• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDUDUKAN HUKUM AKTA PENGIKATAN JUAL BELI

A. Pembatalan Akta Jual Beli

Jual beli merupakan perjanjian timbal balik yang lazim terjadi di masyarakat. Jual beli sifatnya timbal balik karena masing-masing mempunyai hak dan kewajiban untuk memenuhi prestasi, dimana pihak yang satu berhak atas suatu prestasi dan berkewajiban pula untuk memenuhi prestasi kepada pihak lain secara timbal balik. Salah satu bentuk perjanjian timbal balik tersebut yaitu jual beli yang obyeknya adalah tanah. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumiyang di atas sekali.95

Menurut Pasal 4 UUPA tanah adalah: “Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain serta badan hukum.”

Selanjutnya maksud dari permukaan bumi tersebut adalah sebagai bagian tanah yang dapat dimiliki dengan berbagai macam hak oleh perorangan maupunsuatu badan hukum. Tanah dalam wilayah Negara Indonesia merupakan salah satu sumber daya alam utama, yang selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhaan negara dan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik padatingkat nasional maupun dalam hubungannya dengan dunia internasional.96

95

Supriadi, Hukum Agraria, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal. 3. 96

Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Cet. 3, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2007), hal. 3.

Salah satu hak atas tanah yaitu hak milik, dimana hak tersebut bersifat primer. Dikategorikan sebagai hak primer karena hak milik itu merupakan hak terkuat dan terpenuh, dibandingkan dengan hak-hak yang lain seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak-hak lainnya. Sesuai denganketentuan Pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Hak milik dapat beralihdan dialihkan kepada pihak lain.”

Pemberian hak milik atas tanah, bukan saja diberikan kepada perseorangan, tetapi juga dapat diberikan kepada badan-badan hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.97

1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut bank negara); Pemerintah mengeluarkan PP No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat mempunyaihak milik atas tanah. Pasal 1 PP No. 38 Tahun 1963 menyatakan bahwa badan-badan hukum yang disebut di bawah ini dapat mempunyai hak milik atas tanahtersebut adalah:

2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (LN 1958 Tahun 1958 No. 139);

3. Badan-badan keagamaan dan sosial, yang ditunjuk oleh Peraturan Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama dan Kesejahteraan Sosial.

Memperhatikan ketentuan tersebut di atas terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah perlu mendapat perlindungan hukum yang kuat. Sehubungan dengan perlindungan hukum yang kuat tersebut maka pemberian status hak kepada perorangan harus dilakukan dengan seleksi yang ketat, agar betul-betul terjadi pemerataan atas status hak tanah itu.

97

Salah satu bentuk peralihan hak atas tanah yaitu jual beli. Jual beli adalah suatu perjanjian yang mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan (leveren) suatu barang (benda) dan pihak lain mengikatkan diri untuk membayar harga yang disetujui bersama. Pengertian jual beli tersebut dinyatakan dalam Pasal 1457 KUH- Perdata. Agar perjanjian dapat dinamakan perjanjian jual beli maka salah satu prestasinya harus berupa pemberian alat pembayaran yang sah.

Pendaftaran tanah merupakan rangkaian kegiatan administratif yang dilakukan oleh pemerintah sampai menerbitkan tanda bukti haknya dan memelihara rekamannya. Kegiatan ini diwujudkan dalam pembinaan status tanah dari tanah tersebut, sehingga badan yang memberikan hak atas tanah hanya ada satu (monopoly function), yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sekalipun dijumpai ada badan yang melakukan pendaftaran tanah seperti kantor pajak, namun kantor pajak tidak dapat memberikan hak atas kepemilikannya. Kepala Desa/ Camat, Notaris/ PPAT, BPN, dan kantor Pajak adalah instasi berbeda dan tidak ada hubungan structural yang ada hanya koordinasi. Jual beli dapat dilakukan melalui Kepala Desa/ Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, jual beli juga bisa melalui notaris/ PPAT, pembuatan sertifikat melalui BPN, dan Pengurusan PBB serta validasi SSB ada di kantor Pajak.

