ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA
AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN
PELAKSANAANNYA
TESIS
Oleh
SUSANNA 067011127/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA
AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS DAN PERATURAN
PELAKSANAANNYA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUSANNA 067011127/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENGAMBILAN FOTOKOPI
MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS
DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG JABATAN
NOTARIS DAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Nama Mahasiswi : Susanna
Nomor Pokok : 067011127
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. H. T. Syamsul Bahri, SH)
Ketua
(Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn) (Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum)
Anggota Anggota
Ketua Program, Dekan,
(Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. DR. Runtung, SH, MHum)
Telah diuji pada
Tanggal : 04 Februari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH
Anggota : 1. Notaris/PPAT Syahril Sofyan, SH, MKn
2. Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum 3. Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
ABSTRAK
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya...“, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain”. Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris, jika ternyata Notaris sebagai saksi, tersangka, atau tergugat dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi atas Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya.
Prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa Penyidik wajib meminta izin dari Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris baik untuk kepentingan penyidikan maupun untuk kepentingan pengadilan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 apabila dalam tempo 14 (empat belas) hari Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris tersebut. Adapun yang menjadi kendala yang dihadapi di dalam pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris adalah dengan adanya sumpah/janji Jabatan Notaris yang akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh di dalam pelaksanaan jabatan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
ABSTRACT
The Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 about intake Minuta Deed and Notary Denominating can be categorized interfere with Law of Notary Position, Majelis Pengawas Daerah is obliged to give the approval or not give the approval in writing within at longest 14 (fourteen) days from accepting of letter of intention as referred in section to Article 8. If within as referred to verse (1) skipped over, hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree. In article 4 verse (2) Law of Notary Position concerning oath/promise the Notary affirmed “that I will conceal the content of Deed and boldness obtained in my position execution...”, and Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, that Notary is obliged to “concealing everything regarding the Deed made and all boldness obtained to utilize the deed making as according to oath/promise the position, except Law determine other”. Though if Notary impinge Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, pertinent Notary will be hit by the Administrative Sanction as the in Article 84 Law of Notary Position, if in the reality Notary as witness, suspected, or accused in inspection by Majelis Pengawas Notaris open the secret and give the boldness/statement which must obliged to be concealed.
Characteristic of this research is descriptive, it’s meaning this research aim to depict in characteristic from fact to determine the frequency of something that happened above Analysis Yuridis of Intake Copy of Minuta Deed and Notary Denominating Evaluated from Law of Notary Position and it’s Execution Regulation.
Procedure of Intake copy of Minuta Deed and Notary Denominating pursuant to Article 66 Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position that Investigator is obliged to request permit from Majelis Pengawas Daerah to call the Notary to investigation importance or for the sake of justice. While according to the Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 if in tempo 14 ( fourteen) days Majelis Pengawas Daerah don’t give the answer hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree the intake of Minuta Deed and the Notary Denominating. As the constraint faced in intake of Minuta Deed and Notary Denominating is the existence of oath/promise the Notary Position to conceal the content of act and boldness obtained in position execution, pursuant to Article 4 verse (2) Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul :
Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris
Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris Dan Peraturan Pelaksanaannya.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam dan tulus
kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. H.T. Syamsul Bahri, SH
selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Notaris/PPAT Syahril Sofyan SH,
MKn. dan Bapak Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum, masing-masing selaku
anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta
bimbingan kepada penulis.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen tamu yang
selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini
dipercayakan menjadi dosen penguji sekaligus sebagai panitia penguji tesis.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada :
1. Bapak Prof. DR. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku Rektor
kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister
Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. DR. Ir. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktris Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. DR. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, dan Ibu DR. T. Keizerina
Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Bapak Prof.
DR. M. Solly Lubis, SH, Prof. DR. Tan Kamello, Prof. DR. Syafruddin Kalo, SH,
M.Hum, Ibu Hj. Chairani Bustami, SH, M.Kn, DR. Pendastaren Tarigan, SH, MS,
Prof. DR. Budiman Ginting, SH, M.Hum, dan lain lain serta para karyawan pada
Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Mbak Sari, Mbak Lisa, Mbak Winda, Mbak
Afni, Mas Aldi, Mas Rizal dan lain-lain yang telah banyak membantu dalam
penulisan ini dari awal hingga selesai.
