• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan IPA pada hakikatnya adalah membelajarkan peserta didik un-tuk memahami sains, mengembangkan sikap ingin tahu, keteguhan hati, dan ketekunan, serta sadar akan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat serta terjadi pengembangan arah sikap yang positif (Mariana dan Praginda, 2009: 33). Menurut Depdiknas (2007: 8) hakikat IPA meliputi empat un-sur, yaitu: (1) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; (3) aplikasi: penerap-an metode atau kerja ilmiah dpenerap-an konsep IPA dalam kehiduppenerap-an sehari-hari; (4) sikap: rasa ingin tahu tentang obyek, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar.

Sehubungan dengan hakikat pendidikan IPA maka pembelajaran harus lebih dari sekedar bagaimana menjelaskan apa yang dipikirkan oleh guru, yaitu dengan memodelkan proses pembelajaran yang dialami guru sehing-ga peserta didik dapat mensehing-gamati dan mempelajari keterampilan proses, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan berpikir ketika mempelajari suatu pengetahuan yang telah menjadi standar pendidikan di

13

negeri ini (Jufri, 2013: 166). Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bahwa stan-dar nasional pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pen-didikan diseluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depdiknas, 2007: 2).

Kurikulum IPA pada masa lampau hanya memfasilitasi siswa yang akan melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang IPA atau membutuhkan pe-ngetahuan yang mendalam tentang IPA. Akibatnya, IPA kurang menyen-tuh bidang sosial masyarakat kemudian terjadi revolusi dalam pendidikan IPA karena adanya permasalahan salah satunya yaitu adanya penekanan konten padapure scienceyang menyebabkan aplikasi IPA dalam kehidup-an nyata kurkehidup-ang dipelajari (Anjasari, 2014: 3).

Berdasarkan permasalahan kurikulum IPA di masa lalu maka menurut Depdiknas (2007: 23) kurikulum IPA di masa depan hendaknya:

a. Menekankan pada pembelajaran sains yang seimbang antara konsep, proses dan aplikasinya.

b. Mengembangkan kemampuan kerja ilmiah yang mencakup proses sains dan sikap ilmiah.

c. Memungkinkan siswa merekonstruksi dan mengembangkan konsep IPA (dan saling keterkaitannya) serta nilai, sikap, dan kerja ilmiah siswa.

d. Memberikan siswa kesempatan untuk mendemonstrasikan kemampu-an dalam mencari, memilih, memilah, dkemampu-an mengolah informasi serta memakainya selama proses pembelajaran, sehingga dapat dinilai po-tensi dan hasil belajarnya secara adil.

Kurikulum yang pernah berlaku di Indonesia dan sudah mengimplemen-tasikan literasi sains didalamnya yaitu kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan lebih terlihat jelas pada kurikulum

14

2013. Secara konseptual, kurikulum 2013 tidak berbeda dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yaitu berbasis kompetensi. Dalam standar kompetensi lulusan kelompok mata pelajaran IPA pada kurikulum 2006 dinyatakan bahwa IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA juga merupakan suatu proses penemuan. Jadi, pembelajaran dalam KTSP diarahkan melalui kegiatan penemuan atau inkuiri ilmiah yang merupakan salah satu pendekatan untuk mencapai literasi sains siswa (Anjasari, 2014: 4).

Kurikulum terbaru di Indonesia yaitu kurikulum 2013 yang merupakan penyempurnaan dari KTSP. Dalam kurikulum ini, standar kompetensi lulusan dalam KTSP diterjemahkan menjadi kompetensi inti yang dibagi menjadi 3 aspek, yaitu KI 1 dan 2 merupakan aspek sikap, KI 3 menyang-kut aspek pengetahuan, dan KI 4 menyangmenyang-kut aspek keterampilan. Pende-katan yang digunakan dalam kurikulum ini adalah pendePende-katan ilmiah atau

“scientific approach”(mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosia-si, dan mengkomunikasikan). Jadi, berdasarkan pendekatan yang diguna-kan, kurikulum 2013 juga sudah mengimplementasikan pengembangan literasi sains bagi siswa (Anjasari, 2014: 4).

