• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kewenangan Notaris Dalam Status Tersangka Menjalankan Tugas Sebagai Pejabat Umum Membuat Akta Otentik"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA

MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM

MEMBUAT AKTA OTENTIK

TESIS

Oleh

EDI NATASARI SEMBIRING 077011016/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA

MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM

MEMBUAT AKTA OTENTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu SyaratUntuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

EDI NATASARI SEMBIRING 077011016/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK Nama Mahasiswa : Edi Natasari Sembiring

Nomor Pokok : 077011016

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, Mhum) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum) (Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa,B.MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu. SH. M.Hum

Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH. CN. M.Hum

2. Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

(5)

ABSTRAK

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan dan sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial. Pada hakikatnya akta otentik memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut yang akan ditandatanganinya. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. Dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

Penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan tindak pidana harus ada ijin tertulis terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Ijin tersebut disampaikan oleh penyidik Polri kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris yang tembusannya disampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Notaris dalam status tersangka tetap berwenang untuk membuat akta. Dalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, ketidak berwenangan notaris dalam membuat akta jika dia dalam status belum disumpah, cuti, diberhentikan sementara (diskors), dipecat dan pensiun. Notaris yang menjadi terdakwa dalam suatu kasus pidana diberhentikan sementara. Kewenangan untuk memberhentikan sementara ada pada Majelis Pengawas Pusat. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah pemeriksaan proses peradilan. Terhadap notaris yang dikenakan penahanan sementara, maka notaris berhenti demi hukum dan tidak berwenang untuk menjalankan jabatannya termasuk dalam membuat akta otentik

(6)

ABSTRACT

The authentic act as powerful and most comprehensive proof instrument plays a very important role in each legal relationship of community’s life. In a variety of bussiness relationships, activity of banking sector, and so on, the requirement for written proof as authentic act increases progressively in parallel with an ever increasingly claim for law certainity in several economic and social relations. Essentially, the authentic act contains the formal truth consistent with what the parties inform to the notary. However, notary is under mandatory to include that what is contained in Notary Act has been understand and suitable to desire of parties. Thus, parties can determine independently the agreement or disagreement of act on which they will stamp their signature. Notary is a public official with authority to prepare the authentic act as long as the preparation of certain authentic act is not confined especially to another public official. Essentialy, the authentic act contains the formal truth according to what the parties inform to the notary. However, the notary is under mandatory to include that what is contained in the Notary Act has been duly understood and consistent to desire of parties, i.e., by reading it out clearly and providing the access of information, including the access of related statutes for parties who will sign the act.

According to the problem and objective of the research, this is an analytical and descriptive research, i.e., an analysis of data based on the general law theory applied to explain a set of another data. Through the approach, this research uses a normative juridical approach.

The investigation on notary reported of having committed the criminal should be preeced by a permit from Notary Supervising Assembly. The permit is conveyed by Police Investigator to Regional Notary Supervising Assembly the carbon copy of which is sent to the notary. The notary in suspected status remains to have the authority to prepare the act. In the Law 30/2004 regarding Title of Notary, the absence of notary authority will occur for preparation of act if she/he is in status of unannoited by pledge, leave, suspended, fire out, or retired. The notary as suspect in a criminal matter should be suspended. The authority of suspending lies at hand of Central Supervisory Assembly. This is determined to facilitate the examination of court process. For a notary whom a suspension is imposed, the notary is retired for sake the law and void of authority to perform his/her capacity including to prepare the authentic act.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-Nya akhirnya Penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul

"KEWENANGAN NOTARIS DALAM STATUS TERSANGKA

MENJALANICAN TUGAS SEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA

OTENTIK".

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril, masukan dan saran, sehingga tesis ini dapat diselesaiakan tepat pada waktunya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat Bapak/Ibu Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu. SH. M.Hum, Ibu Dr. T. Keizerina

Devi Azwar SH. CN, M.Hum, Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKN atas

kesediaannya membantu dalam memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sehingga diperoleh hasil yang maksimal.

Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, SpN, MKN

(8)

Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&h, SP.A(K), SELAKU Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B.M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Wakil Direktris seluruh Staf atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

5. Para Staf Administrasi Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam memberikan saran dalam penulisan tesis

(9)

dalam penulisan tesis ini. Begitu juga kepada Abang, Kakak serta Adik-adikku yang kusayangi yang penuh perhatian selalu memberikan dorongan kepada penulis.

Penulis banyak menyadari bahwa tesis ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan, baik dari sudut isi maupun dari eara pengajuannya. Oleh karena itu saran dan masukan yang membangun sangat dibutuhkan demi kesempurnaan tesisi ini.

