• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Pembayaran Nontunai (non-cash)

Alat pembayaran non-tunai dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yakni alat pembayaran untuk credit transfer dan alat pembayaran untuk debit

transfer.

Perbedaan antara credit transfer dan debit transfer terletak pada perintah pengiriman uang. Berdasarkan terminologi yang dibuat oleh Bank for

International Settlement (BIS), credit transfer adalah perintah pembayaran

untuk tujuan penempatan dana dari pengirim ke penerima melalui jalur transfer dana dari bank pengirim ke bank penerima dan dimungkinkan melalui bank lain sebagai perantara. Sedangkan debit transfer adalah sistem transfer dana dimana perintah transfer dibuat atau diotorisasi oleh pihak yang memiliki dana dan akan melakukan pengiriman dana tersebut kepada pihak lain. Perintah transfer tersebut disampaikan kepada pihak yang akan menerima dana untuk kemudian dicairkan. Selanjutnya, bank tersebut mengkliringkan perintah transfer debit tersebut di lembaga kliring, untuk menagihkan dana ke bank pengirim. Alat pembayaran yang digunakan saat ini adalah cek, bilyet giro, dan nota debet.

Perkembangan sistem pembayaran non-tunai diawali dengan instrumen pembayaran yang bersifat paper based seperti cek, bilyet giro, dan warkat lainnya. Sejak perbankan mendorong penggunaan sistem elektronik serta penggunaan alat pembayaran menggunakan kartu dengan segala bentuknya, berangsur-angsur pertumbuhan penggunaan alat pembayaran yang

paper based semakin menurun. Apalagi sejak sistem elektronik, seperti

transfer dan sistem kliring mulai banyak digunakan.

Selanjutnya berkembang instrumen pembayaran yang berbasis kartu sejalan dengan perkembangan teknologi.Saat ini, instrumen pembayaran berbasis kartu yang telah berkembang dengan berbagai variannya.Mulai dari kartu kredit, kartu ATM, kartu debit, dan berbagai macam jenis uang elektronik.

Kartu Kredit

Kartu kredit merupakan salah satu transaksi non-tunai yang dananya berasal dari perbankan.Jenis alat transaksi ini berkembang cukup pesat.Di Indonesia kartu kredit mulai berkembang sejak dekade 90-an. Kartu kredit umumnya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas. Selain menawarkan keuntungan yang tinggi, segmen penggunanya merupakan kalangan atas dimana eksposur risiko gagal bayar dianggap relatif kecil. Hal ini menarik minat banyak bank untuk masuk dalam industri kartu kredit tersebut.

Dorongan bank untuk memasuki industri kartu kredit juga disebabkan oleh pangsa pasar Indonesia yang masih terbuka untuk pengembangan kartu kredit. Salah satu faktor untuk melihat potensi pasar tersebut adalah perbandingan antara jumlah penduduk usia produktif dengan jumlah pemegang kartu kredit.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa dari 230 juta penduduk Indonesia terdapat 127 juta penduduk yang tergolong dalam usia produktif (usia 20 - 50 tahun).

Pesatnya pertumbuhan kartu kredit tercermin pada trend peningkatan jumlah kartu beredar tiap tahunnya. Pada tahun 2003 jumlah kartu kredit baru berkisar 4,5 juta kartu, dan pada tahun 2011 mencapai 11,5 juta kartu, atau rata-rata pertumbuhannya per tahun sebesar 20,8%. Pada tahun 2014 jumlah kartu kredit meningkat sebesar dari 15,12 juta kartu, pada tahun 2013 menjadi 15,81 juta kartu.

Setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah harus memiliki target dan ukuran keberhasilan. Hal ini penting untuk mengukur/ acuan, apakah kebijakan tersebut berhasil atau tidak. Menurut Manurung (2009), dalam perekonomian beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk menilai kebijakan moneter adalah:

1. Jumlah Uang Beredar (JUB)

2. Laju inflasi yang cukup rendah terkendali 3. Suku bunga pada tingkat yang wajar 4. Nilai tukar rupiah yang realistis, dan

5. Ekspektasi/harapan masyarakat terhadap moneter

Dari kelima indikator tersebut, hanya JUB yang tidak dapat dimonitor dan dirasakan langsung oleh masyarakat, sementara itu inflasi, suku bunga,

nilai tukar dan ekspansi relatif dapat dilihat dan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Account Based Card (Kartu ATM dan Debet)

Account Based Card adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang

dananya berasal dari rekening (account) nasabah. Jenis kartu yang masuk dalam kategori ini adalah kartu ATM, Kartu Debet atau perpaduan ATM dan Debet. Pada awal perkembangannya, jenis Account Based Card, yang banyak dipakai adalah murni kartu ATM. Ini karena tujuan awal teknologi ATM hanya sebagai pengganti fungsi teller untuk meningkatkan efisiensi overhead

cost, seperti penyediaan kantor cabang baru dan penambahan penggunaan

sumber daya manusia.

Dalam perkembangannya, infrastruktur jaringan ATM semakin diperluas penggunaannya. Bank yang memiliki basis teknologi relatif maju mulai menjajaki pengembangan kartu debet sekaligus membuat perusahaan yang menangani infrastruktur switching transfer dana antar bank. Pada saat sekarang ini banyak bank yang menawarkan pembayaran di merchant dengan menggunakan kartu ATM yang telah ditambahkan fungsinya sebagai kartu debet.

