• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Study Kasus Perkara Perdata No. 107/PDT.G/2010?PN.MDN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Study Kasus Perkara Perdata No. 107/PDT.G/2010?PN.MDN"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBATALAN AKTA JUAL BELI : STUDY KAASUS PERKARA PERDATA NO.107/Pdt.G/2010/PN.MDN

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Megister Kenotariatan Pada program Studi Magister Kenotariatan

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara

OLEH

AKHMAD MIGHDAD 097011114

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBATALAN AKTA JUAL BELI : STUDY KAASUS PERKARA PERDATA NO.107/Pdt.G/2010/PN.MDN

Nama : AKHMAD MIGHDAD Nomor Pokok : 097011114

Program Studi : Magister kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembanding

Prof.Dr Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Pembimbing Pembimbing

Notaris Dr.syahril sofyan, SH, MKn Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

Ketua Program Studi Dekan

Mkn FH-USU

(3)

Telah Di Uji Pada

Tanggal 24 Februari 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Notaris Dr.syahril sofyan, SH, MKn

2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum 3. Chairani Bustami, SH,SpN,MKn

(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : AKHMAD MIGHDAD

Nim : 097011114

Program Studi : Magister kenotariatan FH-USU

Judul Tesis : AKIBAT HUKUM TERHADAP PEMBATALAN AKTA

JUAL BELI : STUDY KAASUS PERKARA PERDATA NO.107/Pdt.G/2010/PN.MDN

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia di berikan sanksi apapun oleh program Studi MAister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut p[ihak mana pun atas perbuatan saya tersebut

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat

Medan,

(5)

ABSTRAK

Pelaksanaan perjanjian peralihan hak/ jual beli harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Kekurangan syarat-syarat-syarat-syarat tersebut mengakibatkan akta perjanjian peralihan hak itu menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Akta peralihan hak yang dinyatakan batal demi hukum adalah jika syarat-syarat objektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi. Adapun mengenai akta peralihan hak yang dapat dibatakan adalah jika syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi. Apabila perjanjian peralihan hak/ jual beli dinyatakan batal demi hukum, maka sejak semula akta itu dianggap tidak pernah ada. Perjanjian peralihan hak yang dinyatakan dapat dibatalkan maka sejak semula akta itu dianggap ada tetapi kemudian oleh pengadilan atas permintaan pihak terkait sehubungan dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan hukum sebuah akta jual beli, akibat hukum dari pembatalan akta jual beli, dan peranan PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan akta jual beli

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)

yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Kedudukan hukum sebuah akta jual beli yakni akta tersebut menjadi sebuah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat. Hal ini karena pada Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat di hadapan notaris maka aktanya telah menjadi akta notaril sehingga merupakan akta otentik, sedangkan untuk yang dibuat tidak di hadapan notaris/ PPAT maka menjadi aktadibawah tangan yang pembuktiannya berada dibawah akta otentik. Akibat hukum dari pembatalan perjanjian pengikatan jual beli yakni para pihak harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu sebagaimana yang telah diperjanjikan. Selanjutnya pembatalan perjanjian menyebabkan penghentian suatu perikatan dan membawa segala sesuatu kembali seperti semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Demikian juga halnya dengan pembatalan perjanjian jual beli, para pihak wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya selama jual beli berlangsung. Di samping itu, KUH Perdata juga memberikan ruang bagi pihak yang menderita kerugian untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata kepada notaris/ PPAT sebagai pejabat yang membuat akta jual beli tersebut, karena kurang hati-hati melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris. Peranan notaris/ PPAT dalam pembatalan aka pengikatan jual beli adalah bersifat pasif, karena notaris/ PPAT hanya berperan mengikuti apa yang dikehendaki oleh para pihak pembuat akta. Atas isi akta notaris/ PPAT tersebut tidak dapat merubah atau menambah sedikitpun tanpa persetujuan atau disuruh oleh si pembuat akta.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam, karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “(Akibat

Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli Study Kasus Perkara Perdata No.

107/PDT.G/2010?PN.MDN)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan

untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan

dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang

mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat

terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku ketua

pembimbing, Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, Mkn dan Notaris Syafnil Gani, SH.

M.Hum, selaku anggota pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan

untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Runtung S, SH. M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis

dalam menyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi

(7)

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah

memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan

tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat

selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama

menjalani pendidikan.

7. Keluarga tercinta, Ibrahim lubis (Ayah),Yuni Annur (Ibu), Mikhail Rasyid (abg)

dan Fuad Idris (adek) menyayangi dan memotivasi Penulis dalam penyelesaian

studi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

8. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara, K’sere, K’rini, K’sri, K’ kiki Bg Joe, Bg toni,

Bg rio, Bg arman, ade, ricat dan kawan kelas yang telah banyak memberikan

motivasi kepada Penulis dalam penyelesaian tesis ini.

Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun

besar harapa Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,

terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada

khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada

(8)

kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Februari 2012

Penulis,

(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...