Rangkaian proses kegiatan pendaftaran tanah, termasuk balik nama yang dilakukan atas pendaftaran ulang (continuous recording) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara teratur tahap demi tahap. Tahapan dimaksud meliputi kegiatan pengukuran, pemetaan kadasteral, pemberian keputusan (recommendation) akan haknya (SKPT) hingga pada pemberian tanda bukti hak tersebut (sertifikatnya) serta pemeliharaan data pendaftarannya.

Beralihnya hak milik atas benda yang menjadi obyek jual beli hanya terjadi dengan penyerahan. Penyerahan dalam jual beli adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli. Apabila memperhatikan perjanjian jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata, maka tampak perjanjian jual beli itu menimbulkan kewajiban-kewajiban pada kedua belah pihak. Pihak yang satu wajib untuk menyerahkan barang dan pihak lainnya wajib membayar harga barang tersebut. Jadi barangnya dan uangnya mungkin belum diserahkan pada waktu itu, yang baru ada hanya kewajibankewajiban antara para pihak dan belum terjadi penyerahan. Barang yang telah dibeli menjadi tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya belum dilakukan dan penjual dapat menuntut harga atas barang itu. Hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1460 KUH-Perdata.

Apabila dilihat dari pembeli, maka dalam jual beli itu pembeli juga mempunyai kewajiban utama. Kewajiban utama pembeli tersebut adalah membayar harga dari obyek jual beli sesuai dengan harga yang telah disepakati. Lazimnya pembayaran dilakukan di tempat pada waktu penyerahan obyek jual beli dilakukan. Apabila pembeli tidak melakukan pembayaran tersebut maka penjual dapat menuntut pembatalan jual beli.

Salah satu cara berakhirnya hak atas tanah adalah apabila terjadinya pembebasan hak atas tanah. Hakikat dari pembebasan tanah tersebut adalah dimana seseorang melepaskan haknya kepada pihak lain dengan cara pemberian ganti rugi sesuai dengan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Jual beli atas tanah merupakan suatu bentuk perjanjian peralihan hak atas tanah yang dituangkan dalam akta PPAT. Konsep jual beli atas tanah yang dituangkan dalam akta PPAT tersebut sebagai dasar hukum bagi pembeli untuk membaliknamakan sertipikat tanahnya ke atas namanya pembeli.

Pada prinsipnya jual beli yang tidak ada cacat hukum, pembeli dapat memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tersebut. Kepemilikan atas tanah tersebut tercatat di BPN dengan diterbitkan sertipikat atas tanah hak tersebut atas nama pembeli.

Perjanjian peralihan hak atas tanah mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH-Perdata mengatur bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:98

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu ;

4. suatu sebab yang halal.

Selain persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 1320 KUH-Perdata tersebut juga masih perlu persyaratan lain menurut hukum adat untuk sahnya perjanjian peralihan hak atas tanah. Persyaratan jual beli menurut hukum adat tersebut yaitu: (a) Tunai dan (b) Terang. Hal tersebut karena Hukum Tanah di Indonesia bersumber pada Hukum Tanah Adat. Secara sederhana “tunai” diartikan bahwa pelaksanaan jual beli dan peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli dianggap telah terjadi pada saat para pihak menyatakan kesepakatan. Meskipun jual beli itu pembayarannya tidak tunai dalam arti sehari-hari, hal tersebut bukan merupakan suatu yang pokok dan dianggap sebagai suatu utang-piutang antara penjual dan pembeli.99

Selanjutnya secara sederhana “terang” diartikan bahwa pelaksanaan jual beli hak atas tanah harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang dan dihadiri oleh para saksi. Tambahan dua persyaratan itu merupakan unsur-unsur yang diambil dari unsur-

98

Subekti dan R. Tjitrosudibio. Op. cit., hal. 339. 99

unsur sistem hukum tanah adat yang telah diadopsi menjadi unsur-unsur dalam sistem hukum tanah nasional.100

Perjanjian peralihan hak atas suatu barang harus diikuti dengan penyerahan yuridis atau penyerahan nyata sebab perjanjian peralihan hak dalam Pasal 1457 KUH- Perdata hanya bersifat mengikat dan tidak mempunyai kekuatan mengalihkan barangnya. Dengan kata lain, bahwa Pasal 1457 KUH-Perdata hanya mengatur perjanjian secara keseluruhan atau secara umum saja.