Perkembangan penggunaan kartu account based semakin meningkat lagi ketika jumlah bank yang menjadi acquiring(penerbit)semakin banyak menyediakan infrastruktur Electronic Data Capture (EDC) yaitu mesin pembaca kartu debet di merchant. Perkembangan tersebut mendorong account

based card memiliki pertumbuhan paling tinggi di antara jenis instrumen

pembayaran lainnya.

Ada tiga faktor yang menyebabkan pertumbuhan account based card lebih tinggi dari instrumen pembayaran lain:

1. Terjadinya peningkatan jumlah penabung yang signifikan dari tahun ke tahun

2. Semakin beragamnya fitur dan manfaat yang ditawarkan kepada pemegang kartu

3. Fungsi account based card untuk pembayaran di merchant semakin meningkat

Uang Elektronik

Meskipun kehadiran alat pembayaran menggunakan uang elektronik masih relative baru namun uang elektronik cukup mendapat tempat di masyarakat. Selama kurang lebih satu setengah tahun sejak pertama terbit pada April 2007, jumlah uang elektronik telah mencapai 430 ribu. Berbeda pada awal penerbitannya, uang elektronik saat ini tidak hanya diterbitkan dalam bentuk chip yang tertanam pada kartu atau media lainnya (chip based), namun juga telah diterbitkan dalam media lain yaitusuatu media yang saat digunakan untuk bertransaksi akan terkoneksi terlebih dulu dengan server penerbit (server based). Begitu pula dari sisi penggunaannya, hampir dari seluruh uang elektronik yang diterbitkan tidak lagi bersifat single purpose namun sudah multi purpose sehingga dapat diterima di banyak merchant yang

berbeda. Aktivitas penggunaan uang elektronik pada tahun 2008 mencapai 2,5 juta transaksi atau meningkat 77,1% dari tahun sebelumnya dengan nilai transaksi sebesar Rp76,7 miliar atau meningkat 93,1% dari tahun sebelumnya. Bertambahnya penerbit uang elektronik telah mendorong pesatnya perkembangan transaksi instrumen pembayaran ini. Sampai dengan akhir tahun 2014, terdapat 18 penerbit uang elektronik yang telah mendapatkan izin dari Bank Indonesia. Berharap trend ini terus berlanjut, sehingga pertumbuhan uang elektronik yang semakin luas akan mengurangi penggunaan uang tunai untuk bertransaksi. Dalam skala yang lebih besar, diyakini penggunaan uang elektronik secara luas di masyarakat akan meningkatkan efisiensi biaya transaksi ritel, terutama dalam mengurangi biaya

cash handling. Sebagai alat pembayaran, perolehan dan penggunaan uang

elektronik pun cukup mudah. Calon pemegang hanya perlu menyetorkan sejumlah uang kepada penerbit atau melalui agen-agen penerbit dan nilai uang tersebut secara digital disimpan dalam media uang elektronik. Untuk chip

based, pemegang dapat bertransaksi secara off-line melalui uang elektronik

(dalam bentuk kartu atau bentuk lainnya). Sedangkan pada server based, pemegang akan diberi sarana untuk mengakses “virtual account” melalui

handphone (sms), kartu akses, atau sarana lainnya, sehingga transaksi

diproses secara on-line. Transaksi melalui uang elektronik khususnya transaksi yang diproses secara off-line sangat cepat hanya memerlukan waktu kurang lebih 2-4 detik. Saat ini nilai uang yang dapat disimpan dalam uang

elektronik dibatasi tidak lebih dari Rp1 juta, karena fungsinya memang ditujukan sebagai alat pembayaran untuk transaksi yang bernilai kecil. Namun batasan tersebut nantinya dapat saja disesuaikan dengan melihat perkembangan dan kebutuhan industri. Dalam mekanisme uang elektronik, apabila pemegang tidak lagi berminat menggunakan uang elektronik atau ingin mengakhiri penggunaan uang elektronik, nilai uang yang ada pada uang elektronik dapat di-redeem sesuai tata cara yang diatur oleh masing-masing penerbit. Reedem adalah penarikan seluruh sisa nilai uang pada uang elektronik pada saat pemegang mengakhiri penggunaan uang elektronik tersebut. Pertumbuhan non-tunai dari agustus 2014 ke September 2015 mencapai 71,7% dengan volume pertumbuhan e-money mencapai 217%, Nilai transaksi uang elektronik hingga akhir 2015 mencapai RP.5,2 trilliun meningkat bila di bandingkan posisi pada September lalu RP 4,3 trilliun 2009=RP 520 milliyar.

Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 11/12/PBI/2009 tentang uang elektronik (Electronic Money), yang dimaksud dengan uang elektronik adalah alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Diterbitkan atas dasar uang yang disetor terlebih dahulu oleh pemegang kepada penerbit.

2. Nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media seperti server atau chip

3. Digunakan sebagai alat pembayaran kepada pedagang yang bukan merupakan penerbit uang elektronik tersebut, dan

4. Nilai uang elektronik yang disetor oleh pemegang dan dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perbankan.

Maka dapat disimpulkan bahwa uang elektronik adalah alat pembayaran dengan nilai uang yang telah tersimpan secara elektronik pada

server atau pun kartu dan tata cara penggunaan dan penerbitan telah diatur

dan diawasi langsung leh Bank Indonesia.

Dokumen terkait