• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA BERPIKIR

3. Pembelajaran Konvensional

4. Penelitian ini akan dilaksanakan pada siswa kelas VIII di MTs Negeri 32 Jakarta.

5. Penelitian ini dilakukan pada materi pelajaran Bangun Ruang.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dibatasi di atas, maka perumusan masalah yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar menggunakan metode Cornell Note-Taking ?

2. Bagaimana kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional ?

3. Apakah kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar dengan menggunakan metode Cornell Note-Taking lebih tinggi dibanding kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional ?

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang telah diuraikan maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar menggunakan metode Cornell Note-Taking.

2. Mengetahui kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional.

3. Mengetahui perbedaan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa antara yang diajar menggunakan metode Cornell Note-Taking dengan siswa yang diajar dengan metode pembelajaran konvensional.

F. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi guru, sebagai masukan atau informasi untuk memperoleh gambaran mengenai penerapan metode Cornell Note-Taking dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam belajar matematika di kelas.

2. Bagi sekolah, sebagai bahan sumbangan pemikiran dalam rangka memperbaiki proses pembelajaran matematika serta untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.

3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan bahan rujukan untuk mengadakan penelitian yang lebih lanjut.

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA BERPIKIR

A.

KAJIAN TEORITIS

1. Berpikir Reflektif Matematis

a. Pengertian Kemampuan Berpikir

Secara umum pengertian kemampuan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan memiliki kemampuan atau mampu bila ia sanggup melakukan sesuatu yang memang harus dilakukannya.

Kata berpikir merupakan kata kerja yang berasal dari kata dasar pikir yang diberi awalan ber-. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata pikir berarti akal budi atau ingatan. Berpikir adalah eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai sesuatu.1

Menurut Sanjaya, “Berpikir (Thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih dari sekedar meningat (Remembering) dan memahami (Comprehending)2.

Berpikir menyebabkan seseorang harus bergerak hingga di luar informasi yang didengarnya. Misalnya, kemampuan berpikir seseorang untuk memerlukan solusi baru dari persoalan yang dihadapi. Mengingat pada dasarnya hanya melibatkan usaha penyimpanan sesuatu yang telah dialami untuk suatu saat dikeluarkan kembali atas permintaan, sedangkan memahami memerlukan pemerolehan apa yang didengar dan dibaca serta meihat keterkaitan antara aspek-aspek dalam memori. Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.3 Jadi berpikir adalah suatu kegiatan mental yang dilakukan bukan hanya sekedar

1Edwar De Bono, Mengajar Berpikir, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h.54. 2Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008 ), Cet. 5, h. 23

3Isrok’atun,”Creatif Problem Solving (CPS) Matematis”, Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ” Kontribusi Pendidikan Matematika dan Matematika dalam Membangun Karakter Guru dan Siswa" Matematika FMIPA UNY, 10 November,2012, h.p-47.

9

mengingat dan memahami fakta tetapi sekaligus proses pencarian gagasan atau ide – ide untuk memperoleh pengetahuan dalam memecahkan masalah.

b. Kemampuan Berpikir Reflektif

Berpikir reflektif merupakan berpikir yang bermakna, yang didasarkan pada alasan dan tujuan. Berpikir reflektif sebagai suatu jenis berpikir yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Berpikir reflektif tidak diperoleh dengan mudah dan cepat, oleh karenanya perlu dilatih dan didukung oleh lingkungan yang tepat.