ABSTRACT ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 9

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi ... 12

1. Kerangka teori ... 12

2. Konsepsi ... 19

G. Metode Penelitian ... 20

BAB II KEDUDUKAN HUKUM AKTA PENGIKATAN JUAL BELI ... 26

A. Tinjauan terhadap Akta ... 26

B. Pengertian Jual Beli ... 34

C. Timbulnya Perjanjian Jual Beli ... 36 D. Subjek dan Objek Jual Beli ... 38

E. Akibat Hukum dari Perjanjian Jual Beli ... 43

F. Perjanjian Jual Beli Tanah ... 49

(10)

BAB III AKIBAT HUKUM PEMBATALAN AKTA JUAL BELI TANAH . 62

A. Pembatalan Akta Jual Beli ... 62

B. Akibat Hukum Pembatalan Akta Jual Beli ... 76

BAB IV PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA DALAM PENYELESAIAN AKIBAT PEMBATALAN AKTA JUAL BELI ... 76

A. Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kewenangan dalam Perundang-undangan ... 76

B. Peranan Notaris/ PPAT dalam Penyelesaian Akibat Pembatalan Akta Jual Beli ... 88

C. Kasus dan Analisis Kasus ... 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 113

A. Kesimpulan ... 113

B. Saran ... 115

(11)

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

1. Nama : AKHMAD MIGHDAD

2. Tempat/ Tanggal Lahir : JAKARTA/ 26 DESEMBER 1985

3. Alamat : Jl. Beringin VIII no 110 C

II. Identitas Keluarga

1. Orang Tua

Ayah : Ibrahim Lubis

Ibu : Yuni Annur lubis

2. Anak-anak : Mikhail Rasyid

Akhmad Mighdad

Fuad Idris

III. Keterangan Pendidikan

1. Sekolah Dasar : SD Swasta Ikal Medan

Tamat Tahun 1998

2. Sekolah Menengan Pertama : SLTP Negeri 16 Medan

Tamat Tahun 2001

3. Sekolah Menengah Atas : SMA Swasta Amir Hamzah Medan

Tamat Tahun 2004

4. S-1 Fakultas Hukum : Universitas Sumatera Utara

(12)

ABSTRAK

Pelaksanaan perjanjian peralihan hak/ jual beli harus memperhatikan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Kekurangan syarat-syarat-syarat-syarat tersebut mengakibatkan akta perjanjian peralihan hak itu menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Akta peralihan hak yang dinyatakan batal demi hukum adalah jika syarat-syarat objektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi. Adapun mengenai akta peralihan hak yang dapat dibatakan adalah jika syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi. Apabila perjanjian peralihan hak/ jual beli dinyatakan batal demi hukum, maka sejak semula akta itu dianggap tidak pernah ada. Perjanjian peralihan hak yang dinyatakan dapat dibatalkan maka sejak semula akta itu dianggap ada tetapi kemudian oleh pengadilan atas permintaan pihak terkait sehubungan dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu.

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan hukum sebuah akta jual beli, akibat hukum dari pembatalan akta jual beli, dan peranan PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan akta jual beli

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research)

yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Kedudukan hukum sebuah akta jual beli yakni akta tersebut menjadi sebuah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat. Hal ini karena pada Pengikatan Jual Beli (PJB) yang dibuat di hadapan notaris maka aktanya telah menjadi akta notaril sehingga merupakan akta otentik, sedangkan untuk yang dibuat tidak di hadapan notaris/ PPAT maka menjadi aktadibawah tangan yang pembuktiannya berada dibawah akta otentik. Akibat hukum dari pembatalan perjanjian pengikatan jual beli yakni para pihak harus memenuhi kewajibannya terlebih dahulu sebagaimana yang telah diperjanjikan. Selanjutnya pembatalan perjanjian menyebabkan penghentian suatu perikatan dan membawa segala sesuatu kembali seperti semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Demikian juga halnya dengan pembatalan perjanjian jual beli, para pihak wajib mengembalikan apa yang telah diterimanya selama jual beli berlangsung. Di samping itu, KUH Perdata juga memberikan ruang bagi pihak yang menderita kerugian untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata kepada notaris/ PPAT sebagai pejabat yang membuat akta jual beli tersebut, karena kurang hati-hati melaksanakan tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris. Peranan notaris/ PPAT dalam pembatalan aka pengikatan jual beli adalah bersifat pasif, karena notaris/ PPAT hanya berperan mengikuti apa yang dikehendaki oleh para pihak pembuat akta. Atas isi akta notaris/ PPAT tersebut tidak dapat merubah atau menambah sedikitpun tanpa persetujuan atau disuruh oleh si pembuat akta.

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan interaksi

satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan antara individu-individu yang

merupakan subjek hukum maupun antara badan hukum seringkali merupakan suatu

hubungan hukum yang tentu dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan hukum.

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang muncul untuk

mengakomodasi-kan kepentingan-kepentingan tertentu dari anggotamasyarakat.

Pasal 1338 ayat(1) KUH Perdata menyatakan bahwa, semua persetujuan yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pasal 1338 ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap

orang bebas mengadakan suatu perjanjianberupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan

pada siapa perjanjian ituditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat

diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja)

dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang

yang telah disepakati antara pembuat perjanjian tersebut.

Pengelompokan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai

perjanjian bernama atau benoemde contracten atau nominaat contracten. Wirjono Prodjodikoro menyatakan sistem BW (Burgelijk Wetboek) memungkinkan untuk para pihak untuk mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam

(14)

BW, WvK atau undang-undang lain.1

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan perjanjian innominaat

atau perjanjian tidak bernama adalah:

Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku

BW di dalam buku ke-III Title I-IV.

“Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus di dalam undang-undang.2 Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang Hukum Perdata maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan (jurisprudensi).”3

Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang muncul dari kebutuhan

hukum yang berkembang dalam masyarakat.Misalnya saja jual beli tanah, merupakan

perjanjian tidak bernama, karena tidak ditemukan dalam bentuk-bentuk perjanjian

yang diatur dalam KUH Perdata. Perjanjian jual beli merupakan implementasi dari

asas kebebasan berkontrak, dimana para pihak secara bebas dapat menentukan

kemauannya. Perjanjian jual beli sering ditemukan dalam praktek sehari-hari di

masyarakat maupun di kantor-kantor notaris.

