• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR OLEH NINDYA RASMI M H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR OLEH NINDYA RASMI M H"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

OLEH NINDYA RASMI M

H14104113

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(2)

NINDYA RASMI M. Dampak Pembangunan Properti Terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Kota Bogor (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI)

Kenaikan jumlah penduduk dapat diakibatkan oleh migrasi. Faktor penarik yang dimiliki oleh sebuah kota, seperti tersedianya lapangan pekerjaan, tersedianya fasilitas umum, maupun akses yang mudah pada transportasi, akan mempengaruhi keputusan masyarakat untuk melakukan migrasi. Kota Bogor adalah salah satu kota yang menjadi tujuan masyarakat untuk bermigrasi. Kenaikan jumlah penduduk kota Bogor akibat migrasi tersebut akan mengakibatkan adanya perubahan pemanfaatan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun (bangunan properti) untuk menyediakan fasilitas terhadap masyarakat, seperti perumahan, pusat perbelanjaan modern, dll. Walaupun properti-properti tersebut dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak, namun juga memiliki dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Lahan yang menjadi sumber daya masyarakat untuk mendapatkan penghasilan akan dibeli developer dan membuat masyarakat mengalami penurunan penghasilan dan dapat mengakibatkan kehilangan mata pencaharian. Dalam pembangunan properti tersebut, developer besar akan memanfaatkan kekuatan hukum berupa perizinan untuk menekan masyarakat menerima ganti rugi di bawah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis mekanisme perburuan rente dalam pembangunan properti, menganalisis dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan properti yang dapat dilihat dari tata kota dan juga kesejahteraan masyarakat kota Bogor. Diharapkan, penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat sebagai informasi sehingga masyarakat dapat lebih memperhatikan status lahan dan mengikuti perkembangan harga pasar lahan agar masyarakat setidaknya dapat menerima harga sesuai dengan NJOP. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menjadi rujukan untuk topik yang serupa.

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif dengan data primer dan sekunder. Data primer dilakukan dengan wawancara mendalam kepada informan, seperti akademisi, developer, maupun wartawan dengan teknik snowballing sampling. Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga pembebasan lahan dengan harga penjualan lahan, sedangkan untuk mengetahui besaran keuntungan developer dilakukan perhitungan dengan rumus Π = TR – TC, TR adalah pendapatan total dan TC adalah biaya total. Data sekunder didapat dari Badan Pertanhan Nasional (BPN), Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta dan Kota Bogor, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor, Pemerintah Kota Bogor, Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, internet, buku – buku, maupun karya tulis – karya tulis ilmiah dalam bentuk table, tulisan, maupun data statistik.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembangunan properti mewah, terjadi mekanisme perburuan rente. Sebelum melakukan pembangunan properti, terdapat tahapan yang panjang sehingga membutuhkan waktu, biaya dan tenaga

(3)

memanfaatkan izin yang diberikan oleh pemerintah untuk menekan masyarakat mengenai harga jual-beli lahan pada saat pembebasan lahan. Biaya transaksi yang dikeluarkan oleh developer akan menambah biaya investasi sehingga akan meningkatkan harga penjualan lahan atau property yang dilakukan oleh developer. Akhirnya, developer akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar (supernormal profit) namun masyarakat mendapatkan kerugian. Masyarakat akan kehilangan lahan, ganti rugi yang tidak sesuai (di bawah NJOP), dan dapat menurunkan kesejahteraan.

Tidak hanya menurunkan kesejahteraan, pembangunan properti juga dapat mengakibatkan penurunan Ruang Terbuka Hijau. Lokasi pusat perbelanjaan antara yang satu dengan yang lainnya dapat menyebabkan kemacetan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan masyarakat.

Pada hasil penelitian juga ditemukan bahwa, kehilangan lahan akibat pembebasan lahan dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan masyarakat. Kehilangan lahan tersebut akan mengakibatkan masyarakat kehilangan mata pencaharian. Keadaan masyarakat ini, termasuk kemiskinan struktural karena ditandai dengan hilangnya aset milik masyarakat berupa lahan akibat keputusan pemerintah untuk membangun properti.

Pembangunan properti, walaupun dapat menyerap tenaga kerja dan memberikan kontribusi melalui pajak terhadap PAD, ternyata dapat memberikan dampak negatif terhadap masyarakat Kota Bogor. Saran yang dapat diberikan adalah diharapkan pembangunan properti lebih memperhatikan kepentingan masyarakat, dengan melakukan pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RSH) sehingga dapat meminimalisir kerugian masyarakat. Terbukti bahwa pembangunan RSH tidak menyebabkan penurunan kesadaran hukum bagi developer dan oknum – oknum pejabat pemerintahan, serta tidak terjadi supernormal profit yang menunjukkan adanya eksistensi preman untuk menekan masyarakat.

(4)

DAMPAK PEMBANGUNAN PROPERTI TERHADAP

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI KOTA BOGOR

Oleh

NINDYA RASMI M H14104113

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Nindya Rasmi M

Nomor Registrasi Pokok : H14104113 Program Studi : Ilmu Ekonomi

Judul Skripsi : Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Kota Bogor dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. H. Didin S. Damanhuri, M.S. DEA NIP.131 404 217

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Rina Oktaviani, Ph.D. NIP.137 846 872

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Februari 2009

Nindya Rasmi M H14104113

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nindya Rasmi M. lahir di Cideng, Jakarta Pusat pada tanggal 17 April 1986. Penulis merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara, dari pasangan Luhur Hartono dan Iin Indriaty S. Penulis mengenyam pendidikan dengan berpindah-pindah mengikuti tugas orang tua. Pendidikan penulis dimulai dari TK Yasri, SD Negeri Cideng 02 Pagi Jakarta Pusat (1990-1995), SD Panjang Wetan 1 Pekalongan(1995-1997), dan SD Pengadilan 3 Bogor (1997-1998). Pada tahun yang sama (1998), penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi ke SMA Negeri 7 Bogor (2001-2002) dan SMA 10 Yogyakarta (2002-2004).

Setelah lulus SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB dan diterima sebagi mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dua organisasi, yaitu Agria Swara menjadi staf Kesekretariatan dan BEM FEM menjadi staf Departemen Komunikasi dan Informasi. Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan dan seminar, di antaranya panitia Banking Goes To Campus, Turnamen Invitasi Basket, dan kepanitiaan acara BEM lainnya.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan Masyarakat di Kota Bogor”. Pembangunan properti mengalami kemajuan yang relatif pesat yang dapat ditandai dengan dibangunnya perumahan-perumahan, dan pusat perbelanjaan modern baru di kota Bogor ini. Pembangunan properti ini dapat berdampak negatif sehingga membuat penulis tertarik untuk menelitinya. Skripsi ini juga merupakan salah syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada :

1. Kedua orang tua Luhur Hartono dan Iin Indriaty S., juga kepada kedua kakak penulis Hidzrah Arief Wibowo dan Teguh Yudhaninglogo, atas doa, dan semangat yang tidak henti-hentinya diberikan kepada penulis.

2. Prof. Dr. Ir. H. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., DEA atas bimbingannya secara teknis dan teoritis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, M.S., yang telah menguji hasil karya ini dan memberikan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini, dan kepada Widyastutik, M.Si., yang telah memberikan informasi mengenai tata cara penulisan skripsi ini.

4. Bapak Suradi, Bapak Deri, dan Ibu Hilda yang telah memberikan bantuan berupa informasi – informasi yang dibutuhkan dalam mengerjakan skripsi ini.

5. Teman – teman satu bimbingan, Meda, Tatu, dan Deni atas doa dan semangatnya.

6. Teman – teman dekat dan sepermainan penulis, Dwita, Laswati, dan Sundari atas bantuan doa dan semangatnya.

7. Yudi, Rihar, Fandy, Saiful, Sera, dan Tri atas semangat dan doanya. 8. Badan pemerintahan, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat Jakarta dan

(9)

Sosial Pemerintah Kota Bogor, Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, dan pihak – pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2009

Nindya Rasmi M H14104113

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL………

DAFTAR GAMBAR………

DAFTAR LAMPIRAN………

I. PENDAHULUAN………...

1.1. Latar Belakang………..

1.2. Perumusan Masalah………..

1.3. Tujuan Penelitian………..

1.4. Manfaat Penelitian………

1.5. Ruang Lingkup Penelitian………

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN………...

2.1. Teori Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Wilayah……….

2.2. Penggunaan Lahan dan Konversi Lahan………..

2.3. Pembangunan Properti………..

2.3.1. Definisi dan Konsep Properti………..

2.3.2. Teori Aktivitas Ekonomi Perburuan Rente ………

2.3.3. Teori Ekonomi Biaya Transaksi………..

2.4. Definisi dan Konsep Tata Ruang dan Penataan Ruang………

2.5. Teori Kemiskinan……….

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu………...