Gagasan berpikir reflektif berasal dari teori yang dikemukakan John Dewey tahun 1933.4 Dalam Trianto, Dewey mengemukakan suatu bagian dari metode penelitiannya yang dikenal dengan berpikir reflektif (reflective thinking). Dewey menganjurkan agar bentuk isi pelajaran hendaknya dimulai dari pengalaman siswa dan berakhir pada pola struktur mata pelajaran.5 Dewey dalam Phan mendefinsikan mengenai berpikir reflektif yang digunakan selama bertahun-tahun adalah: “active, persistent, and careful consideration of any belief or suppose from of knowledge in the light of the grounds that support it and the conclusion to wich it tends”. Ia mengatakan bahwa berpikir reflektif adalah berpikir aktif, gigih dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya atau format yang diharapkan tentang pengetahuan apabila dipandang dari sudut pandang yang mendukungnya dan menuju pada suatu kesimpulan.6

Menurut Sri Hastuti Noer, berpikir reflektif secara mental melibatkan proses-proses kognitif untuk memahami faktor-faktor yang menimbulkan konflik pada

4Huy P Phan, Examination of student learning approaches, reflective thinking, and epistemological beliefs: A latent variables, approachs. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, Vol 4 (3), No. 10, 2006, p.582, (repositorio.ual.es:8080/jspui/bitstream/10835/659/1/Art_10_141.pdf).

5Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), Edisi Pertama, Cetakan ke-6, h. 32

6H.P. Phan, “Achivement Goals, The Classroom Environtment, And Reflective Thinking A Conceptual Framework”, dalam Electronic Journal Of Research in Educational Psycology, No.16 Vol 6(3) 2008, h.578.

suatu situasi.7 Pemahaman awal siswa yang telah dimiliki dari proses pembelajaran sebelumnya kemudian direfleksikan dengan pengetahuan yang baru mereka peroleh. Refleksi membantu para siswa untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan berpikir tingkat tinggi. Dengan begitu siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru dipelajarinya.

Lebih lanjut, proses pertimbangan berpikir reflektif diperjelas bertahap oleh Abdul Muin dalam definisinya yaitu kemampuan berpikir reflektif adalah kemampuan yang jika dimiliki akan digunakan untuk memahami, mengkritik, menguji, menemukan solusi alternatif dan mengevaluasi persoalan atau masalah yang sedang dipelajari atau diperbincangkan.8Dari penjelasan tersebut, berpikir reeflektif mementingkan adanya proses evaluasi dengan pertimbangan yang hati-hati.

Berpikir reflektif juga dikatakan sebagai tujuan dan proses kegiatan yang tepat saat individu menyadari untuk mengikuti, menganalisis dan mengevaluasi pembelajarannya sendiri untuk mencapai tujuan pembelajaran, memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat untuk menghasilkan pendekatan pembelajaran baru yang berdampak langsung pada proses pembelajaran.9

Dari uraian tentang berpikir reflektif di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir reflektif adalah kemampuan berpikir siswa untuk menghubungkan pengetahuan sebelumnya dalam menganalisis, menilai, membuat keputusan, mengevaluasi persoalan atau masalah dengan pertimbangan yang hati-hati untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

7Annisa Rohyani. “Pengaruh Pembelajaran dengan Pendekatan Scientific terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis Siswa SMP. 2014. Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.

8Abdul Muin, “The Situations That Can Bring Reflective Thinking Process In Mathematics Learning,” Makalah disampaikan pada Seminar Internasional dan Konferensi Nasional Pendidikan Matematika ke IV “Building the Nation Character through Humanistic Mathematics Education”. Departemen Pendidikan Matematika, UNY, Yogyakarta, 21-23 Juli 2011, pp.235.

9Aysun Gurol,”Determining the Reflective Thinking Skills of Pre-service Teacher in Learning and Teaching Process”, Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies, Firat University Faculty of Education Turkey, 2011, h.387.

c. Indikator Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis

Untuk mengukur kemampuan berpikir reflektif matematis siswa, digunakan ketentuan penlaian berupa indikator kemampuan berpikir reflektif matematis siswa. Dienes mengartikan berpikir matematis berkenaan dengan penyeleksian himpunan – himpunan unsur matematika, dan himpunan-himpunan ini menjadi unsur-unsur dari himpunan-himpunan baru membentuk himpunan-himpunan baru yang lebih rumit dan seterusnya.10

Secara operasional Abdul Muin, Yaya S. Kusumah, dan Utari Sumarmo berpendapat bahwa berpikir reflektif matematis dalam pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai proses berpikir yang menunjukkan kemampuan seseorang dalam:11

1) Mendeskripsikan situasi atau masalah matematik, yaitu menjelaskan situasi atau masalah yang diberikan menggunakan konsep matematika yang terkait. 2) Mengidentifikasi situasi atau masalah matematik, yaitu memilih dan

menentukan konsep dan atau rumus matematika yang terlibat dalam soal matematika yang tidak sederhana.