Peralihan hak atau jual beli memerlukan suatu akta otentik yang dibuat oleh

seorang pejabat umum yang disebut dengan notaris/ PPAT yang diangkat oleh

pemerintah. Sehingga peralihan hak atau jual beli tidak dapat dilakukan begitu saja

tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoordenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti

geschrift4

1

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur Bandung, 1964), hal. 10.

atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya

2

J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 12. 3

Ibid 4

(15)

Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan5

Mengenai akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan

bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta

yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang

mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai

pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu

berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.6

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar

harga yang telah dijanjikan. Berdasarkan pada rumusan yang diberikan dapat dilihat

bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau

perikatan untuk memberikan sesuatu. Jual beli merupakan suatu perjanjian yang

bersifat konsensuil.7

Dengan kesepakatan tersebut, pembeli terikat untuk menyerahkan kebendaan

yang dijual tersebut. Dalam kaitan dan hubungannya dengan permasalahan

penyerahan hak milik ini perlu diperhatikan ketentuan Pasal 584 KUH Perdata yang

mengatakan bahwa:

Dengan pengertian bahwa perjanjian jual beli telah lahir dan

mengikat para pihak yaitu penjual dan pembeli segera setelah mereka mencapai kata

sepakat mengenai kebendaan yang diperjual belikan dan dengan harga yang harus

dibayar.

“Hak milik atas suatu benda tidak dapat diperoleh dengan cara lain, melainkan dengan pemilikan (pendakuan), karena perikatan, karena kadaluarsa, karena

5

R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Op. cit, hal. 9. 6

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1996), hal. 42. 7

(16)

pewarisan, baik menurut Undang-Undang maupun menurut surat wasiat dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat bebas terhadap barang itu”

Ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata tersebut adalah

bersifat mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar oleh siapapun juga (yang berarti bahwa

hak milik tersebut harus pasti kebenarannya dan tidak dapat diubah-ubah

kebenarannya) dan bersifat memaksa yang harus ditaati oleh siapa saja, dan yang

termasuk dalam objek jual beli salah satunya adalah benda tak bergerak yaitu tanah.

Berbeda dengan pengaturan perolehan hak milik yang terdapat dalam KUH Perdata,

dalam UUPA tidak dikenal adanya perolehan hak milik dengan cara daluwarsa

sebagaimana yang dikenal dalam KUH Perdata.

Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah Lembaran Negara No. 18 menjelaskan:

”Setiap perjanjian bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akte yang dibuat oleh dan di hadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut penjabat). Akte tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria.”

Hubungan antara seseorang dengan seseorang lain menimbulkan perhubungan

hukum, perhubungan hukum mana mempunyai kriteria masing-masing dan itu akan

menimbulkan persetujuan-persetujuan dan perjanjian-perjanjian diantara mereka.

Perjanjian mana dalam perjanjian lisan, perjanjian di bawah tangan ataupun akta

notaris/ PPAT agar otentik dan dapat dijadikan bukti bila terjadi masalah. Walaupun

ada dikenal asas kebebasan berkontrak tetapi setiap perjanjian atau perikatan itu harus

selalu mengacu kepada peraturan yang telah ditentukan untuk itu. Apabila hubungan

hukum itu terjadi karena adanya persetujuan antara seseorang dengan seorang lain

(17)

notaris/ PPAT bila tanah atau rumah yang menjadi objek dalam perjanjian itu telah

mempunyai status yang jelas dan pasti, seperti sertifikat hak milik, hak guna

bangunan dan sebagainya, maka perjanjian itu harus dibuat di hadapan pejabat yang

ditunjuk ialah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Aturan seperti ini telah diatur

dalam Undang-Undang Pokok Agraria, peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961

dan telah dicabut dan disempurnakan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT). Jadi setiap perjanjian diantara seorang dan seorang yang lainnya atau antara

seorang dengan badan hukum atau sebaliknya, telah tersedia perangkat hukum yang

mengaturnya agar tidak terjadi penyimpangan dari apa yang telah ditetapkan oleh

undang-undang.

Apabila terjadi penyimpangan, harus dapat dibuktikan bahwa penyimpangan

itu dapat dibenarkan karena tidak merugikan para pihak dan telah terjadi secara

berkesinambungan dari generasi ke generasi dan telah baku dan diterima oleh

masyarakat tanpa menimbulkan dampak yang negatif dalam masyarakat maupun

pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Masalah inilah yang ingin diangkat

kepermukaan dimana seseorang yang mengalihkan hak tanahnya yang telah

bersertifikat kepada orang lain tetapi tidak memakai jalur yang ditetapkan oleh

peraturan yang ada, penyerahan tanah tersebut dengan memakai akta notaris/ PPAT.

Secara hukum dalam pelaksanaan tugasnya notaris/ PPAT pada dasarnya bertumpu

pada kegiatan pembuatan akta yang serba formal-prosedural, meski disamping tugas

tersebut ia dapat juga memberi nasihat hukum. Dikatakan demikian karena

kewajibannya hanya melayani pengusahaan perbuatan hukum dan pihak-pihak yang

(18)

PPAT dalam bentuk akta merupakan perbuatan dari para pihak yang meminta jasanya

untuk membuat pengesahan formal.8

Pelaksanaan perjanjian peralihan hak/ jual beli harus memperhatikan

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Kekurangan syarat-syarat-syarat-syarat tersebut

mengakibatkan akta perjanjian peralihan hak itu menjadi batal demi hukum atau dapat

dibatalkan.9

Apabila perjanjian peralihan hak/ jual beli dinyatakan batal demi hukum,

maka sejak semula akta itu dianggap tidak pernah ada. Perjanjian peralihan hak yang

dinyatakan dapat dibatalkan maka sejak semula akta itu dianggap ada tetapi kemudian

di batalkan oleh pengadilan atas permintaan pihak terkait sehubungan dengan tidak

terpenuhinya syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu. Hal itu berarti juga bahwa

selama tidak ada pihak-pihak yang keberatan atas adanya perjanjian itu dan tidak

adanya pemohon pembatalan atas perjanjian itu, maka perjanjian itu tetap dianggap

berlaku. Adanya sanksi hukum karena tidak dipenuhinya syarat-syarat subjektif Akta peralihan hak yang dinyatakan batal demi hukum adalah jika

syarat-syarat objektif dari perjanjian itu tidak terpenuhi. Adapun mengenai akta peralihan

hak yang dapat dibatakan adalah jika syarat-syarat subjektif dari perjanjian itu tidak

terpenuhi.

