efektif berbanding 40% fasos/fasum. Proporsi tersebut dapat berbeda-beda, 70 persen kavling efektif berbanding 30 persen fasos/fasum, 40 persen kavling efektif berbanding 60 persen fasos/fasum, atau 50 persen kavling efektif berbanding 50 persen fasos/fasum tergantung kesepakatan antara developer dengan pemerintah setempat39.

Adanya penurunan RTH sebagai akibat dari adanya pembangun properti dalam bentuk peralihan penggunaan lahan akan menyebabkan berkurangnya daerah resapan air yang dapat berpotensi mendatangkan banjir. Banjir yang terjadi pada tahun 2007 di sebagian wilayah Jakarta dan sebagian daerah pinggiran sungai di Bogor merupakan salah satu akibat dari adanya penurunan RTH. Adanya RTH selain sebagai resapan air juga dapat berfungsi untuk mengatasi kebisingan, menyerap udara panas, dan menyerap polusi. Penurunan RTH yang berlangsung secara kontinu dalam jangka panjang akan mendatangkan kerugian

       39 Ibid. 

yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat kota Bogor tetapi juga daerah lainnya, seperti Jakarta, yang terkena banjir.

Lokasi juga merupakan faktor penting dalam pembangunan properti selain lahan dan dampak penurunan RTH. Pusat perbelanjaan modern harus berada pada lokasi yang berada pada jalan utama sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat dan dekat dengan terminal atau berada pada jalur pelayanan (trayek) angkutan umum. Properti yang lebih menimbulkan masalah terhadap tata ruang kota Bogor adalah pusat perbelanjaan modern. Hal ini diakibatkan oleh jarak antara pusat perbelanjaan modern yang satu dengan yang lainnya berdekatan sehingga menimbulkan kurangnya kenyamanan berlalu lintas akibat kemacetan dan sepinya pengunjung di pusat perbelanjaan lainnya yang berakibat pada menurunnya omset penjualan produk pusat perbelanjaan tersebut. Pusat perbelanjaan modern yang berada pada jalan utama mengakibatkan volume kendaraan menjadi semakin bertambah dan menimbulkan kemacetan. Hal ini dapat diakibatkan oleh angkutan umum yang berhenti untuk menurunkan, menunggu, dan menaikkan penumpang di kawasan pusat perbelanjaan modern tersebut. Sepinya pusat perbelanjaan modern diakibatkan oleh sifat masyarakat yang menyukai hal baru sehingga masyarakat akan datang ke pusat perbelanjaan yang baru dibuka. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih pada tahun 2007 bahwa lokasi pusat perbelanjaan modern yang berdekatan menimbulkan kemacetan, penurunan omset, dan persaingan usaha yang sangat ketat.

5.3. Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan Masyarakat