3) Menginterpretasi, yaitu memberikan penafsiran tentang suatu situasi masalah berdasarkan konsep yang terlibat di dalamnya.

4) Mengevaluasi, yaitu menyelidiki kebenaran suatu argument berdasarkan konsep yang digunakan.

5) Memprediksi cara penyelesaian, yaitu memperkirakan suatu penyelesaian masalah atau alternative penyelesaian lain menggunakan konsep matematika yang sesuai.

6) Membuat kesimpulan, yaitu membuat keputusan secara umum mengenai suatu masalah menggunakan konsep matematika yang sesuai.

Dalam Disertasi Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd menguraikan, bahwa berpikir reflektif matematis adalah kemampuan mengidentifikasi apa yang dipelajari,

10Herman Hudojo, Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran Matematika, (Surabaya: Universitas Negeri Malang, 2005), h. 63.

11Abdul Muin, Yaya S Kusumah, Utari Sumarmo, Mengidentifikasi Kemampuan Berpikir Reflektif Matematik, Makalah disampaikan pada KNM XVI, UNPAD, Jatinangor, 3-6 Juli 2012, pp. 1356.

menerapkan pengetahuan matematis yang dimiliki dalam situasi-situasi yang lain, memodifikasi pemahaman berdasarkan informasi dan pengalaman-pengalaman baru yang meliputi 3 fase yaitu: 1) Reacting, 2) Comparing, dan 3)

Contemplating. Reacting (Berpikir reflektif untuk aksi) adalah bereaksi dengan perhatian terhadap peristiwa/situasi/masalah matematis, dengan berfokus pada sifat alami situasi. Comparing (Berpikir reflektif untuk evaluasi) adalah berpikir yang berpusat pada analisis dan klarifikasi pengalaman individual, makna, dan asumsi-asumsi untuk mengevaluasi tindakan-tindakan dan apa yang diyakini dengan cara membandingkan reaksi dengan pengalaman yang lain, seperti mengacu pada suatu prinsip umum, suatu teori. Contemplating (Berpikir reflektif untuk inkuiri kritis) merupakan proses berpikir yang mengutamakan pembangunan pemahaman diri yang mendalam terhadap permasalahan, seperti mengutamakan isu-isu pembelajaran, metode-metode latihan, tujuan selanjutnya, sikap, etika. Dalam hal ini memfokuskan pada suatu tingkatan pribadi dalam proses-proses seperti menguraikan, menginformasikan, mempertentangkan, dan merekontruksi situasi-situasi.12

Lee membagi level berpikir reflektif menjadi tiga kategori yaitu Recall, Rationalization, dan Reflectivity:

Recall level (R1): “one describes what they experienced, interprets the situation based on recalling their experiences without looking for alternative explanations, and attempts to imitate ways that they have observed or were taught”. Rationalization level (R2): “one looks for relationships between pieces of their experiences, interprets the situation with rationale, searches for ‘‘why it was,’’ and generalizes their experiences or comes up with guiding principles”. Reflectivity level (R3): “one approaches their experiences with the intention of changing/improving in the future, analyzes their experiences from various perspectives, and is able to see the influence of their cooperating teachers on their students’ values/behavior/achievement”.13

12Sri Hastuti Noer. “ Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif, dan Reflektif (K2R) Matematis Siswa SMP Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”. 2010. Program Studi Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.

