• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberhentian Sementara Notaris yang Menjadi Terdakwa

BAB IV PEMBERHENTIAN SEMENTARA TERHADAP NOTARIS

B. Pemberhentian Sementara Notaris yang Menjadi Terdakwa

Kasus Notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa sudah tidak asing lagi, karena hal itu hampir sering terjadi di semua daerah. Selama kasus tersebut tidak terlalu besar dan dalam skala yang kecil tentu saja tidak akan menimbulkan persoalan. Sepanjang masih bisa ditolerir, maka Majelis Pengawas Notaris juga akan memberikan toleransi kepada Notaris yang bermasalah tersebut. Namun kalau sudah kronis maka Majelis Pengawas Notaris akan bertindak tegas. Majelis pengawas Notaris pada prinsipnya sebagai pembina dan berusaha mendampingi notaris yang bermasalah tersebut.

Jika terjadi kesalahan dalam pembuatan akta tidak menutup kemungkinan Notaris akan berhadapan dengan pihak yang berwjib. Kebanyakan mereka dipanggil untuk dijadikan sebagai saksi, meski ada yang berlanjut menjadi tersangka dan tidak tertutup kemungkinannya sebagai terdakwa. Dalam menghadapi panggilan pihak yang berwajib yaitu kepolisian, notaris yang bersangkutan harus bersikap profesional dan tidak perlu ada kekhawatiran sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pembuatan aktanya.

Notaris juga manusia yang dapat melakukan kesalahan-kesalahan yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitasnya. Dalam hal Notaris melakukan kesalahan yang mengarah pada tindak pidana, maka tidak tertutup kemungkinan Notaris tersebut dapat ditetapkan menjadi tersangka dan terdakwa bahkan lebih jauh lagi fakta-fakta hukum di muka persidangan telah membuktikan

adanya tindak pidana yang dilakukan Notaris, maka terhadapnya dapat dijatuhkan pidana penjara yang kesemuanya ini dapat diikuti dengan tindakan penahanan terhadap diri Notaris.

Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim, dengan ijin Majelis Pengawas Notaris berhak melakukan penyitaan terhadap protokol notaris. Dalam kaitannya antara protokol notaris dengan halangan notaris menjalankan jabatannya seperti penahanan notaris, maka tidak boleh ada kevakuman hukum dalam hal penyimpanan protokol notaris, karena akan merugikan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap protokol notaris tersebut.

Halangan-halangan notaris dalam menjalankan jabatannya disebabkan karena sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran hukum yang dilakukannya, mencakup pemberhentian sementara 3 sampai dengan 6 bulan, maka protokolnya diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Terhadap notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat karena pelanggaran pelaksanaan Jabatan Kode Etik Notaris, serta pemberhentian dengan tidak hormat dalam hal notaris telah dijatuhkan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana dan hukum penjara 5 tahun atau lebih, maka protokolnya diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk Menteri atas usulan Majelis Pengawasan Pusat.114

114

Hasil wawancara dengan Notaris Robin Hudson Sitanggang, SH, Spn pada tanggal 31 Maret 2009

Dalam Pasal 63 Undang- Undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris menyatakan bahwa Penyerahan Protokol yang diberhentikan sementara

dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris. Notaris yang diberhentikan sementara, maka penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan. Terhadap Notaris yang diberhentikan dengan tidak hormat, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah. Pasal 80 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris menyatakan bahwa selama Notaris diberhentikan sementara dari

jabatannya, Majelis Pengawas Pusat mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri. Menteri menunjuk Notaris yang akan menerima Protokol Notaris dari Notaris dari Notaris yang diberhentikan sementara.

Pasal 14 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 02 . PR . 08 . 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris menyatakan bahwa kewenangan Majelis Pengawas Daerah yang bersifat administratif yang memerlukan keputusan rapat adalah memberikan persetujuan atas permintaan penyidikan, penuntu umum, atau hakim untuk proses peradilan. Majelis Pengawas adalah institusi yang dibentuk atas perintah undang-undang dan bertindak untuk dan atas nama menteri.