2.7. Kerangka Pemikiran……….

III. METODOLOGI PENELITIAN………..

3.1. Wilayah dan Waktu Penelitian……….

3.2. Jenis dan Sumber Data……….

3.3. Metode Analisis………

3.3.1. Mekanisme Perburuan Rente dalam Pembangunan Properti

3.3.1.1. Analisis Korelasi Rank Spearman………

xii

xiii

xiv

1

1

5

6

7

7

8

8

12

16

16

17

19

21

23

29

32

35

35

35

36

36

38

(11)

3.3.1.2. Estimasi Keuntungan Developer………..

3.3.2. Dampak Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kota.

3.3.3. Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan

Masyarakat di Kota Bogor………..

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH………

4.1. Kondisi Geografis dan Administratif………...

4.2. Kependudukan………..

4.3. Perekonomian………...

4.4. Perkembangan Properti Kota Bogor……….

V. HASIL DAN PEMBAHASAN………...

5.1. Mekanisme Perburuan Rente dalam Pembangunan Properti……..

5.2. Dampak Pembangunan Properti terhadap Tata Ruang Kota……...

5.3. Dampak Pembangunan Properti terhadap Kesejahteraan

Masyarakat di Kota Bogor………

VI. KESIMPULAN DAN SARAN………...

6.1. Kesimpulan………...

6.2. Saran……….

DAFTAR PUSTAKA………..

LAMPIRAN……….

39

40

40

42

42

43

43

46

49

49

57

63

72

72

73

75

77

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

2.1. Penggunaan Lahan di Kota Bogor……… 23

4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2001 – 2005……… 44

4.2. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2001 – 2006 (persen)……….. 45

4.3. Distribusi Presentase PDRB Kota Bogor menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2001 – 2005………. 45

4.4. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kota Bogor Tahun 2005– 2006……….. 46

4.5 Jumlah dan Sebaran Perumahan dan Pusat Perbelanjaan di Kota Bogor tahun 2005……….. 47

5.1. Transaction Cost dalam Pembangunan Properti……….... 53

5.2. Rekapitulasi Bidang Tanah Bersertifikat di Kota Bogor……… 54

5.3. Profit Developer dari Penjualan Lahan……….. 55

5.4. Profit Developer dalam Perumahan………... 56

5.5. Penggunaan Lahan Kota Bogor………. 58

5.6. Jumlah dan Sebaran Perumahan dan Pusat Perbelanjaan di Kota Bogor Tahun 2005-2008... 59

5.7. Fungsi Utama dan Fungsi Kecamatan – Kecamatan Kota Bogor…….. 59

5.8. Harga Pembebasan Lahan Wilayah Tanah Baru………. 64

5.9. Kasus di Kota Bogor Pada Saat Pembebasan Lahan Untuk Perumahan... 67

5.10. Kerugian Masyarakat Bojongkerta………. 67

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kerangka Pemikiran………. 34

2. Persentase transaction cost di Kota Bogor………... 52

3. Status lahan Kota Bogor………... 54

4. Perkembangan harga pasar lahan di Kota Bogor…………... 64

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Transaction Cost………... 78

2. Status Lahan……….. 78

3. Harga Pembebasan dan Penjualan Lahan di Kota Bogor... 79

4. Hasil perhitungan Rank Spearman……… 80

5. Estimasi perhitungan keuntungan perumahan……… 80

6. Daftar Pengembang……… 81

7. Daftar Informan/Narasumber………. 82  

(15)

1.1. Latar Belakang

Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Salah satu bentuk dari migrasi adalah urbanisasi. Adanya urbanisasi mengakibatkan penduduk kota yang dituju menjadi bertambah. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi perpindahan penduduk ke daerah lain, yaitu faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Yang menjadi faktor pendorong adalah keadaan daerah asal, seperti sudah tidak tersedia lapangan pekerjaan, sedangkan faktor penariknya berasal dari kota yang dituju. Kota tersebut memiliki lapangan pekerjaan yang lebih beragam, banyak fasilitas umum atau fasilitas sosial (sarana kesehatan, pendidikan, keuangan, dan lain-lain), juga tempat rekreasi/wisata. Salah satu kota yang memiliki faktor penarik (pull factor) untuk melakukan urbanisasi adalah Bogor.

Kota Bogor merupakan salah satu hinterland Jakarta. Jarak antara kedua kota tersebut tidak jauh dan dapat dijangkau oleh alat transportasi darat yang telah tersedia. Lagipula, kota Bogor juga dekat dengan kawasan wisata, seperti Puncak. Kebun Raya Bogor juga dapat dijadikan tempat wisata sekaligus menambah pengetahuan mengenai sejarah Bogor maupun pengetahuan mengenai tumbuh – tumbuhan. Iklim dan topografi kota Bogor mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan Jakarta atau daerah hinterland lainnya. Udaranya pun sejuk dengan curah hujan yang tinggi dan topografinya berbukit-bukit. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk menjadi komuter, bekerja di Jakarta dan memilih memiliki rumah di Bogor.

(16)

Kota Bogor juga memiliki fasilitas umum dan sosial yang dapat menjangkau semua kalangan masyarakat, baik menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Untuk sarana kesehatan, terdapat RS Salak, PMI, untuk kalangan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, sedangkan untuk menengah ke atas, terdapat RS Azra, RS Islam Bogor, dan Hermina, dan untuk masyarakat kelas atas terdapat Bogor Medical Centre (BMC). Selain sarana kesehatan, kota Bogor juga menjadi salah satu tempat perguruan tinggi negeri di Indonesia, yaitu IPB. Selain itu, terdapat pendidikan formal dan non formal di Kota Bogor. Kota Bogor juga memiliki beberapa pusat perbelanjaan modern, diantaranya adalah Botani Square, Ekalokasari Plaza, Bogor Trade Mall (BTM), Plaza Indah Bogor, Pangrango Plaza, dan lain – lain. Lapangan pekerjaannya pun tersedia, dari petani, supir angkutan, sampai karyawan sebuah perusahaan.

Tidak hanya lapangan pekerjaan, pusat belanja, topografi, dan fasilitas umum/sosial, dan akses yang mudah untuk mencapai kota – kota lainnya, faktor infrastuktur juga menjadi faktor penarik. Contohnya, jalan yang lebar dan beraspal sehingga memudahkan masyarakat untuk menggunakan jalan tersebut.

Dengan demikian, penduduk di kota Bogor akan semakin padat. Pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005, penduduk Kota Bogor meningkat sebesar 94.756 jiwa dari 760.329 jiwa menjadi 855.085 jiwa (BPS, 2006). Terdapat peningkatan penduduk di Kota Bogor baik karena adanya migrasi maupun kelahiran. Pertambahan jumlah penduduk tersebut mengindikasikan perlunya fasilitas masyarakat yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya.

Dengan adanya pertambahan penduduk akibat faktor penarik kota Bogor ini mengakibatkan tingkat demand terhadap properti seperti perumahan

(17)

mengalami peningkatan. Walaupun transaksi jual beli perumahan sempat mengalami penurunan pada tahun 2006 akibat adanya kenaikan harga BBM di akhir tahun 2005, namun adanya penurunan suku bunga Bank Indonesia di tahun 2007 dapat meningkatkan daya beli masyarakat terhadap perumahan1. Penurunan suku bunga BI akan menurunkan suku bunga KPR sehingga masyarakat akan diuntungkan. Hal ini dilihat jeli oleh pengembang sebagai kesempatan untuk menaikkan keuntungan. Selain itu, para pengembang juga membangun properti lainnya, seperti pusat-pusat perbelanjaan, ruko, lapangan golf, dan properti lainnya.

Pembangunan properti merupakan salah satu bentuk perubahan penggunaan lahan. Lahan-lahan yang tersedia dimanfaatkan dengan mendirikan perumahan, pusat-pusat perbelanjaan, dan bentuk properti lainnya. Dengan adanya bangunan – bangunan properti tersebut, dampak positif yang dapat terjadi adalah properti menjadi multiplier effect karena dapat menyediakan lapangan pekerjaan dan menyerap tenaga kerja, menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Bogor melalui sektor bangunan, dan menyediakan fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat. Sektor Bangunan/Konstruksi selama 5 tahun terakhir (2001-2005) memberikan kontribusi rata-rata 7,73 persen terhadap PDRB Kota Bogor, dengan laju pertumbuhan rata-rata 3,94 persen. Sub Sektor Bangunan/Konstruksi mencakup kegiatan pembangunan fisik (konstruksi), baik yang digunakan sebagai tempat tinggal (pemukiman) atau sarana lainnya yang dilakukan oleh perusahaan konstruksi maupun perorangan.