13Hea-Jin Lee, Understanding and Assessing Preservice Teachers’ Reflective Thinking, Journal for Teaching and Teacher Education, 2005, p.703.

Ketiga kriteria untuk mengakses kedalaman berpikir reflektif menurut Lee tersebut dijelaskan oleh Abdul Muin sebagai berikut:14

1) Level 1 Recall (R1): mengingat fakta, meliputi aspek-aspek: a) Menggambarkan apa yang dialami,

b) Menginterpretasikan situasi berdasarkan ingatan terhadap pengalamannya tanpa memberikan penjelasan,

c) Mencoba mencari cara lain yang mirip (imitasi) yang telah dialami dan dipikirkan.

2) Level 2 Rationalization (R2): Rasionalisasi hubungan, meliputi aspek-aspek: a) Mencari hubungan antara bagian-bagian dari pengalaman,

b) Menginterpretasikan dengan penjelasan (rasionalisasi),

c) Mencari informasi mengapa hal itu terjadi dan menggeneralisasi pengalaman yang diperoleh

3) Level 3 Reflectivity (R3): reflektivitas, meliputi aspek-aspek:

a) Melakukan pendekatan terhadap pengalaman untuk memprediksi, b) Menganalisis pengalaman dari sudut pandang yang berbeda c) Membuat keputusan dari pengalaman yang diperoleh.

Dari beberapa aspek kemampuan berpikir reflektif yang telah diuraikan diatas, maka indikator kemampuan berpikir reflektif matematis yang digunakan dalam penelitian ini mencakup tiga indikator kemampuan berpikir reflektif matematis secara operasional dalam pembelajaran matematika yang dikemukakan oleh Sri Hastuti Noer yaitu: (1) Reacting, berpikir reflektif untuk aksi. Menuliskan sifat-sifat yang dimiliki oleh situasi kemudian menjawab permasalahan. (2)

Comparing, berpikir reflektif untuk evaluasi. Membandingkan suatu reaksi dengan prinsip umum atau teori dengan memberi alasan kenapa memilih tindakan tersebut. (3) Contemplating, berpikir untuk inkuiri kritis. Menginformasikan jawaban berdasarkan situasi masalah, mempertentangkan jawaban dengan jawaban lain atau merekonstruksi situasi-situasi.

14Abdul Muin, dkk, op.cit., p.1356.

2. Metode Cornell Note-Taking

Menulis melibatkan keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang dalam

mengungkapkan gagasan melalui bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami secara tepat seperti yang dimaksudkan oleh penulis. Menulis merupakan kegiatan mengekspresikan gagasan, pendapat, angan-angan, perasaan dan sikap melalui tanda grafis. Kegiatan dalam menulis meliputi langkah berikut:

1. Kegiatan Pramenulis

2. Kegiatan penyusunan buram 3. Kegiatan merevisi dan menyunting 4. Kegiatan publikasi

5. Kegiatan refleksi

Kegiatan pra menulis meliputi segala sesuatu yang terjadi sebelum proses penulisan. Proses tersebut diantaranya adalah menggali, mengingat, memunculkan, dan menghubung-hubungkan atau mengaitkan antar konsep atau gagasan. Dalam konteks pembelajaran, untuk mengembangkan skemata dan pengalaman siswa dapat dilakukan dengan cara membaca, mengobservasi, menyimak, berdiskusi, ramu pendapat, dan sebagainya. Dalam kerja kelompok kegiatan pramenulis dapat dilakukan dengan brainstorming atau berdiskusi tentang hal-hal yang akan ditulis.

Kegiatan penyusunan catatan yang merupakan usaha mengkreasi atau mengkonstruksi tulisan secara utuh. Seperti menyisakan ruang untuk kata-kata yang belum ditulis, menggunakan catatan untuk tetap fokus.