Apabila dilihat dari Hukum Adat Indonesia pengertian peralihan hak khususnya hak atas tanah bukan saja bersifat mengikat tetapi juga harus diikuti dengan penyerahan nyata dari penjual kepada pembeli yang diikuti dengan penyerahan uang dari pembeli kepada penjual. Oleh karena itu, meskipun perjanjian peralihan hak atas tanah menggunakan syarat-syarat yang diatur dalam

Pasal 1320 KUH-Perdata tetapi perlu juga ditambahkan syarat tunai dan terang sehingga peralihan hak tersebut tidak hanya bersifat mengikat saja melainkan juga mencakup penyerahan hak nyata atas tanah yang diperjual belikan. Pelaksanaan perjanjian peralihan hak atas tanah harus memperhatikan persyaratan yang telah disebutkan di atas. Kekurangan syarat-syarat tersebut mengakibatkan akta perjanjian peralihan hak itu menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.101

Menurut ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata, syarat batal selalu dianggap tercantum dalam perjanjian timbal balik, apabila salah satu pihak dalam Ketiadaan pemenuhan syarat subyektif akan mengakibatkan akta peralihan hak itu dapat dibatalkan dan ketiadaan pemenuhan syarat obyektif mengakibatkan akta peralihan hak tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

100

H. M. Ridwan Indra R.A. Ragam Perjanjian di Indonesia. (Jakarta: CV. Trisula, 1996), hal. 4.

101

perjanjian tersebut mengingkari apa yang telah diperjanjikan. Pasal 1266 ayat (2) KUH-Perdata menyatakan bahwa untuk membatalkan suatu perjanjian harus dengan putusan hakim. Selanjutnya Pasal 1266 ayat (3) KUH-Perdata menegaskan bahwa permintaan pembatalan tersebut harus dilakukan meskipun syarat batal telah dicantumkan dalam perjanjian. Dalam praktik di lapangan para pihak yang membuat suatu perjanjian sering mengabaikan ketentuan Pasal 1266 ayat (2) tersebut. Yurisprudensi berpendapat bahwa batalnya perjanjian adalah karena wanprestasi, sedangkan putusan hakim hanya menyatakan bahwa perjanjian itu telah batal (declaratif).102 Akan tetapi terdapat juga Yurisprudensi yang menyatakan bahwa dalam hal pembeli sewa ingkar janji, penjual sewa tidak dapat menarik kembali barang yang menjadi obyek perjanjian meskipun hal tersebut telah disepakati.103

Sebagaimana telah diketahui bahwa ketiadaan pemenuhan syarat subyektif mengakibatkan dapat dibatalkannya suatu perjanjian. Untuk meminta pembatalan perjanjian tersebut dapat dilakukan dengan cara antara lain yaitu:104

1. Pihak yang berkepentingan secara aktif menggugat atau meminta kepada Hakim supaya perjanjian itu dibatalkan.

2. Menunggu sampai adanya gugatan di depan Hakim untuk memenuhi

perjanjian itu.

Pembatalan perjanjian di depan Pengadilan tersebut disebabkan pada saat perjanjian itu terjadi, salah satu pihak belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum, disetujuinya perjanjian karena di bawah ancaman atau karena kekhilafan mengenai objek perjanjian. Oleh karena itu, pihak yang merasa dirugikan dapat memohon kepada Hakim supaya perjanjian itu dapat dibatalkan. Selanjutnya

102

Budi Cahyono. Hukum Perdata (Suatu Pengantar), (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2005), hal. 152

103 Ibid. 104

mengenai sanksi hukum pembatalan tersebut berlaku setelah adanya putusan Pengadilan yang inkracht van gewijzde dan menyatakan bahwa pembatalan atas perjanjian peralihan hak atas tanah yang dituangkan dalam akta otentik tersebut.