       1

Bogor dan Depok Pemasok Terbesar Perumahan Baru di Jabodetabek www.republika.co.id

(18)

Dampak negatif dari pembangunan properti adalah hilangnya sebagian harta tetap (tanah) yang dimiliki oleh masyarakat akibat transaksi jual beli lahan antara developer dan masyarakat. Walaupun dapat mendatangkan penghasilan bagi masyarakat akibat adanya penjualan lahan, pembangunan properti dapat memiskinkan masyarakat. Proses pemiskinan tidak hanya terjadi akibat adanya pembebasan lahan dan penurunan pendapatan yang dialami oleh masyarakat, tetapi juga diakibatkan oleh pembangunan properti yang tidak sesuai dengan tata ruang, dan adanya penurunan penegakan hukum.

Pembangunannya harus sesuai dengan rencana tata ruang kota. Apabila pembangunannya tidak sesuai dengan rencana atau RTRW maka dapat mengakibatkan masalah di kemudian hari. Pemerintah Daerah (Pemda) yang tidak mempunyai tata ruang kota yang pasti akan membuat tata ruang tersebut dilakukan seperti yang diinginkan oleh pengembang secara sepihak. Salah satu akibat yang dapat ditimbulkan adalah tidak memadainya saluran air (drainase) kota. Saluran air yang tidak memadai akan mengakibatkan air hujan tidak tertampung dan mengalir dengan baik. Hal ini akan mengakibatkan banjir dan kerusakan pada jalan raya. Kemacetan pun dapat terjadi akibat lokasi bangunan properti yang berdekatan. Hal ini juga diakibatkan oleh kendaraan angkutan umum yang menunggu penumpang di depan bangunan properti tersebut. Selain itu, dapat membuat masyarakat menjadi konsumen terus menerus dengan banyaknya mall, dan pusat perbelanjaan lainnya (konsumtif). Hal ini juga dapat dikategorikan sebagai pemiskinan masyarakat. Jadi, pemiskinan yang terjadi tidak hanya dilihat dari hilangnya sumber daya lahan atau faktor kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Pemiskinan juga terjadi pada perilaku masyarakat.

(19)

1.2. Perumusan Masalah

Lahan merupakan sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau penduduk suatu wilayah. Lahan tersebut dapat digunakan untuk berbagai macam aktivitas, seperti bercocoktanam, membangun perkantoran, perumahan, pusat belanja baik modern maupun tradisional, dan properti lainnya.

Jakarta sebagai ibukota negara mengalami perkembangan yang signifikan. Lahan – lahannya sudah terkonversi menjadi bangunan – bangunan properti, infrastruktur, dan taman/ruang terbuka. Adanya pembangunan properti oleh developer akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan akan ruang (lahan) di dalam wilayah/kota yang akan dibangun properti. Karena hampir seluruh lahan di wilayah Jakarta sudah terbangun, maka developer mencari lahan yang masih tersedia, yaitu di sekitar Jakarta, contohnya Bogor2. Pembangunan properti membutuhkan modal untuk membiayai pembangunan properti tersebut dan lahan. Pembangunan properti di Kota Bogor akan berdampak pada pengalokasian lahan di daerah perkotaan yang tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK) Bogor.

Pembangunan properti dilakukan sesuai dengan RTRW yang ada namun properti-properti yang ada saat ini kurang memperhatikan faktor lokasi. Jika developer ingin membangun properti di daerah yang berprospek namun tidak sesuai dengan RTRW, developer tersebut harus merubah RTRW. Hal ini akan mengakibatkan adanya pihak yang memanfaatkan keadaan tersebut.

       2

Dalam wawancara yang dilakukan pada tanggal 3 Juni 2008 terhadap Hilda B. Alexander, seorang wartawan Properti Indonesia dan aktivis LSM, untuk mengetahui Pemilihan Daerah Pembangunan Properti selain Jakarta. Informan pernah mewawancarai direktur kontraktor Botani Square. 

(20)

Pembangunan properti yang kian marak dapat dilihat dari peningkatan jumlah ruko di wilayah Jalan K.H Sholeh Iskandar (Jalan Baru), dibangunnya perumahan Pakuan Regency yang mulai dipasarkan pada tahun 2007, dan dibangunnya Botani Square yang berada di depan Tugu Kujang Kota Bogor. Penambahan jumlah pusat belanja tersebut tidak memperhatikan jarak antara dua pusat perbelanjaan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan terhadap masyarakat. Maraknya pembangunan properti ini memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lahan yang dimiliki oleh masyarakat akan diperjualbelikan dengan developer. Masyarakat yang awalnya memiliki kekayaan yang banyak dapat jatuh miskin karena pembebasan lahan tersebut dan developer mendapatkan keuntungan di atas normal. Hal ini mengindikasikan adanya perburuan rente.

Berdasarkan pernyataan dan merujuk pada latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah :

1. Bagaimana mekanisme perburuan rente dalam pembangunan properti? 2. Bagaimana dampak pembangunan properti terhadap tata ruang kota?

3. Bagaimana dampak pembangunan properti terhadap kesejahteraan masyarakat?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Menganalisis mekanisme perburuan rente dalam pembangunan properti. 2. Menganalisis dampak pembangunan properti terhadap tata ruang kota.

(21)

3. Menganalisis dampak pembangunan properti terhadap kesejahteraan masyarakat.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan akan diperoleh dari hasil penelitian ini adalah : 1. Sebagai masukan atau bahan pertimbangan masyarakat bila ingin menjual

lahan sehingga masyarakat bisa mendapatkan harga yang lebih tinggi. 2. Dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya dengan topik

yang serupa.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Jenis properti yang dianalisis lebih menitikberatkan pada perumahan karena lebih menunjukkan konversi penggunaan lahan. Kesejahteraan masyarakat yang mengalami penurunan akibat pembangunan properti dilihat dari ketimpangan antara keuntungan developer dengan ganti rugi yang didapat oleh masyarakat.

(22)

2.1. Teori Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Wilayah

Dalam perkembangannya, negara pasti melakukan suatu pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang luas. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan per kapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk3. Di dalamnya, tersedia lahan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga kerja yang produktif sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik itu individu, perusahaan, bahkan negara. Pembangunan merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang terus menerus menuju tujuan yang diinginkan, yaitu peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Menurut Todaro (2003), tujuan pembangunan antara lain4 :

1. Meningkatkan stock dan pemerataan kebutuhan pokok seperti pangan, kesehatan, pakaian, tempat tinggal, dan perlindungan keamanan.

2. Meningkatkan kualitas hidup yang tidak hanya dilihat dari adanya peningkatan pendapatan. Peningkatan standar hidup tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas pendidikan, penyediaan lapangan pekerjaan, dan penanaman nilai kultural dan kemanusiaan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan derajat / harga diri pribadi dan bangsa di mata pribadi atau bangsa lainnya.

3. Meningkatkan kemandirian agar tidak semakin tergantung dengan bangsa lain.

       3

 www.id.wikipedia.org/wiki/Pembangunan_ekonomi (diakses pada 17 Januari 2007).  4

Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jilid 1. Jakarta, Erlangga. Hal. 28 

(23)

Pembangunan juga merupakan suatu transformasi struktural5. Perubahan struktural ini dapat ditandai dengan adanya perubahan bidang pekerjaan masyarakat dari sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) tanpa meninggalkan sektor primer tersebut.

Pembangunan juga mengandung unsur adanya pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mengindikasikan adanya pertambahan penduduk. Peningkatan produksi barang dan jasa harus melampaui laju penambahan jumlah penduduk. Hal ini perlu dilakukan karena seiring dengan penambahan penduduk maka kebutuhan akan pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan akan semakin meningkat6. Faktor – faktor yang mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara seperti sumber daya alam harus digunakan dengan seefektif dan seefisien mungkin. Faktor – faktor sumber daya alam, hasil industri, perdagangan, dan lain sebagainya, dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kekayaan nasional (Gross National Product / GNP) yang diklasifikasikan menjadi beberapa sektor, yaitu :

1. Pertanian

2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan

4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 5. Bangunan

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7. Pengangkutan dan Komunikasi        5

Sumitro Djojohadikusumo. 1994. Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Cetakan 1. Jakarta, LP3S. Hal. 2

  6

(24)

8. Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa – jasa.