Kurikulum yang sudah menerapkan pengembangan konsep IPA kemudian dituangkan kedalam pembelajaran IPA. Namun, pembelajaran IPA tidak hanya sekedar pengetahuan yang bersifat ilmiah saja, melainkan terdapat dimensi-dimensi ilmiah penting yang menjadi bagian sains misalkan pro-ses dalam melakukan aktivitas ilmiah dan sikap ilmiah dari aktivitas sains.

15

Keterampilan proses sains inilah yang digunakan ketika mengerjakan aktivitas-aktivitas sains dan dapat juga diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari ketika kita menemukan persoalan-persoalan keseharian dan kita harus mencari jawabannya (Tawil dan Liliasari, 2014: 7).

Pembelajaran sains dilaksanakan dengan harapan tercapainya tujuan pen-didikan sains yaitu meningkatkan kompetensi peserta didik untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berbagai situasi. Dengan kompeten-si itu peserta didik akan mampu belajar lebih lanjut dan hidup dimasya-rakat yang saat ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan sains dan tek-nologi (Toharudin, Rustaman, dan Hendrawati, 2011: 6).

Berkaitan dengan tujuan pendidikan sains maka menurut Hidayat (dalam Hasruddin, 2001: 40), tujuan pendidikan sains masa kini dan masa yang akan datang hendaknya ditujukan kepada pengembangan individu-individu yang melek IPA, mengerti IPA, memiliki dasar IPA yang cukup seperti fakta-fakta, konsep-konsep, kaitan antarkonsep dan keterampilan proses yang memungkinkannya mengembangkan ilmunya dan berpikir logis. Dengan demikian, setiap individu akan menghargai nilai-nilai IPA dan teknologi di msyarakat (Hasruddin, 2001: 3). Selain itu, pendidikan IPA merupakan suatu upaya atau proses untuk membelajarkan siswa untuk me-mahami hakikat IPA (produk, proses dan mengembangkan sikap ilmiah) dan tindakan berupa aplikasi IPA yang positif (Mariana dan Praginda, 2009: 35).

16

Bertolak dari tujuan pendidikan sains yang dituangkan dalam kegiatan pembelajaran sains maka menurut Depdiknas (2007: 23) pembelajaran sains hendaknya:

a. Dapat menumbuhkan kepercayaan diri siswa bahwa mereka “mampu”

dalam IPA dan bahwa IPA bukanlah pelajaran yang harus ditakuti. b. Membelajarkan IPA bukan hanya membelajarkan konsep-konsepnya

saja, namun juga disertai dengan pengembangan sikap dan keteram-pilan ilmiah.

c. Pembelajaran IPA memberikan pengalaman belajar yang mengem-bangkan kemampuan bernalar, merencanakan dan melakukan pe-nyelidikan ilmiah, menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memahami gejala alam yang terjadi di sekitarnya.

d. Merevitalisasi “keterampilan proses sains” bagi siswa, guru, dan calon

guru sebagai misi utama PBM IPA disekolah untuk mengembangkan kemampuan observasi, merencanakan penyelidikan, menafsirkan (interpretasi) data dan informasi (narasi, gambar, bagan, tabel) serta menarik kesimpulan.

Kriteria pembelajaran sains yang diharapkan di atas dapat dicapai dengan menerapkan model-model pembelajaran tertentu seperti pembelajaran ber-basis inkuiri karena model pembelajaran ini menekankan pada proses pe-nemuan dan melibatkan sikap serta proses mental siswa. Pembelajaran ber-basis inkuiri menempatkan peserta didik agar lebih banyak belajar sendiri dalam memecahkan masalah. Peserta didik ditempatkan sebagai subyek belajar, dan pendidik sebagai pembimbing dan fasilitator dalam proses pembelajaran (Anjasari, 2014: 184).

Model pembelajaran lain yang melibatkan pembelajaran berbasis inkuiri adalah pembelajaran berbasis proyek (project based learning). Menurut Asan (dalam Jagantara, Adnyana, dan Widiyanti, 2014: 3), pembelajaran ini merupakan suatu pendekatan pendidikan yang efektif yang berfokus pada kreatifitas berpikir, pemecahan masalah, dan interaksi antara siswa

17

dengan kawan sebaya mereka untuk menciptakan dan menggunakan pe-ngetahuan baru dan dipandang mampu meningkatkan hasil belajar biologi dan keterampilan proses siswa. Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siwa, Muderawan dan Tika (2013: 7), model pembelajaran berbasis proyek mampu memberikan nilai keterampilan proses sains yang terbaik.

Kegiatan laboratorium berbasis inkuiri juga dapat meningkatkan literasi sains siswa selain daripada pembelajaran berbasis inkuiri. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Rakhmawan (dalam Haristy, Ena-wati, dan Lestari, 2012: 5) yang menyimpulkan bahwa kegiatan laborato-rium berbasis inkuiri mengajak siswa untuk merakit sendiri alat praktikum yang akan digunakan serta menggunakan bahan dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaan yang diberikan juga berkaitan dengan bahan yang diguna-kan maupun contoh lain dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan de-ngan materi yang dibahas. Berdasarkan penjelasan tersebut, diketahui bah-wa kegiatan laboratorium berbasis inkuiri dapat melatih kemampuan litera-si sains litera-siswa, sehingga dapat digunakan dalam memecahkan persoalan keseharian yang berkaitan dengan materi pelajaran (Haristi, Enawati dan Lestari, 2012: 5).

Pembelajaran IPA terpadu juga bisa meningkatkan literasi sains siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendriyani (2011: 4) bahwa pembelajaran IPA terpadu dapat memudahkan dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan memahami

ke-18

terkaitan atau hubungan antara konsep pengetahuan yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari dan peserta didik digiring untuk berpikir luas dan mendalam yang selanjutnya peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menyeluruh, sistemik, dan analitik (Hendriyani, 2011: 4).

Pembelajaran IPA terpadu menggunakan pendekatan STS (sains, tekno-logi, dan masyarakat) yang mengharuskan siswa untuk mengunakan proses-proses ilmiah dalam menerapkan konsep-konsep dan keterampilan sains guna memecahkan masalah yang terjadi dikehidupan sehari-hari dan dapat meningkatkan literasi sains siswa (Hendriyani, 2011: 9). Hal ini se-suai dengan pendapat Yager (dalam Hendriyani, 2011: 9), yang menyata-kan bahwa pembelajaran menggunamenyata-kan pendekatan STS dapat meningkat-kan literasi sains dan teknologi individu.

Selain pembelajaran IPA terpadu, kegiatan dengan pemanfaatan lingkung-an luar sekolah juga dapat dijadiklingkung-an sumber belajar ylingkung-ang merupaklingkung-an salah satu tuntutan dalam pembelajaran IPA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bloch (dalam Hasrudin, 2001: 41) yang menambahkan bahwa siswa yang diajar dengan memanfaatkan lingkungan luar akan lebih mudah mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi, mengembangkan literasi sains dan teknologi. Pernyataan Bloch senada dengan yang dikemukakan oleh Johnson (dalam Hasrudin, 2001: 41) bahwa dengan melakukan kegiatan diluar kelas dapat membuat siswa melihat dan merasakan sendiri problem yang terdapat dilingkungan, sehingga siswa dapat menerapkan

19

pengetahuan yang diperoleh untuk memecahkan masalah yang dihadapi-nya.

Namun pelaksanaan pembelajaran sains belum sesuai dengan tujuan yang seharusnya tercapai karena pendidikan sains telah mengalami pergeseran yang lebih menekankan pada proses belajar mengajar dan metode peneliti-an ypeneliti-ang menitikberatkpeneliti-an konsep bahwa dalam belajar seseorpeneliti-ang mengkon-tribusi pengetahuannya. Pendidikan sains juga telah lama diusahakan agar partisipasi siswa dalam membangun pengetahuannya lebih ditekankan (Tawil dan Liliasari, 2014: 3).

Dokumen terkait