10

Di dalam perkara perdata No. 107/Pdt.G/2010/PN.Mdn, terdapat

permasalahan yang menarik mengenai permohonan pembatalan Akta Jual Beli tanah

akibat adanya unsur itikad tidak baik oleh para pihak di dalamnya. Bahwa Pengadilan ,

baru berlaku setelah adanya putusan pengadilan yang menyatakan batalnya perjanjian

peralihan hak tersebut.

8

G.H.S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 235. 9

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2004), hal. 20. 10

(19)

Negeri Medan dalam putusannya mengabulkan permohonan dan kasus ini menjadi

menarik karena menurut Pasal 1328 KUH Perdata yang dimaksud dengan penipuan

adalah apabila di dalam pembuatan suatu perjanjian terdapat adanya tipu muslihat

yang dipakai oleh salah satu pihak di dalam bentuk pembayaran, sehingga pihak

lainnya secara sedemikian rupa dan nyata tidak akan membuat dan atau menyetujui

dan melakukan perikatan tersebut jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.

Permohonan-permohonan tersebut justru dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan

Negeri, hal mana tindakan Majelis tersebut mengabulkan permohonan pembatalan

perjanjian jual beli tanah akibat adanya pelanggaran dan itikad tidak baik dari para

pihak yang terkait.

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka ingin meneliti lebih lanjut

mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul: “Akibat Hukum Terhadap Pembatalan Akta Jual Beli (Studi kasus Perkara Perdata No. 107/Pdt.G/2010/PN.Mdn)”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

beberapa permasalahan yang perlu dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kedudukan hukum sebuah akta jual beli?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta jual beli?

3. Bagaimanakah peranan notaris/ PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan

(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan hukum sebuah akta jual beli

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari pembatalan akta jual beli

3. Untuk mengetahui peranan / PPAT dalam penyelesaian akibat pembatalan

akta jual beli

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang didapat dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya di bidang kenotariatan

serta menambah khasanah perpustakaan.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat sebagai bahan pegangan dan rujuan

pada masyarakat khususnya dalam bidang akta jual beli. Selain itu juga dapat

memberikan masukan kepada para PPAT, akademik, pengacara, mahasiswa

dan praktisi hukum.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Sekolah

Pascasarjana Unversitas Sumatera Utara terhadap hasil-hasil penelitian yang ada,

ternyata belum ada yang melakukan penelitian mengenai “Akibat Hukum Terhadap

Pembatalan Akta Jual Beli”. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan dalam

penulisan ini adalah asli sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis

(21)

Akan tetapi ada beberapa tesis yang merupakan hasil penelitian yang

dilakukan oleh beberapa mahasiswa notariat di MKn-USU sebagai berikut:

1. Muaz Effendi, berjudul “Peralihan Hak Atas Tanah yang Belum

Bersertifikat di Kec. Medan Johor dan Pendaftaran Haknya di Kantor

Pertanahan Medan” tahun 2009. Adapun permasalahan yang diangkat

dalam penelitian ini adalah:

a. Mengapa terjadi ketidakseragaman atas peralihan hak atas tanah yang

belum bersertifikat di Kec. Medan Johor?

b. Bagaimana bentuk-bentuk surat pengalihan hak atas tanah sebagai

landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat?

c. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran tanah yang belum bersertifikat

serta kendala-kendala apa yang umumnya dihadapi masyarakat dalam

pendaftaran tanah pada Kantor Pertanahan Medan?

2. Henny Saida Flora, berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen

Dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Melalui Pengembang

(Studi Di Kota Medan).” Pembahasannya adalah mengenai pelaksanaan

pengikatan jual beli (PPJB) pihak pengembang yang mempergunakan

kontrak standar, dimana pihak pengembang telah mempersiapkan terlebih

dahulu perjanjian tersebut dalam kontrak tertulis karena isi perjanjian

tersebut menyangkut tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban

kedua belah pihak pengembang dan konsumen.

Adapun perumusan masalah yang dikaji adalah:

a. Apakah dalam perjanjian pengikatan jual beli yang di buat oleh

(22)

b. Bagaimana tanggung jawab pengembang apabila konsumen di rugikan

dalam perjanjian pengikatan jual beli?

c. Bagaimana sikap konsumen terhadap isi perjanjian pengikatan jual

beliyang d tawarkan oleh pihak pengembang

3. Yulida Hafni Ramadhana, berjudul “Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah

yang Dapat Menimbulkan Konflik”. Adapun permasalahn yang dikaji

adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian peralihan hak atas tanah yang bagaimana yang dapat

menimbulkan konflik di masyarakat?

b. Apakah yang dapat menimbulkan konflik dalam proses perjanjian jual

beli tanah?

c. Bagaimana tindakan notaris/PPAT dalam menangani perjanjian

peralihan hak atas tanah yang dapat menimbulkan konflik?

Berdasarkan penelitian-penelitian yang relevan tersebut di atas, tidak

ditemukan adanya kesamaan permasalahan maupun pembahasan dengan

penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi.11

11

JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

Sedangkan kerangka teori merupakan landasan

dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

(23)

atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak

disetujui.12

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.

13

Penelitian ini sendiri menggunakan teori tujuan hukum untuk menganalisis

permasalahan yang akan dibahas nantinya. Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang

merupakan fondasi penting, yaitu: moral, hukum, kebenaran, dan keadilan. Akan

tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai

kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato, “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.

Dikarenakan penelitian ini

merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan

mengarahkan diri kepada unsur hukum.