5. Rekan-rekan serta teman-temanku tercinta di Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara di Program Studi Magister Kenotariatan yang selalu memberikan
semangat dan dukungan, bantuan pikiran serta mengingatkan disaat lupa kepada
penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk
menyelesaikan studi.
Secara khusus, penulis menghaturkan sembah dan sujud serta ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda dan Ibunda yang tercinta karena telah
bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran,
ketulusan dan kasih sayang, serta memberikan doa restu, sehingga penulis dapat
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara serta tidak lupa juga penulis
ucapkan terima kasih kepada Abangku yang selama ini memberikan dukungan dan
perhatiannya.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis, mendapat rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah kepada
kita semua.
Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan
ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu Kenotariatan.
Medan, 12 Februari 2009
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Susanna
Tempat / Tanggal Lahir : Bireuen / 22 Juli 1984
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Nasir Wijaya
Nama Ibu : Ridawati
III. PEKERJAAN
Wiraswasta
IV. PENDIDIKAN
1. SD : Perguruan Swasta W. R. Supratman 2 Medan
2. SMP : Perguruan Swasta W. R. Supratman 1 Medan
3. SMA : Perguruan Swasta W. R. Supratman 1 Medan
4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... v
ABSTRACT... vi
KATA PENGANTAR ... vii
RIWAYAT HIDUP... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 20
1. Kerangka Teori ... 20
2. Kerangka Konsepsi ... 37
G. Metode Penelitian ... 39
1. Sifat Penelitian ... 39
2. Jenis Penelitian ... 40
3. Bahan-Bahan Penelitian ... 40
4. Alat Pengumpulan Data ... 41
BAB II : PROSEDUR PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS DI INDONESIA
A. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti Tertulis Yang Sempurna ... 43
B. Prosedur Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris ... 51
BAB III : KENDALA YANG DIHADAPI DALAM PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS
A. Pengertian dan Perbedaan Akta dan Minuta ... 60
B. Kendala Dalam Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemangilan Notaris ... 61
BAB IV : UPAYA MENGATASI KENDALA DALAM
PENGAMBILAN FOTOKOPI MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS
A...
Kesepakatan POLRI dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Dalam Penegakan Hukum... 78
B...
Perbandingan Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 ... 81
C...
Sikap dan Pendapat Notaris Di Medan Dalam Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris ... 88
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 99
B. Saran ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 104
LAMPIRAN
ABSTRAK
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang Jabatan Notaris, Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui. Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya...“, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-undang menentukan lain”. Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris, jika ternyata Notaris sebagai saksi, tersangka, atau tergugat dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris membuka rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara karakteristik dari fakta-fakta untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi atas Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya.
Prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bahwa Penyidik wajib meminta izin dari Majelis Pengawas Daerah untuk memanggil Notaris baik untuk kepentingan penyidikan maupun untuk kepentingan pengadilan. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 tahun 2007 apabila dalam tempo 14 (empat belas) hari Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan jawaban maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris tersebut. Adapun yang menjadi kendala yang dihadapi di dalam pengambilan Minuta Akta dan pemanggilan Notaris adalah dengan adanya sumpah/janji Jabatan Notaris yang akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh di dalam pelaksanaan jabatan, berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
ABSTRACT
The Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 about intake Minuta Deed and Notary Denominating can be categorized interfere with Law of Notary Position, Majelis Pengawas Daerah is obliged to give the approval or not give the approval in writing within at longest 14 (fourteen) days from accepting of letter of intention as referred in section to Article 8. If within as referred to verse (1) skipped over, hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree. In article 4 verse (2) Law of Notary Position concerning oath/promise the Notary affirmed “that I will conceal the content of Deed and boldness obtained in my position execution...”, and Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, that Notary is obliged to “concealing everything regarding the Deed made and all boldness obtained to utilize the deed making as according to oath/promise the position, except Law determine other”. Though if Notary impinge Article 16 verse (1) letter of e Law of Notary Position, pertinent Notary will be hit by the Administrative Sanction as the in Article 84 Law of Notary Position, if in the reality Notary as witness, suspected, or accused in inspection by Majelis Pengawas Notaris open the secret and give the boldness/statement which must obliged to be concealed.
