• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

2. Pembelajaran Matematika

Hakikat pembelajaran adalah pengaturan kondisi eksternal untuk

mendorong terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Fokus utama setiap

program pendidikan atau pembelajaran adalah untuk mendorong terjadinya

proses belajar. (Gagne dan Driscoll, 1989: v & 1). Oleh karenanya,

menyelenggarakan pembelajaran termasuk pembelajaran matematika harus

mendasarkan diri pada paradigma belajar sesuai hakikat pembelajaran serta

maksud dari program pendidikan tersebut yakni mendorong terjadinya proses

belajar pada diri peserta didik. Program pembelajaran matematika harus mengarah

pada penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Tolok ukur pembelajaran yang

efektif adalah keberhasilannya dalam menciptakan suasana belajar pada diri

peserta didik bukan semata-mata telah dilakukannya kegiatan mengajar oleh guru.

Hakikat belajar itu sendiri adalah terjadinya perubahan dalam

pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap akibat dari terjadinya interaksi aktif

dengan lingkungan (Winkel, 1996: 53). Oleh karenanya, guru sebagai

sedemikian rupa sehingga memungkinkan terjadinya perubahan pada diri peserta

didik sebagai bukti bahwa para peserta didik sudah melakukan proses belajar.

Menurut Nana Sudjana dan Daeng Arifin (1987: 20), agar dalam proses

pembelajaran tercipta perubahan perilaku pada diri peserta didik sebagai hasil

belajar, maka peran guru bukan semata-mata sebagai pengajar, melainkan sebagai

pembimbing belajar, atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar. Dikatakan

sebagai pembimbing belajar karena dalam proses tersebut guru memberikan

bantuan kepada peserta didik agar mereka itu sendiri yang melakukan kegiatan

belajar. Dikatakan sebagai pemimpin belajar karena guru menentukan ke mana

kegiatan belajar peserta didik akan diarahkan; dan dikatakan sebagai fasilitator

belajar karena guru harus menyediakan fasilitas setidak-tidaknya menciptakan

kondisi lingkungan yang dapat menjadi sumber pendorong bagi peserta didik

dalam melakukan kegiatan belajar.

Dalam pembelajaran matematika dengan paradigma belajar, guru harus

mampu bertindak sebagai pembimbing, pemimpin, dan fasilitator belajar bagi para

peserta didik. Dalam hal ini guru harus melakukan pilihan pendekatan atau model

pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat terlibat aktif sebagai

pelaku utama dalam proses belajar.

Mata pelajaran matematika selama ini dianggap oleh sebagian peserta

didik sebagai mata pelajaran yang menakutkan, baik di jenjang pendidikan dasar

maupun pendidikan menengah. Bahkan ada peserta didik yang merasa bosan,

disebabkan karena matematika diajarkan dengan strategi atau model pembelajaran

yang kurang tepat.

Kekurangtepatan pemilihan model atau strategi pembelajaran matematika

bersumber dari masih kuatnya pengaruh paradigma lama dalam pembelajaran.

Anita Lie (2002: 2-6) menyatakan bahwa dalam dunia pendidikan, paradigma

lama pembelajaran bersumber pada teori tabula rasa John Locke yang mengatakan bahwa pikiran seorang anak adalah seperti kertas kosong yang bersih

dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Berdasarkan teori ini, paradigma

lama pembelajaran adalah paradigma mengajar yang diibaratkan seperti mengisi

kertas kosong dengan coretan-coretan. Tuntutan dalam dunia pendidikan sudah

banyak berubah. Paradigma lama yang tidak mendorong keaktifan peserta didik

dalam belajar tidak dapat dipertahankan lagi.

Dalam proses pembelajaran, yang harus aktif adalah peserta didik karena

merekalah yang paling bertanggungjawab atas kegiatan pembelajaran dan yang

akan menerima akibat langsung dari proses pembelajaran. Paradigma baru

pembelajaran adalah paradigma belajar. Dengan paradigma baru tersebut pendidik

perlu menyusun kegiatan pembelajaran berdasarkan beberapa pokok pikiran,

yaitu:

1). Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh peserta didik;

guru harus menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan peserta didik

membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar

untuk disimpan dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan

2). Peserta didik membangun pengetahuan secara aktif melalui suatu proses

belajar yang mereka lakukan sendiri bukan sesuatu yang dilakukan oleh guru

terhadap peserta didik. Peserta didik tidak menerima pengetahuan secara pasif

dari guru. Peserta didik mengaktifkan struktur kognitif mereka dan

membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasikan masukan

pengetahuan baru.

3). Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan peserta

didik. Kegiatan pembelajaran harus lebih menekankan pada proses daripada

hasil. Setiap peserta didik memiliki potensi dan kompetensi yang dapat

ditingkatkan melalui usaha pembelajaran. Tujuan pendidikan adalah

mengembangkan potensi sampai setinggi yang mampu diraih peserta didik.

4). Pendidikan merupakan interaksi pribadi di antara para peserta didik dan antara

guru dengan peserta didik. Kegiatan pendidikan merupakan proses sosial yang

tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi, mereka membangun

pengertian dan pengetahuan bersama.

Frans Susilo (1998: 235) mengemukakan bahwa sesungguhnya

matematika dapat diapresiasi secara baik oleh para peserta didik apabila

matematika dipelajari secara manusiawi. Cara yang dimaksudkan adalah dengan

membangun sendiri pemahaman mereka akan unsur-unsur matematika.

Pemahaman harus dapat diperoleh bukan dengan cara menghafal rumus-rumus

atau langkah-langkah yang diberikan guru, melainkan dibentuk dengan

membangun makna dari apa yang dipelajari, misalnya dengan memberikan

informasi baru yang mereka peroleh yang akan mereka gunakan untuk mengubah,

melengkapi atau menyempurnakan pemahaman yang telah tertanam sebelumnya.

Hal ini akan dapat terwujud apabila para peserta didik diberi keleluasaan untuk

melakukan eksperimen termasuk kemungkinan berbuat salah agar mereka dapat

belajar dari kesalahan tersebut. Proses pembelajaran seperti itu dikenal dengan

proses belajar melalui tahap-tahap asimilasi dan akomodasi, dengan proses seperti

itu pemahaman akan terjadi secara mengakar dan para peserta didik akan belajar

untuk menghargai dan mencintai matematika karena pada diri mereka akan

tumbuh keyakinan tentang bagaimana caranya merumuskan dan menggunakan

matematika manakala diperlukan.

Marpaung (1998: 247) menyatakan bahwa pembelajaran matematika

didasarkan pada pendekatan konstruktivisme yang dipelopori oleh Ernst von

Glasserfeld dan strategi pembelajarannya adalah doing. Konstruktivisme menurut Paul Suparno (2002: 14 -15) adalah salah satu aliran filsafat pengetahuan yang

berpendapat bahwa pengetahuan itu merupakan konstruksi (bentukan) dari

orang yang sedang belajar.

Pengetahuan bukanlah kumpulan dari fakta-fakta tetapi merupakan

kumpulan konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun

lingkungannya. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan kita

tinggal mengambilnya, melainkan merupakan suatu bentukan terus menerus dari

orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya

Menurut Von Glasserfeld tokoh konstruktivisme dari Amerika Serikat

seperti dikutip oleh Paul Suparno (2002: 2), dinyatakan bahwa pengetahuan

bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seorang

guru ke pikiran seorang peserta didik. Bahkan bila seorang guru bermaksud

memindahkan suatu konsep, ide, dan pengertian kepada peserta didik,

pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri.

Tanpa keaktifan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan tidak

akan terjadi. Terdapat beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi

pengetahuan manusia, antara lain: (1) konstruksi yang lama, (2) domain

pengalaman, dan (3) jaringan struktur kognitif.

Menurut konstruktivisme, pengalaman akan fenomena yang baru akan

menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan; dan

kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan itu pula. Misalnya, dalam

bidang ilmu sains peranan pengalaman ataupun percobaan-percobaan dalam

pengembangan hukum, teori, maupun konsep-konsep ilmu tersebut sangat besar.

Bagi aliran kontruktivisme, belajar adalah lebih merupakan suatu proses

untuk menemukan sesuatu dari pada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu.

Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, melainkan

pengembangan suatu pemikiran dengan membuat kerangka pengertian yang baru.

Peserta didik harus memperoleh pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi,

mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari

mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk

membentuk kontruksi yang baru.

Lebih lanjut, Paul Suparno (2002: 3-4) menjelaskan hal-hal berikut.

Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka

kesempatan untuk studi kelompok dapat dikembangkan. Dalam studi kelompok, peserta didik yang mengerjakan bersama suatu persoalan harus mengungkapkan

bagaimana mereka melihat persoalan itu dan apa yang ingin mereka buat dengan

persoalan itu. Inilah salah satu jalan menciptakan refleksi, yang menuntut

kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya ini

akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk aktif membuat abstraksi.

Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu

untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka

sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh

kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih bersungguh-sunggguh. Menurut

prinsip konstruktivisme, seorang guru mempunyai peranan sebagai mediator dan

fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik.

Tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada guru yang

mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam

beberapa tugas antara lain sebagi berikut:

1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan peserta didik ikut

bertanggung jawab dalam membuat desain, proses, dan penelitian. Di sini jelas

bahwa memberikan pelajaran dengan model ceramah bukanlah hal yang tepat

2) Guru menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang

ke-ingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan

mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka, menyediakan sarana yang

merangsang berpikir peserta didik secara produktif, menyediakan kesempatan

dan pengalaman yang mendukung belajar mereka. Guru hendaknya

menyemangati peserta didik dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang guru perlu

menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud

pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman

awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang mereka untuk

berpikir mendalam.

3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik

itu jalan atau tidak. Guru menunjukkan dan mempertanyakan apakah

pengetahuan peserta didik itu berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang

berkaitan. Guru membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan

yang dibuat oleh mereka.

Kaum konstruktivistik menurut Driscoll (1994: 362-363) menyatakan

bahwa pengetahuan yang diperoleh peserta didik harus didasarkan atas

pengembangan sendiri dan hal ini hanya dapat diperoleh dalam konteks kegiatan

yang bermakna. Harus dilakukan pengembangan dan perubahan terus menerus

atas pengetahuan melalui kegiatan aktif dari peserta didik. Dengan demikian,

proses belajar bersifat menerus, merupakan proses sepanjang hayat. Sebenarnya

hal ini sejalan dengan belajar melalui penemuan. Belajar dengan melalui

aktivitas penalaran mereka, termasuk menggunakan cara-cara penalaran

matematika. Berdasarkan pendapat kaum konstruktivistik, terdapat tiga tujuan

mendasar dari pendidikan, yakni menyangkut ingatan, pemahaman, dan

penggunaan secara aktif pengetahuan dan keterampilan.

Stein, Silbert, dan Carnine (1997: 3) menyatakan bahwa dengan

pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran matematika mengandung arti

bahwa peserta didik harus belajar secara bermakna dari sebuah lingkungan

belajar. Guru dituntut agar mampu mengatur lingkungan belajar sedemikian rupa

sehingga para peserta didik berhasil membangun makna mengenai hal-hal yang

disampaikan oleh guru. Pembelajaran matematika yang efektif akan

ditentukan oleh tiga hal yaitu: (1) rancangan pembelajaran, (2) teknik atau model

pembelajaran, dan (3) pengorganisasian pembelajaran. Ketiga-tiganya saling

tergantung satu sama lain dan tidak dapat ditinggalkan sebagai faktor-faktor yang

menentukan keberhasilan pembelajaran. Rancangan yang baik dan teknik

pembelajaran dipilih secara tepat tidak akan berhasil baik apabila waktu yang

disediakan sangat terbatas. Rancangan baik, waktu yang disediakan cukup juga

tidak menjamin keberhasilan apabila guru tidak mampu memilih model yang

tepat. Demikian pula, waktu mencukupi, guru mampu memilih model yang tepat,

namun bila materi pembelajaran tidak dirancang dengan baik juga tidak akan

menjamin keberhasilan pembelajaran.

Pembelajaran matematika mempunyai obyek yang abstrak. Herman

Hudoyo (1990: 4-5) menyatakan bahwa hakekat matematika berkenaan dengan

sehingga matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Suatu kebenaran

matematika dikembangkan berdasarkan alasan logis dengan menggunakan

pembuktian deduktif. Matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan

hubungan-hubungannya memerlukan simbul-simbul. Simbol-simbol diperlukan untuk

membantu memanipulasi aturan-aturan dengan operasi yang ditetapkan dan

dengan simbul-simbul akan menjamin adanya komunikasi yang mampu

memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru. Konsep baru

terbentuk karena adanya pemahaman terhadap konsep sebelumnya karena

matematika memiliki konsep-konsep yang tersusun secara hierarkis. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa matematika berkenaan dengan konsep-konsep

abstrak yang tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan logika

deduktif. Semua ini membawa akibat perlunya menentukan model pembelajaran

yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran matematika.Di samping itu, Gagne

(1989: 110) menyatakan bahwa kualitas pembelajaran dalam mata pelajaran

seperti matematika dan bahasa asing harus dilaksanakan dengan memperhatikan

beberapa hal: (a) peserta didik disediakan isyarat atau arahan, (b) terdapatnya

partisipasi peserta didik dalam kegiatan, (c) ada program penguatan bagi peserta

didik, dan (d) terdapat umpan balik yang mencakup pula tindakan korektif.

Dokumen terkait