Sembilan sektor di atas dapat memicu pertumbuhan ekonomi karena dapat menyediakan lapangan pekerjaan, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan. Pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara harus didukung oleh pembangunan yang dilakukan di daerah atau wilayah.

Pembangunan wilayah memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional suatu negara. Tujuan dari pembangunan wilayah ini sama dengan pembangunan secara umum, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tujuan dari pembangunan wilayah tersebut dapat dijelaskan secara sektoral yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan mayarakat. Pendekatan secara sektoral ini menyangkut hasil produksi, pendapatan, lapangan kerja, maupun investasi dan kredit yang digunakan. Sama halnya dengan pembangunan secara umum, sektor-sektor yang termasuk dalam pembangunan wilayah ini adalah sektor pertanian, pertambangan, konstruksi (bangunan), perindustrian, perdagangan, perhubungan, keuangan dan perbankan, dan sektor jasa. Dalam konteks penelitian ini, properti termasuk ke dalam sektor konstruksi (bangunan).

Dalam membangun suatu wilayah terdapat kendala – kendala yang dihadapi, yaitu :

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk memberikan dana sehingga wilayah daerah yang tertinggal kurang dapat melakukan pembangunan.

(25)

2. Sumber daya manusia yang kurang berkualitas, menjadi sebab dan akibat keterbelakangan.

3. Persaingan antar pengusaha dalam era globalisasi yang semakin ketat.

4. Perusahaan kurang berminat untuk melakukan investasi di daerah terbelakang sehingga wilayah tersebut sulit berkembang.

Dari ulasan kendala di atas, diperlukan perencanaan yang matang untuk melakukan pembangunan wilayah yang sesuai dengan sasaran pembangunan wilayah, yaitu economic growth dan equity. Tahap – tahap untuk penyusunan pembangunan wilayah yang komprehensif adalah7 :

1. Penyusunan kerangka rencana pembangunan ekonomi wilayah. 2. Penyusunan kerangka rencana pembangunan fisik

3. Penyusunan kerangka rencana pembangunan sosial budaya.

Penyusunan kerangka rencana pembangunan ekonomi wilayah harus dilakukan berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik secara fisik maupun finansial. Dalam menyusun pembangunan ekonomi wilayah ini, perlu juga dilakukan analisis – analisis agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu analisis yang dapat dilakukan adalah cost – benefit analysis. Setelah penyusunan kerangka rencana pembangunan ekonomi selesai, dilakukan penyusunan rencana pembangunan fisik. Contoh rencana pembangunan fisik adalah menetapkan pola tata guna tanah. Tanah yang ada misalnya akan dibangun perumahan dan pembangunan tersebut harus sesuai dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Apabila rencana pembangunan fisik telah dilakukan maka selanjutnya dilakukan perencanaan pembangunan

       7

(26)

sosial budaya. Dalam pembangunan sosial budaya ini dilakukan suatu usaha yang konkrit untuk menciptakan suasana yang sehat di wilayah perkotaan, pedesaan, dan pemukiman.

Adisasmita (2005) menerangkan tentang pemanfaatan wilayah. Perencanaan pembangunan fisik dapat dikategorikan sebagai perencanaan pembangunan wilayah dengan pendekatan regional karena pola tata guna tanah merupakan salah satu wujud dari pemanfaatan wilayah / ruang8. Pemanfaatan wilayah sendiri bertindak sebagai dorongan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat. Dengan adanya fasilitas – fasilitas yang dibangun sebagai wujud pemanfaatan lahan, masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidup seperti pendidikan, kesehatan, perbelanjaan, rekreasi, peribadatan, dan lain sebagainya9.

Perencana kota bersama dengan para developer membangun properti. Perumahan dibangun dengan memikirkan lingkungan yang sehat. Untuk memenuhi kebutuhan akan rekreasi dan perbelanjaan, maka perencana dan developer membangun pusat – pusat perbelanjaan, seperti mal, plaza, atau factory outlet. Untuk menunjang kesehatan, dibangun lapangan golf yang berfungsi sebagai tempat olahraga.

2.2. Penggunaan Lahan dan Koversi Lahan

Dalam rangka pembangunan ekonomi wilayah, salah satu sumber daya yang pasti akan digunakan adalah lahan. Lahan dan tanah merupakan dua jenis istilah yang berbeda. Tanah merupakan sumber daya alam yang mempunyai sifat fisik, kimia, dan biologi tertentu yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia.       

8 Ibid 9

(27)

Tanah tersebut dapat dijadikan tempat kegiatan usaha, seperti pertanian, dan mendirikan bangunan.

Berbeda dengan tanah, secara ekonomi lahan sudah siap untuk diusahakan dan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Lahan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan tanah karena meliputi kondisi lingkungan10. Lahan memiliki kualitas seperti topografi, struktur, kandungan mineral.

Menurut Barlowe (1986), terdapat tujuh dimensi lahan11, yaitu :

1. lahan sebagai ruang (space); lahan merupakan ruang yang terdapat kehidupan di dalam dan permukaannya, dan luas/kuantitasnya tidak dapat ditingkatkan (tetap).

2. lahan sebagai alam (nature); lahan merupakan sumberdaya alam yang dapat dimodifikasi menjadi sumberdaya.

3. lahan sebagai faktor produksi (factor of production); lahan dan faktor produksi lainnya (tenaga kerja, kapital, manajemen) menjadi satu kesatuan faktor produksi di dalam perekonomian.

4. lahan sebagai barang konsumsi (consumption good); lahan tidak hanya dapat menambah produksi namun menjadi barang konsumsi di dalam hak miliknya.

5. lahan sebagai situasi (situation); lahan mempunyai peran dalam pasar karena nilai lahan dan penggunaannya ditentukan oleh ”kepentingan” dalam perekonomian modern dan dunia politik.

       10

DR. Nurjanah Hakim, dkk. 1986. Dasar – dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Bandarlampung. Hal. 437

  11

Barlowe (1986) dalam Santoso Pribadi. 2003. Analisis Spasial Pola Penggunaan Lahan di Jabotabek. Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Tanah. FAPERTA-IPB. Hal. 4-5 

(28)

6. lahan sebagai properti (property); lahan tersebut dimiliki oleh individu, kelompok, atau kekuatan tertentu dan digunakan dengan tanggung jawab terhadap lahan yang dimiliki.

7. lahan sebagai modal (capital).

Dalam penelitian ini, lahan termasuk ke dalam dimensi (4) dan (6). Dimensi (4) ini menunjukkan bahwa lahan adalah barang konsumsi yang mempunyai nilai, seperti perumahan, tempat rekreasi, dan taman. Dimensi (6) menunjukkan bahwa lahan berhubungan dengan areal dimana individu dan kelompok memperhatikan kepemilikan.

Penggunaan lahan (landuse) adalah bentuk alternatif pemanfaatan lahan. Penggunaan lahan didefinisikan sebagai campur tangan/intervensi manusia terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik materiil maupun non-materiil (spiritual). Ada 2 golongan penggunaan lahan, yaitu penggunaan untuk lahan pertanian dan non-pertanian. Namun, penggunaan lahan tidak hanya dikelompokkan menjadi lahan pertanian dan non-pertanian saja. Diungkapkan oleh Utomo, Rifai, dan Thahar (1992), penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi12 :

1. Penggunaan lahan berdasarkan potensi alaminya, yaitu kandungan mineral atau adanya barang tambang sehingga dapat digunakan untuk pertanian, perkebunan, hutan, atau pertambangan.

2. Penggunaan lahan untuk penyediaan ruang dalam pembangunan. Jadi pada kelompok yang kedua ini, penggunaan lahan tidak didasarkan pada potensi alaminya tetapi berhubungan dengan tata ruang.

       12

Muhajir Utomo, Eddy Rifai dan Abdulmuthalib Thahar. 1992. Pembangunan dan Pengendalian

(29)

Contoh dari penggunaan lahan ini adalah sebagai lahan non – pertanian. Lahan – lahan yang tersedia dapat digunakan untuk pemukiman, industri, konstruksi, lapangan, dan lain-lain.

Berdasarkan kedua kelompok di atas, kebutuhan akan lahan menjadi meningkat padahal jumlahnya tidak berubah. Untuk peningkatan produksi pertanian (kelompok 1), dapat dilakukan dengan intensifikasi pertanian. Sedangkan untuk kebutuhan akan ruang dalam pembangunan, gedung – gedung yang ada dapat ditingkat atau membangun di dalam tanah (basement).

Proses perubahan penggunaan lahan dapat dipandang sebagai suatu bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan tersebut ditandai oleh dua hal. Pertama, pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup masyarakat. Kedua, pergeseran kontribusi sektor-sektor pembangunan dari sektor-sektor primer (pertanian) dan pengolahan sumber daya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa). Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan hidup masyarakat mengakibatkan penggunaan lahan untuk pertanian menjadi berkurang dan diganti pendirian bangunan seperti mal, perumahan, dan lain sebagainya.