Semoga allah SWT melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Amin

Medan, Juli 2009 Penulis,

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Indentitas Pribadi

Nama : Edi Natasari Sembiring

Tempat/Tgl Lahir : Kayu Aro Jambi, 05 Desember 1966 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Kebangsaan : Indonesia

Nama Isteri : Siti Syarifah, SH, SpN

Nama Anak : Amartya Syuwari Nata Br. Sembiring Pelawi

Status : Kawin

II. Orang Tua

Ayah : Drs. K. Sembiring Ibu : Hj. Rukyah Br. Ginting

Alamat : Jl. Ampera XI No. 2 Glugur Darat, Medan

III. Riwayat Pendidikan

SD : 1974-1980

SMP : 1980-1983

SMA : 1983-1986

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ……….. 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori ... 17

2. Konsepsi ... 29

G. Metode Penelitian ... 31

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA ... 34

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris ………. 34

1. Sejarah Notaris Di Indonesia ... 34

2. Notaris Diangkat Dan Diberhentikan Oleh Menteri ... 37

3. Notaris Tidak Menerima Gaji Atau Pensiun ... 37

B. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana ... 37

C. Penyelewengan Yang Dapat Dilakukan Notaris ... 46

1. Penyelewengan Prosedural ... 46

2. Penyelewengan pidana ... 47

(12)

BAB III KEWENANGAN NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA DALAM

MENJALANKAN TUGAS JABATANNYA ... 60

A. Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 60

1. Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 60

2. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik ... 73

3. Wewenang Dan Larangan Terhadap Notaris ... 78

B. Kewenangan Notaris Menjalankan Tugas Jabatan Dengan Status Sebagai Tersangka ... 82

C. Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum Yang Dijatuhi Sanksi ... 84

BAB IV PEMBERHENTIAN SEMENTARA TERHADAP NOTARIS SEBAGAI TERSANGKA TINDAK PIDANA ... 98

A. Pengawasan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris Menurut UUJN ... 98

B. Pemberhentian Sementara Notaris yang Menjadi Terdakwa Selama Proses Peradilan ... 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

1. Kesimpulan ... 116

2. Saran ... 117

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan hukum itu dilakukan.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan dan sebagainya, kebutuhan akan

(14)

pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial. Melalui akta otentik ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh yang memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Pada hakikatnya akta otentik memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut yang akan ditandatanganinya.1

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara

1

(15)

membacakannya sehingga jelas isi Akta Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.

(16)

Bentuk atau corak notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:

a) Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettelijke” dan ”niet

wettelijke,” ”werkzaamheden” yaitu pekerjaan-pekerjaan yang

berdasarkan Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.

b) Notariat Profesionel, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.28

Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga halnya pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004.

Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris telah diatur dalam Pasal 3 UUJN sebagai berikut :

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun ; d. Sehat jasmani dan rohani;

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan

Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

28

(17)

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akte yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti sempurna, dengan segala akibatnya.2

Anthoni Giddens menyatakan,

“Secara sosiologis notaris tidak hanya sebagai pejabat hukum yang terkungkung dalam aturan-aturan yuridis yang serba mengikat, melainkan juga sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Selain terikat pada tatanan sosial, juga memiliki kebebasan dalam membentuk dunianya sendiri lewat pemaknaan-pemaknaan yang bersifat subyektif”.3

Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akta otentik semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, tetepi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian antara pihak berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.4

2

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal 64 3

Aslan Noer, Pelurusan Kedudukan PPAT Dan Notaris Dalam Pembuatan Akta Tanah Berdasarkan UU No. 30 TH. 2004 Tentang Jabatan Notaris (Suatu telaah dari sudut pandang Hukum Perdata dan Hukum Tanah Nasional), Jurnal Renvoi, hal. 58

4

(18)

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :

“Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu”.5

Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.6

Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) UUJN, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana

5

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 43

6

(19)

dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.

G.H.S Lumban Tobing mengemukakan:

Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan satu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan yang dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta notaris dapat juga berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankannya jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris.7

Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ada 2 golongan akta notaris, yakni:8

1. akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten);

Contoh: antara lain: pernyataan keputusan rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel.

2. akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstan) notaris atau yang dinamakan “akta partij (partij-akten).

Contoh, akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa.

7

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hal. 51. 8

(20)

Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk bertanggungjawab terhadap akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan keterangannya terhadap notaris; ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang diterbitkan notaris mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan notaris baik karena kelalaiannya maupun karena kesengajaan notaris itu sendiri maka notaris memberikan pertanggungjawaban.