Untuk mengetahui apakah suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat dibatalkan dalam masa perjanjian berlaku dan apakah konsekuensi dari pembatalan perjanjian tersebut, pertama-tama harus dilihat apakah dahulu dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatur tentang kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian beserta penyebab dan konsekuensinya bagi para pihak. Secara umum, pembatalan perjanjian dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria berikut ini.

1. Terdapat berbagai kemungkinan pengaturan tentang pembatalan kontrak yang diatur dalam perjanjian, sebagai berikut:105

a. Penyebutan alasan pemutusan perjanjian

Seringkali dalam perjanjian diperinci alasan-alasan sehingga salah satu pihak atau kedua belah pihak dapat memutuskan perjanjian. Maka dalam hal ini tidak semua wanprestasi dapat menyebabkan salah satu pihak memutuskan perjanjiannya, tetapi hanya wanprestasi seperti yang disebutkan dalam perjanjian saja.

b. Perjanjian dapat diputus dengan sepakat kedua belah pihak

Kadang-kadang disebutkan dalam perjanjian suatu perjanjian hanya dapat diputuskan jika disetujui oleh kedua belah pihak. Sebenarnya dalam hal ini hanya penegasan saja, karena tanpa penyebutan tentang hal tersebut, demi hukum, perjanjian dapat diterminasi jika disetujui oleh kedua belah pihak. c. Penyampingan Pasal 1266 KUH Perdata

105

Sangat sering dalam perjanjian disebutkan jika ingin memutuskan perjanjian, para pihak tidak perlu harus menempuh prosedur pengadilan, tetapi dapat diputuskan langsung oleh para pihak. Dengan ini, Pasal 1266 KUH Perdata harus dengan tegas dikesampingkan berlakunya. Sebab, menurut Pasal 1266 KUH perdata tersebut, setiap pemutusan perjanjian harus dilakukan lewat pengadilan.

d. Tata cara pemutusan perjanjian

Di samping penentuan pemutusan perjanjian tidak lewat pengadilan, biasanya ditentukan juga prosedur pemutusan perjanjian oleh para pihak tersebut. Sering ditentukan dalam perjanjian bahwa sebelum diputuskan suatu perjanjian, haruslah terlebih dahulu diperingatkan pihak yang tidak memenuhi prestasinya untuk melaksanakan kewajibannya. Peringatan ini bisa dilakukan dua atau tiga kali. Bila peringatan tersebut masih tidak diindahkan, maka salah satu pihak dapat langsung memutuskan perjanjian tersebut. Penulisan kewajiban member peringattan seperti ini sejalan dengan prinsip yang dianut oleh KUH Perdata, yaitu dengan

ingebrekestelling, yakni dengan dikeluarkannya “akta lalai” oleh pihak kreditur (Pasal 1238 KUH Perdata), dimana somasi (dengan berbagai perkecualian) pada prinsipnya memang diperlukan untuk dapat memutuskan suatu kontrak.

2. Pembatalan perjanjian karena wanprestasi

Apabila terjadinya wanprestasi terhadap suatu perjanjian, kepada pihak lainnya diberikan berbagai hak sebagai berikut:106

a. Exception non adimpleti contractus

106

Berdasarkan prinsip exception non adimpleti contractus ini, maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi dapat menolak prestasinya atau menolak melakukan prestasi selanjutnya manakala pihak lainnya telah melakukan wanprestasi

b. Penolakan prestasi selanjutnya dari pihak lawan

Apabila pihak lawan telah melakukan wanprestasi, misalnya mulai mengirim barang yang rusak dalam suatu kontrak jual beli, maka pihak yang dirugikan berhak untuk menolak pelaksanaan prestasi selanjutnya dari pihak lawan tersebut, misalnya menolak menerima barang selanjutnya yang akan dikirim oleh pihak lawan dalam contoh kontrak jual beli tersebut.

c. Menuntut restitusi

Ada kemungkinan sewaktu pihak lawan melakukan wanprestasi, pihak lainnya telah selesai atau telah mulai melakukan prestasinya seperti yang diperjanjikan dalam perjanjian yang bersangkutan. Dalam hal tersebut, maka pihak yang telah melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitusi dari pihak lawan, yakni menuntut agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang telah dilakukan.