Setelah itu kegiatan merevisi dan menyunting kegiatan untuk berpikir, melihat, dan mengkontruksi kembali tulisan yang sudah disusun. Revisi merupakan sktivitas yang berlangsung terus menerus, baik pada saat pramenulis maupun pada saat penyusunan tulisan. Penulis harus memperhatikan dengan baik apakah ie-ide sudah diungkapkan secara jelas, runtut dan lengkap, menghapus yang tidak diperlukan. Serta menyusun tulisan agar mudah dipahami.

Dari kegiatan merevisi dan menyunting, dilanjutkan dengan kegiatan publikasi yang merupakan perayaan bagi siswa untuk menampilkan hasil tulisannya. Publikasinya dapat berupa menggandakan hasilnya untuk teman

kelasnya, menampilkan di papan kelas (majalah dinding) ataupun dapat mempresentasikan secara verbal.

Kegiatan terakhir adalah kegiatan refleksi. Bagian ini adalah kunci dari kesuksesan dari menulis. Karena pada bagian ini, penulis melihat lagi ke belakang bagaimana penulisannya, apakah sudah tepat, bagaimana hasil tulisannya. Bertanya pada diri sendiri untuk memperbaiki tulisan tersebut.

Tujuan dari aktifitas menulis adalah sebagai sarana berkomunikasi, merangsang pikiran dan menata serta memperjelas pemikiran.15 Adapun manfaat menulis catatan atau ringkasan menurut Sudarmanto diantaranya adalah membantu mengingat ide atau fakta dan membedakan ide atau gagasan yang berlawanan.16 Dalam hal ini sangat penting bagi siswa mengungkapkan pikiran, ide, dan gagasan mereka dengan cara mengkomunikasikannya melalui kegiatan menulis.

Dierich membagi kegiatan belajar dalam delapan kelompok, diantaranya, kegiatan menulis, seperti: menulis cerita, menulis laporan, membuat rangkuman, mengisi angket dan kegiatan menggambar, seperti: membuat grafik, chart, diagram, peta dan pola.17 Hal ini sejalan dengan pendapat Whipple yang mengemukan kegiatan belajar itu terdiri dari kegiatan mempelajari gambar-gambar, mencatat pertanyaan-pertanyaan yang menarik minat, menulis tabel, dan menulis catatan-catatan sebagai persiapan diskusi dan laporan.18 Menurut pendapat dua ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa menulis merupakan kegiatan yang dilakukan siswa dalam belajar.

Dapat disimpulkan bahwa, menulis matematik adalah kegiatan memaparkan ide matematik dan proses berpikir dalam menyelesaikan suatu masalah dalam matematika dengan mengikuti prinsip-prinsip penulisan dalam matematika.

15Ali Mahmudi, “Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 5 Desember 2009.

16Iif Khoiru Ahmadi, dkk., Strategi Pembelajaran Sekolah Terpadu, (Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya, 2011), cet 1, h 154

17Ibid, h. 84 18 Ibid., h.86

Mencatat adalah keterampilan yang sulit namun penting, terutama mengingat banyaknya pelajaran pada sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah atas, bahkan perguruan tinggi. Sebagian besar materi yang disajikan di kelas diberikan melalui ceramah. Siswa harus mampu mendengarkan dan melihat saat menulis ide-ide utama dan rincian dari pelajaran yang disampaikan, sambil pencocokan informasi baru dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya untuk pemahaman. Kualitas catatan yang tinggi berkontribusi untuk pemahaman dan review yang lebih baik, yang dapat menyebabkan lebih tinggi prestasi dan retensi yang lebih baik dari pengetahuan.19

Note Taking adalah strategi yang umum digunakan oleh siswa untuk mengumpulkan informasi dari ruang kelas. “You forget almost half of what you hear or read within an hour”, yang dimaksud sering kali kita hampir lupa atau bahkan melupakan setengah dari apa yang kita dengar atau baca dalam waktu satu jam.20