Akta otentik sebagai produk Notaris yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual, dan final, dan akta merupakan formulasi keinginan atau kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan bukan kehendak Notaris.9

Akta notaris yang mana akibat kelalaian Notaris dalam pembuatannya sehingga mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut menjadi batal demi hukum, dapat

9

(21)

menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris yang membuat akta tersebut.10

Akhir-akhir ini banyak notaris yang dipanggil ke kantor polisi, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi atau diindikasikan menjadi tersangka, maupun yang sudah berstatus sebagai tahanan POLRI.11 Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Poldasu, sebanyak 153 kasus. Dimana 10 (sepuluh) orang Notaris sebagai tersangka dan sebanyak 143 orang Notaris jadi saksi.12 Dalam pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan notaris/PPAT telah ada suatu kesepakatan antara POLRI dengan Ikatan Notaris Indonesia yang tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia yaitu No. Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006, Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah No.Pol: B/1055/V/2006 dan Nomor: 05/PP-IPPAT/V/2006 Tanggal 9 Mei 2006 tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme Di Bidang Penegakan Hukum.

Notaris yang melanggar hukum dalam melaksanakan jabatannya baik disengaja maupun karena kelalaian kini tidak bisa tenang lagi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat membuat pengaduan ke pihak Majelis Pengawas Notaris dan

10

Lihat Pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 11

Muchlis Patahna, ”Apa Akar Masalahnya Banyak Notaris Tersandung Kasus”, Renvoi, Nomor 1.37. IV, Juni 2006, hal. 14

12

Waspada Online, Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana, http://www.waspada.co.id/

index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=6025, dipublikasikan tanggal 27 Oktober 2007,

(22)

Kepolisian. Apabila Notaris mengabaikan tugas jabatannya dan keluhuran dari martabatnya dan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku maka Majelis Pengawas dapat bertindak tegas mengenakan sanksi. Bahkan dapat memberikan rekomendasi kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut izin operasionalnya. Kepada Notaris yang bersangkutan tidak tertutup kemungkinan untuk dituntut ke pengadilan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata.

Sebagai bukti dari pernyataan tersebut di atas ada beberapa kasus yang dikemukakan antara lain :

1. Notaris ARM SH. yang divonis Pengadilan Negeri Medan dengan hukuman dua tahun penjara karena telah membuat akta palsu. 13

2. Notaris Sop Sib yang di mana terjadi pembatalan akta oleh Pengadilan Negeri Medan dan dikuatkan dengan keputusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dengan menyatakan akta tersebut melakukan perbuatan melawan hukum. 14

Adapun pasal-pasal tindak pidana yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 KUHP jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu :15

13

Harian Analisa Medan Tanggal 20 Februari 2009. hal 6. 14

Rikha Anggraini Dewi, Tinjauan Yuridis Pemberian Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris yang Melakukan Pelanggaran Oleh Majelis Pengawas Notaris setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004,Tesis Magister Kenotariatan Pascasarjana 2009, hal 69.

15

(23)

1. Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar. Dalam hal ini dibuat suatu surat yang isinya tidak benar namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi palsu) karena tidak ada sesuatu yang dirubah, ditambah ataupun dikurangi. 2. Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara

merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya sudah ada tetapi surat itu kemudian dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya.

Sedangkan Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP.

Banyaknya notaris yang kena kasus hukum itu harus dibenahi oleh lembaga yang mengangkatnya. Misalnya jumlah notaris yang sudah tidak sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akibat jumlah notaris yang terus bertambah yang berdampak persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan klien (pasar) yang mengakibatkan notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangan dan etika profesi.16

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya dapat dihukum atau dituntut secara pidana saja. Tetapi juga dapat digugat ke pengadilan negeri dengan berdasarkan aktanya. Dalam hal gugatan perdata ini, notaris hanya sebagai pihak yang turut tergugat bukan sebagai pihak tergugat. Namun terhadap akta yang dibuat oleh notaris dapat

16

(24)

dimintakan pembatalannya oleh pihak yang dirugikan. Pembatalan akta tersebut harus berdasarkan suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam hal ganti kerugian materiil yang timbul akibat suatu akta notaris, notaris tidak dapat digugat untuk mengganti kerugian yang timbul ataupun di ikut sertakan dengan mewajibkan tanggung renteng terhadap kerugian salah satu pihak.