Pemanggilan Notaris sabagai tersangka, sebelum persetujuan pemeriksaan diberikan, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu mendengarkan keterangan dari Notaris yang bersangkutan dengan kehormatan profesi, dan penyidik atau penuntut umum115.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai Notaris yang menjadi terdakwa apakah diberhentikan sementara dari jabatannya. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris hanya menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, karena:

a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang; b. berada di bawah pengampuan;

c. melakukan perbuatan tercela;

d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Dalam Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia pada pasal 51 menyatakan bahwa:

“Notaris yang terhadapnya dikeluarkan surat perintah penahanan sementara, dengan sendirinya menurut hukum telah dipecat dari jabatannya, sampai ia dibebaskan kembali. Notaris yang terhadapnya diperkenankan diadakan suatu perkara tanpa perintah penagkapan atau penahanan, yang pembebasannya diperintahkan setelah adanya perkara atau terhadapnya sesuai dengan Pasal 177 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sedang berjalan perkara, oleh Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat kedudukan Notaris terletak, dapat dipecat dari menjalankan jabatannya, hingga perkara itu memperoleh keputusan tetap. Notaris yang terhadapnya suatu keputusan berisi hukuman kurungan atau hukuman penjara telah memperoleh kekuatan tetap, selama waktu ia menjalani hukuman itu dengan sendirinya menurut hukuman ia dipecat dari menjalankan jabatannya. Notaris yang dinyatakan berada dalam keadaan pailit atau memperoleh penangguhan pembayaran, dapat atas usul dari

115

Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Keputusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Departemen Hukum Dan Hak Azasi Manusia Tentang Pemberian atau Penolakan Persetujuan Pemanggilan Notaris Oleh Penyelidik, Penuntut Umum, atau Hakim, Kep.MPPN Nomor: C-MPPN.03.10-15 Tahun 2005

badan yang mengucapkan pernyataan dalam keadaan pailit atau yang memberikan penangguhan pembayaran itu, oleh Menteri Kehakiman dipecat dari menjalankan jabatannya itu selama masa kepailitan atau penangguhan pembayaran itu. Notaris yang dijatuhi hukuman kurungan atau hukuman penjara, dapat atas usul dari Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya Notaris bertempat kedudukan, mengangkat seorang pengganti”.

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak mengatur bagaimana kedudukan hukum Notaris dengan status sebgai tersangka yang dikenakan penahanan dalam tingkat penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan oleh Majelis Hakim dan belum ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam menghadapi peristiwa hukum demikian yaitu penahanan terhadap notaris dan tidak ada pengaturannya dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, tidak boleh dibiarkan adanya kekosongan hukum ini.

Pemecahannya harus dilakukan melalui pendekatan ilmu hukum dengan cara menggunakan metodologi penafsiran secara historis atau menghubungkan dengan Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Perturan Jabatan Notaris di Indonesia yang berlaku sebelum Undang-undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris diundangkan dan dinyatakan berlaku. Menurut Pasal 51 Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia, menegaskan bahwa notaris yang terhadapnya dikenakan penahanan sementara, maka dengan sendirinya (demi hukum) berhenti dari jabatannya sampai notaris tersebut dibebaskan kembali. Dalam kaitannya dengan penerapan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris harus ditafsirkan bahwa jika notaris dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti

demi hukum dan tidak berwenang menjalankan jabatannya termasuk membuat akta otentik.

Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana tidak ditahan atau sebaiknya diberhentikan sementara. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan dan untuk menghindari hal-hal yang tidak baik yang dapat berdampak terhadap akta dan klien dari notaris yang memperoleh status sebagai terdakwa.116 Sejak dinyatakan sebagai terdakwa, notaris tersebut diberhentikan sementara, sampai ada putusan yang tetap. Jika sudah diputus di Pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap, dan Notaris tersebut dihukum, dari hukuman tersebut Majelis Pengawas Notaris dapat langsung memberhentikan tanpa dimintakan lagi Majelis Pengawas Notaris memeriksanya. Putusan dari pengadilan tersebut dapat menjadi dasar bagi Majelis Pengawas Notaris untuk menjatuhkan sanksi.117