Characteristic of this research is descriptive, it’s meaning this research aim to depict in characteristic from fact to determine the frequency of something that happened above Analysis Yuridis of Intake Copy of Minuta Deed and Notary Denominating Evaluated from Law of Notary Position and it’s Execution Regulation.
Procedure of Intake copy of Minuta Deed and Notary Denominating pursuant to Article 66 Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position that Investigator is obliged to request permit from Majelis Pengawas Daerah to call the Notary to investigation importance or for the sake of justice. While according to the Minister of Law and Human Right of Republic Indonesia regulation number : M.03.HT.03.10 in the year of 2007 if in tempo 14 ( fourteen) days Majelis Pengawas Daerah don’t give the answer hence Majelis Pengawas Daerah assumed to agree the intake of Minuta Deed and the Notary Denominating. As the constraint faced in intake of Minuta Deed and Notary Denominating is the existence of oath/promise the Notary Position to conceal the content of act and boldness obtained in position execution, pursuant to Article 4 verse (2) Law Number 30 in the year 2004 about Notary Position.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara
hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang
berasaskan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang
memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
“Hukum berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan pengayom
masyarakat sehingga hukum perlu dibangun secara terencana agar hukum sebagai
sarana pembaharuan masyarakat dapat berjalan secara serasi, seimbang, selaras dan
pada gilirannya kehidupan hukum mencerminkan keadilan, kemanfaatan sosial dan
kepastian hukum.”1
Selain itu diperlukan juga lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat yang
secara proposional memberikan sumbangan untuk tetap tegak dan dilaksanakannya
hukum dengan baik, sehingga diharapkan dapat menciptakan ketertiban dan
1
keamanan yang dibutuhkan dalam masyarakat. Salah satu Lembaga yang berkembang
dan dibutuhkan dalam masyarakat adalah Lembaga Notariat.
Lembaga Notariat di Indonesia berasal dari negeri Belanda dan dikenal sejak Belanda menjajah Indonesia. Pada mulanya Lembaga Notariat ini terutama diperuntukkan bagi bangsa Belanda dan golongan Eropa lainnya serta golongan Bumi Putera yang karena Undang-undang maupun karena sesuatu ketentuan dinyatakan tunduk kepada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa dalam bidang hukum Perdata atau menundukkan diri pada Burgerlijk Wetboek (B.W) atau umumnya disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.2
“Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang
keterangan-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta
segelnya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat seorang ahli yang tidak
memihak dan penasehat hukum yang tidak ada cacatnya (onbreukbaar atau
unimpeachable).”3
Notaris baik menurut Stb 1860 No. 3 (dikenal dengan Peraturan Jabatan Notaris/PJN) yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Notaris adalah pejabat umum, yaitu pejabat yang berwenang membuat akta autentik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Sebagai pejabat umum Notaris mempunyai kewenangan khusus yaitu membuat alat bukti yang sempurna sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa akta autentik adalah alat bukti yang bersifat sempurna bagi kedua belah pihak.4
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, kiranya hanya negaralah yang dapat membuat alat bukti sempurna. Negara
merupakan organisasi yang bersifat netral berdiri di atas kelompok-kelompok sosial
2
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan, PT. Rajawali, Jakarta, 1982, halaman 1.
3
Tan Thong Kie, Buku 1 Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, halaman 162.
4
yang ada di masyarakat, kepentingan umum atau masyarakat seolah-olah identik
dengan kepentingan Negara.5
Oleh karena itu negaralah yang sebenarnya mempunyai otoritas untuk itu,
negara mempunyai kewajiban menciptakan ketenangan dan kedamaian bagi
warganya.
Alat bukti yang kuat dan sempurna untuk suatu perbuatan hukum adalah salah satu sarana untuk menjamin ketenangan bagi pelakunya. Dalam suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dengan melibatkan pihak ketiga untuk bertindak merumuskan perbuatan hukum itu dalam suatu rumusan yang dapat dipakai sebagai alat bukti, hanya negaralah yang dapat bertindak tidak memihak (dalam hal ini membuat alat bukti). Oleh karena itu Notaris berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 jo. Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari negara, kewenangan Notaris adalah kewenangan negara yang berdasarkan Undang-undang didelegasikan kepadanya.6
Fungsi dan peran Notaris dalam gerak pembangunan nasional yang semakin komplek dewasa ini tentunya semakin luas dan semakin berkembang, sebab kelancaran dan kepastian hukum segenap usaha yang dijalankan oleh segenap pihak semakin banyak dan semakin luas, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari pelayanan dan produk hukum yang dihasilkan oleh Notaris. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya.7
Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang
termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan
kehendak para pihak yaitu dengan cara membacakannya sehingga jelas isi Akta
Notaris tersebut serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta.