3. Pembatasan terhadap pemutusan perjanjian

Seperti telah dijelaskan bahwa jika salah satu pihak telah melakukan wanprestasi, maka pihak yang lainnya dalam perjanjian tersebut berhak untuk memutuskan perjanjian yang bersangkutan. Akan tetapi terhadap hak memutuskan perjanjian oleh pihak yang telah dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa restribusi yuridis berupa:107

107

a. Wanprestasi Sengaja

Tidak terhadap semua wanprestasi pihak yang dirugikan dapat memutuskan perjanjian tersebut. Melainkah pihak yang dirugikan harus dapat pula menunjukkan bahwa wanprestasi tersebut merupakan wanprestasi yang sengaja. Jika hanya terhadap wanprestasi yang tidak semgaja, yakni jika salah satu pihak tidak melakukan suatu kewajiban kecil, maka pihak lainnya tidak berhak untuk memutuskan perjanjian tersebut, walaupun tidak tertutup kemungkinan baginya utuk memintakan ganti rugi jika cukup alasan untuk itu. Wanprestasi yang sengaja yakni wanprestasi yang mengakibatkan timbulnya kerugian yang cukup besar bagi salah satu pihak serta wanprestasi yang menimbulkan keadaan dimana prestasi yang menjadi melekat pada salah satu pihak tidak terlaksana.

b. Hak memutuskan perjanjian belum dikesampingkan

Umumnya diterima dalam teori hukum perjanjian bahaw hak untuk melakukan pemutusan perjanjian karena pihak lainnya telah melakukan wanprestasi tidak berlaku lagi manakala pihak dirugikan tersebut telah mengenyapingkan hak untuk memutuskan perjanjian tersebut.

c. Pemutusan perjanjian tidak terlambat dilakukan

Pemutusan perjanjian oleh pihak yang dirugikan karena pihak lain telah melakukan wanprestasi haruslah dilakukan dalam waktu yang pantas (reasonable time). Hal ini untuk memberikan kepastian bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk meneruskan atu tidak wanprestasi yang belum sempat dilaksanakannya. Apabila selama jangka waktu yang wajar terhadap pemutusan perjanjian tidak digunakan untuk memutuskan

perjanjian yang bersangkutan, maka ia telah terlambat memutuskan perjanjian atas dasar dia telah menerima atau mentoleransi atas tindakan yang mengandung unsure wanprestasi tersebut, sehingga dia tidak dapat lagi memutuskan perjanjian yang bersangkutan.

d. Wanprestasi disertai dengan unsur kesalahan

Pada prinsipnya KUH Perdata tidak mensyaratkan eksistensi unsur “kesalahan” agar suatu perjanjian dapat diputuskan oleh pihak yang dirugikan atau agar dapat dituntutnya suatu pembayaran ganti rugi. Akan tetapi berdasdarkan Pasal 1266 KUH Perdata yang melibatkan pengadilan untuk memutuskan perjanjian timbal balik, maka penggunaan diskresi pengadilan untuk memutuskan perjanjian tersebut juga antara lain menggunakan faktor kesalahan pihak pelaku wanprestasi untuk dapat menentukan apakah perjanjian tersebut dapat diputus atau tidak.

Dengan demikian, menurut sistem hukum KUH Perdata Indonesia, maka pada prinsipnya asal ada kewajiban yang tidak dilaksanakan, dan kewajiban yang tidak dilaksanakan tersebut cukup material (material breach), maka suatu perjanjian sudah dapat diputuskan dan ganti rugi sudah dapat dimintakan. Asal saja tidak dilaksanakannya kewajiban tersebut bukan karena hal-hal yang bersifat force majeure, yang untuk ini tidak diatur oleh hukum yang mengatur tentang wanprestasi, tetapi sudah merupakan wilayah hukum yang lain, yakni hukum yang mengatur tentang

force majeure dan tentang risiko.