Apabila seorang notaris terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka Majelis Pengawas Notaris akan mengusulkan kepada Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut ijin operasionalnya. Sanksi yang diberikan kepada notaris yang nakal tersebut bukan saja yang melakukan tindak pidana berat, karena bila dihukum percobaan pun yang bersangkutan akan ditindak tegas, yakni pencabutan ijin. Pemberhentian Notaris bukan saja yang melanggar hukum, tetapi bisa juga akibat melakukan perbuatan tercela lainnya, seperti melanggar norma agama, norma

116

Hasil wawancara dengan Notaris Siti Syarifah, SH, Spn pada tanggal 12 Maret 2009 117

Hasil wawancara dengan Notaris Teguh Perdana Sulaiman, SH, CN pada tanggal 10 Maret 2009

kesusilaan dan norma adat, kesemuanya itu akan merendahkan kehormatan dan martabat jabatan notaris.118

Notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya, seharusnya memang diberikan perlindungan khususnya dari organisasi profesinya, sebab:

1. untuk menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan persidangan. 2. merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta.

3. menjaga minuta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris.

Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No: M. 02. PR. 08. 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris mengenal dua macam sidang yakni;

1. Sidang Pemeriksaan

2. Sidang Pengambilan Keputusan

Sidang-sidang yang dilaksanakan tidak ada bedanya dengan tata cara atau proses persidangan dalam Peradilan Umum. Persidangan Majelis Pengawas Notaris adalah Peradilan Semu yang tidak termasuk dalam kekuasaan kehakiman. Sidang-sidang tersebut, ditingkat daerah dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Daerah yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Daerah, ditingkat wilayah dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Wilayah dan ditingkat

118

Hasil wawancara dengan Notaris Alwine Rosdiana Pakpahan, SH, CN pada tanggal 9 April 2009

pusat (upaya banding) dilaksanakan oleh Majelis Pemeriksa Pusat yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Pusat, denga prosesnya sebagai berikut:119

a. Majelis Pemeriksa Daerah hanya berwenang menyelenggarakan Sidang Pemeriksan yang tertutup untuk umum, dan dalam sidang ini didengar keterangan dari pelapor dan notaris yang menjadi terlapor, memeriksa bukti-bukti yang diajukan pelapor dan terlapor, kemudian hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), yang wajib disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah. Jadi Majelis Pemeriksa Daerah hanya berwenang memeriksa fakta-fakta hukum yang diajukan oleh pihak-pihak (terlapor dan pelapor) yang dituangkan dalam BAP, tanpa adanya kewenangan untuk memberikan penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum dan juga tanpa kewenangan untuk menjatuhkan sanksi.

b. Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang meneyelenggarakan Sidang Pemeriksaan yang tertutup untuk umum dan Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum. Dalam Sidang Pemeriksaan yang tertutup untuk umum, Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang mendengarkan keterangan terlapor dan pelapor serta memberikan kesempatan bagi notaris untuk menggunakan haknya membela diri. Jadi Majelis Pemeriksa Wilayah dalam sidang pemeriksaan tidak lagi berwenang untuk memeriksa bukti-bukti (fakta-fakta hukum), tapi hanya memberikan penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum yang dituangkan dalam BAP yang disampaikan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, kecuali belum terbentuk Majelis Pengawas Daerah, serta dalam Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau penilaian pembuktian terhadap fakta-fakta hukum yang dituangkan dalam BAP yang disampaikan oleh Majelis Pemeriksa Daerah, kecuali belum terbentuk Majelis Pengawas Daerah, serta dalam Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, menjatuhkan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis yang sifatnya final dan usul pemberhentian sementara 3 s/d 6 bulan atau usulan pemberhentian dengan tidak hormat kepada Majelis Pengawas Pusat.