Ada 3 (tiga) hal pokok berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris yaitu: pengawasan, perlindungan, dan organisasi Notaris.17 Dalam rangka pengawasan terhadap Notaris, sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Majelis Pengawas Notaris anggotanya berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri dari unsur pemerintah, organisasi Notaris dan ahli/akademisi dengan anggota masing-masing sebanyak 3 (tiga) orang.18

Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris ditingkat Pusat, Propinsi dan tingkat Kabupaten/Kota. Selama ini telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris, Majelis Pengawas Wilayah Notaris di setiap Propinsi dan sebagian telah dibentuk Majelis Pengawas Daerah Notaris di setiap Kabupaten/Kota. ”Kendala utama Pengawasan terhadap notaris adalah belum terbentuknya seluruh Majelis Pengawas Daerah sebagai ujung

17

Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum, http://www.depkumham.go.id/ templates.html. diakses tanggal 17 Januari 2009

18

(25)

tombak pengawasan dan juga dari beberapa unsur selaku Anggota Majelis tidak bersedia menjadi anggota Majelis Pengawas Daerah”.19

Dalam memberikan perlindungan hukum kepada notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan profesinya di bidang pelayanan jasa hukum kepada masyarakat, sebagaimana disebutkan dalam butir konsideran menimbang huruf c, bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum.20

MPW/MPD kepada notaris bisa merupakan penetapan bahwa notaris tersebut hanya Perlindungan hukum yang diberikan oleh ditetapkan sebagai saksi atas akta yang dibuatnya apabila akta tersebut di kemudian hari digugat oleh pihak lain yang menuduh notaris telah melakukan penipuan. Hal seperti ini dapat dihindari notaris dengan cara mengkopi segala surat-surat yang berhubungan dengan pembuatan akta dan menjahitkannya pada akta tersebut karena notaris hanya membuat akta berdasarkan keterangan dari para penghadap dan surat-surat lain yang mendukung dalam pembuatan akta tersebut. Dengan demikian notaris dapat menghindarkan diri sebagai tersangka ataupun turut membantu terciptanya akta yang palsu atau tidak benar

19

Hasbullah, Loc cit 20

(26)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang dirumuskan tiga permasalahan sebagai berikut.

1. Bagaimana prosedur untuk melakukan penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana?

2. Bagaimana kewenangan Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana menjalankan tugas jabatannya membuat akta otentik?

3. Bagaimana prosedur untuk menetapkan pemberhentian sementara terhadap Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur penyidikan terhadap notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan pidana.

2. Untuk mengetahui kewenangan notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku tindak pidana.

(27)

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

a. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan khususnya pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi pemerintah yang dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris untuk mengawasi Notaris dalam menjalankan jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

2. Notaris

(28)

3. Mahasiswa Kenotariatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan yang bermanfaat bagi mahasiswa kenotariatan yang nantinya akan memangku jabatan sebagai seorang Notaris agar di dalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih bertanggung jawab dan jujur serta memegang teguh pada peraturan yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan khususnya Universitas Sumatera Utara. Penelitian dengan judul “KEWENANGAN NOTARIS

DALAM STATUS TERSANGKA MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI

PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK”, belum pernah ditemukan

(29)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.21 Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.22

Menurut Burhan Ashshofa suatu teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan antar konsep.23 Menurut Snelbecker yang mendefenisikan teori sebagai seperangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat diamati dan fungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati.24

Nama “notariat” berasal dari kata “notarius”. Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Romawi klasik ditemukan bahwa nama atau title “notarius” menandakan suatu golongan orang-orang yang telah melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis.. Akan tetapi, yang dinamakan “notarius” dahulu

21

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : penerbit Mandar Maju, 1994), hal. 80

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1996), hal. 19.

23

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Rineka Cipta, 1996) hal. 19. 24

(30)

tidak sama dengan notaris yang dikenal sekarang, hanya namanya saja yang sama25. Arti dari nama “notarius” secara lambat laun berubah dari arti semula.

Sejarah dari lembaga notariat dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan di Italia Utara yang dinamakan “Latijnse notariaat”26. Mula-mula lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke Perancis. Dari Perancis inilah pada permulaan abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana yang dikenal sekarang telah meluas ke negara-negara sekelilingnya yaitu di seluruh daratan Eropa dan negara Spanyol bahkan sampai ke negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Notaris mulai masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17, dengan adanya Oost Indische Compagnie, yaitu gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur yang lebih dikenal dengan nama V.O.C

(Vereeningde Oost Indische Compagnie) dengan Gubernur Jenderalnya yang

bernama Jan Pieterszoon Coen, telah mengangkat Melchior Kerchem sebagai Notaris pertama di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 162027. Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris, jumlah notaris terus bertambah, walaupun lambat disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu28. Dalam tahun 1650 di Batavia diangkat 2 orang notaris, pada tahun 1654 jumlah notaris di Batavia ditambah menjadi 3 orang dan kemudian dalam tahun 1751 jumlah itu menjadi 5 orang29. Notariat di Indonesia dibawa oleh orang-orang Belanda dari Nederland, sedangkan

25

G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 5 26

G.H.S. Lumban Tobing Ibid, hal. 3 27

Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, (Bandung : Alumni , 1983), hal. 1 28

G.H.S L.Tobing,, ibid, hal 17 29

(31)

bangsa Belanda dan negara Eropa Barat lainnya telah mencontoh dari negara/bangsa kuno seperti Mesir dan Yunani30.