Guru sering meminta siswa untuk mencatat atau menyalin apa yang dijelaskan oleh guru. Beberapa meminta catatan sebagai bukti menyelesaikan tugas mandiri. Selain itu, catatan dapat berguna sebagai alat review sebelum penilaian. Keterampilan ini perlu diajarkan dengan penjelasan yang jelas, pemodelan guru, dipandu praktek, dan umpan balik. Seperti halnya strategi lain, siswa harus mencapai tingkat efisiensi sebelum mereka diharapkan untuk menggunakan strategi secara indpenden.21

Cornel Note-Taking merupakan sebuah catatan terstruktur. Dimana dalam setiap pertemuan pembelajaran siswa membuat selembar catatan. Satu lembar catatan dibagi menjadi tiga kolom, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 sebagai berikut:

19Mari Borr, dkk., The Impact of the Cornell Note-Taking Method on Students’ Performance in a High School Family Consumer Sciences Claass, Journal of Family & Consumer Sciences Education, 2012.

20Indiana Career and Postsecondary Advancement Center, Better study skills for better graes and real learning. ICPAC information series.

21Trisha Brunner dan Sarah Kartchner Clark. Writing Strategies for Mathematics Second Edition, Shell Educatin : 2014, h. 123.

Gambar 2.1

Format Cornell Note-Taking

Cornell Note-Taking memiliki 6 tahap, yaitu :

1) Record, menuliskan fakta-fakta, ide-ide atau symbol, sketsa, diagram di sisi atau kolom sebelah kanan kertas dari apa yang mereka dengar dan baca.

2) Reduce or Question, menuliskan pada sisi kiri yaitu kolom kata kunci atau frase, pertanyaan yang mungkin menuntun ke pelajaran, atau komentar tentang materi yang telah mereka pahami menggunakan kata siswa sendiri bukan hanya disalin dari teks atau catatan guru.

3) Recite, membandingkan catatan dan berbagai rincian penting. Murid-murid melengkapi catatan-catatan dan membaca kata kunci dan pertanyaan dari kolom kiri.

4) Reflect, memberikan kesempatan untuk membuat hubungan informasi yang belum jelas. Refleksi diperlukan untuk mengklarifikasi informasi yang kontradiktif, mengkategorikan informasi baru, dan mengembangkan pemahaman global dari konsep individu.

5) Review, memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan catatan mereka sebagai alat belajar dan ringkasan harian dari apa yang telah mereka pelajari.

6) Recapitulation, pada bagian bawah setiap halaman, siswa meringkas gagasan utama dari halaman tersebut. Siswa perlu menggunakan kalimat lengkap dan menempatkan ide-ide ke dalam kata mereka sendiri. Langkah ini membawa pembelajaran ke dalam tahap yang lebih dalam.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional masih sering digunakan oleh guru-guru pada umumnya. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang lebih terpusat pada guru. Siswa hanya mendengarkan penjelasan materi yang disampaikan oleh guru sehingga siswa menjadi pasif dalam kegiatan pembelajaran. Metode yang sering digunakan dalam pembelajaran ini adalah ekspositori.

Prosedur yang digunakan dalam menerapkan metode ekspositori dalam pembelajaran matematika yaitu:22

a. Guru memberikan informasi materi yang dibahas dengan metode ceramah, kemudian memberikan uraian dan contoh soal yang dikerjakan dipapan tulis

22H.M. Ali Hamzah dan Muhlisrarini, Perencanaan dan Strategi Pembelajaran Matematika,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 272-273.

secara interaktif dan komunikatif dengan metode demonstrasi. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya dengan metode tanya jawab. Lalu mereka mengerjakan soal yang diberikan guru sambil guru berkeliling memeriksa pekerjaan siswa. Salah seorang ditugaskan mengerjakan soal dipapan tulis.

b. Guru memberikan rangkuman yang bisa ditugaskan kepada siswa untuk membuat rangkumannya, atau guru yang membuat rangkuman atau guru bersama-sama siswa membuat rangkuman.

Dokumen terkait