c. Majelis Pemeriksa Pusat wajib menyelenggarakan Sidang Pemeriksaan dan Sidang Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum, untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas permohonan Banding dan Memori Banding yang diajukan oleh pembanding kepada Majelis Pusat. Permohonan banding dapat diajukan terhadap Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah yang memuat sanksi usul pemberhentian sementara dan usul pemberhentian dengan tidak hormat. Permohonan banding dinyatakan tidak dapat diterima jika memori banding tidak disampaikan dalam jangka wktu 14 hari kalender sejak banding dinyatakan. Dalam Sidang Pemeriksaan yang terbuka untuk umum, Majelis Pemeriksa Pusat berwenang mendengar keterangan Terbanding dan Pembanding serta pembelaan

119

diri Notaris dalam rangka untuk memeriksa dan membuktikan apakah dalil-dalil Pembanding dalam memori bandingnya beralasan atau tidak beralasan, tanpa ada lagi pengajuan bukti-bukti oleh pihak, mengingat paling lambat dalam jangka waktu 30 hari kalender sejak berkas diterima Majelis Pengawas Pusat telah mengambil putusan dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris Junto Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia Nomor M. 02 . PR . 08 . 10 Tahun 2004 Tentang Tata Cara

Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengwas Notaris hanya memberi

wewenang bagi Majelis Pemeriksa Daerah untuk memeriksa bukti-bukti.

Bentuk perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah (Majelis Pengawas Notaris) terhadap masyarakat umum (klien) dari notaris yang memperoleh status sebagai tersangka dan terdakwa, yakni:120

1. Masyarakat diberikan kesempatan untuk melaporkan notaris yang bermasalah tersebut, baik ke Pengadilan dan juga Majelis Pengawas Notaris melalui Majelis Pengawas Daerah dengan dibuatkan Berita Acaranya. Majelis Pengawas Notaris sebagai sebagai pengawas notaris yang mengawasi notaris dalam menjalankan jabatannya, sedangkan perilaku notaris di luar pelaksanaan jabatannya dan disiplin organisasi dilakukan secara intern oleh Dewan Kehormatan Notaris. 2. Terhadap Notaris dilakukan pemeriksaan rutin minimal 1 kali dalam setahun

dan pemeriksaan pada waktu-waktu yang dianggap perlu, hal ini dilakukan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan serta menghindari terjadinya kesalahan kelalaian, keteledoran dan dan kecerobohan dari notaris, juga untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang dilakukan notaris tersebut.

3. Notaris yang dipanggil oleh penyidik baik sebagai saksi, tersangka dan terdakwa serta pengambilan minuta aktanya harus denga izin dari Majelis Pengawas Daerah.

120

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus ada ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Ijin tersebut disampaikan oleh penyidik Polri kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris yang tembusannya disampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Surat pemanggilan tersebut harus mencantumkan alasan pemanggilan tersebut. Majelis Pengawas Daerah Notaris sebelum memberikan ijin akan memanggil terlebih dahulu notaris yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2. Notaris dalam status tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketidak berwenangan notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris sebagai tersangka belum tentu bersalah dan harus menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence). Salah atau tidak seorang ditetapkan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Tergantung dari masyarakat masih mau menggunakan jasa notaris yang dalam status sebagai tersangka atau tidak.

3. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan untuk memberhentikan sementara ada pada Majelis Pengawas Pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan. Terhadap notaris yang dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta otentik. Dalam Pasal 63 jo Pasal 80 Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa dalam jangka waktu 30 hari Protokol notaris yang diberhentikan sementara diserahkan kepada notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah. Menteri menunjuk notaris lain sebagai seorang pejabat sementara notaris yang akan menerima protokol notaris dari notaris yang diberhentikan sementara tersebut atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat Notaris, sampai masa pemberhentian sementara ersebut berakhir.

B. Saran

1. Pemanggilan terhadap notaris sebagai saksi/tersangka oleh penyidik Polri sebaiknya diatur di dalam suatu undang-undang tersendiri, yang lebih terperinci dan lebih tegas. Pelangaran yang dilakukan oleh notaris lebih tegas disebutkan di dalam suatu undang-undang tidak lagi dikaitkan dengan kode etik. Kode etik hanya bersifat suatu aturan yang mengatur mengenai etika profesi notaris.