Utomo, et.al. (1992) mendefinisikan konversi lahan sebagai perubahan lahan sebagian atau seluruhnya dengan melalui suatu perencanaan menjadi bentuk lain dan dapat bersifat sementara atau permanen. Namun, perubahan lahan tersebut dapat membawa dampak negatif bagi lingkungan dan potensi lahan13.       

13

Ibid. hal. 3  

(30)

Menurut Sihaloho (2004) dalam Furi (2007), faktor - faktor yang menyebabkan konversi lahan adalah14 :

1. Faktor aras makro yang meliputi pertumbuhan industri, pertumbuhan permukiman, pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah dan ‘marginalisasi’ ekonomi atau kemiskinan ekonomi.

2. Faktor aras mikro. Faktor ini meliputi pola nafkah rumah tangga (struktur ekonomi rumah tangga), kesejahteraan rumah tangga (orientasi nilai ekonomi rumah tangga) dan strategi bertahan hidup rumah tangga (tindakan ekonomi rumah tangga).

Konversi lahan menjadi properti di kota Bogor lebih disebabkan oleh faktor aras makro.

2.3. Pembangunan Properti

2.3.1. Definisi dan Konsep Properti

Properti adalah kepemilikan seseorang atau sekelompok orang atas suatu hak eksklusif. Bentuk utama properti adalah real property (tanah), kekayaan pribadi (personal property), dan kekayaan intelektual. Hak kepemilikan terhadap properti menjamin pemilik untuk melakukan segala sesuatu sesuai kehendaknya15.

Properti termasuk sebagai sektor bangunan (konstruksi) dalam perhitungan pendapatan daerah. Konstruksi merupakan suatu kegiatan yang menghasilkan suatu bangunan yang menyatu dengan lahan sebagai tempat kedudukannya.       

14

Sihaloho dalam Dewi Ratna Furi. 2007. Implikasi Konversi Lahan Terhadap Aksesibilitas Lahan dan Kesejahteraan Masyarakat Desa (Kasus Pembangunan Dramaga Pratama di Desa Cibadak, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hal. 23

  15

http://www.id.wikipedia.org/wiki/Properti (diakses pada 18 Desember 2007)  

(31)

2.3.2. Teori Ekonomi Perburuan Rente

Dalam ekonomi politik, rente diartikan sebagai sifat pelaku bisnis yang memudahkan cara mendapatkan keuntungan, menggunakan modal milik publik untuk kepentingan pribadi16. Pengertian rente ini bersifat negatif karena para pelaku bisnis (dalam pembangunan properti bertindak sebagai developer) mendapatkan kemudahan yang diberikan oleh pemerintah atau pihak yang terkait.

Kegiatan mencari rente dapat didefinisikan sebagai upaya baik itu individu maupun kelompok untuk meningkatkan pendapatan dengan memanfaatkan kekuasaan atau kebijakan atau regulasi dari pemerintah17. Para pelaku pencari rente tersebut akan menggunakan kekuasaan pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan permintaan sumber daya yang dimiliki. dapat diasumsikan bahwa pencari rente ini akan berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar – besarnya dengan upaya yang sekecil – kecilnya.

Perilaku mencari rente dapat diaplikasikan sebagai berikut18 :

1. Masyarakat akan mengalokasikan sumber daya untuk menangkap peluang hak milik (property right) yang ditawarkan pemerintah.

Hal ini akan memungkinkan munculnya pencari rente. Sumber daya tersebut akan dialihkan dari penggunaan sumber daya yang produktif menjadi aktivitas lain untuk meningkatkan pendapatan.

       16

Hudiyanto. 2004. Ekonomi Politik. Jakarta, PT Bumi Aksara. Hal. 21  

17

 Ahmad Erani Yustika. 2006. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori, dan Strategi. Malang, Bayumedia Publising. Hal.147

  18

Ibid. hal. 151.  

(32)

2. Setiap individu atau kelompok akan berupaya untuk mempertahankan posisi/kedudukannya yang menguntungkan.

Hal ini akan mengakibatkan adanya persaingan, namun seringkali, persaingan tersebut tidak terjadi secara sehat. Disebabkan oleh tidak adanya tatanan untuk membangun sistem bisnis yang jujur agar ladang perburuan rente semakin luas.

3. Pemerintah juga mempunyai kepentingannya sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan kegagalan pemerintah sehingga terjadi ketidakefisienan dan eksternalitas. Praktek perburuan rente dapat dilihat dari adanya aktivitas dalam bentuk19:

1) Rent seekers mempunyai kepentingan untuk memberikan kemudahaan dalam penguasaan lahan yang dapat menguntungkan mereka.

2) Pencarian keuntungan yang dapat dilakukan oleh pemerintah seolah – olah dilakukan secara sah, misalnya dilakukan dengan memberikan proteksi berupa halangan masuk (barrier to entry) terhadap barang – barang secara berlebihan.

3) Pencarian keuntungan yang dilakukan oleh oknum aparat terkait yang memiliki otoritas yang tinggi. Untuk mengurangi resiko yang lebih besar, oknum tersebut akan mengeluarkan biaya transaksi berupa uang sogokan untuk keperluan tertentu.

Aktivitas perburuan rente dapat memberikan dampak buruk, yaitu tidak adanya kontribusi nilai tambah (value added), dapat memiskinkan rakyat, dan

       19

Addinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan. Jakarta, Akademika Persindo. Hal.60. 

(33)

merusak ekologi akibat pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan20. Dalam penelitian ini, perburuan rente termasuk dalam perburuan rente yang tidak produktif (unproductive rent seeking) karena tidak mengakibatkan adanya nilai tambah (value added). Dimulai dengan pencarian informasi mengenai lokasi yang berprospek menguntungkan. Biaya transaksi akan dikeluarkan untuk mempermudah mendapatkan informasi dan mendapatkan rente. Hal ini dapat berdampak negatif karena masyarakat akan kehilangan informasi.

2.3.3. Teori Ekonomi Biaya Transaksi

Dalam sistem ekonomi pasar, pembeli mempunyai informasi yang cukup lengkap dan penjual secara adil saling berkompetisi, namun hal ini berkebalikan dengan kenyataannya. Informasi tidak secara sempurna tersedia di dalam pasar. Para penjual pun tidak secara adil berkompetisi. Hal ini mengakibatkan para pelaku ekonomi harus mengeluarkan biaya untuk menanggapi masalah tersebut dan dapat disebut sebagai biaya transaksi. Terdapat dua jenis biaya transaksi, yaitu biaya transaksi sebelum kontrak (ex-ante) dan biaya transaksi sesudah kontrak (ex-post).

Menurut North dan Wallis (1994) dan Mburu (2002), biaya transaksi didefinisikan sebagai ongkos/biaya atas lahan, tenaga kerja, kapital, dan kewirausahaan untuk mentransfer hak – hak kepemilikan (property right) dari satu pihak ke pihak yang lain secara input menjadi output21. Biaya transaksi juga

       20 Ibid. hal.61.   21 Ibid. Hal. 111  

(34)

disebabkan oleh penyimpangan, ketersembunyian, dan penyalahgunaan22. Penyimpangan – penyimpangan yang menjadi faktor penyebab terjadinya biaya transaksi adalah : penyimpangan lemahnya jaminan hak kepemilikan; penyimpangan pengukuran atas tugas dan prinsip yang kompleks dan beragam; dan penyimpangan pada kontrak. Penyebab lainnya adalah ketersembunyian informasi sehingga informasi tidak simetris; penyalahgunaan strategis; kelemahan dalam kebijakan pembangunan dan reformasi ekonomi; dan kelemahan integritas. Adanya biaya transaksi juga disebabkan oleh adanya aktivitas ekonomi perburuan rente.

Untuk membangun suatu properti, developer membutuhkan informasi mengenai lokasi lahan, pemilik lahan, status lahan, dan informasi lainnya, serta mengurus perizinan untuk melakukan pembebasan lahan sehingga memerlukan banyak pihak untuk mengumpulkan informasi tersebut. Biaya transaksi dapat dikeluarkan secara resmi (legal), maupun tidak resmi (ilegal).

Biaya transaksi legal adalah biaya kepengurusan perizinan, biaya notaris, dan biaya lain yang terhitung dalam pajak, seperti PPH. Sedangkan biaya ilegal meliputi biaya preman pada pembebasan lahan, dan biaya untuk mempercepat prosedur perizinan. Biaya ilegal ini lebih besar dibandingkan biaya legal.

