• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.1.5 Pembelajaran

2.1.5.1 Pengertian Pembelajaran

Gagne (dalam Kurniawan, 2014: 27) menyatakan bahwa pembelajaran adalah serangkaian aktivitas untuk membantu mempermudah seseorang belajar, sehingga terjadi belajar secara optimal. Dalam proses pembelajaran merujuk pada segala peristiwa (events) yang bisa memberikan pengaruh langsung terjadinya belajar pada manusia. Dalam konteks pembelajaran di sekolah guru adalah salah satunya, bukan satu-satunya.

Romizowski (dalam Kurniawan, 2014: 28) menjelaskan bahwa pembelajaran itu memiliki dua ciri aktivitas yang berorientasi pada tujuan yang spesifik serta adanya sumber dan aktivitas belajar yang telah direncanakan sebelumnya. Tujuan, sumber dan aktivitas belajar yang ditetapkan sebelum proses belajar mengajar terjadi inilah yang terpenting. Belajar dan pembelajaran merupakan dua hal berbeda namun memiliki keterkaitan, dimana dalam konteks ativitas di dalam kelas, pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan guru untuk menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi terjadinya proses belajar di dalam diri siswa. Dalam pelaksanaaan pembelajaran di kelas, tujuan,

materi, dan situasi kelas yang dipandang akan kondusif bagai proses belajar siswa didesain oleh guru sebelumnya dalam bentuk desain pembelajaran.

Al-Tabany (2014: 19) menyatakan bahwa pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dari makna ini jelas bahwa pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan peserta didik, dimana antara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah menuju pada suatu target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dari definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang memiliki tujuan untuk mempermudah seseorang dalam aktivitas belajar yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga proses belajar akan terjadi secara optimal

2.1.6 Matematika

2.1.6.1 Pelajaran Matematika

Menurut Nasution (dalam Suparman, 2009: 8) menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu mengenai dasar-dasar perhitungan, pengukuran, dan penggambaran bentuk objek. Ilmu ini melibatkan logika dan kalkulasi kuantitatif, dan pengembangannya telah meningkatkan idealisasi subjek.

Menurut Al-Arif (2013: 16-17) mengatakan matematika merupakan cabang dari logika yang memberikan suatu kerangka kinerja yang sistematis, dimana suatu hubungan secara kuantitatif dapat dipelajarai. Matematika berkaitan

dengan sesuatu yang dapat dihitung atau sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas (jumlah).

Zubaedi (2014: 296) menyatakan mata pelajaran matematika terdapat nilai konsistensi dalam berpikir logis, pemahaman aksioma kemudian mencari penyelesaian melalui pengenalan terhadap kemungkinan yang ada (semua probabilitas) lalu mengeliminasi sejumlah kemungkinan tertentu dan akhirnya menemukan sesuatu kemungkinan yang pasti akan membawa kepada jawaban yang benar. Dari sini ada pengenalan probabilitas, ada eliminasi probabilitas, ada konklusi yang menunjukkan jalan pasti akan menuju kepada suatu jawaban yang benar.

Dari definisi di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa matematika adalah salah satu mata pelajaran yang mengajarkan siswa untuk belajar mengukur dan berhitung sehingga dapat menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari mengenai bilangan seperti mengukur dan mengitung.

2.1.6.2 Materi Perkalian dan Pembagian

Peneliti memilih materi pembelajaran yaitu perkalian dan pembagian. Perkalian dan pembulatan merupakan bagian dari materi pada mata pelajaran Matematika kelas IV semester I. Berdasarkan silabus, materi ini tercantum dalam Standar Kompetisi 1. Memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah. Dalam Standar Kompetensi tersebut, Kompetensi dasarnya yaitu 1.3 Melakukan operasi perkalian dan pembagian.

Mustaqim & Astuty (2008 : 18) mengatakan bahwa perkalian merupakan penjumlahan yang berulang. Berikut adalah contoh perkalian:

Contoh:

Ema mempunyai 4 kaleng permen pemberian paman. Setelah dibuka satu kaleng ternyata berisi 21 permen. Menurut Paman, semua kaleng isinya sama. Berapa banyaknya permen Ema pemberian paman?

Banyaknya permen Ema dapat kita cari dengan perkalian bilangan 4 × 21.

a. Dengan definisi perkalian sebagai penjumlahan yang berulang, maka bentuk perkalian tersebut dapat kita tuliskan:

4 × 21 = 21 + 21 + 21 + 21 = 84

b. Dengan perkalian langsung dapat kita tuliskan 4 × 21 = 21× 4 (sifat komutatif perkalian).

21 × 4 = 84

c. Dengan perkalian bersusun dapat kita tuliskan:

Cara Susun Pendek Cara Susun Panjang 2 1 2 1 4 x 4 x 8 4 4 8 0 + 8 4

Keterangan:

1. Cara susun 1 (Perkalian bersusun pendek)

2 1 4 dikalikan dengan 1 (satuan), hasilnya 4 4 x 4 dikalikan dengan 2 (puluhan), hasilnya 8 8 4

Pada cara bersusun pendek, ketika angka 4 dikalikan dengan angka 2 yang terletak pada puluhan, maka angka 0 tidak perlu dituliskan dalam hasilnya dan hanya dituliskan angka depannya saja.

2. Cara susun 2 (Perkalian bersusun panjang)

2 1 4 dikalikan dengan 1 (satuan) hasilnya ditulis 4) 4 x 4 dikalikan dengan 2 (puluhan) hasilnya ditulis 80) 4 Kemudian semua hasil dijumlahkan

8 0 + 8 4

Pada cara bersusun panjang, ketika angka 4 dikalikan dengan angka 2 yang terletang pada puluhan, maka hasilnya tetap ditulis utuh 80 dan angka 0 tidak dihilangkan, kemudian baru dijumlahkan. Dari ketiga cara perkalian di atas, kalian peroleh hasil yang sama.

2. Melakukan Operasi Pembagian

Pada kelas-kelas sebelumnya, kalian mengenal pembagian sebagai pengurangan yang berulang oleh bilangan pembagi terhadap bilangan yang dibagi.

a. Bagaimana cara membagi bilangan 20 dengan 5? Mari kita kurangi secara berulang.

20 – 5 = 15 15 – 5 = 10 10 – 5 = 5 5 – 5 = 0

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

20 : 5 = 4

Pembagian tersebut dinamakan pembagian tanpa sisa. b. Bandingkan dengan pembagian bilangan 20 oleh bilangan 6

berikut ini.

20 – 6 = 14 14 – 6 = 8 8 – 6 = 2

Berapa kali pengurangan dilakukan? Berapa hasil akhir pengurangan berulang tersebut? Dalam operasi pembagian dituliskan:

Pembagian tersebut dinamakan pembagian bersisa. Hasil pembagian bersisa kita tuliskan sebagai berikut:

20 : 6 = 3 (sisa 2)

2.1.7 Pembelajaran Matematika

Bruner (Ruseffendi, 1991) mengatakan dalam metode penemuannya mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. Menemukan, di sini yang

terutama adalah „menemukan lagi‟ (discovery), atau dapat juga menemukan yang

sama sekali baru (invation). Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahukan cara penyelesaiannya. Dalam pembelajaran ini, guru harus lebih banyak berperan sebagai pemimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu.

Heruman (2007: 5) menyatakan selain belajar penemuan dan belajar bermakna, pada pembelajaran matematika harus terjadi pula belajar secara

“konstruktivisme” Piaget. Dalam konstruktivisme, konstruksi pengetahuan

dilakukan sendiri oleh siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim yang kondusif.

Susanto (2013: 186-187) menyatakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan bepikir siswa, serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap

materi matematika. Proses belajar pada matematika mengandung dua kegiatan yaitu belajar dan mengajar. Kegiatan kolaborasi berupa interaksi antar siswa dengan guru, antar siswa dengan siswa, dan antar siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran matematika sedang berlangsung.

Dari hasil definisi di atas peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses belajar siswa dalam memahami konsep matematika dengan cara menemukan pengetahuan baru, sehingga konsep tersebut sebagai kunci untuk memecahkan masalah. Pembelajaran matematika harus menuntut siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan daya nalar yang tinggi.

2.1.8 Pendekatan Kontekstual

Kontekstual adalah sebuah sistem yang bersifat menyeluruh yang menyerupai cara alam bekerja. Kata konteks dipahami sebagai pola hubungan-hubungan di dalam lingkungan langsung seseorang. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual, sebagai sebuah sistem mengajar, didasarkan pada pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis dengan konteks kehidupan nyata yang mereka hadapi. Ketika para siswa menyusun proyek atau menemukan permasalahan yang menarik, ketika mereka membuat pilihan dan menerima tanggung jawab, mencari

informasi dan menarik kesimpulan, ketika mereka secara aktif memilih, menyusun, mengatur, menyentuh, merencanakan, menyelidiki, mempertanyakan, dan membuat keputusan, mereka mengaitkan isi akademis dengan konteks dalam situasi kehidupan, dan dengan cara ini mereka menemukan makna (Jhonson, 2006: 32-35).

Majid (2013: 228) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran aktif, yakni: konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment).

Baharudin dan Wahyuni (2015: 190-192) menyatakan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam kelas kontekstual tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Pendekatan ini dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang studi apa saja, dan kelas bagaimanapun keadaannnya.

2.8.1.1 Langkah-langkah Pendekatan Kontekstual

Baharuddin (2015: 190-192) menyatakan bahwa langkah-langkah menerapkan pendekatan kontekstual di dalam kelas, adalah sebagai berikut: 1. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara

bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2. Langsungkan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik 3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya

4. Ciptakan “masyarakat belajar” (belajar dalam kelompok-kelompok) 5. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran

6. Lakukan refleksi diakhir pertemuan

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.

Pendekatan kontekstual adalah konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya di dalam kehidupan sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dari proses pengkonstruksian sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai siswa di sekolah.

2.1.8.2 Kelebihan dan kekurangan Pendekatan Kontekstual

Menurut Shoimin (2014: 44) kelebihan dan kekurangan kontekstual adalah sebagai berikut :

A. Kelebihan

1. Pembelajaran kontesktual dapat menekankan aktivitas berfikir siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.

2. Pembelajaran kontesktual dapat menjadikan siswa belajar bukan menghafal, melainkan proses pengalaman dalam kehidupan nyata.

3. Kelas dalam kontesktual bukan sebagai tempat untuk memperoleh informasi, melainkan sebagai tempat untuk menguji data hasil temuan mereka di lapangan.

4. Materi pelajaran ditentukan oleh siswa sendiri, bukan hasil pemberian dari orang lain.

Kelebihan menurut Jhonson (2006: 303-304) bahwa keampuhan kontekstual terletak pada kesempatan yang diberikan siswa untuk mengembangkan harapan mereka, untuk mengembangkan bakat mereka, dan mengetahui informasi terbaru, serta menjadi anggota sebuah masyarakat demokrasi yang cakap.

Kekurangan penerapan pembelajaran kontesktual merupakan pembelajaran yang kompleks dan sulit dilaksanakan dalam konteks pembelajaran, selain juga membutuhkan waktu yang lama.

Dari pendapat dua ahli ahli peneliti menyatakan bahwa kelebihan pendekatan kontekstual adalah mengajarkan siswa untuk mengeksplor pengetahunnya sendiri serta memahami guna materi tersebut bagi kehidupan sehari-hari. Kekurangan dari pendekatan kontesktual ialah membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membantu siswa agar mendapatkan pengetahuan yang akan dikembangkan.

2.1.9 Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Supriadi (2004: 81-88) menyatakan bahwa karakteristik siswa sekolah dasar dibedakan ke dalam karakteristik pribadi dan sosial, dan karakteristik psikologis.

1. Karakteristik Pribadi dan Sosial

a. Umur, secara umum umur menentukan kesiapan siswa untuk belajar. Siswa yang umurnya lebih tua akan mempunyai kesiapan belajar yang lebih tinggi daripada siswa yang lebih muda. Ketentuan wajib belajar dimulai pada umur 7 tahun.

b. Jenis kelamin, dari penelitan-penelitian psikologi diketahui bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tempo dan ritme perkembangan yang relatif berbeda. Misalnya anak perempuan lebih cepat memasuki

tahap keremajaan dan anak perempuan lebih cepat mengenal “hidup teratur” dan lebih mandiri dari pada anak laki-laki.

c. Pengalaman Prasekolah, TK merupakan persiapan untuk memasuki SD sehingga mereka akan lebih siap belajar.

d. Kemampuan Sosial-Ekonomi, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan orang tua dan tempat tinggal berkaitan satu sama lain. Sosial ekonomi keluarga siswa perlu dipertimbangkan dalam proses belajar dan mengajar, karena hal ini akan mempengaruhi keberhasilan belajarnya disekolah.

2. Karakteristik Psikologis

a. Tingkat kecerdasan, dapat diamati dari kemampuan belajarnya siswa yaitu cepat, tepat dan akurat. Ada siswa yang mudah mengingat sederet angka, ada yang dapat mengingat setelah belajar berulang-ulang.

b. Kreativitas, kemampuan seseorang dalam menghasilkan sesuatu yang baru berdasarkan hal-hal yang sudah ada. Kreativitas seseorang ditandai oleh kemampuannya dalam mencetuskan gagasan-gagasan yang relatif baru (misalnya dalam cara memecahkan masalah), dapat menguraikan sesuatu secar lancar dengan bahasa dan istilah yang kaya serta bervariasi.

c. Bakat dan minat, guru perlu mengakomodasi perbedaan minat dan bakat tanpa mengabaikan usaha untuk membimbing siswa sehingga menguasai secara merata materi mata pelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum.

d. Pengetahuan dasar dan prestasi terdahulu, guru perlu mengetahui dan mempertimbangkan apa yang telah dikuasai oleh siswa, sebelum

mereka diberikan materi baru. Siswa yang mempunyai pengetahuan dasar yang kuat dari proses belajar sebelumnya, mencapai prestasi yang lebih baik pada proses belajar berikutnya.

e. Motivasi belajar, motivasi merupakan modal yang sangat penting untuk belajar, tanpa ada motivasi proses belajar akan kurang berhasil. f. Sikap dan kebiasaan belajar, sikap siswa terhadap sekolah, guru,

siswa-siswa yang lain dan terhadap materi pelajaran dalam kurikulum akan menentukan keberhasilan dalam belajar. Ada siswa yang merasa sekolah merupakan keharusan untuk masa depannya, ada siswa yang memandang bahwa ia bersekolah karena disuruh oleh orang tuanya.

Suryobroto (dalam Djamarah, 2011: 124) menyatakan bahwa pada umur antara 6 atau 7 tahun biasanya anak memang telah matang untuk masuk sekolah dasar. Masa keserasian bersekolah ini secara relatif diperinci menjadi dua fase yaitu: (1) masa kelas rendah, kira-kira umur 6 atau 7 sampai umur 9 atau 10 tahun dan (2) Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar kira-kira umur 9 atau 10 sampai kira-kira umur 12 atau 13 tahun.

Dari definisi di atas peneliti menyatakan bahwa karakteristik siswa sekolah dasar adalah terpengaruh oleh umur karena mempertimbangkan kesiapan siswa untuk belajar dari pra sekolah ke sekolah dasar, kondisi ekonomi dan lingkungan keluarga akan mempengaruhi siswa dalam merancang pola pikir, dan tingkat kecerdasan siswa yang akan mempengaruhi hasil belajar.

Dokumen terkait