14

Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia,

hukum mempunyai tujuan dan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai.

Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib,

menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Merujuk pada penelitian terhadap putusan

pengadilan 107/Pdt.G/201/PN/PN.Mdn dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa

terdapat penyimpangan terhadap akta jual beli yang dilakukan oleh para pihak,

sehingga penyimpangan tersebut telah mengganggu terciptanya tatanan masyarakat

yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Tentunya hal ini sangat

bertentangan dengan tujuan yang ingin yang dicapai oleh hukum. Dengan tercapainya

ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi.

Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar

12

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80. 13

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal. 35.

14

(24)

perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara

memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.15

Membicarakan tujuan dari pada hukum maka akan sangat banyak defenisi

yang didapati, karena setiap ahli hukum akan memberikan defenisinya sendiri, sesuai

situasi dan kondisi zamannya serta kepentingan-kepentingan saat itu. Namun

demikian tidak berarti bahwa tidak mempunyai pegangan dalam menelusuri hutan

rimba dari pada hukum. Sama seperti halnya orang berpakaian, walaupun ada banyak

jenis-jenis pakaian dengan berbagai model, tapi orang harus memakai salah satu

pakaian yang dianggap cocok atau sesuai dengan tubuhnya. Walaupun banyak

pendapat para ahli hukum tentang tujuan hukum, namun hanya akan menggunakan

beberapa pendapat tentang teori tujuan dari hukum, sesuai dengan tujuan penelitian

ini dan sebagai landasan bagi penulisan selanjutnya.

Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam pergaulan hidup manusia,

kepentingan-kepentingan manusia bisa senantiasa bertentangan satu dengan yang lain,

maka tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan itu. 16

Menurut Muchsin sebenarnya hukum bukanlah sebagai tujuan tetapi dia

hanyalah sebagai alat, yang mempunyai tujuan adalah manusia, maka yang dimaksud

dengan tujuan hukum adalah manusia dengan hukum sebagai alat untuk mencapai Kepentingan-kepentingan manusia itu bermacam-macam, seperti kepentingan untuk

menikmati apa yang menjadi haknya, kepentingan untuk mendapatkan perlindungan

hukum, kepentingan untuk mendapatkan kebahagian hidup lahir dan batin, dan

sebagainya.

15

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 77.

16

(25)

tujuan itu.17 Secara umum, Van Apeldoorn mengatakan bahwa tujuan hukum ialah

mengatur pergaulan hidup secara damai. 18 Maksudnya hukum menghendaki

perdamaian, yang semuanya bermuara kepada suasana damai. Rudolf Von Jhering

mengatakan bahwa tujuan hukum ialah untuk memelihara keseimbangan antara

berbagai kepentingan.19 Aristoteles mengatakan tujuan hukum itu ialah untuk

memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat

sebanyak-banyaknya, sedangkan Roscoe Pound mengatakan tujuan hukum ialah sebagai alat

untuk membangun masyarakat (law is tool of social engineering).20

Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul di atas adalah teori yang

berkenaan dengan kepastian hukum. Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya

hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya

serta teori “kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibabankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam

undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara

putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang

telah diputuskan.21

17

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hal. 11 18

Van Apeldoorn dalam Muchsin, Ibid, hal. 11 19

Ibid 20

Ibid 21

(26)

Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin

kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan. Terjadi

kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain

yakni hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna.

Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2

(dua) macam pengertian “kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan

kepastian dalam atau dari hukum. Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu

sebanyak-banyaknya hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu

tidak ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat

berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-lainan.22

Menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa:

teori kemanfaatan (kegunaan) hukum bisa dilihat sebagai perlengkapan masyarakat

untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja dengan

memberikan petunjuk tentang tingkah laku dan berupa norma (aturan-aturan

hukum).23

Menganalisis akibat hukum terhadap pembatalan akta jual beli dalam

penelitian ini juga didasarkan pada pemahaman terhadap perjanjian yang diatur dalam

Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena

undang-undang. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang Pada dasarnya peraturan hukum yang mendatangkan kemanfaatan atau

kegunaan hukum ialah untuk terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan

masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).

22

M. Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, disampaikan pada Rangkaian Sari Kuliah Semester II, Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum, USU Medan, 2007, hal. 43

23

(27)

dibuat dengan sengaja atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu

yang telah disepakati/ disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak

sebagaimana yang telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam

perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk

memaksakan pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.24

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan

perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang

membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang

mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.25

Memperjelas mengenai definisi perjanjian, M Yahya Harahap menyatakan

bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua

orang atau lebih, yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh

prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.26

Jual beli merupakan semacam persetujuan yang terang bersifat timbal balik,

sebagaimana halnya dengan persetujuan-persetujuan lainnya, seperti sewa menyewa,

tukar menukar dan lain sebagainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam jual beli,

masing-masing pihak senantiasa mempunyai hak dan kewajiban.

Dalam jual beli ditentukan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang

harus dilaksanakan, dimana antara hak dan kewajiban tersebut terdapat suatu

keseimbangan. Jual beli telah diikat dengan suatu ketentuan yang didasarkan oleh kata

sepakat dan dituangkan dalam kesepakatan tertulis dengan tujuan saling

24

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 59

25

Subekti, Op, cit, hal. 1 26

(28)

menguntungkan. Hal ini berarti bahwa jual beli menyebabkan para pihak mempunyai

kewajiban untuk memberikan kemanfaatan pada pihak lainnya dan sebaliknya,

lawannya untuk menerima manfaat yang menguntungkan atau berguna bagi dirinya

dari hubungan perjanjian tersebut.