5
Abdul Hakim G Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 97.
6
Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 51-52.
7
Sebagai pejabat umum, Notaris dituntut untuk bertanggung jawab terhadap
akta yang telah dibuatnya. Apabila akta yang dibuat ternyata di belakang hari
mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan
kesalahan Notaris atau kesalahan para pihak tidak mau jujur dalam memberikan
keterangannya terhadap Notaris; ataukah adanya kesepakatan yang telah dibuat antara
Notaris dengan salah satu pihak yang menghadap. Jika akta yang dibuat oleh Notaris
mengandung cacat hukum yang terjadi karena kesalahan Notaris baik karena
kelalaiannya maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris yang harus
memberikan pertanggungjawaban.
Landasan filosofis dibentuknya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang
dibuatnya, Notaris baru dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat
pengguna jasa Notaris.
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris dapat menjadi bukti autentik
dalam memberikan perlindungan hukum kepada para pihak manapun yang
berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan
hukum itu dilakukan.
“Akhir-akhir ini banyak Notaris yang dipanggil ke kantor polisi, baik dalam
kapasitasnya sebagai saksi atau diindikasikan menjadi tersangka, maupun yang sudah
berstatus sebagai tahanan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI).”8
8
“Jumlah kasus tindak pidana yang melibatkan Notaris, sejak tahun 2005
sampai 2007 di Direktorat Reskrim dan satuan wilayah di jajaran Kepolisian Daerah
Sumatera Utara (Poldasu), sebanyak 153 (seratus lima puluh tiga) kasus. Dimana 10
(sepuluh) orang sebagai tersangka dan sebanyak 143 (seratus empat puluh tiga) orang
sebagai saksi.”9
“Banyaknya Notaris yang kena kasus hukum itu harus dibenahi lembaga
yang mengangkatnya. Misalnya jumlah Notaris yang sudah tidak sesuai dengan
permintaan pasar, tapi jumlah Notaris yang terus bertambah yang berdampak
persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan klien yang mengakibatkan
Notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangan dan etika profesi.”10
Dalam rangka melakukan tugas pengawasan, Menteri membentuk Majelis
Pengawas Notaris ditingkat ibukota negara, provinsi, dan kabupaten/kota. Selama ini
telah dilakukan pembentukan Majelis Pengawas Pusat Notaris di ibukota negara,
Majelis Pengawas Wilayah Notaris di setiap provinsi dan sebagian telah dibentuk
Majelis Pengawas Daerah Notaris di setiap kabupaten/kota.
Perlindungan hukum terhadap Notaris dituangkan dalam Pasal 66 Undang-undang Jabatan Notaris yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanannya.11
9
“Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana”, <http://www.waspada.co.id> (28 Oktober
2007), halaman 1.
10
Muchlis Patahna, Problematika Notaris, Rajawali, Jakarta, 2006, halaman 5.
11
Pada tanggal 14 September 2004 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
telah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Jabatan Notaris menjadi
undang tentang Jabatan Notaris, yang merupakan penyempurnaan
Undang-undang peninggalan zaman kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-Undang-undang
yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam :
1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah
diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.12
Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebelum
adanya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali
secara menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur tentang Jabatan
Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua
penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan
12
unifikasi hukum di bidang Kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-undang tentang
Jabatan Notaris.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ini
diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga
diharapkan bahwa akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris mampu
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris
sebagai akta autentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam
Undang-undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta
Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.
Minuta Akta adalah asli Akta Notaris; Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial; Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa ”diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya”; Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa ”diberikan sebagai kutipan”.13
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan
dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat
membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan dihadapan persidangan
pengadilan.
Fungsi Notaris di luar pembuatan Akta autentik diatur untuk pertama kalinya
secara komprehensif dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan
Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak ahli/akademisi, disamping
13
Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Kenotariatan serta
Organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan
perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.
