• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan. Namun upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan (Heru dalam Awan, 1995: 32). Kegagalan tersebut disebabkan oleh kebijakan pengentasan kemiskinan yang selama ini dilaksanakan hanya berupa paket bantuan ekonomi yang cenderung bersifat karitas (derma), artinya menempatkan si miskin sebagai objek semata dari suatu kegiatan yang bersifat proyek dan hanya mampu menjawab masalah dalam jangka pendek dan tidak mengubah apapun, sehingga kurang efektif dalam memecahkan masalah-masalah kemiskinan (Agus Dwiyanto dalam Awan, 1995: 65).

Upaya pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan melalui bantuan ekonomi yang sifatnya karitas saja. Kebijakan pembangunan model paket-paket bantuan ekonomi di satu sisi akan rawan bias dan memperlebar ketimpangan, dan di sisi lain upaya karitas dengan cara menyantuni secara penuh dan menjadikan

rakyat miskin sebagai obyek amal justru akan menimbulkan ketergantungan pada pihak sasaran program dan membunuh tekad kemandirian masyarakat miskin itu sendiri (Bagong Suyanto, 1995: 213).

Untuk menindaklanjuti program penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan seperti IDT (Inpres Desa Tertinggal) maupun PPK (Program Pengembangan Kecamatan), maka berdasarkan Instruksi Presiden No. 21 tahun 1998 tentang Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan, pada bulan Juli 1998 Pemerintah Indonesia melalui Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) meluncurkan Proyek Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang dirancang untuk melakukan pemberdayaan masyarakat miskin. Proyek ini menganut pendekatan pemberdayaan (empowerment) sebagai suatu syarat untuk menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). P2KP mempunyai strategi dan orientasi yang lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan institusi lokal sehingga menempatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama proyek, mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan serta pengawasan dengan intensitas keterlibatan sampai pada pengambilan keputusan. Sehingga diharapkan setelah proyek berakhir, upaya penanggulangan kemiskinan dapat dijalankan sendiri oleh masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.

Dalam proses pemberdayaan ini, peran aktif dari masyarakat sangat dibutuhkan. Dari desain programya, P2KP mengandung unsur adanya pelibatan masyarakat melalui proses belajar dan upaya untuk membangun kemandirian serta keberlanjutan melalui proses institusionalisasi. Dalam pemanfaatan dana P2KP

dibentuk organisasi yaitu BKM dan KSM. Selain itu ada beberapa kegiatan pemberdayan yang dilakukakn berupa pendampingan pada BKM dan KSM dan juga adanya sosialisasi dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial dalam berusaha. Sesuai dengan kebijaksanaan umum P2KP, kegiatan ini tidak hanya bersifat reaktif terhadap keadaan darurat yang sedang dialami, melainkan lebih bersifat strategis karena dalam kegiatan ini disiapkan landasan berupa institusi masyarakat yang menguat bagi perkembangan masyarakat di masa mendatang.

Soetomo (2006: 218) menyatakan bahwa P2KP sangat memperhatikan proses perencanaan dari masyarakat atau yang lebih dikenal sebagai mekanisme bottom up dibandingkan yang bersifat top down. Di samping itu, P2KP juga memberikan perhatian bagi tumbuhnya institusi lokal yang diharapkan dapat memfasilitasi mekanisme perencanaan dan pengelolaan oleh masyarakat. Dengan tumbuhnya institusi lokal diharapkan keberlanjutan usaha pengentasan kemiskinan pasca program dapat lebih dijamin. Hal itu disebabkan oleh karena institusionalisasi merupakan prasarat bagi usaha dan aktivitas yang berkelanjutan.

Berdasarkan desain programnya, Soetomo (2006: 221) mengemukakan bahwa visi P2KP adalah masyarakat yang mampu membangun sinergi dengan berbagai pihak untuk menanggulangi kemiskinan secara mandiri, efektif, dan berkelanjutan. Sementara untuk mewujudkan visi tersebut dirumuskan misi P2KP yaitu memberdayakan masyarakat perkotaan, terutama masyarkat miskin dalam upaya penanggulangan kemiskinan, melalui pengembangan kapasitas, penyediaan sumber daya, dan membudayakan kemitraan strategis antara masyarakat dan

pelaku-pelaku pembangunan lokal lainnya. Untuk mewujudkan visi misi tersebut, maka dalam pelaksanaan P2KP dibentuk tim koordinasi dalam beberapa tingkatan. Pada tingkat pusat dibentuk Tim Koordinasi P2KP Pusat dan dipilih lembaga konsultan melalui suatu lelang terbuka yang disebut sebagai Konsultan Manajemen Pusat (KMP). Pada tingkat wilayah, ditempatkan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) yang masing-masing menangani satu Satuan Wilayah Kegiatan (SWK). Pada tingkat kelurahan dibentuk Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang bertindak sebagai lembaga yang memfasilitasi peran serta atau partisipasi yang tumbuh dari bawah. BKM adalah kelembagaan yang dirancang untuk membangun kembali kehidupan masyarakat yang mandiri yang mampu mengatasi kemiskinannya. Di samping itu, BKM mengemban misi unutk menumbuhkan kembali ikatan-ikatan sosial dan menggalang solidaritas sosial sesama warga. BKM beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan warga kelurahan. Untuk melaksanakan program kegiatan BKM dibantu Unit-unit Pengelola (UP) yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan tiap wilayah, namun setidaknya terdiri dari Unit Pengelola Keuangan (UPK), Unit Pengelola Sosial (UPS), dan Unit Pengelola Lingkungan (UPL). Sedang masyarakat miskin dapat berpartisipasi aktif dengan membentuk Kelompok-kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Untuk memperoleh bantuan dana, setiap KSM menyiapkan sebuah usulan subproyek dengan menggunakan format baku yang disediakan oleh fasilitator dan kemudian ditandatangani oleh seluruh kelompok.

Bantuan kepada masyarakat miskin ini diberikan dalam bentuk dana yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang diusulkan masyarakat dan dalam bentuk pendampingan teknis yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Dana bantuan P2KP merupakan dana hibah dan pinjaman yang disalurkan kepada Kelompok-kelompok Swadaya (KSM) secara langsung dengan sepengetahuan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) yang ditunjuk, dan sepengetahuan warga masyarakat setempat melalui kelembagaan masyarakat yang dibentuk. Dana bantuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai modal usaha produktif, pelatihan treknis dan manajerial, pembangunan prasarana dan sarana dasar lingkungan, dan bantuan sosial kemanusiaan.

Penggunaan dana maupun perkembangan dari alokasi dana BLM P2KP, baik untuk pelatihan, prasarana fisik maupun ekonomi produktif diharapkan dapat dimanfaatkan bagi seluruh masyarakat miskin untuk meningkatkan taraf hidupnya. Lewat bantuan tersebut, terutama untuk kegiatan bantuan ekonomi dalam bentuk pinjaman dana bergulir untuk usaha produktif, diharapkan kegiatan usaha ekonomi mikro bisa tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan peluang dan potensi yang ada guna membantu peningkatan kesejahteraan keluarga miskin secara berkelanjutan. Dengan bantuan pinjaman modal bergulir itu pula, diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat yang mandiri dengan membangun dan mengorganisir diri atas dasar ikatan pemersatu dan kepercayaan bersama.