       22

(35)

2.4. Penataan Ruang dan Tata Ruang Wilayah Kota

Pengertian tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan. Tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

Penataan ruang merupakan suatu proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan. Menurut UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang terdiri dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan tujuan terciptanya tata ruang yang berwawasan lingkungan, berlandaskan wawasan nusantara, dan ketahanan nasional. Penataan ruang merupakan perangkat untuk mengupayakan terjadinya rencana pemanfaatan sumber daya alam, terutama lahan dan air yang terbatas dengan seefektif dan seefisien mungkin. Hal ini dimaksudkan agar menjamin pembangunan yang berkelanjutan dan kemakmuran masyarakat.

Tata kota harus dilakukan seoptimal mungkin dan harus sesuai dengan perencanaan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota berisi tentang :

1. Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

2. Pengelolaan kawasan pedesaan, perkotaan, dan kawasan tertentu.

3. Sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman pedesaan dan perkotaan.

4. Sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.

5. Penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

(36)

RTRW Kota menjadi pedoman untuk :

1. Perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.

2. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota, serta keserasian antar sektor.

3. Penetapan lokasi investasi, yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di kota.

4. Penyusunan rencana rinci tata ruang di kota.

5. Pelaksanaan pembangunan dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan.

Penggunaan lahan di kota Bogor direncanakan menjadi23 : 1. Kawasan Lahan Terbangun.

Kawasan ini terdiri atas pemanfaatan lahan pemukiman, pendidikan, peribadatan, kesehatan, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran/pemerintahan, rumah potong hewan, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), terminal/sub terminal dan stasiun kereta api serta jalan. 2. Kawasan Lahan Belum Terbangun.

Kawasan ini terdiri atas jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran.

3. Kawasan Lahan Tidak Boleh Dibangun (Lahan Konservasi)

Kawasan ini terdiri atas kebun raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olah raga, daerah aliran sungai serta situ – situ alami maupun buatan.

       23

(37)

Pada Tabel 2.1, terlihat bahwa lahan di Kota Bogor didominasi untuk permukiman terutama perumahan sebesar (69,14 persen). Hal ini menjelaskan bahwa Bogor terutama bagian kota memang lebih digunakan untuk permukiman. Pada tahun 2009 nanti direncanakan luas lahan untuk permukiman akan bertambah besar menjadi 8.741,89 ha atau 73,77 persen dari luas wilayah.

Penggunaan lahan di Kota Bogor adalah : Tabel 2.1. Penggunaan Lahan di Kota Bogor

Jenis Eksisting Tahun 1998

No Penggunaan Luas (ha) Persentase

(%) 1 PERMUKIMAN 8.263,15 69,73 - Perumahan - Pendidikan - Kesehatan - Peribadatan 8.193,66 53,46 12,71 3,32 69,14 0,45 0,11 0,03 2 TPA SAMPAH 9,21 0,08 3 KOLAM OKSIDASI 1,50 0,01 4 PERTANIAN 1.190,66 10,05 5 KEBUN CAMPURAN 98,55 0,83 6 INDUSTRI 115,03 0,97

7 PERDAGANGAN DAN JASA 416,81 3,52

8 PERKANTORAN / PEMERINTAHAN 85,28 0,72

9 HUTAN KOTA 141,50 1,19

10 TAMAN / LAPANGAN OLAHRAGA 250,48 2,11

11 KUBURAN 299,28 2,53

12 SUNGAI / SITU / DANAU 342,07 2,89

13 JALAN 629,37 5,31

14 TERMINAL DAN SUB TERMINAL 1,51 0,01

15 STASIUN KERETA API 5,60 0,05

16 RPH DAN PASAR HEWAN - -

Jumlah 11.850,00 100,00

Sumber : Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor, 2008

2.5. Teori Kemiskinan

Kemiskinan merupakan salah satu akibat dari adanya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan merupakan keadaan masyarakat yang tidak

(38)

dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kemiskinan dapat dilihat dari tiga aspek24, yaitu :

1. Aspek ekonomi

dari aspek ekonomi, kemiskinan merupakan keadaan rendahnya daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar.

2. Aspek sosial

Dilihat dari aspek sosial, masyarakat miskin memiliki keterbatasan dalam beraspirasi, hanya memikirkan hidup jangka pendek.

3. Aspek politik

Dilihat dari aspek politik, masyarakat miskin memiliki sifat ketergantungan. Menurut Bank Dunia (1992) dalam Prayitno dan Santosa (1996), dimensi (aspek) kemiskinan adalah multidimensional yang meliputi aspek ekonomi dan sosial25. Kemiskinan dikatakan sebagai sesuatu yang multidimensi diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan, keterampilan, tidak mempunyai aset/faktor produksi, serta adanya kekurangan dalam informasi.

Ciri – ciri dari kemiskinan dapat dilihat dari tempat terjadinya, kepemilikan terhadap keterampilan, pendidikan, dan faktor produksi. Biasanya lebih banyak terjadi di perdesaan daripada di perkotaan dan pertanian merupakan sumber penghasilan utama. Masyarakat miskin tidak mempunyai faktor produksi seperti tanah, modal, atau keterampilan sehingga kemampuan untuk mendapatkan

       24

 Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perpektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Pengantar : Gunawan sumodiningrat. Jakarta, LP3S. Hal. 165.

  25

Hadi Prayitno dan Budi Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta, Ghalia Indonesia. Hal.101 – 102.

(39)

penghasilan sangat terbatas. Pendidikan yang dimiliki rendah karena waktu yang dimiliki lebih dipusatkan terhadap mencari nafkah untuk hidup.

Menurut Bagian Sosial Pemerintah Kota Bogor (2008), kriteria miskin di Kota Bogor dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu26 :

1. Aspek fisik, yang terdiri atas :

- Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m²/orang

- Lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan - Dinding bangunan tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu

berkualitas rendah/tembok tanpa diplester

- Tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

- Sumber penerangan rumah tangga tidak berasal dari listrik

- Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan.

2. Aspek pendidikan; pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya sampai Sekolah Dasar (SD)/tidak tamat SD/tidak sekolah.

3. Aspek ekonomi, terdiri atas :

- Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah

- Tidak pernah atau hanya sekali dalam seminggu mengkonsumsi daging/susu/ayam

- Tidak pernah atau hanya sekali dalam setahun membeli pakaian baru untuk setiap anggota rumah tangga

       26

(40)

- Lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 Ha per buruh / tani / nelayan / buruh bangunan / buruh perkebunan / pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp 600.000/bulan

- Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan nilai minimal sebesar Rp 500.000 (seperti sepeda, motor, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya)

- Tidak mampu membayar untuk berobat ke puskesmas/poliklinik.

Secara umum, kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kemiskinan alami, struktural, dan kultural. Kemiskinan alami adalah kemiskinan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan sumber daya, baik itu sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Kemiskinan alami ini memiliki ciri, yaitu teknologi yang rendah, tingkat surplus produksi yang rendah, tingkat ekonomi rendah, kepadatan agraris rendah, dan wilayah mengalami keterbelakangan27. Penggunaan teknologi yang rendah disebabkan oleh sumber daya manusia yang rendah sehingga tidak dapat meningkatkan produksi dan kurang dapat membudidayakan pertanian dengan baik. Lahan yang digunakan untuk bertani juga kurang mengandung unsur hara yang cukup akibat petani kurang dapat mengakses informasi. Kemiskinan alami juga memiliki ciri tingkat ekonomi rendah yang dicirikan dengan pengeluaran sebesar 70 persen untuk konsumsi pangan.

Jenis kemiskinan yang kedua adalah kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural disebabkan oleh perilaku, gaya hidup, maupun budaya dari masyarakat       

27

 Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah, Perpektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Pengantar : Gunawan sumodiningrat. Jakarta, LP3S. Hal. 165. 

(41)

sendiri. Gaya hidup mewah maupun boros dapat mengakibatkan masyarakat menjadi miskin apabila tidak diimbangi oleh tingkat tabungan yang tinggi. Ketidakcakapan dalam bekerja juga dapat menyebabkan seseorang menjadi miskin. Ketidakcakapan tersebut akan mengakibatkan seseorang dipecat dari pekerjaannya sehingga tidak dapat memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kemiskinan yang ketiga adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh ketimpangan struktur sosial dalam masyarakat. Kemiskinan ini juga disebabkan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh peraturan, dan keputusan dalam pembangunan28. Ditandai dengan adanya ketimpangan kepemilikan sumber daya, kesempatan berusaha, keterampilan, dan faktor lain yang menyebabkan tingkat pendapatan tidak seimbang dan menyebabkan struktur yang timpang.