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang

berkaitan dengan jual beli yaitu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak,

asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), dan asas itikad baik. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada

detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya.27 Ketika para pihak menentukan

hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para

pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat

menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan

dan bukanlah sesuatu yang terlarang.28 Persetujuan secara timbal balik terhadap

bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tandatangan atau dapat

dipersamakan dengan itu. Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak

dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan: “semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya” dan asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata yang menyatakan: “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.29

2. Konsepsi

27

Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. 28

Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata. 29

(29)

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan

dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai

berikut:

1. Akibat hukum adalah akibat-akibat yang timbul karena adanya suatu

perbuatan, sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Misalnya, kesepakatan

dua belah pihak ya30

2. Perjanjian atau kontrak berasal dari Bahasa Inggris, yaitu contracts, sedangkan di dalam Bahasa Belanda dikenal dengan nama overeenkomst (perjanjian).31 Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal. Dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut

yang dinamakan perikatan. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua

orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu

rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang

diucapkan atau ditulis.32

3. Jual beli adalah: “suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si

penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan

para pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang

terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.33

4. Akta jual beli adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa

jual beli, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan jual beli, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.34

30

http://hukumpedia.com/index.php?title=Akibat_hukum. Diakses tanggal 7 Juli 2011. 31

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 15.

32

Subekti, Op. cit, hal. 1 33

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 13. 34

(30)

5. Perjanjian jual beli adalah pihak yang satu penjual mengikat diri kepada pihak

lainnya pembeli untuk memindahtangankan suatu benda dalam eigendom

dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah

tertentu, berwujud uang.35

G. Metode Penelitian

Metode ilmiah dari suatu ilmu pengetahuan adalah segala cara dalam rangka

ilmu tersebut, untuk sampai kepada kesatuan pengetahuan. Tanpa metode ilmiah,

suatu ilmu pengetahuan itu sebenarnya bukan suatu ilmu tetapi suatu himpunan

pengetahuan saja tentang berbagai gejala yang satu dengan gejala lainnya.36

Sedangkan penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu

hukum yang dihadapi.37 selain itu, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah

yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas

permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala bersangkutan.38

Metodologi memiliki peranan dalam penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan, yaitu di antaranya:39

a. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan

penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap

35

R.M. Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Bersumber Perjanjian, (Bandung; Tarsito, 1996), hal. 14

36

Koenjtaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1991), hal. 37. 37

Peter Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 35. 38

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hal. 38.

39

(31)

b. memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang

belum diketahui

c. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian

interdisipliner.

Untuk dapat merampungkan penyajian tesis ini agar dapat memenuhi kriteria

sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan tesis ini. Dalam upaya

pengumpulan data yang diperlukan itu, maka menerapkan metode pengumpulan data

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang

disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)40. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah

spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.41

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran

berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.42

40

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 118.

Logika keilmuan yang

juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan

cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri.

Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum,

41

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 3.

42

(32)

peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku

mengenai akibat hukum terhadap pembatalan akta jual beli.

2. Sumber Data

Materi dalam tesis ini diambil dari data sekunder, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang.43

b. Bahan Hukum Sekunder

Dalam tulisan ini di antaranya Kitab Undang-undang Hukum Perdata,

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004

Jabatan Notaris, dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan

dengan akibat hukum terhadap pembatalan akta jual beli, seperti: seminar-seminar,

jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa

sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang

mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus,

ensiklopedia dan lain-lain.

43

(33)

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka untuk memperoleh data sekunder berupa buku-buku baik koleksi pribadi

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun

media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan

perundang-undangan.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:44

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang

relevan degan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel- artikel media cetak

maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah dan peraturan

perundang-undangan.

c. Mengelompokan data-data yang relevan dengan permasalahan.

d. Menganalisis data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah

yang menjadi objek penelitian.

4. Teknik Analisis Data

Lexy J. Moloeng mengatakan bahwa "proses analisis data dimulai dengan

menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara,

pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi,

dokumen resmi, gambar, foto, dan sebagainya.45

Dalam penelitian ini, semua data yang diperoleh dikelompokkan sesuai dengan

penelitian dan diteliti serta dievaluasi keabsahannya. Setelah itu diseleksi dan diolah

44

Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 63.

45

(34)

lalu dianalisa sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku untuk melihat

kecenderungan yang ada. Analisa data termasuk penarikan kesimpulan dilakukan

secara deduktif, sehingga diharapkan akan memberikan solusi dan jawaban atas

(35)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM AKTA JUAL BELI

A. Tinjauan terhadap Akta 1. Pengertian Akta

Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd Handwoordenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti

geschrift46 atau surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berasal dari bahasa Latin yang berarti perbuatan-perbuatan47

A. Pitlo mengartikan akta itu sebagai berikut: “surat-surat yang ditandatangani

dibuat untuk dipakai sebagai alat bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk

keperluan siapa surat itu dibuat.48

Di samping pengertian akta sebagai surat yang sengaja dibuat untuk dipakai

sebagai alat bukti, dalam peraturan perundang-undangan sering dijumpai perkataan

akta yang maksudnya sama sekali bukanlah “surat” melainkan perbuatan. Hal ini

dijumpai misalnya pada Pasal 108 KUH Perdata, yang berbunyi:

Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu, atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban melainkan dengan bantuan dalam “akta” atau dengan izin tertulis dari suaminya.

Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya untuk membuat suatu

akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia, karena itu,

46

S. J. Fockema Andreae, Op. cit, hal. 9. 47

R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, Op. cit, hal. 9. 48

M. Isa Arif, Pembuktian dan Daluwarsa, (Jakarta, Intermasa, 1978), hal. 52.

(36)

berhak menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin

yang tegas dari suaminya.

Bila diperhatikan dengan teliti dan seksama, maka penggunaan “akta” dalam

ketentuan undang-undang tersebut di atas tidak tepat kalau diartikan surat yang

diperuntukkan sebagai alat bukti.