Notaris dikatakan Pejabat Umum, dalam hal ini dapat dihubungkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa “suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.” Pasal ini tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pegawai-pegawai umum itu, oleh karena itu dalam Pasal 1 Undang-undang Jabatan Notaris diatur lebih lanjut tentang hal ini, bahwa yang dimaksud dengan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini adalah Notaris, sepanjang tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada Pejabat atau orang lain. Pejabat umum lainnya yang juga dapat membuat suatu akta autentik adalah Hakim, Pegawai Catatan Sipil, dan sebagainya.14
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berlaku sejak
06 Oktober 2004 telah dijadikan dasar acuan oleh Notaris dalam pelaksanaan tugas
dan jabatannya sehingga Notaris terkait dengan hak dan kewajibannya atau tugas
yang diembannya.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris hanya ada 6 (enam) hal yang dapat ditindaklanjuti dengan aturan hukum dalam bentuk Keputusan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yaitu :
1. Pasal 14 mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian Notaris.
2. Pasal 16 ayat (6) mengenai bentuk dan ukuran cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia pada ruang yang melingkarinya ditulis nama, jabatan dan tempat kedudukan Notaris.
3. Pasal 20 ayat (3) mengenai persyaratan dalam menjalankan Jabatan Notaris. 4. Pasal 22 ayat (2) mengenai formasi Jabatan Notaris.
5. Pasal 23 ayat (5) mengenai tata cara permohonan pindah wilayah Jabatan Notaris.
14
6. Pasal 81 mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas.15
Dari 6 (enam) ketentuan yang harus ditindaklanjuti dengan aturan hukum dalam bentuk Peraturan atau Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 4 (empat) ketentuan telah dibuat Peraturan dan Keputusan Menteri, yaitu :
1. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M. 39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris.
2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.
3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.01.HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Perpindahan, dan Pemberhentian Notaris.
4. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.HT.03.10 Tahun 2007, tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Notaris.16
Pada tanggal 08 November 2007, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris.
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor :
M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan
Notaris dapat dikategorikan bertentangan dengan Undang-undang, contohnya adanya
pembatasan waktu untuk Majelis Pengawas Daerah (MPD). Jika Majelis Pengawas
Daerah tidak memberikan jawaban atas permohonan Penyidik, Penuntut Umum atau
15
Habib Adjie, “Hak+Uji+Materil”. <http://groups.google.co.id/group/NOTUNA2003/
attach/db91ba9aa3db1982/HAK+UJI+MATERIL.doc?part=4> (24 Maret 2008), halaman 4-5. 16
Hakim dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, maka Majelis Pengawas Daerah
dianggap menyetujui Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.
Menurut Pasal 12 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan
Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, menyatakan bahwa :
1) Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung sejak diterimanya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8;
2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui,
maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui.
Notaris adalah pejabat umum yang telah diberikan perlindungan hukum oleh
Undang-undang dalam rangka memberikan kesaksian di pengadilan. Perlindungan
hukum yang diberikan oleh Undang-undang itu adalah dengan adanya hak ingkar
yaitu suatu hak untuk menolak memberikan kesaksian di pengadilan. Penolakan itu
tidak terbatas pada apa yang tercantum dalam akta yang dibuatnya tetapi keseluruhan
fakta yang terkait dengan akta tersebut. Hak tersebut tidak hanya sebatas hak tetapi
merupakan suatu kewajiban untuk tidak berbicara.
“Sumpah Jabatan Notaris merupakan dasar berlakunya kode etik Notaris yang
harus dijunjung tinggi oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya. Etika Notaris
bertentangan dengan etika masyarakat yang berlaku umum karena Notaris merupakan
salah satu sub sistem masyarakat secara keseluruhan.”17
Hal ini apabila dikaitkan dengan permasalahan yang timbul dalam praktek
yaitu Notaris harus mengambil sikap dan menentukan sendiri kapan ia menggunakan
hak ingkar sebagai saksi dan kapan ia mengabaikan hak ingkar tersebut dengan jalan
memberikan kesaksian yang sebenarnya.
Dalam memilih dan menimbang tindakan mana yang baik untuk dilakukan ini
adalah merupakan pencerminan dan pelaksanaan dari etika masyarakat yaitu apa yang
dipandang baik dan buruk oleh masyarakat. Untuk itu pula dalam melaksanakan etika
profesi dituntut adanya persyaratan untuk selalu bersedia untuk mengikuti
perkembangan ilmu dan kemajuan teknologi.