Menurut Prayitno dan Santosa (1996), kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan suatu golongan masyarakat untuk menggunakan sumber – sumber pendapatan yang tersedia29. Hal ini mengakibatkan struktur sosial masyarakat berubah ke tingkat yang lebih rendah. Indikatornya adalah minimnya pendapatan per kapita, kekurangan akses terhadap pendidikan dan kesehatan sehingga tingkat pendidikan rendah. Dengan pendidikan yang rendah sehingga kesehatan juga rendah.

       28

Ibid. hal. 167  

29

Hadi Prayitno dan Budi Santosa. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta, Ghalia Indonesia. hal. 102 – 103

(42)

Menurut Wignjosoebroto (2005), kemiskinan struktural disebabkan oleh struktur yang tidak menguntungkan30. Kondisi tidak menguntungkan ini menyebabkan masyarakat tidak mempunyai akses untuk meningkatkan kualitas hidup. Akibatnya, masyarakat tersebut hidup dalam kekurangan.

Kemiskinan struktural merupakan perampasan daya kemampuan (capability deprivation) manusia atau kelompok manusia yang terjadi secara sistematis sehingga membuat manusia dan kelompok manusia itu terjebak dalam kondisi yang memiskinkan. Perampasan daya kemampuan tersebut mencakup: (1) perampasan daya sosial, yaitu perampasan akses pada ‘basis’ produksi rumah tangga, seperti informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi, dan sumber-sumber keuangan. Akses terhadap daya sosial tersebut juga disebabkan oleh tekanan ekspansi modal dan globalisasi ekonomi; (2) perampasan daya politik, yaitu perampasan akses individu terhadap pengambilan keputusan politik, bukan saja pada kemampuan untuk memilih, tetapi juga untuk menyuarakan aspirasi dan tindakan kolektif; (3) perampasan daya psikologis, yaitu tekanan eksternal yang menyebabkan hilangnya perasaan individual mengenai potensi dirinya, baik dalam pembangunan sosial maupun politik sehingga individu/kelompok masyarakat tidak memiliki peluang untuk mampu berpikir kritis. Tekanan eksternal diinternalisasi kepada individu/ kelompok masyarakat sehingga menjadi kesadaran palsu.

Menurut Dove (2006) dalam Marx (2007), adanya transaksi bisnis lahan (sewa tanah) mengindikasikan adanya nilai surplus yang dimiliki oleh lahan tersebut, seperti kemampuan lahan untuk berproduksi. Sistem sewa lahan yang       

30

BPS Pusat. 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta, BPS Pusat. 

(43)

menekankan terhadap eksploitasi nilai surplus dapat mengakibatkan proses pemiskinan terhadap pemilik awal lahan tersebut.

Tiga aktivitas yang dilakukan pemilik modal terhadap pemilik lahan adalah31:

1. Dalam kenyataannya, proses sewa lahan merupakan sistem yang memaksa pemilik lahan untuk beralih fungsi ke bentuk lahan yang diinginkan oleh pemilik modal sehingga pemilik lahan tidak memiliki kemampuan berproduksi untuk memenuhi kebutuhan mereka.

2. Sewa lahan memanfaatkan surplus dari lahan tersebut sehingga akan memberikan keuntungan terhadap pemilik modal.

3. Sewa lahan tidak ditentukan oleh pemilik lahan namun ditentukan oleh pemilik modal sehingga pemilik lahan akan menerima segala keputusan pemilik modal tanpa memiliki kekuasaan/ketentuan hukum untuk melakukan perlawanan kepada pemilik modal.

Dalam penelitian ini, lahan produktif yang dibeli oleh developer akan memiskinkan pemilik lahan karena dapat menghilangkan sumber daya lahan yang dimiliki dan kehilangan pekerjaan. Selain itu, dikarenakan tidak adanya status hukum yang kuat atas lahan tersebut, pemilik lahan mendapatkan harga yang rendah.

2.6. Hasil Penelitian Terdahulu

1. Furi (2007) melakukan penelitian yang menunjukkan terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan untuk perumahan. Dengan adanya       

31

Karl Marx. 2007. Das Kapital, Buku III Proses Produksi Kapitaslis secara Menyeluruh. Bagian Enam Transformasi Laba Khusus menjadi Sewa Lahan. Alih Bahasa : Oey Hay Djoen. 

(44)

konversi lahan tersebut, para petani sebagai pemilik tanah menderita beberapa kerugian, yaitu kehilangan penghasilan dan hanya mengandalkan dana pensiun TNI, dan tanah garapan menjadi berkurang atau hilang sama sekali setelah konversi. Mereka (petani) berpendidikan dan berproduktifitas rendah serta berada pada usia produktif yang matang (40 tahun ke atas). Kesempatan kerja untuk mereka musiman dan terbatas sehingga penghasilan yang rendah karena hanya mengandalkan tenaga. Adanya konversi lahan tersebut juga mendorong petani untuk pindah ke pekerjaan lain seperti menjadi kuli bangunan atau pekerjaan lain karena kehilangan mata pencaharian utama.

2. Ningsih ( 2007) melakukan penelitian yang menunjukkan :

a. Terjadi pergeseran tempat belanja masyarakat dari tradisional ke modern. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan jumlah pusat perbelanjaan yang semakin marak dan penurunan omzet yang dialami oleh pasar perbelanjaan. Dalam jangka panjang, kejadian ini akan mengakibatkan pedagang pasar tradisional menghentikan usahanya karena kalah bersaing dengan pusat perbelanjaan modern.

b. Terjadi ketidaksesuaian pemanfaatan lahan antara RTRW Kota Bogor 1999 – 2000 dan pembangunan pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan tersebut juga mengakibatkan berkurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTK) di Kota Bogor.

(45)

3. Marisan (2006) menganalisis keinkonsistensian tata ruang Kabupaten dan Kota Bogor yang dilihat dari aspek fisik wilayah. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan yang dilakukan di kota Bogor konsisten dengan RTRWK Bogor. Kekonsistenan tersebut mencapai 94,24 persen dan inkonsistensi sebesar 5,76 persen. Inkonsistensi tersebut terjadi akibat adanya penutupan pada Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK) dan Tanaman Pertanian Lahan Basah (TPLB). Pusat perubahan di Kota Bogor terjadi di kecamatan Bogor Barat, Bogor Timur, dan Bogor Tengah. Inkonsistensi pada Kabupaten Bogor lebih disebabkan oleh penutupan Tanaman Pertanian Lahan Kering (TPLK). Pusat perubahan penutupan lahan tersebut terjadi sebelah utara Kabupaten dari pertanian ke non – pertanian sesuai dengan aktivitas ekonomi di wilayah tersebut.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian - penelitian sebelumnya :

1. Menganalisis mekanisme perburuan rente, adanya biaya transasi, dan super normal profit dari adanya pembangunan properti.

2. Penelitian ini juga meneliti dampak pembangunan properti terhadap pemiskinan masyarakat. Jika penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan di Kota Bogor konsisten pada RTRWK, maka penelitian ini ingin melihat apakah pemanfaatan lahan untuk properti konsisten dengan RTRW.

3. Penelitian ini menganalisis dampak konversi lahan terhadap kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya dilihat dari hilangnya pekerjaan tetapi juga perbandingan keuntungan developer dengan kerugian masyarakat akibat

(46)

adanya biaya transaksi. Juga menganalisis kurang tegaknya hukum dalam pembangunan properti.

2.7. Kerangka Pemikiran

Jakarta sebagai ibukota negara merupakan pusat segala aktivitas, seperti administrasi, perdagangan, residensial, sampai perkantoran. Dengan luas 650 Ha dan semakin sedikitnya lahan yang tersedia di Jakarta mengakibatkan para developer mencari lahan ke daerah pinggiran Jakarta. Bogor merupakan salah satu tujuannya.

Kota Bogor merupakan salah satu daerah hinterland Jakarta. Penduduknya pun akan bertambah baik secara migrasi (urbanisasi dan suburbanisasi) maupun dari kelahiran penduduk setiap tahunnya. Dengan peningkatan jumlah penduduk ini maka akan meningkatkan kebutuhan akan ruang untuk aktivitas perekonomian dan penunjang kehidupan lainnya baik dari segi penyediaan barang publik maupun privat, yaitu pembangunan properti, seperti perumahan, pusat perbelanjaan, ruko, maupun lapangan golf.