Menurut R. Subekti, kata akta dalam Pasal 108 KUH Perdata tersebut di atas

bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal

dari kata “acta” yang dalam bahasa Perancis berarti perbuatan.49

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta adalah:

1. Perbuatan handeling/ perbuatan hukum (rechtshandeling) itulah pengertian yang luas, dan

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/ digunakan sebagai bukti perbuatan

hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang ditujukan kepada pembuktian

sesuatu.

Demikian pula misalnya dalam Pasal 109 KUH Perdata (Pasal 1115 BW

Nederland) dan Pasal 1415 KUH Perdata (Pasal 1451 BW Nederland) kata akta dalam Pasal-Pasal ini bukan berarti surat melainkan perbuatan hukum. Menurut

Sudikno Mertokusumo, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat

peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat

sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.50

2. Macam-macam Akta

Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: pembuktian dengan tulisan dilakukan

dengan tulisan (akta) autentik maupun dengan tulisan-tulisan (akta) di bawah tangan.

Dari bunyi Pasal tersebut, maka akta dapat dibedakan atas:

49

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta, Intermasa, 1980), hal. 29. 50

(37)

1. Akta Autentik

Mengenai akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan

bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta

yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan

bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang

mendapat hak daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai

pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu

berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.51

Pasal 165 HIR dan Pasal 285 Rbg memuat pengertian dan kekuatan

pembuktian akta autentik sekaligus. Pengertian akta autentik dijumpai pula dalam

Pasal 1868 KUH Perdata, yang berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang

dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris/ PPAT yang berkedudukan

sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

Undang-undang Jabatan Notaris52, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa

syarat akta otentik, yaitu:53

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku)

b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.

Dikemukakan pula oleh Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia

agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:54

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

51

G.H.S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 42. 52

M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, (Jakarta: Swa Justitia, 2005), hal. 152

53

Philipus M. Hadjon, Formulir Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, 31 Januari 2001, hal. 3

54

(38)

b. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk

itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Menurut C. A. Kraan, akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:55

a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau

suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan

dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani

oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang

berwenang.

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan

tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat

ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan,

nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana

dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan

pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan

hukum di dalam bidang hukum privat.

2. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk

pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta di

55

(39)

bawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi

tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum pembuat akta.56

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di

bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat

cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH Perdata.57

Mengenai akta di bawah tangan ini tidak diatur dalam HIR, tetapi di dalam

Rbg ada diatur dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 dan dalam KUH Perdata

diatur dalam Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29.

Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak

untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/ menyerahkan sesuatu barang yang

dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya

sendiri oleh orang yang menandatangani (orang yang berutang) atau paling sedikit

selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan (orang yang

berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang.

Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu

hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian

menurut Pasal 1878 KUH Perdata, yang bersamaan isinya dengan Pasal 1291 Rbg dan

Pasal 4 Stbl. 1867 No. 29. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis,

dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi: “yang dinamakan

permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari

orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan

yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan

oleh seseorang.’

56

Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit, hal. 36. 57

(40)

Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidaklah merupakan

permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka

permulaan bukti tertulis itu harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain.

Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik

dengan akta di bawah tangan adalah:

a. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti;

b. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial

seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai

kekuatan eksekutorial.58

c. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar

dibandingkan dengan akta otentik.59

Di samping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan

akta di bawah tangan, seperti:60

a. Akta otentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti

bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di

bawah tangan tidak demikian.

b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica probant seseipsa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta

itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya,

sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir.

Bila diperhatikan Pasal 164 HIR, Pasal 283 RBg, dan Pasal 1865 KUH

Perdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat

58

Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara.

59

G. H. S. Lumban Tobing, Op. cit, hal. 46-47. 60

(41)

bukti yang disebut dalam Pasal-Pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan

penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperative, namun

dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang

paling tepat dan penting, terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini.

Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas

tiga, yaitu:61

1. Kekuatan pembuktian lahir

Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah kekuatan pembuktian

yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat

yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai

dibuktikan sebaliknya.62

2. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formal ini didasarkan atas benar tidaknya ada

pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik,

pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang

dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.63

3. Kekuatan pembuktian materil

Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi

suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak

melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.64

61

Ibid, hal. 109 62

Ibid 63

Ibid, hal. 111. 64

(42)

B. Pengertian Jual Beli

Dalam suatu masyarakat, dimana sudah ada peredaran uang berupamata uang

sebagai alat pembayaran yang sah, perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian

yang paling lazim diadakan diantara para anggota masyarakat. Wujud dari perjanjian

jual beli ialah rangkaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak,

yang saling berjanji, yaitu si penjual dan si pembeli. Perjanjian jual beli diatur dalam

Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Pengertian jual beli menurut

Pasal 1457KUH Perdata adalah:

“Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga

yang telah dijanjikan.”

Dari pengertian menurut Pasal 1457 KUH Perdata tersebut diatas, dapat

disimpulkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik, dimana pihak

penjual berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak pembeli

berjanji untuk membayar sejumlah uang sebagai imbalan.

Hak milik suatu barang yang semula dimiliki pihak penjual, akan berpindah

tangan kepada si pembeli apabila sudah ada penyerahan secara yuridis sesuai dengan

ketentuan Pasal 1459 KUH Perdata. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi antara

kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang

kebendaan tersebut dan harganya, meskipunkebendaan itu belum diserahkan, maupun

harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUH Perdata). Barang dan harga inilah yang

menjadi unsur pokok dari perjanjian jual beli. Menurut Pasal 1517 KUH Perdata, jika

pihak pembeli tidak membayar harga pembelian, maka itu merupakan suatu

wanprestasiyang memberikan alasan kepada pihak penjual untuk menuntut ganti rugi

(43)

Perdata. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Jika dalam suatu perjanjian

tidak menunjuk kepada dua hal tersebut (barang dan uang), maka itu akan merubah

perjanjiannya menjadi tukar menukar, atau kalau harga itu berupa jasa, perjanjiannya

akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitulah seterusnya. Dalam pengertian jual

beli sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada

uang.

Tentang macamnya uang, dapat diterangkan bahwa, meskipun jual beli itu

terjadi di Indonesia, tidak diharuskan bahwa harga itu ditetapkan dalam mata uang

rupiah, namun diperbolehkan kepada para pihak untuk menetapkannya dalam mata

uang apa saja.65 Mengenai sifat dari perjanjian jual beli, menurut para ahli hukum

Belanda, perjanjian jual beli hanya mempunyai sifat obligator, atau bersifat mengikat

para pihak.66

Jual beli yang bersifat obligator dalam Pasal 1459 KUH Perdatamenerangkan

bahwa hak milik atas barang yang dijual belum akan berpindah tangan kepada

pembeli selama belum diadakan penyerahan yuridis menurut Pasal 612, 613, dan 616

KUH Perdata.Dari sifat obligator tersebut dalam perjanjian jual beli, dapatdijabarkan

menjadi beberapa hal yang pada intinya juga termasuk dalam sifat obligator tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari obyeknya (apa saja yang menjadi obyeknya), harga yang

telah disepakati kedua belah pihak dalamperjanjian jual beli, dan yang terakhir adalah

hak dan kewajiban para pihak.

C. Timbulnya Perjanjian Jual Beli

65

Achmad Ichsan, Dunia Usaha Indonesia, (Jakarta: Pradya Paramita, 1986), hal. 21. 66

(44)

Berpijak dari asas konsensualitas dalam perjanjian jual beli sejak tercapainya

kata sepakat mengenai jual beli atas barang dan harga walaupun belum dilakukan

penyerahan barang ataupun pembayaran maka sejak saat itulah sudah lahir suatu

perjanjian jual beli. Asas konsensualitas itu sendirimenurut Pasal 1458 KUH Perdata

mengatur sebagai berikut:

Jual beli sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka

mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun barang belum

diserahkan dan hargabelum dibayar.

Kata Kosensualitas itu sendiri berasal dari bahasa Latin consensus yang artinya kesepakatan. Kata kesepakatan tersebut mengandung makna bahwa dari para

pihak yang bersangkutan telah tercapai suatu persesuaiankehendak. Artinya apa yang

dikehendaki oleh para pihak telah tercapai suatu kesamaan, kemudian dari

persesuaian kehendak tersebut tercapai kata sepakat. Sebagai contoh pihak penjual

sebagai pihal pertama ingin melepaskan hak milik atas suatu barang setelah

mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya. Begitu pula dipihak kedua sebagai

pihak pembeli yang menghendaki hak milik atas barang tersebut harus bersedia

memberikan sejumlah nominal (uang) tertentu kepada penjual sebagai pemegang hak

milik sebelumnya.

Jual beli yang bersifat obligator dalam KUH Perdata (Pasal 1359) bahwa hak

milik atas barang yang dijual belum akan berpindah ke tangan pembeli selama belum

diadakan penyerahan menurut ketentuan Pasal 612 yang menyebutkan bahwa

penyerahan atas benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata, Pasal 613

bahwa penyerahan piutang atas nama, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik

atau dibawah tangan.Sifat obligatoir dalam perjanjian jual beli menurut KUH Perdata

(45)

pada para pihak, yaitu saat meletakkan kepada penjualkewajiban untuk menyerahkan

hak milik atas barang yang dijual, selanjutnya memberikan kepadanya hak untuk

menuntut pembayaran atas harga yang telah menjadi kesepakatan. Sementara pihak

pembeli berkewajiban untuk membayar harga sebagai imbalan haknya untuk

mendapatkan penyerahan hak milik atas barang yang dibeli, dengan kata lain hak

milik akan berpindah dari pihak penjual kepada pembeli setelahdiadakan penyerahan.

Apabila barang sudah diserahkan, namun belum terjadi pelunasan atas barang

tersebut, maka transaksi jual beli belum dapat dikatakan berakhir, sebab sebuah

transaksi jual beli harus terdiri atas tiga unsur, yaitu terjadinya perjanjian, terjadinya

penyerahan atau penunaian jasa, dan terjadinya pembayaran.

D. Subjek dan Objek Jual Beli 1. Subjek Perjanjian Jual Beli

Jual beli merupakan suatu perjanjian yang timbul disebabkan oleh adanya

hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak atau lebih. Pendukung

perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu, masing-masing orang

menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur dan yang lain

menjadi pihak debitur. Kreditur dan debitur itulah yang menjadi subjek perjanjian.

Kreditur mempunyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan

prestasi terhadap kreditur67. Dalam jual beli yang menjadi kreditur adalah pembeli

dan yang menjadi debitur adalah penjual. Ini tidak benar karena hanya

menggambarkan sepihak saja, sedangkan jual beli adalah perjanjian timbal balik, baik

penjual maupun pembeli sesuai dengan teori dan praktek hukum terdiri dari, yaitu:68

a. Individu sebagai persoon atau manusia tertentu;

67

R. Setiawan, Loc. cit, hal. 5. 68

(46)

1) Natuurlijke persoon atau manusia tertentu.

Subjek jual beli berupa orang atau manusia harus memenuhi syarat tertentu

untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah. Seseorang

harus cakap untuk melakukan tindakan hukum, tidak lemah pikirannya,

tidak berada dibawah pengampuan atau perwalian. Apabila anak belum

dewasa, orang tua aatau wali dari anak tersebut yang harus bertindak.

2) Rechts persoon atau badan hukum.

Subjek jual beli yang merupakan badan hukum, dapat berupa kooperasi

Referensi

Dokumen terkait