2. Pengaturan mengenai sanksi pidana harus diatur secara tegas dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, untuk mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan baik bersifat pribadi maupun yang menyangkut

profeionalitas dari notaris. Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris harus mengatur mengenai kewenangan dan pemberhentian sementara notaris dalam status sebagai tersangka dan terdakwa, sebab jumlah notaris yang terlalu banyak, sehingga tidak bisa dihindari munculnya pelangaran-pelanggaran dalam pembuatan akta.

2. Untuk menjaga dan mengembalikan harkat dan martabat lembaga notariat Majelis Pengawas Notaris harus bertindak tegas dalam melakukan pengawasan baik preventif maupun represif untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan terhadap kewenangan dan kewajiban yang dilakukan oleh notaris, serta pengenaan sanksi yang berat terhadap notaris yang melakukan pelanggaran.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Andasasmita, Komar. Notaris Selayang Pandang. Bandung : Alumni, 1999. Adam, Muhammad, 1985, Asal Usul Sejarah Notaris. Sinar Baru, Bandung. Ali, Faried, H.M. Filsafat Adminitrasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2004. Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai

Pejabat Publik, Refika Aditama , Bandung

Ansori Sabuan, Syarifuddin Pettanase, dan Ruben Achmad. Hukum Acara Pidana. Bandung : Angkasa, 1990.

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1994. Kohar, A. Notaris Dalam Praktek Hukum. Bandung : Alumni, 1983.

________ Notaris Berkomunikasi. Bandung : Alumni,1984.

Lubis, Suhrawardi K. Etika Profesi Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 1993. Lumbang Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga : Jakarta. 1992

Mamudji, Sri dan Hang Rahardjo, 2004, “Teknik Menyusun Karya Tulis Ilmiah”. Jakarta, Pra Cetak

Mamudji, Sri et al, 2005, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Muhammad, Abdulkadir, 1997, Etika Profesi Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti M. Hadjon, Philipus dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum,

Yogyakarta, Gadjah Mada University Press,

Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan. Jakarta : RajaGrafindo Persada

Prints, Darwin, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta, Djambatan Siregar, Bismar. Hukum Acara Pidana. Jakarat : Binacita 1983.

Subekti. R. Hukum Pembuktian. Jakarta : Pradnya Paramitha, 2001.

Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris Buku I. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve

Tanusubroto, S.1983, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana. Bandung, Amico Lumban Tobing, G.H. S. 1999, Peraturan Jabatan Notaris. Jakarta, Erlangga

Wojowasito, S, 1990, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta, Ichtiar Baru - Van Hoeve, Jakarta,

II. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 30 Tahum 2004, TLN No. 4432.

Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 LN No. 76 Tahun 1981, TLN No. 3209.

Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 LN No. 137 Tahun 2002, TLN No. 4250. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150.

Staablad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek). Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Subekti dan Tjitorosudibio. Jakarta : Pradnya Paramitha, 1999.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Wet book van strafrecht). Diterjemahkan oleh Andi Hamzah. Jakarta : Rineka Cipta, 2000.

Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M. 02. PR. 08. 10 Tahun 2004.

Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas, Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor. M. 39-PW. 07. 10 Tahun 2004.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Keputusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tentang Pemberian atau Penolakan Persetujuan Pemanggilan Notaris Oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim. Kep. MPPN Nomor : C-MPPN. 03. 10-15 Tahun 2005.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Negara Republik Indonesia. Surat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tentang Penunjuk Pejabat Pelaksana sumpah Jabatan Notaris. Surat Nomor : M. UM. 01. 06-139.

Nota Kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No. Pol : B / 1056/V/2006 Nomor : 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum.

III. ARTIKEL :

Basyit, Abdul. “Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Bidang

Kenotariatan”. Media Notariat, Edisi September-Oktober 2004

Edianto, Pratomo. “Sidang Pertama MPP Babakan Baru Nptariat Indoneisa.” Renvoi Nomor : 8. 32. III (3 Januari 2006)

Facruddin, Irfan. “Kedudukan Notaris dan Akta-Aktanya Dalam Sengketa Tata

Usaha Negara.” Varia Peradilan 111, (Desember 1994)

Herlien Boediono, "Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No.

Dokumen terkait