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, diatur dengan dua reglement yaitu dari tahun 1625 dan tahun 1765. Pada tahun 1822 (Staatsblad Nomor 11) dikeluarkan Instructie Voor de Notarissen in Indonesia yang terdiri dari 34 pasal31.

Pada tahun 1860 pemerintah Belanda melakukan penyesuaian peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di negeri Belanda, maka diundangkan peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan tanggal 26 Januari 1860 dan mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Juli 1860, Peraturan Jabatan Notaris tersebut terdiri dari 63 pasal. Pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris tersebut adalah

copie dari pasal-pasal dalam Notariswet yang berlaku di Negara Belanda32.

Usaha dari pemerintah dengan Ikatan Profesi Notaris dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat undang-undang nasional mengenai peraturan jabatan notaris untuk menggantikan peraturan perundang-undangan peninggalam zaman kolonial Hindia Belanda membuahkan hasil. Akhirnya setelah menunggu dan berjuang lebih dari tiga dasa warsa, Rancangan Undang-undang Jabatan Notaris disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) di gedung

30

Andasasmita., Loc. Cit 31

Ibid., hal. 18 32

(32)

DPR/MPR pada tanggal 14 September 200433. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu tanggal 6 Oktober 2004 terdiri dari 13 bab dengan 92 pasal merupakan perwujudan unifikasi hukum dibidang kenotariatan.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris mengatur secara rinci tentang Jabatan umum yang dijabat oleh notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan Nasional yang semakin kompleks dewasa ini tentunya makin luas dan makin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum tentunya tidak terlepas dari pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris, oleh karena itu pelayanan jasa yang diberikan oleh Notaris harus benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan34.

Menurut Ismail Saleh yang dikutip oleh Liliana Tedjasaputra, ada 4 (empat) hal yang harus diperhatikan para notaris yaitu :

1. Dalam menjalankan tugas profesinya, seorang notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segalapertimbangan moral harus melandasi pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral yang baik harus dihindarkan.

2. Seorang notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, juga pada dirinya sendiri. Ia harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji sekadar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai

33

Abdul Basyit, “Undang-Undang Jabatan Notaris Pembaharuan Bidang Kenotariatan”, Media Notariat, Edisi September-Oktober 2004, hal. 6.

34

(33)

jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang notaris.

3. Seorang notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku professional apabila seorang notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak di tempat kedudukannya sebagai notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya di lain tempat. Seorang notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya autentiknya.

4. Sekalipun keahlian seseorang dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, namun dalam melaksanakan tugas profesinya ia tidak semata-mata didorong oleh pertimbangan uang. Seorang notaris yang Pancasilais harus tetap berpegang teguh kepada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata hanya menciptakan alat bukti formal mengejar adanya kepastian hukum, tapi mengabaikan rasa keadilan.35

Sejak berlaku Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat ini yaitu : 36

1. Perluasan kewenangan Notaris yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f dan g Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yakni kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan serta kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Serta perluasan wilayah kewenangan (yurisdiksi), berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yakni Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi, dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota.

2. Pelaksanaan Sumpah Jabatan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Nomor : M.UM. 01.06-139 tanggal 08 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris kepada Kepala Kantor Wilayah Departement Hukum dan Hak Asasi Manusia.

35

Liliana Tedjasaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 86

36

(34)

3. Notaris dibolehkan menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata, sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

4. Masalah Pengawasan Notaris. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sesuai kewenangannya berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris membentuk Majelis Pengawas Notaris.

5. Mengamanatkan agar notaris berhimpun dalam satu wadah organisasi notaris sesuai dengan pasal 82 ayat (1) undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Pasal 2 undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Notaris yaitu : 37

1. Warga Negara Indonesia

2. Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun 4. Sehat jasmani dan rohani

5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan

6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan

7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris.

Adanya persyaratan untuk terlebih dahulu menjalani masa magang sebelum seseorang dapat diangkat sebagai Notaris adalah sangat penting. Selama masa magang itulah sebenarnya seorang Notaris dapat memperoleh keterampilan, pengetahuan praktis dan teoritis yang sangat dibutuhkan kelak di dalam menjalankan

37

(35)

jabatannya sebagai Notaris, sehingga dapat membentuk Notaris yang baik dan trampil38.

Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris harus mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Nomor : M. UM. 01. 06-139 tanggal 08 Nopember 2004 telah melimpahkan kewenangan untuk melaksanakan Sumpah Jabatan Notaris yang sebelumnya dilakukan di hadapan Pengadilan Negeri atau di hadapan Kepala Daerah, sejak 08 Nopember 2004 sumpah Jabatan Notaris dilaksanakan dihadapan Kepala Kantor Wilayah Departemen hukum dan Hak Asasi Manusia. Bunyi sumpah/janji diatur dalam pasal 4 undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Merupakan suatu asas hukum publik bahwa sebelum menjalankan jabatannya dengan sah, seorang pejabat umum termasuk Notaris harus terlebih dulu mengangkat sumpah/janji. Selama hal tersebut belum dilakukan, maka jabatan itu tidak dapat dijalankan dengan sah39. Ketentuan dalam pasal 5 dan 6 Undang-undang nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris harus mengucapkan sumpah/janji jabatannya yaitu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatannya sebagai Notaris, jika lewat dari jangka waktu tersebut, maka keputusan pengangkatannya sebagai Notaris dapat dibatalkan oleh menteri.

38

G.H.S. L. Tobing, Op. Cit, hal.110 39

(36)

Notaris yang telah diangkat dengan Surat Keputusan Pengangkatannya, tetapi belum mengangkat sumpah, tidak dapat menjalankan jabatannya secara sah. Melalui pengangkatannya itu, seseorang telah menjadi Notaris, tetapi sebelum mengangkat sumpah, Notaris tersebut tidak berwenang untuk membuat suatu akta yang mempunyai kekuatan otentik. Apabila seseorang telah diangkat sebagai notaris, tapi belum mengangkat sumpah/janji dan telah membuat suatu akta, maka akta yang dibuatnya hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan.

Akta dibawah tangan adalah surat yang sengaja dibuat oleh orang-orang, oleh pihak-pihak sendiri, tanpa bantuan seorang pejabat umum, untuk dijadikan alat bukti40. Hal tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukn sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawh tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak.

Otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) UUJN, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat

40

(37)

oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.

G.H.S Lumban Tobing mengemukakan:

“Akta yang dibuat oleh notaris dapat merupakan satu akta yang memuat “relaas” atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni notaris sendiri, di dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris. Akta yang dibuat sedemikian dan memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan dan yang dialaminya itu dinamakan akta yang dibuat “oleh” (door) notaris (sebagai pejabat umum). Akan tetapi akta notaris dapat juga berisikan suatu “cerita” dari apa yang terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan notaris, artinya yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankannya jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Akta sedemikian dinamakan akta yang dibuat “dihadapan” (ten overstaan) notaris.”41

Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ada 2 golongan akta notaris, yakni:42

1. akta yang dibuat “oleh” (door) notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau “akta pejabat” (ambtelijke akten);

Contoh: antara lain: pernyataan keputusan rapat pemegang saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel.

2. akta yang dibuat “di hadapan” (ten overstan) notaris atau yang dinamakan “akta partij (partij-akten).

Contoh, akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan di muka umum atau lelang), wasiat, kuasa.

Pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri. Dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris pemberhentian Notaris diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 14. Pemberhentian itu berupa, pemberhentian dengan

41

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999, hal. 51.

42

(38)

hormat, pemberhentian sementara, dan pemberhentian dengan tidak hormat. Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena : a. meninggal dunia

b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun c. permintaan sendiri

d. Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun, atau

e. merangkap jabatan sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Pemberhentian dengan hormat diberikan karena Notaris telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang sampai dengan umur 67 (enam puluh tujuh) tahun, dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan. Hal ini merupakan perkembangan yang baru karena dalam Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) Staatsblad 1860 Nomor 3 yang diundangkan pada tanggal 26 Januari 1860 ketentuan ini tidak diatur.

Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena : a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang,

b. berada dibawah pengampuan c. melakukan perbuatan tercela

d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

(39)

melakukan perbuatan tercela dan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan. Pemberhentian sementara ini berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Notaris yang diberhentikan sementara karena dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang dan karena berada di bawah pengampuan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usulan dari Majelis Pengawas Pusat apabila :

a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

b. berada di bawah pengampuan secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan

Notaris, atau

d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.

Dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

(40)

dan karena berada di bawah pengampunan dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya.

Akta notaris sebagai produk pejabat publik, maka penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (vermoeden vanrechtmatigeheid) atau presumption iustae causa.43 Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu dimana akta notaris tersebut harus dianggap sah sampai ada pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Untuk menyatakan atau menilai akta tersebut tidak sah harus dengan gugatan ke pengadilan umum. Selama dan sepanjang gugatan berjalan sampai dengan ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), maka akta notaris tetap mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut.44

Dalam gugatan untuk menyatakan akta notaris tersebut tidak sah, maka harus dibuktikan ketidak absahan dari aspek lahiriah, formal dan materilnya akta notaris. Jika tidak dapat dibuktikan maka akta yang bersangkutan tetap sah mengikat para pihak atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. Asas ini telah diakui dalam UUJN, tersebut dalam Penjelasan Bagian Umum bahwa: Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan45

43

Philipus M. Hadjon, Pemerintah Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatig Bestuur), Cetakan Pertama, (Surabaya: Yuridika, 1993), hlm. 5

44

Habib Adjie, Sanksi Perdata..., op. cit., hlm. 79-80. 45

(41)

Dengan menerapkan asas praduga sah untuk akta notaris, maka ketentuan yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN yang menegaskan jika notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 dan pasal 52, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan tidak diperlukan lagi, maka kebatalan akta notaris hanya berupa dapat dibatalkan (vernietigbaar) atau batal demi hukum (van rechtoewege nietig).

Notaris merupakan suatu pekerjaan yang memiliki keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 46

46

(42)

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum47, guna menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu :

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004.

2. Menteri adalah yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan.

3. Majelis pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap notaris.

4. Sanksi adalah merupakan alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidak patuhan pada norma hukum administrasi.

5. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang jabatan Notaris nomor 30 tahun 2004.

47

(43)

6. Penyidik adalah penyidik negara dari insitusi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data yang lain. 48

Dilihat dari pendekatannya, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.49 Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dan relavan maka pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Library Research) yaitu pengumpulan data dengan menelaah bahan kepustakaan yang meliputi :

48

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 38

49

(44)

a. Bahan hukum primer yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bertujuan untuk memperoleh ketentuan yuridis tentang masalah yang akan dibahas.

b. Bahan Hukum sekunder antara lain yaitu buku tentang notaris dan buku-buku (literatur) yang berhubungan dengan permasalahan dan penelitian ini.

3. Cara Pengumpulan Data

a. Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan yaitu berkaitan dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan.

b. Wawancara dengan informan yaitu

1. Majelis Pengawas Wilayah Notaris 1 orang 2. Majelis Pengawas Daerah Notaris 1 orang 3. Notaris 5 orang 4. Kepolisian Daerah Sumatera Utara 1 orang (Kepala Satuan Tindak Pidana Umum)

(45)

Tujuannya untuk memperoleh informasi dan data pendukung tentang masalah yang akan dibahas.

4. Analisis Data

(46)

BAB II

PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA

A. Tinjauan Umum Tentang Notaris

1. Sejarah Notaris Di Indonesia

Pada zaman Romawi dahulu telah dikenal seorang penulis yang tugasnya antara lain membuatkan surat-surat bagi mereka yang tidak dapat menulis. Surat-surat yang disusunnya tidak mempunyai kekuatan hukum yang khusus, penulis-penulis itu terdiri dari orang-orang yang bebas dan kadang-kadang budak-budak belian. Orang menyebut mereka notarii. Disamping itu terdapat pula orang-orang yang diserahi membuat akta dan mereka disebut tabelliones atau tabelarii, mereka tugasnya hampir mirip dengan di Indonesia yang disebut pelaksana perkara (zaakwaarnemer)”.50

Pada abad ke-11 atau ke-12 selanjutnya notaris mulai berkembang di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah ini selanjutnya dikenal sebagai tempat asal notariat yang dinamakan Latijnse Notariaat yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya karena kemampuannya yang memiliki keahlian untuk mempergunakan tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka.51

50

R.Soesanto, Tugas Kewajiban dan Hak-Hak Notaris, (Wakil Notaris Sementara), (Jakarta: Pradnya Paramita,1982),hal 11

34 51

(47)

Setelah mengalami perkembangan secara khusus tabeliones ini kemudian dipersamakan dengan Zaakwaarnemer daripada notaris sekarang, mereka mulai diatur dari suatu Konstitusi pada tahun 537 oleh Kaisar Justianus, yang menempatkan mereka di bawah pengawasan pengadilan, tetapi tidak berwenang membuat akta dan surat yang sifatnya otentik, surat mana sama halnya dengan ketetapan dari badan peradilan. Selanjutnya tabularii adalah golongan orang-orang yang menguasai teknik menulis dan memberikan bantuan kepada masyarakat dalam pembuatan akta-akta. Sementara kalangan notarii adalah orang-orang yang khusus diangkat untuk membantu penulisan dikalangan istana, lambat laun masyarakat dapat mempergunakan jasa mereka karena mempergunakan jasa mereka karena mempergunakan notarii dipandang lebih terhormat daripada tabularii. Akhirnya pada masa Karel de Grote tabelarii dan notarii, menggabungkan diri dalam satu badan yang dinamakan Collegium. Mereka akhirnya dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya membuat akta-akta baik di dalam maupun di luar pengadilan walaupun jenis-jenis akta itu selanjutnya dapat berupa akta otentik ataupun akta di bawah tangan. Dari Italia Utara ini berkembang sampai ke Perancis untuk kemudian ke Negeri Belanda.

(48)
(49)

2. Notaris Diangkat dan Diberhentikan Oleh Menteri

Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh

Menteri, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14

UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh

pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang

mengangkatnya, pemerintah. Dengan demikian Notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya:52

a. Bersifat mandiri (autonomous); b. Tidak memihak siapapun (impartial);

c. Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.

3. Notaris Tidak menerima gaji atau pensiun

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak

menerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari

masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma

untuk mereka yang tidak mampu.

B. Akta Notaris Sebagai Dasar Perbuatan Tindak Pidana

Dalam UUJN diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan Kode Etik Jabatan Notaris.

52

(50)

sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris.

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:53 a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan waktu menghadap;

b. Pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris; c. Tanda tangan yang menghadap;

d. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta; e. Salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi salinan akta dikeluarkan. Aspek-aspek tersebut jika terbukti dilanggar oleh Notaris, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dijatuhi sanksi perdata atau administratif, atau aspek-aspek tersebut merupakan batasan-batasan yang jika dapat dibuktikan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administratif dan sanksi perdata terhadap notaris. Namun ternyata di sisi yang lain batasan-batasan seperti itu ditempuh atau diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk memidanakan notaris yaitu dengan dasar notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan kualifikasi sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris.

53

(51)

Batasan-batasan yang dijadikan dasar untuk memidanakan notaris merupakan aspek formal dari akta Notaris. Jika Notaris terbukti melakukan pelanggaran dari aspek formal dapat dijatuhi sanksi perdata atau sanksi administrasi tergantung pada jenis pelanggarannya atau sanksi Kode Etik Jabatan Notaris.

Dalam ruang lingkup tugas pelaksanaan jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti yang dinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu, dan alat bukti tersebut berada dalam tataran Hukum Perdata, dan bahwa notaris membuat akta karena ada permintaan dari para pihak yang menghadap. Tanpa ada permintaan dari para pihak, notaris tidak akan membuat akta apapun, dan notaris membuatkan akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau penyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau dihadapan notaris.

Selanjutnya, notaris membingkainya secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta notaris dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tatacara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta. Peran notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada. Apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan ke dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.54

54

(52)

Memidanakan Notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya:55

1. Notaris dituduh dengan kualifikasi membuat secara palsu atau memalsukan sepucuk surat yang seolah-olah surat tersebut adalah surat yang asli dan tidak dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) KUHP),56 melakukan pemalsuan surat, dan pemalsuan tersebut telah dilakukan di dalam akta-akta otentik (Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP),57 mencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik (Pasal 266 ayat (1) KUHP).58 Kewenangan Notaris yaitu membuat akta, bukan membuat surat, dengan demikian harus dibedakan antara surat dan akta. Surat berarti surat pada umumnya yang dibuat untuk dipergunakan sebagai alat bukti atau untuk tujuan tertentu sesuai dengan keinginan atau maksud pembuatnya, yang tidak terikat pada aturan tertentu, dan akta (akta otentik) dibuat dengan maksud sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dibuat di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya dan terikat pada bentuk yang sudah ditentukan. Dengan demikian pengertian surat

55

Ibid., hal. 121-122. 56

Pasal 263 ayat (1) KUHP: Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti suatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam bila pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

57

Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP: Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, bila dilakukan terhadap akta-akta otentik.

58

(53)

dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP tidak mutatis mutandis sebagai akta otentik, sehingga tidak tepat jika akta Notaris diberikan perlakuan sebagai suatu-surat pada umumnya.

2. Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak/penghdap yang diutarakan dihadapan notaris merupakan bahan dasar bagi notaris untuk membuatkan akta sesuai keinginan para pihak yang menghadap notaris. Tanpa adanya keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak, notaris tidak mungkin untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu. Contohnya, ke dalam akta otentik dimasukkan keterangan berdasarkan surat nikah yang diperlihatkan kepada notaris atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dari pengamatan secara fisik asli. Jika ternyata terbukti surat nikah atau KTP tersebut palsu, tidak berarti notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Tesis PERTANGGUNGJA WABAN PIDANA BAGI NOTARIS SEBAGAI PEJABA T UMUM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK.. Disetujui Oleh

30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR08.10 Tahun 2004 tentang Tata

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia Republik Indonesia Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.. Peraturan Menteri Hukum

Wewenang dari MPD diatur dalam Pasal 66, Pasal 70 dan Pasal 71 UUJN dan juga dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

Untuk itu, notaris juga harus memberikan penjelasan kepada para pendiri, bahwa dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Nomor 98/KEP/M.KUKM/IX/2004 yang menyebutkan tentang Notaris

Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 Tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata