• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Peraturan Pelaksanaannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-Undang Jabatan Notaris Dan Peraturan Pelaksanaannya"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA

AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN

PELAKSANAANNYA

TESIS

Oleh

SUSANNA 067011127/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA

AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN

PELAKSANAANNYA

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUSANNA 067011127/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI

MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG JABATAN

NOTARIS DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Nama Mahasiswi : Susanna

Nomor Pokok : 067011127

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)

Ketua

(Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn) (Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum)

Anggota Anggota

Ketua Program, Dekan,

(Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. DR. Runtung, SH, MHum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 04 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH

Anggota : 1. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn

2. Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum 3. Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

(5)

ABSTRAK

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya...“, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain”. Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris, jika ternyata Notaris sebagai saksi, tersangka, atau tergugat dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi atas Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya.

Prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa Penyidik wajib meminta izin dari Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris baik untuk kepentingan penyidikan maupun untuk kepentingan pengadilan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 apabila dalam tempo 14 (empat belas) hari Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris tersebut. Adapun yang menjadi kendala yang dihadapi di dalam pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris adalah dengan adanya sumpah/janji Jabatan Notaris yang akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh di dalam pelaksanaan jabatan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

(6)

ABSTRACT

The Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 about intake Minuta Deed and Notary Denominating can be categorized interfere with Law of Notary Position, Majelis Pengawas Daerah is obliged to give the approval or not give the approval in writing within at longest 14 (fourteen) days from accepting of letter of intention as referred in section to Article 8. If within as referred to verse (1) skipped over, hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree. In article 4 verse (2) Law of Notary Position concerning oath/promise the Notary affirmed “that I will conceal the content of Deed and boldness obtained in my position execution...”, and Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, that Notary is obliged to “concealing everything regarding the Deed made and all boldness obtained to utilize the deed making as according to oath/promise the position, except Law determine other”. Though if Notary impinge Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, pertinent Notary will be hit by the Administrative Sanction as the in Article 84 Law of Notary Position, if in the reality Notary as witness, suspected, or accused in inspection by Majelis Pengawas Notaris open the secret and give the boldness/statement which must obliged to be concealed.

Characteristic of this research is descriptive, it’s meaning this research aim to depict in characteristic from fact to determine the frequency of something that happened above Analysis Yuridis of Intake Copy of Minuta Deed and Notary Denominating Evaluated from Law of Notary Position and it’s Execution Regulation.

Procedure of Intake copy of Minuta Deed and Notary Denominating pursuant to Article 66 Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position that Investigator is obliged to request permit from Majelis Pengawas Daerah to call the Notary to investigation importance or for the sake of justice. While according to the Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 if in tempo 14 ( fourteen) days Majelis Pengawas Daerah don’t give the answer hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree the intake of Minuta Deed and the Notary Denominating. As the constraint faced in intake of Minuta Deed and Notary Denominating is the existence of oath/promise the Notary Position to conceal the content of act and boldness obtained in position execution, pursuant to Article 4 verse (2) Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

berkat rahmat dan karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul :

Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris

Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris Dan Peraturan Pelaksanaannya.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi

dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam dan tulus

kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH

selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Notaris/PPAT Syahril Sofyan SH,

MKn. dan Bapak Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum, masing-masing selaku

anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta

bimbingan kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen tamu yang

selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini

dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan

kepada :

1. Bapak Prof. DR. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor

(8)

kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. DR. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktris Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu DR. T. Keizerina

Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Prof.

DR. M. Solly Lubis, SH, Prof. DR. Tan Kamello, Prof. DR. Syafruddin Kalo, SH,

M.Hum, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, M.Kn, DR. Pendastaren Tarigan, SH, MS,

Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum, dan lain lain serta para karyawan pada

Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Winda, Mbak

Afni, Mas Aldi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam

penulisan ini dari awal hingga selesai.

5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara di Program Studi Magister Kenotariatan yang selalu memberikan

semangat dan dukungan, bantuan pikiran serta mengingatkan disaat lupa kepada

penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk

menyelesaikan studi.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud serta ucapan terima

kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda yang tercinta karena telah

bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran,

ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat

(9)

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara serta tidak lupa juga penulis

ucapkan terima kasih kepada Abangku yang selama ini memberikan dukungan dan

perhatiannya.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis, mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada

kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat

kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan

ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.

Medan, 12 Februari 2009

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Susanna

Tempat / Tanggal Lahir : Bireuen / 22 Juli 1984

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Nasir Wijaya

Nama Ibu : Ridawati

III. PEKERJAAN

Wiraswasta

IV. PENDIDIKAN

1. SD : Perguruan Swasta W. R. Supratman 2 Medan

2. SMP : Perguruan Swasta W. R. Supratman 1 Medan

3. SMA : Perguruan Swasta W. R. Supratman 1 Medan

4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Kerangka Konsepsi ... 37

G. Metode Penelitian ... 39

1. Sifat Penelitian ... 39

2. Jenis Penelitian ... 40

3. Bahan-Bahan Penelitian ... 40

4. Alat Pengumpulan Data ... 41

(12)

BAB II : PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA

A. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Yang Sempurna ... 43

B. Prosedur Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan

Pemanggilan Notaris ... 51

BAB III : KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

A. Pengertian dan Perbedaan Akta dan Minuta ... 60

B. Kendala Dalam Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemangilan Notaris ... 61

BAB IV : UPAYA MENGATASI KENDALA DALAM

PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

A...

Kesepakatan POLRI dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Dalam Penegakan Hukum... 78

B...

Perbandingan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 ... 81

C...

Sikap dan Pendapat Notaris Di Medan Dalam Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris ... 88

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 99

B. Saran ... 102

DAFTAR PUSTAKA ... 104

LAMPIRAN

(13)

ABSTRAK

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya...“, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain”. Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris, jika ternyata Notaris sebagai saksi, tersangka, atau tergugat dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi atas Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya.

Prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa Penyidik wajib meminta izin dari Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris baik untuk kepentingan penyidikan maupun untuk kepentingan pengadilan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 apabila dalam tempo 14 (empat belas) hari Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris tersebut. Adapun yang menjadi kendala yang dihadapi di dalam pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris adalah dengan adanya sumpah/janji Jabatan Notaris yang akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh di dalam pelaksanaan jabatan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

(14)

ABSTRACT

The Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 about intake Minuta Deed and Notary Denominating can be categorized interfere with Law of Notary Position, Majelis Pengawas Daerah is obliged to give the approval or not give the approval in writing within at longest 14 (fourteen) days from accepting of letter of intention as referred in section to Article 8. If within as referred to verse (1) skipped over, hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree. In article 4 verse (2) Law of Notary Position concerning oath/promise the Notary affirmed “that I will conceal the content of Deed and boldness obtained in my position execution...”, and Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, that Notary is obliged to “concealing everything regarding the Deed made and all boldness obtained to utilize the deed making as according to oath/promise the position, except Law determine other”. Though if Notary impinge Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, pertinent Notary will be hit by the Administrative Sanction as the in Article 84 Law of Notary Position, if in the reality Notary as witness, suspected, or accused in inspection by Majelis Pengawas Notaris open the secret and give the boldness/statement which must obliged to be concealed.

Characteristic of this research is descriptive, it’s meaning this research aim to depict in characteristic from fact to determine the frequency of something that happened above Analysis Yuridis of Intake Copy of Minuta Deed and Notary Denominating Evaluated from Law of Notary Position and it’s Execution Regulation.

Procedure of Intake copy of Minuta Deed and Notary Denominating pursuant to Article 66 Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position that Investigator is obliged to request permit from Majelis Pengawas Daerah to call the Notary to investigation importance or for the sake of justice. While according to the Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 if in tempo 14 ( fourteen) days Majelis Pengawas Daerah don’t give the answer hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree the intake of Minuta Deed and the Notary Denominating. As the constraint faced in intake of Minuta Deed and Notary Denominating is the existence of oath/promise the Notary Position to conceal the content of act and boldness obtained in position execution, pursuant to Article 4 verse (2) Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position.

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan

secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara

hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang

berasaskan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan

hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang

memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban

seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

“Hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom

masyarakat sehingga hukum perlu dibangun secara terencana agar hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, seimbang, selaras dan

pada gilirannya kehidupan hukum mencerminkan keadilan, kemanfaatan sosial dan

kepastian hukum.”1

Selain itu diperlukan juga lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang

secara proposional memberikan sumbangan untuk tetap tegak dan dilaksanakannya

hukum dengan baik, sehingga diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan

1

(16)

keamanan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Salah satu Lembaga yang berkembang

dan dibutuhkan dalam masyarakat adalah Lembaga Notariat.

Lembaga Notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya Lembaga Notariat ini terutama diperuntukkan bagi bangsa Belanda dan golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putera yang karena Undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum Perdata atau menundukkan diri pada Burgerlijk Wetboek (B.W) atau umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.2

“Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang

keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta

segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat seorang ahli yang tidak

memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau

unimpeachable).”3

Notaris baik menurut Stb 1860 No. 3 (dikenal dengan Peraturan Jabatan Notaris/PJN) yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum, yaitu pejabat yang berwenang membuat akta autentik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai pejabat umum Notaris mempunyai kewenangan khusus yaitu membuat alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa akta autentik adalah alat bukti yang bersifat sempurna bagi kedua belah pihak.4

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata, kiranya hanya negaralah yang dapat membuat alat bukti sempurna. Negara

merupakan organisasi yang bersifat netral berdiri di atas kelompok-kelompok sosial

2

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, PT. Rajawali, Jakarta, 1982, halaman 1.

3

Tan Thong Kie, Buku 1 Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, halaman 162.

4

(17)

yang ada di masyarakat, kepentingan umum atau masyarakat seolah-olah identik

dengan kepentingan Negara.5

Oleh karena itu negaralah yang sebenarnya mempunyai otoritas untuk itu,

negara mempunyai kewajiban menciptakan ketenangan dan kedamaian bagi

warganya.

Alat bukti yang kuat dan sempurna untuk suatu perbuatan hukum adalah salah satu sarana untuk menjamin ketenangan bagi pelakunya. Dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dengan melibatkan pihak ketiga untuk bertindak merumuskan perbuatan hukum itu dalam suatu rumusan yang dapat dipakai sebagai alat bukti, hanya negaralah yang dapat bertindak tidak memihak (dalam hal ini membuat alat bukti). Oleh karena itu Notaris berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari negara, kewenangan Notaris adalah kewenangan negara yang berdasarkan Undang-undang didelegasikan kepadanya.6

Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin komplek dewasa ini tentunya semakin luas dan semakin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak semakin banyak dan semakin luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.7

Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang

termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan

kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta

Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap

peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.

5

Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 97.

6

Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 51-52.

7

(18)

Sebagai pejabat umum, Notaris dituntut untuk bertanggung jawab terhadap

akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari

mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan

kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan

keterangannya terhadap Notaris; ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara

Notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang dibuat oleh Notaris

mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris baik karena

kelalaiannya maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris yang harus

memberikan pertanggungjawaban.

Landasan filosofis dibentuknya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004

tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang

dibuatnya, Notaris baru dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat

pengguna jasa Notaris.

Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti autentik

dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang

berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan

hukum itu dilakukan.

“Akhir-akhir ini banyak Notaris yang dipanggil ke kantor polisi, baik dalam

kapasitasnya sebagai saksi atau diindikasikan menjadi tersangka, maupun yang sudah

berstatus sebagai tahanan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).”8

8

(19)

“Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan Notaris, sejak tahun 2005

sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Kepolisian Daerah

Sumatera Utara (Poldasu), sebanyak 153 (seratus lima puluh tiga) kasus. Dimana 10

(sepuluh) orang sebagai tersangka dan sebanyak 143 (seratus empat puluh tiga) orang

sebagai saksi.”9

“Banyaknya Notaris yang kena kasus hukum itu harus dibenahi lembaga

yang mengangkatnya. Misalnya jumlah Notaris yang sudah tidak sesuai dengan

permintaan pasar, tapi jumlah Notaris yang terus bertambah yang berdampak

persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan klien yang mengakibatkan

Notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangan dan etika profesi.”10

Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, Menteri membentuk Majelis

Pengawas Notaris ditingkat ibukota negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Selama ini

telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris di ibukota negara,

Majelis Pengawas Wilayah Notaris di setiap provinsi dan sebagian telah dibentuk

Majelis Pengawas Daerah Notaris di setiap kabupaten/kota.

Perlindungan hukum terhadap Notaris dituangkan dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya.11

9

“Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana”, <http://www.waspada.co.id> (28 Oktober

2007), halaman 1.

10

Muchlis Patahna, Problematika Notaris, Rajawali, Jakarta, 2006, halaman 5.

11

(20)

Pada tanggal 14 September 2004 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

telah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Jabatan Notaris menjadi

undang tentang Jabatan Notaris, yang merupakan penyempurnaan

Undang-undang peninggalan zaman kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-Undang-undang

yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.

Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam :

1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah

diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;

2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;

3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);

4. undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.12

Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebelum

adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat

Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali

secara menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur tentang Jabatan

Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua

penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan

12

(21)

unifikasi hukum di bidang Kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-undang tentang

Jabatan Notaris.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ini

diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga

diharapkan bahwa akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu

menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris

sebagai akta autentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam

Undang-undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta

Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.

Minuta Akta adalah asli Akta Notaris; Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial; Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa ”diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”; Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa ”diberikan sebagai kutipan”.13

Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan

dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat

membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan

pengadilan.

Fungsi Notaris di luar pembuatan Akta autentik diatur untuk pertama kalinya

secara komprehensif dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris. Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan

Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak ahli/akademisi, disamping

13

(22)

Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kenotariatan serta

Organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan

perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.

Notaris dikatakan Pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa “suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum itu, oleh karena itu dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini adalah Notaris, sepanjang tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta autentik adalah Hakim, Pegawai Catatan Sipil, dan sebagainya.14

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berlaku sejak

06 Oktober 2004 telah dijadikan dasar acuan oleh Notaris dalam pelaksanaan tugas

dan jabatannya sehingga Notaris terkait dengan hak dan kewajibannya atau tugas

yang diembannya.

Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris hanya ada 6 (enam) hal yang dapat ditindaklanjuti dengan aturan hukum dalam bentuk Keputusan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yaitu :

1. Pasal 14 mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Notaris.

2. Pasal 16 ayat (6) mengenai bentuk dan ukuran cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia pada ruang yang melingkarinya ditulis nama, jabatan dan tempat kedudukan Notaris.

3. Pasal 20 ayat (3) mengenai persyaratan dalam menjalankan Jabatan Notaris. 4. Pasal 22 ayat (2) mengenai formasi Jabatan Notaris.

5. Pasal 23 ayat (5) mengenai tata cara permohonan pindah wilayah Jabatan Notaris.

14

(23)

6. Pasal 81 mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas.15

Dari 6 (enam) ketentuan yang harus ditindaklanjuti dengan aturan hukum dalam bentuk Peraturan atau Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 4 (empat) ketentuan telah dibuat Peraturan dan Keputusan Menteri, yaitu :

1. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M. 39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.

2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.

3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.01.HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris.

4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.HT.03.10 Tahun 2007, tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Notaris.16

Pada tanggal 08 November 2007, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan

Pemanggilan Notaris.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor :

M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan

Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang, contohnya adanya

pembatasan waktu untuk Majelis Pengawas Daerah (MPD). Jika Majelis Pengawas

Daerah tidak memberikan jawaban atas permohonan Penyidik, Penuntut Umum atau

15

Habib Adjie, “Hak+Uji+Materil”. <http://groups.google.co.id/group/NOTUNA2003/

attach/db91ba9aa3db1982/HAK+UJI+MATERIL.doc?part=4> (24 Maret 2008), halaman 4-5. 16

(24)

Hakim dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka Majelis Pengawas Daerah

dianggap menyetujui Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.

Menurut Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan

Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, menyatakan bahwa :

1) Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan

persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari

terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8;

2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui,

maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui.

Notaris adalah pejabat umum yang telah diberikan perlindungan hukum oleh

Undang-undang dalam rangka memberikan kesaksian di pengadilan. Perlindungan

hukum yang diberikan oleh Undang-undang itu adalah dengan adanya hak ingkar

yaitu suatu hak untuk menolak memberikan kesaksian di pengadilan. Penolakan itu

tidak terbatas pada apa yang tercantum dalam akta yang dibuatnya tetapi keseluruhan

fakta yang terkait dengan akta tersebut. Hak tersebut tidak hanya sebatas hak tetapi

merupakan suatu kewajiban untuk tidak berbicara.

“Sumpah Jabatan Notaris merupakan dasar berlakunya kode etik Notaris yang

harus dijunjung tinggi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Etika Notaris

(25)

bertentangan dengan etika masyarakat yang berlaku umum karena Notaris merupakan

salah satu sub sistem masyarakat secara keseluruhan.”17

Hal ini apabila dikaitkan dengan permasalahan yang timbul dalam praktek

yaitu Notaris harus mengambil sikap dan menentukan sendiri kapan ia menggunakan

hak ingkar sebagai saksi dan kapan ia mengabaikan hak ingkar tersebut dengan jalan

memberikan kesaksian yang sebenarnya.

Dalam memilih dan menimbang tindakan mana yang baik untuk dilakukan ini

adalah merupakan pencerminan dan pelaksanaan dari etika masyarakat yaitu apa yang

dipandang baik dan buruk oleh masyarakat. Untuk itu pula dalam melaksanakan etika

profesi dituntut adanya persyaratan untuk selalu bersedia untuk mengikuti

perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi.

“Dalam hal demikian ada dua unsur yang ikut menentukan dalam proses

pemilihan tersebut yaitu unsur yang terdapat dalam diri Notaris yang berdasarkan

itikad baik memilih apakah tetap merahasiakan atau memberikan keterangan yang

sebenarnya demi keadilan, dan unsur yang ada dalam diri klien yang dibekali juga

dengan itikad baik sesuai dengan norma etika yang hidup dalam masyarakat.”18

Tugas Notaris dengan demikian tidak sekedar memberikan kesaksian

mengenai apa yang dilihat dan apa yang didengar, tetapi juga ikut membantu mencari

kebenaran sejati atau kebenaran materil seperti yang dituntut oleh Hukum Pidana.

Terlepas dari semuanya itu, maka Notaris dalam menentukan pilihannya untuk

memberikan kesaksian atau tidak adalah didasarkan atas pertimbangan yang dapat

17

Hermien Hadiati Koesadji, Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP, Media Notariat, Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 1982, halaman 126.

18

(26)

dipertanggungjawabkan sehingga dapat menghindarkan Notaris tersebut dari hal-hal

yang tidak diinginkan.

Perlindungan hukum bagi Notaris dalam rangka pemberian kesaksian ini

sudah jelas diatur dalam berbagai peraturan yang ada baik yang diatur secara

langsung dalam suatu peraturan tertentu seperti Undang-undang tentang Tindak

Pidana Korupsi maupun secara implisit diatur bahwa Hakim yang menentukan sah

atau tidaknya segala alasan penggunaan hak ingkar oleh Notaris.

Hal ini berarti bahwa apabila Hakim yang meminta seorang Notaris harus mau

memberikan kesaksian, maka Notaris dapat bertindak sebagai saksi didepan

pengadilan dengan berdasarkan surat izin dari Hakim yang telah diberikan kepada

Notaris untuk berbicara sebagai saksi di pengadilan.

Hukum Positif tidak cukup memberikan perlindungan pada Notaris dalam

kaitannya dengan pemberian kesaksian dikarenakan peraturan perundang-undangan

yang ada tidak jelas dan tersebar dimana-mana seperti dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, HIR/RBG, Undang-undang tentang Tindak Pidana, serta dalam

Peraturan Jabatan Notaris (PJN) terutama Pasal 17 dan Pasal 40.

Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ketentuan peraturan yang membebaskan Notaris untuk memberikan kesaksian

atau kewajiban untuk merahasiakan karena jabatan/pekerjaan antara lain : a. Pasal 1909 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :

Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian :

(27)

b. Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :

(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

c. Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”

d. Pasal 17 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tentang Sumpah Jabatan Notaris : “Bahwa saya akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tadi.”

e. Pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) :

“Kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturan umum, Notaris tidak boleh memberikan grosse, salinan atau kutipan, dan tidak boleh memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-akta, selain kepada orang-orang yang langsung berkepentingan, para ahli waris atau penerima hak, dengan ancaman dikenakan denda 100 gulden sampai 200 gulden atas pelanggaran pertama, dan dengan ancaman diberhentikan sementara dari jabatannya selama tiga sampai enam bulan atas pelanggaran berikut, semuanya tanpa mengurangi pembayaran biaya, kerugian dan bunga.” 2. Ketentuan peraturan yang mewajibkan Notaris memberikan kesaksian :

a. Pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 :

”Kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud Pasal 35 berlaku juga bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali pejabat agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.”

b. Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan Undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :

1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. c. Pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :

(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. (2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan

(28)

maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

d. Pasal 522 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

”Barangsiapa menurut Undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

e. Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :

”Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”

f. Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana :

”Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan Undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”19

Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa peraturan yang berkaitan dengan

pemberian kesaksian ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan

sehingga penafsirannya menjadi tidak jelas dan kabur karena peraturannya satu sama

lain saling bertentangan, bagi pihak Notaris sendiri dihadapkan pada dua pilihan

hukum yang keduanya kontradiksi, disatu sisi Notaris berkewajiban untuk

merahasiakan isi akta karena pekerjaan dan jabatannya, dan pada sisi lain Notaris

dihadapkan pada kewajiban untuk memberikan kesaksian.

19

Asep Sudrajat, “Hak Ingkar Notaris Dalam Pemberian Kesaksian Pada

Perkara Perdata dan Pidana”, (Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan, Program

(29)

Dalam berbagai kasus dapat dikemukakan beberapa contoh tentang adanya

tindakan-tindakan terhadap Notaris di dalam menjalankan tugasnya selaku Pejabat

Umum. Misalnya antara lain :

a. Notaris yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan menyangkut akta

yang dibuatnya dan dijadikan alat bukti dalam suatu perkara.

b. Notaris yang dijadikan sebagai tergugat di Pengadilan menyangkut akta yang

dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat.

c. Notaris sebagai terdakwa dalam perkara pidana.

d. Penyitaan terhadap bundel minuta yang ada pada Notaris.

Di dalam memecahkan problema dengan berbagai contoh di atas terlebih dahulu perlu disadari beberapa pokok pemikiran sebagai berikut :

1. Kewajiban untuk hadir memenuhi panggilan sebagai saksi didepan badan pengadilan merupakan kewajiban setiap warga/anggota masyarakat, yang apabila dengan sengaja dilanggar akan merupakan tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Immunitas hukum diberikan pada kewajiban untuk menolak memberikan

keterangan yang menyangkut rahasia jabatannya, yang oleh Undang-undang dan peraturan lain dilindungi.

Immunitas tersebut diwujudkan dengan adanya hak ingkar atau

mengundurkan diri sebagai saksi sepanjang menyangkut keterangan-keterangan yang demikian sifatnya.

2. Sebagai pejabat umum yang menjalankan servis publik dibidang pelayanan jasa hukum, terhadap kesalahan Notaris perlu dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi (faute personelle atau personal fault) dan kesalahan di dalam menjalankan tugas (faute de serive atau in service fault).20

Terhadap kesalahan yang bersifat pribadi, maka Notaris adalah sama seperti

warga masyarakat biasa yang dapat diminta dan dituntut pertanggungjawabannya,

sehingga suatu hak yang demikian kepadanya berlaku mekanisme perlindungan

hukum yang sama bagi seorang warga masyarakat biasa, tetapi terhadap kesalahan

20

(30)

yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya atau hasil pekerjaannya, maka otentisitas

akta-aktanya tetap dijamin, namun terhadap Notaris tetap diberi perlindungan hukum

yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa. Organ atau badan

yang dianggap lebih mengetahui tentang seluk-beluk dan praktek profesi yang benar

adalah organisasi profesi Notaris sendiri. Maka adalah bijaksana apabila pelanggaran

profesional yang dilakukan oleh Notaris hendaknya terlebih dahulu diperiksa dan

ditentukan oleh organisasi profesi, sebelum dapat ditentukan apakah pelanggaran

yang bersangkutan adalah bersifat pribadi atau pelanggaran berupa rambu-rambu

pengawasan profesionalisme.

Dengan demikian akan terdapat rasa tenang dan tentram serta jaminan

perlindungan hukum terhadap Notaris di dalam melaksanakan tugasnya sebagai

pejabat umum. Baginya akan terjamin bahwa segala tindakan penangkapan,

penahanan ataupun pemeriksaan di pengadilan itu dilaksanakan sesudah ada

pemeriksaaan dan penelitian secara profesional oleh organisasi profesinya (yang

dapat juga menjatuhkan sanksi-sanksi administratif yang bersifat indisipliner

berdasarkan etika dan moral).

Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/

janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang

diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya... ″, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e

Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu

mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan

(31)

Dengan Peraturan Menteri tersebut, maka sumpah/janji jabatan Notaris menjadi tidak berlaku lagi, dan Notaris sebagai Jabatan Kepercayaan telah kehilangan makna dan rohnya, padahal Notaris dapat membuka rahasia jabatan, jika ada Undang-undang yang memerintahkannya atau ada Undang-undang yang mewajibkannya, tapi dalam hal ini Peraturan Menteri tersebut membolehkan segalanya dan tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi, seperti melanggar Pasal 2, 8 dan 13.21

Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang

Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif

sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris. Dan juga

harus di ingat jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, ataupun tergugat

dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris maka Notaris akan membuka

rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.

Sedangkan Undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan

pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas

Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan

(2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu membongkar rahasia, padahal

Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi atau

perkara perdata Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan

kesaksian, karena jabatannya menurut Undang-undang diwajibkan untuk

merahasiakannya sesuai dengan Pasal 1909 ayat (3) BW.

Peraturan Menteri tersebut menjadi dilema bagi Notaris dalam menjalankan

tugas jabatannya untuk senantiasa menjaga rahasia jabatan sebagai suatu kewajiban,

jika dilanggar, maka kepada Notaris yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi.

21

(32)

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulis berminat untuk

melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut di atas, untuk meneliti

lebih mendetail tentang : Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta

dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan

Peraturan Pelaksanaannya. Untuk mengkaji dan menelitinya lebih mendalam,

sehingga dengan demikian, akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan latar

belakang dan permasalahan dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan

Notaris di Indonesia?

2. Apakah kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotokopi Minuta Akta dan

pemanggilan Notaris?

3. Apakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengambilan fotokopi Minuta

Akta dan pemanggilan Notaris?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang

(33)

1. Untuk mengetahui prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan

Notaris di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotokopi Minuta

Akta dan pemanggilan Notaris.

3. Untuk mengetahui upaya dalam mengatasi kendala untuk pengambilan fotokopi

Minuta Akta dan pemanggilan Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

maupun praktis.

1. Secara Teoritis

Secara teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Analisis Yuridis

Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari

Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya, dengan

melakukan penelitian tentang pengambilan fotokopi Minuta Akta dan

pemanggilan Notaris dalam penelitian ini, maka pembaca serta calon peneliti lain,

akan semakin mengetahui bagaimana prosedur pengambilan fotokopi Minuta

Akta dan pemanggilan Notaris.

2. Secara Praktis

Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan

bagi kalangan praktisi yang bergerak dan mempunyai minat dalam bidang Hukum

(34)

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam masalah

yang sama, maka peneliti dengan terlebih dahulu melakukan pengecekan judul

penelitian tentang : Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan

Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan

Pelaksanaannya, yang berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang

berkaitan dengan hal di atas, maka ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan

oleh peneliti lain, baik dalam judul dan permasalahan yang sama.

Oleh karena itu, latar belakang dan permasalahan tersebut perlu diteliti lebih

lanjut, yang akan bermanfaat bagi keaneka-ragaman tentang : Analisis Yuridis

Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari

Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya, sehingga hal ini merupakan

sesuatu hal yang baru, dan dengan demikian maka penelitian ini adalah asli serta

dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional

1. Kerangka Teori

“Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian

dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.”22

22

(35)

“Sedangkan kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau empiris

yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan

hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan

bagi ilmu hukum.”23

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang

dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat

ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang

saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum.

Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang

berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya.

Sebuah teori harus diuji dengan kebenarannya menghadapkannya kepada fakta-fakta

yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya.

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi

atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat

rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung

dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya.

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris didefinisikan sebagai “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”. Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris ini merupakan pengertian Notaris yang umum. Apabila dikaitkan Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, maka terciptalah definisi Notaris yaitu : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

23

(36)

membuat akta autentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.24

“Menurut Komar Andasasmita bahwa walaupun menurut definisi di atas

ditegaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaar), namun

Notaris bukanlah pegawai menurut Undang-undang Kepegawaian Negeri. Notaris

tidak menerima gaji, tetapi menerima honorarium dari kliennya berdasarkan

peraturan perundang-undangan.”25

Pengertian pejabat umum yang diemban oleh Notaris bukan berarti Notaris

adalah pegawai negeri dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps

pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh

Pemerintah; seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris adalah pejabat Pemerintah tanpa

diberi gaji oleh Pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh Pemerintah tanpa mendapat

uang pensiun dari Pemerintah”.

Pejabat umum yang dimaksud disini adalah pejabat yang dimaksudkan dalam

Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1 angka 1

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka sangat jelas

dikatakan bahwa Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta autentik.

24

Sutrisno, Komentar Atas Undang-undang Jabatan Notaris, Medan, 2007, halaman 118.

25

(37)

Di luar Notaris sebagai pejabat umum masih dikenal lagi pejabat-pejabat lain

yang juga tugasnya membuat alat bukti yang bersifat autentik, seperti Pejabat Kantor

Catatan Sipil, Pejabat Kantor Lelang Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala

Kantor Urusan Agama, Panitera di Pengadilan yang bertugas membuat exploit atau

pemberitahuan dari Juru Sita, dan lain sebagainya.

Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu :

a. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang Pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara “wettlelijke" dan "niet wettelijk

werkzaamheden" yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan

Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.

b. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun Pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.26

Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris umum wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian

juga halnya pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam

Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004.

Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris telah diatur dalam Pasal 3

Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 sebagai berikut :

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;

d. Sehat jasmani dan rohani;

26

(38)

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris

dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa

sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua

kenotariatan;

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak

sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-undang dilarang untuk

dirangkap dengan jabatan Notaris.

“Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat

umum lainnya. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan bukti autentik atau

bukti sempurna dengan segala akibatnya.”27

“Anthoni Giddens menyatakan : secara sosiologis Notaris tidak hanya sebagai

pejabat hukum yang terkungkung dalam aturan-aturan yuridis yang serba mengikat,

melainkan juga sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Selain terikat pada

tatanan sosial, juga memiliki kebebasan dalam membentuk dunianya sendiri lewat

pemaknaan-pemaknaan yang bersifat subyektif.”28

Akta Notaris sebagai akta autentik menurut pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 165 HIR (285 Rbg) mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat, apa yang disebutkan dalam Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 165 HIR akta notaris yang merupakan

27

A. Kohar, Notaris Dalam Pratek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, halaman 64.

28

(39)

alat bukti tulisan atau surat juga disebut sebagai alat pembuktian yang utama dan pertama sekali. Dengan demikian, maka Akta Notaris sebagai alat bukti persidangan mempunyai kedudukan yang sangat penting.29

Akta yang dibuat Notaris memuat atau menguraikan secara autentik mengenai

semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan

saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa Akta Notaris merupakan rangkaian

suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini disebabkan karena perbuatan

yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian atau disebabkan oleh orang lain

dihadapan Notaris.

Akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu :

(a) Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

(b) Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.30

“Verbaal acte (ambtelijke acte) adalah akta Notaris yang memuat catatan atau

berita acara dari apa yang oleh Notaris alami atau saksikan. Oleh karena verbaal acte

adalah akta Notaris yang berisi keterangan tentang yang dialami atau disaksikan oleh

Notaris sebagai Pejabat Umum, maka akta ini disebut pula akta pejabat (ambtelijke

acte).”31

29

Arwin Engsun, Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Bersifat Simu1asi. <http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=95 23&task=view>, halaman 1.

30

Gloria Gita Putri Ginting, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Sengketa, (Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan, Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005).

31

(40)

“Lebih lanjut Soepadmo mengatakan bahwa verbaal acte memuat pernyataan

atau kesaksian oleh Notaris mengenai perbuatan-perbuatan atau fakta-fakta yang

disaksikan oleh Notaris. Oleh karena itu verbaal acte dapat disebut juga akta

kesaksian Notaris, dan sebagai contoh dari akta ini adalah akta Berita Acara Rapat

Umum Pemegang Saham.”32

Partij acte adalah akta Notaris yang memuat apa yang diterangkan oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dan dikehendaki oleh mereka supaya dimasukkan dalam akta Notaris untuk mendapatkan kekuatan pembuktian. Apa yang diterangkan oleh pihak-pihak dalam akta ini memuat apa yang diperjanjikan atau yang ditentukan. Adapun contoh dari partij acte antara lain adalah akta jual beli dan akta pendirian perseroan terbatas.33

Perbedaan antara verbaal acte dan partij acte antara lain adalah sebagai berikut : 1. Dalam verbaal acte tidak ada pihak-pihaknya atau yang dikatakan sebagai

penghadapnya, sedangkan dalam partij acte pihak-pihak atau penghadap adalah syarat mutlak adanya akta tersebut. Secara sederhana perbedaannya adalah ada tidaknya penghadap dalam akta. Verbaal acte disebut juga

ambtelijke acte (akta pejabat), akta kesaksian Notaris selaku Pejabat Umum,

sehingga dalam verbaal acte tidak ada penghadap yang bertindak sebagai pihak dalam akta. Berbeda dengan verbaal acte, partij acte disebut sebagai akta para pihak. Partij acte disebut akta para pihak karena dalam akta merumuskan apa yang dikehendaki oleh para pihak.

2. Pada verbaal acte Notaris selaku pembuatnya bertanggungjawab sepenuhnya atas akta tersebut, karena akta ini berisi kesaksian dari Notaris selaku Pejabat Umum. Dalam partij acte Notaris hanya bertanggungjawab pada awal akta dan akhir atau penutup akta. Isi akta bukan merupakan tanggung jawab dari Notaris pembuat akta tersebut melainkan tanggung jawab dari pihak-pihak atau penghadap. Hal ini karena isi akta pada partij acte berisi kesepakatan atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh para pihak. Dengan perkataan lain isi akta adalah kemauan dari para pihak yang dituangkan atau dirumuskan dalam akta.34

“Dengan diresmikannya akta yang ditandatangani penandatanganan akta oleh

para pihak, saksi-saksi dan Notaris (untuk partij acte), selesailah pelaksanaan jabatan

32

Djoko Soepadmo, Teknik Pembuat Akta Akta Seri A-1, Bagian Ke Dua, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1996, halaman 10.

33

Ibid., halaman 56.

34

(41)

seorang Notaris. Selanjutnya pelaksanaan dari akta, akibat hukum yang timbul dari

akta tersebut adalah tanggung jawab dari para pihak yang bersangkutan.”35

Pertanggungjawaban dari seorang Notaris tidak berakhir dengan diresmikannya akta tersebut, bahkan seorang Notaris yang sudah mengakhiri jabatannya pun masih tetap dapat diminta pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya. Pertanggungjawaban Notaris khususnya adalah pertanggungjawaban dari pembuat akta tersebut, sedangkan isi dari akta merupakan tanggung jawab dari para pihak sepanjang Notaris dalam merumuskan kehendak para pihak sudah benar.36

“Dalam beracara di pengadilan khususnya untuk acara perdata apa yang

tertuang dalam akta (isi akta) harus diyakini menurut hukum (demi hukum) bahwa

itulah yang sebenarnya, kecuali ada pembuktian yang sebaliknya terhadap pihak

ketiga akta autentik merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu

bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim.”37

Berbeda dengan dalam proses acara pidana yang harus mencari kebenaran materil, akta autentik yang merupakan alat bukti tertulis bukan merupakan alat bukti utama. Terhadap isi dari akta autentik, Hakim masih mempunyai kewajiban untuk menggali kebenaran materil, akta autentik hanya memberikan pembuktian formil. Oleh karena itu dalam praktek tidak jarang Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim masih meminta keterangan lebih lanjut dari Notaris pembuat akta.38

Apabila seorang Notaris menerangkan di dalam aktanya, bertentangan dengan kebenaran, bahwa akta itu dibuat di suatu tempat yang terletak di dalam daerah jabatannya, maka Notaris yang bersangkutan dalam hal ini melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ia dapat di hukum, tidak hanya apabila dari penggunaan akta itu timbul suatu kerugian, akan tetapi juga apabila timbul kerugian disebabkan akta itu tidak dapat dipergunakan, misalnya apabila para pihak yang bersangkutan untuk sesuatu perjanjian yang mereka adakan memerlukan akta autentik.39

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 120.

38

Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 57.

39

(42)

Untuk dapat membuat akta autentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta autentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta autentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat Akta Kelahiran atau Akta Kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai Pejabat Umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.40

Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan

alat bukti. Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut

dikatakan sebagai akta notarial, atau autentik, atau Akta Notaris. Suatu akta dikatakan

autentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat

dihadapan Notaris merupakan akta autentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara

pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang

tidak disebutkan dalam Undang-undang harus dengan akta autentik boleh saja dibuat

di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi

kuat maka harus dibuat dengan akta autentik.

Grosse Akta Notaris selalu diidentikkan dengan akta autentik, yang diatur

dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo. Undang-undang Nomor

30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum

Perdata memberikan batasan mengenai akta autentik, dimana dikatakan : “Suatu akta

autentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-undang (welke in

de wettelijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat di mana akta dibuatnya.” 41

40

R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., halaman 43.

41

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menentukan bentuk hubungan antara Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan dengan Pasal 1869 BW, bahwa akta otentik terdegradasi menjadi

YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS. Seiring perkembangan jaman jasa

Kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah berdasarkan keputusan rapat Majelis Kehormatan Notaris Wilayah meliputi; (a) pemeriksaan terhadap Notaris yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Penyelesaian hukum terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan akta autentik adalah melalui Pengawasan Notaris yang dilakukan oleh Menteri dengan dibantu oleh

Berdasarkan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tersebut, maka dapat diketahui bahwa bentuk akta ada dua yaitu akta yang dibuat oleh Notaris

YURIDIS TENTANG KEBATALAN DAN PEMBATALAN AKTA NOTARIS DALAM PRESPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS.. Seiring perkembangan jaman jasa

Undang-undang Jabatan Notaris juga diharapkan memuat pengaturan yang jelas tentang tanggung jawab notaris jika minuta akta yang dibuat dan disimpannya hilang atau rusak,