Pembangunan properti pasti akan membutuhkan lahan. Pembangunan tersebut merupakan salah satu wujud perubahan penggunaan lahan (konversi lahan) yang akan mengakibatkan adanya transaksi antara developer sebagai pembeli lahan dan masyarakat sebagai penjual lahan. Developer akan mengusahakan lahan tersebut untuk mendapatkan return yang sebesar – besarnya sedangkan masyarakat akan kehilangan modal/sumber daya lahannya. Akibat asymethric information, pemilik lahan yang awalnya mempunyai sumber daya lahan tiba-tiba mengalami collapse dan kehilangan sumber dayanya (lahan) dan

(47)

menjadi miskin. Dilihat sisi harga, tentu masyarakat mendapatkan harga jual yang rendah dan dengan pendapatan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan developer .

Selain perubahan penggunaan lahan, pembangunan properti juga terkait dengan tata ruang kota. Berkembangnya properti akan memberikan dampak terhadap berkurangnya penyediaan ruang dan tata kota Bogor. Pembangunan properti seringkali mengakibatkan adanya penyalahgunaan ruang. Lahan dan ruang yang awalnya disediakan untuk sosial dan lingkungan, misalnya sebagai daerah resapan air dibangun menjadi perumahan atau ruang terbuka hijau yang dirubah dan dibangun menjadi ruko atau pusat – pusat perbelanjaan.

Dengan demikian, pembangunan properti dapat memberikan dampak negatif, yaitu mengakibatkan adanya rent seeking economic activity (aktivitas ekonomi perburuan rente) untuk mendapatkan keuntungan di atas normal (super normal profit). Namun, apakah developer di Kota Bogor ini mengalami keuntungan di atas normal? Keuntungan atau rente tersebut tidak didapatkan dari efisiensi kerja.

Dalam perburuan rente tersebut, terdapat transaction cost yang dikeluarkan pengembang kepada perencana kota, dan pejabat administratif untuk mendapatkan informasi akibat kegagalan pasar. Biaya transaksi tersebut dikeluarkan secara resmi namun menjadi tidak resmi ketika pengembang ingin mendapatkan informasi dalam waktu singkat. Seperti yang telah disebutkan di atas, masyarakat akan kekurangan informasi dan menjadi korban atas ketidakadilan tersebut. Untuk itu, dilakukan analisis untuk menggambarkan kesesuaian kondisi lingkungan tata

(48)

ruang kota dan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat akibat pembangunan properti.   Kota Bogor sebagai Penyangga Ibukota Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Penggunaan Lahan Pembangunan Properti Mekanisme Rent Seeking Dampak Tata Ruang Kota Dampak Kesejahteraan Masyarakat Rank Spearman & Wawancara RTRWK Kerugian Masyarakat

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan :

= alat analisis

(49)

3.1. Wilayah dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bogor selama bulan April - September. Penentuan lokasi dengan sengaja dilakukan dengan pertimbangan Kota Bogor merupakan salah satu kota yang mengalami kemajuan relatif pesat. Dapat dilihat dari jumlah penduduk yang bertambah, bangunan-bangunan properti yang terus bertambah atau beralih fungsi.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data sekunder didapatkan dalam bentuk tabel, laporan, artikel, maupun dalam bentuk data statistik. Data sekunder tersebut diperoleh dari internet, buku – buku atau karya tulis ilmiah yang relevan, BPS, Dinas Tata Kota Kota Bogor, BPN, dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor.

Data primer melalui wawancara dengan beberapa informan. Informan ini berasal dari kalangan akademisi serta pihak yang mengetahui dan mempunyai wawasan luas mengenai properti, seperti pakar properti, atau makelar – makelar tanah. Properti yang dianalisis lebih menitikberatkan pada perumahan karena lebih dapat dilihat perbedaan keuntungan yang dihasilkan antara jenis perumahan yang satu dengan jenis perumahan lainnya.

(50)

3.3. Metode Analisis

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan menyajikan data – data properti, harga pembebasan dan penjualan lahan, yang berada di Kota Bogor.

Pembangunan properti di Kota Bogor terjadi di keenam kecamatan, yaitu Bogor Utara, Selatan, Timur, Barat, Tengah, dan Tanah Sareal. Lahan yang didapatkan oleh developer dibeli dengan harga murah dan dijual kembali dengan harga yang relatif lebih tinggi. Hal ini diduga terjadi akibat adanya informasi yang tidak sempurna dan adanya perburuan rente yang dilakukan antara developer dengan oknum – oknum pejabat setempat. Untuk mendapatkan informasi dan segala yang diperlukan untuk pembangunan properti, developer akan mengeluarkan biaya transaksi. Dengan harga pembebasan lahan yang murah, biaya transaksi yang tidak sedikit, dan adanya inflasi, maka developer akan menjual kembali dengan harga yang lebih tinggi untuk mendapatkan keuntungan.

3.3.1. Mekaniskme Perburuan Rente dalam Pembangunan Properti.

Rent-seeking Economic Activity atau aktivitas ekonomi perburuan rente ini selalu melibatkan oknum pejabat pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat atau menentukan suatu kebijakan. Pihak developer akan memanfaatkan informasi yang tidak sempurna di masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas normal dengan memberikan uang pelicin kepada oknum pejabat yang terkait.

Aktivitas ekonomi perburuan rente ini mengindikasikan adanya suatu biaya (transaction cost) yang harus dikeluarkan oleh developer. Dalam perspektif ekonomi politik, aktivitas perburuan rente dianggap sebagai kegiatan yang negatif.

(51)

Dikatakan negatif karena para rent seeker menggunakan kekuasaan pemerintah yang bersangkutan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa usaha atau melakukan efisiensi kerja sehingga tidak mendatangkan nilai tambah (value added) dan termasuk dalam perburuan rente yang tidak produktif (unproductive rent seeking).

Transaction cost muncul akibat kegagalan pasar di mana tidak tersedia informasi yang sempurna32. Biaya ini dikeluarkan untuk mendapatkan seluruh informasi yang diperlukan dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Biaya tersebut menjadi illegal apabila dikeluarkan untuk mengambil seluruh informasi secara pribadi dan menyimpangkannya ketika diberikan kepada orang lain33. Contoh dari transaction cost yang illegal ini berupa sogokan/suap kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti perencana kota, oknum pejabat, atau bahkan walikota. Pemberian sogokan tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan untuk mendapatkan informasi, perizinan, atau mendesak masyarakat untuk menerima harga yang rendah. Jadi, contoh dari Transaction cost yang illegal adalah biaya – biaya sogokan yang dikeluarkan sebelum terjadi pembangunan properti dalam rangka mendapat lahan strategis tanpa proses tender yang wajar.

Untuk mengungkap ada tidaknya mekanisme Rent Seeking Economic Activity dalam pembebasan lahan diperlukan narasumber yang akurat, yaitu dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan – yang mengetahui masalah pemburu rente tersebut, seperti pakar properti, pihak developer, dan

      

32 Ahmad Erani Yustika. 2006. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori, dan Strategi. Malang : Bayumedia Publishing. Hal.104

 

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran  Keterangan :
Tabel 4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bogor menurut         Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2001 – 2005
Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor menurut   Lapangan  Usaha  Atas  Dasar Harga Konstan 2000 tahun 2001 – 2006 (persen)
Tabel 4.4. Kontribusi Sektor dalam Perekonomian Kota Bogor Tahun 2005– 2006  SEKTOR  PDRB atas dasar harga berlaku  PDRB atas dasar harga
+7

Referensi

Dokumen terkait

dan dua jenis katak endemik ( Microhyla achatina dan Huia masonii ); satu tak teridentifikasi dan ada kemungkinan mengarah jenis baru yaitu ular marga Elapoidis; serta spesimen

Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a huruf b huruf c dan huruf d, perlu membentuk peraturan desa perlindungan pembinaan tenaga kerja Indonesia asal

Penerimaan dalam masyarakat ialah mereka lebih mudah menerima seseorang berpenampilan agamis (pakaian syar’i) dibandingkan seseorang yang biasa.Selain itu, pada bidang ekomoni dari 5

7 Mahasiswa memahami akuntansi untuk persediaan  Menjelaskan metode biaya persediaan dalam sistem persediaan perpetual  Membandingka n dan membedakan penggunaan

sebenarnya, nyatanya adalah itu sebuah realitas buatan atau bisa disebut “realitas artifisial” yang dibuat oleh teknologi simulasi sedemikian rupa, sehingga pada

Kaidah pencacahan adalah suatu kaidah yang digunakan untuk menghitung semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu kejadian.Dalam kehidupan sehari-hari, kita

Sebaiknya variabel persepsi ini jangan diabaikan oleh perusahaan farmasi karena sekalipun dalam penelitian ini tidak secara signifikan berpengaruh langsung pada

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota