• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2. Pembelajaran Matematika

2. Pembelajaran Matematika

Hakikat pembelajaran adalah pengaturan kondisi eksternal untuk mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Fokus utama setiap program pendidikan atau pembelajaran adalah untuk mendorong terjadinya proses belajar (Gagne dan Driscoll, 1989: v & 1). Oleh karenanya, menyelenggarakan pembelajaran termasuk pembelajaran matematika harus mendasarkan diri pada paradigma belajar sesuai hakikat pembelajaran serta maksud dari program pendidikan tersebut yakni mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Program pembelajaran matematika harus mengarah pada penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Tolok ukur

commit to user

pembelajaran yang efektif adalah keberhasilannya dalam menciptakan suasana belajar pada diri peserta didik bukan semata-mata telah dilakukannya kegiatan mengajar oleh guru. Biggs dalam Goldman (2002) menyatakan bahwa:

Learning is a way of interacting with the world. As we learn, conception of phenomena change, and we see the world differently. The acquisition of information in it self does not bring about such a change, but the way we structure that information and think with it does. Thus education is about conceptual change, not just the acquisition of information”. Pembelajaran adalah suatu cara saling berinteraksi dengan dunia. Ketika kita belajar, konsepsi kita tentang suatu fenomena berubah, dan kita akan melihat dunia yang berbeda. Perolehan informasi tidak dengan sendirinya membawa perubahan, tetapi dengan jalan kita menyusun informasi tersebut dan memikirkan apa yang bisa kita lakukan dengannya. Jadi pendidikan adalah tentang perubahan konsep, bukan hanya perolehan informasi.

Hakikat belajar itu sendiri adalah terjadinya perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap akibat dari terjadinya interaksi aktif dengan lingkungan (Winkel, 1996:53). Oleh karenanya, guru sebagai penyelenggara proses pembelajaran harus mampu mengatur lingkungan sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada diri peserta didik sebagai bukti bahwa para peserta didik sudah melakukan proses belajar.

Menurut Nana Sudjana dan Daeng Arifin (1987:20), agar dalam proses pembelajaran tercipta perubahan perilaku pada diri peserta didik sebagai hasil belajar, maka peran guru bukan semata-mata sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar, atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Dikatakan sebagai pembimbing belajar karena dalam proses tersebut

commit to user

guru memberikan bantuan kepada peserta didik agar mereka itu sendiri yang melakukan kegiatan belajar. Dikatakan sebagai pemimpin belajar karena guru menentukan ke mana kegiatan belajar peserta didik akan diarahkan; dan dikatakan sebagai fasilitator belajar karena guru harus menyediakan fasilitas setidak-tidaknya menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber pendorong bagi peserta didik dalam melakukan kegiatan belajar.

Dalam pembelajaran matematika dengan paradigma belajar, guru harus mampu bertindak sebagai pembimbing, pemimpin, dan fasilitator belajar bagi para peserta didik. Dalam hal ini guru harus melakukan pilihan pendekatan atau model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif sebagai pelaku utama dalam proses belajar.

Mata pelajaran matematika selama ini dianggap oleh sebagian peserta didik sebagai mata pelajaran yang menakutkan, baik di jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan menengah. Bahkan ada peserta didik yang merasa bosan, tidak tertarik, bahkan tidak suka pada mata pelajaran ini. Hal ini biasanya disebabkan karena matematika diajarkan dengan strategi atau model pembelajaran yang kurang tepat.

Kekurangtepatan pemilihan model atau strategi pembelajaran matematika bersumber dari masih kuatnya pengaruh paradigma lama dalam pembelajaran. Anita Lie (2002:2-6) menyatakan bahwa dalam dunia pendidikan, paradigma lama pembelajaran bersumber pada teori tabula rasa John Locke yang mengatakan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya.

commit to user

Berdasarkan teori ini, paradigma lama pembelajaran adalah paradigma mengajar yang diibaratkan seperti mengisi kertas kosong dengan coretan-coretan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah banyak berubah. Paradigma lama yang tidak mendorong keaktifan peserta didik dalam belajar tidak dapat dipertahankan lagi.

Dalam proses pembelajaran, yang harus aktif adalah peserta didik karena merekalah yang paling bertanggungjawab atas kegiatan pembelajaran dan yang akan menerima akibat langsung dari proses pembelajaran. Paradigma baru pembelajaran adalah paradigma belajar. Dengan paradigma baru tersebut pendidik perlu menyusun kegiatan pembelajaran berdasarkan beberapa pokok pikiran, yaitu:

a. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik; guru harus menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan peserta didik membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar untuk disimpan dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.

b. Peserta didik membangun pengetahuan secara aktif melalui suatu proses belajar yang mereka lakukan sendiri bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru terhadap peserta didik. Peserta didik tidak menerima pengetahuan secara pasif dari guru. Peserta didik mengaktifkan struktur kognitif mereka dan membangun struktur baru untuk mengakomodasikan masukan pengetahuan baru.

commit to user

c. Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan peserta didik. Kegiatan pembelajaran harus lebih menekankan pada proses dari pada hasil. Setiap peserta didik memiliki potensi dan kompetensi yang dapat ditingkatkan melalui usaha pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan potensi sampai setinggi yang mampu diraih peserta didik.

d. Pendidikan merupakan interaksi pribadi di antara para peserta didik dan antara guru dengan peserta didik. Kegiatan pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi, mereka membangun pengertian dan pengetahuan bersama.

Frans Susilo (1998:235) mengemukakan bahwa sesungguhnya matematika dapat diapresiasi secara baik oleh para peserta didik apabila matematika dipelajari secara manusiawi. Cara yang dimaksudkan adalah dengan membangun sendiri pemahaman mereka akan unsur-unsur matematika. Pemahaman harus dapat diperoleh bukan dengan cara menghafal rumus-rumus atau langkah-langkah yang diberikan guru, melainkan dibentuk dengan membangun makna dari apa yang dipelajari, misalnya dengan memberikan interpretasi terhadap apa yang sedang dipelajari dengan mempergunakan informasi baru yang mereka peroleh yang akan mereka gunakan untuk mengubah, melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya. Hal ini akan dapat terwujud apabila para peserta didik diberi keleluasaan untuk melakukan eksperimen termasuk kemungkinan berbuat salah agar mereka dapat belajar dari kesalahan tersebut.

commit to user

Proses pembelajaran seperti itu dikenal dengan proses belajar melalui tahap-tahap asimilasi dan akomodasi, dengan proses seperti itu pemahaman akan terjadi secara mengakar dan para peserta didik akan belajar untuk menghargai dan mencintai matematika karena pada diri mereka akan tumbuh keyakinan tentang bagaimana caranya merumuskan dan menggunakan matematika manakala diperlukan.

Dokumen terkait