“Dalam hal demikian ada dua unsur yang ikut menentukan dalam proses
pemilihan tersebut yaitu unsur yang terdapat dalam diri Notaris yang berdasarkan
itikad baik memilih apakah tetap merahasiakan atau memberikan keterangan yang
sebenarnya demi keadilan, dan unsur yang ada dalam diri klien yang dibekali juga
dengan itikad baik sesuai dengan norma etika yang hidup dalam masyarakat.”18
Tugas Notaris dengan demikian tidak sekedar memberikan kesaksian
mengenai apa yang dilihat dan apa yang didengar, tetapi juga ikut membantu mencari
kebenaran sejati atau kebenaran materil seperti yang dituntut oleh Hukum Pidana.
Terlepas dari semuanya itu, maka Notaris dalam menentukan pilihannya untuk
memberikan kesaksian atau tidak adalah didasarkan atas pertimbangan yang dapat
17
Hermien Hadiati Koesadji, Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari Notaris dan Hubungannya dengan KUHAP, Media Notariat, Ikatan Notaris Indonesia, Jakarta, 1982, halaman 126.
18
dipertanggungjawabkan sehingga dapat menghindarkan Notaris tersebut dari hal-hal
yang tidak diinginkan.
Perlindungan hukum bagi Notaris dalam rangka pemberian kesaksian ini
sudah jelas diatur dalam berbagai peraturan yang ada baik yang diatur secara
langsung dalam suatu peraturan tertentu seperti Undang-undang tentang Tindak
Pidana Korupsi maupun secara implisit diatur bahwa Hakim yang menentukan sah
atau tidaknya segala alasan penggunaan hak ingkar oleh Notaris.
Hal ini berarti bahwa apabila Hakim yang meminta seorang Notaris harus mau
memberikan kesaksian, maka Notaris dapat bertindak sebagai saksi didepan
pengadilan dengan berdasarkan surat izin dari Hakim yang telah diberikan kepada
Notaris untuk berbicara sebagai saksi di pengadilan.
Hukum Positif tidak cukup memberikan perlindungan pada Notaris dalam
kaitannya dengan pemberian kesaksian dikarenakan peraturan perundang-undangan
yang ada tidak jelas dan tersebar dimana-mana seperti dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, HIR/RBG, Undang-undang tentang Tindak Pidana, serta dalam
Peraturan Jabatan Notaris (PJN) terutama Pasal 17 dan Pasal 40.
Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Ketentuan peraturan yang membebaskan Notaris untuk memberikan kesaksian
atau kewajiban untuk merahasiakan karena jabatan/pekerjaan antara lain : a. Pasal 1909 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian :
b. Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
c. Pasal 322 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
“Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”
d. Pasal 17 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) tentang Sumpah Jabatan Notaris : “Bahwa saya akan merahasiakan serapat-rapatnya isi akta-akta selaras dengan ketentuan-ketentuan peraturan-peraturan tadi.”
e. Pasal 40 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) :
“Kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam peraturan umum, Notaris tidak boleh memberikan grosse, salinan atau kutipan, dan tidak boleh memperlihatkan atau memberitahukan isi akta-akta, selain kepada orang-orang yang langsung berkepentingan, para ahli waris atau penerima hak, dengan ancaman dikenakan denda 100 gulden sampai 200 gulden atas pelanggaran pertama, dan dengan ancaman diberhentikan sementara dari jabatannya selama tiga sampai enam bulan atas pelanggaran berikut, semuanya tanpa mengurangi pembayaran biaya, kerugian dan bunga.” 2. Ketentuan peraturan yang mewajibkan Notaris memberikan kesaksian :
a. Pasal 36 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 :
”Kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud Pasal 35 berlaku juga bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali pejabat agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.”
b. Pasal 224 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut Undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan Undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. c. Pasal 161 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :
(1) Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan negara paling lama empat belas hari. (2) Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan
maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
d. Pasal 522 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
”Barangsiapa menurut Undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
e. Pasal 159 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana :
”Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan.”
f. Pasal 216 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
”Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut Undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan Undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.”19
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa peraturan yang berkaitan dengan
pemberian kesaksian ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan
sehingga penafsirannya menjadi tidak jelas dan kabur karena peraturannya satu sama
lain saling bertentangan, bagi pihak Notaris sendiri dihadapkan pada dua pilihan
hukum yang keduanya kontradiksi, disatu sisi Notaris berkewajiban untuk
merahasiakan isi akta karena pekerjaan dan jabatannya, dan pada sisi lain Notaris
dihadapkan pada kewajiban untuk memberikan kesaksian.
19
Asep Sudrajat, “Hak Ingkar Notaris Dalam Pemberian Kesaksian Pada
Perkara Perdata dan Pidana”, (Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan, Program
Dalam berbagai kasus dapat dikemukakan beberapa contoh tentang adanya
tindakan-tindakan terhadap Notaris di dalam menjalankan tugasnya selaku Pejabat
Umum. Misalnya antara lain :
a. Notaris yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan menyangkut akta
yang dibuatnya dan dijadikan alat bukti dalam suatu perkara.
b. Notaris yang dijadikan sebagai tergugat di Pengadilan menyangkut akta yang
dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat.
c. Notaris sebagai terdakwa dalam perkara pidana.
d. Penyitaan terhadap bundel minuta yang ada pada Notaris.
Di dalam memecahkan problema dengan berbagai contoh di atas terlebih dahulu perlu disadari beberapa pokok pemikiran sebagai berikut :
1. Kewajiban untuk hadir memenuhi panggilan sebagai saksi didepan badan pengadilan merupakan kewajiban setiap warga/anggota masyarakat, yang apabila dengan sengaja dilanggar akan merupakan tindak pidana di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Immunitas hukum diberikan pada kewajiban untuk menolak memberikan
keterangan yang menyangkut rahasia jabatannya, yang oleh Undang-undang dan peraturan lain dilindungi.
Immunitas tersebut diwujudkan dengan adanya hak ingkar atau
mengundurkan diri sebagai saksi sepanjang menyangkut keterangan-keterangan yang demikian sifatnya.
2. Sebagai pejabat umum yang menjalankan servis publik dibidang pelayanan jasa hukum, terhadap kesalahan Notaris perlu dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi (faute personelle atau personal fault) dan kesalahan di dalam menjalankan tugas (faute de serive atau in service fault).20
Terhadap kesalahan yang bersifat pribadi, maka Notaris adalah sama seperti
warga masyarakat biasa yang dapat diminta dan dituntut pertanggungjawabannya,
sehingga suatu hak yang demikian kepadanya berlaku mekanisme perlindungan
hukum yang sama bagi seorang warga masyarakat biasa, tetapi terhadap kesalahan
20
yang berkaitan dengan tugas pekerjaannya atau hasil pekerjaannya, maka otentisitas
akta-aktanya tetap dijamin, namun terhadap Notaris tetap diberi perlindungan hukum
yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat biasa. Organ atau badan
yang dianggap lebih mengetahui tentang seluk-beluk dan praktek profesi yang benar
adalah organisasi profesi Notaris sendiri. Maka adalah bijaksana apabila pelanggaran
profesional yang dilakukan oleh Notaris hendaknya terlebih dahulu diperiksa dan
ditentukan oleh organisasi profesi, sebelum dapat ditentukan apakah pelanggaran
yang bersangkutan adalah bersifat pribadi atau pelanggaran berupa rambu-rambu
pengawasan profesionalisme.
Dengan demikian akan terdapat rasa tenang dan tentram serta jaminan
perlindungan hukum terhadap Notaris di dalam melaksanakan tugasnya sebagai
pejabat umum. Baginya akan terjamin bahwa segala tindakan penangkapan,
penahanan ataupun pemeriksaan di pengadilan itu dilaksanakan sesudah ada
pemeriksaaan dan penelitian secara profesional oleh organisasi profesinya (yang
dapat juga menjatuhkan sanksi-sanksi administratif yang bersifat indisipliner
berdasarkan etika dan moral).
Dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Jabatan Notaris mengenai sumpah/
janji Notaris ditegaskan “bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya... ″, dan Pasal 16 ayat (1) huruf e
Undang-undang Jabatan Notaris, bahwa Notaris berkewajiban “merahasiakan segala sesuatu
mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan
Dengan Peraturan Menteri tersebut, maka sumpah/janji jabatan Notaris menjadi tidak berlaku lagi, dan Notaris sebagai Jabatan Kepercayaan telah kehilangan makna dan rohnya, padahal Notaris dapat membuka rahasia jabatan, jika ada Undang-undang yang memerintahkannya atau ada Undang-undang yang mewajibkannya, tapi dalam hal ini Peraturan Menteri tersebut membolehkan segalanya dan tidak perlu ada yang dirahasiakan lagi, seperti melanggar Pasal 2, 8 dan 13.21
Padahal jika Notaris melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-undang
Jabatan Notaris, Notaris yang bersangkutan akan dikenai Sanksi Administratif
sebagaimana tersebut dalam Pasal 84 Undang-undang Jabatan Notaris. Dan juga
harus di ingat jika ternyata Notaris sebagai saksi atau tersangka, ataupun tergugat
dalam pemeriksaan oleh Majelis Pengawas Notaris maka Notaris akan membuka
rahasia dan memberikan keterangan/pernyataan yang seharusnya wajib dirahasiakan.
Sedangkan Undang-undang tidak memerintahkannya, maka atas pengaduan
pihak yang merasa dirugikan kepada pihak yang berwajib dapat diambil tindakan atas
Notaris tersebut, tindakan Notaris seperti ini dapat dikenakan Pasal 322 ayat (1) dan
(2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu membongkar rahasia, padahal
Notaris berkewajiban untuk menyimpannya. Dalam kedudukan sebagai saksi atau
perkara perdata Notaris dapat minta dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan
kesaksian, karena jabatannya menurut Undang-undang diwajibkan untuk
merahasiakannya sesuai dengan Pasal 1909 ayat (3) BW.
Peraturan Menteri tersebut menjadi dilema bagi Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya untuk senantiasa menjaga rahasia jabatan sebagai suatu kewajiban,
jika dilanggar, maka kepada Notaris yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi.
21
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka penulis berminat untuk
melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut di atas, untuk meneliti
lebih mendetail tentang : Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta
dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan
Peraturan Pelaksanaannya. Untuk mengkaji dan menelitinya lebih mendalam,
sehingga dengan demikian, akan terjawab kesimpulan yang sesuai dengan latar
belakang dan permasalahan dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan
Notaris di Indonesia?
2. Apakah kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotokopi Minuta Akta dan
pemanggilan Notaris?
3. Apakah upaya untuk mengatasi kendala dalam pengambilan fotokopi Minuta
Akta dan pemanggilan Notaris?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
1. Untuk mengetahui prosedur pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan
Notaris di Indonesia.
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi dalam pengambilan fotokopi Minuta
Akta dan pemanggilan Notaris.
3. Untuk mengetahui upaya dalam mengatasi kendala untuk pengambilan fotokopi
Minuta Akta dan pemanggilan Notaris.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis.
1. Secara Teoritis
Secara teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Analisis Yuridis
Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari
Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya, dengan
melakukan penelitian tentang pengambilan fotokopi Minuta Akta dan
pemanggilan Notaris dalam penelitian ini, maka pembaca serta calon peneliti lain,
akan semakin mengetahui bagaimana prosedur pengambilan fotokopi Minuta
Akta dan pemanggilan Notaris.
2. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat menjadi masukan
bagi kalangan praktisi yang bergerak dan mempunyai minat dalam bidang Hukum
E. Keaslian Penelitian
Guna menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian di dalam masalah
yang sama, maka peneliti dengan terlebih dahulu melakukan pengecekan judul
penelitian tentang : Analisis Yuridis Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan
Pelaksanaannya, yang berdasarkan pemeriksaan terhadap hasil-hasil penelitian yang
berkaitan dengan hal di atas, maka ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan
oleh peneliti lain, baik dalam judul dan permasalahan yang sama.
Oleh karena itu, latar belakang dan permasalahan tersebut perlu diteliti lebih
lanjut, yang akan bermanfaat bagi keaneka-ragaman tentang : Analisis Yuridis
Pengambilan Fotokopi Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris Ditinjau Dari
Undang-undang Jabatan Notaris dan Peraturan Pelaksanaannya, sehingga hal ini merupakan
sesuatu hal yang baru, dan dengan demikian maka penelitian ini adalah asli serta
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsional
1. Kerangka Teori
“Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian
dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.”22
22
“Sedangkan kerangka teori pada penelitian Hukum Sosiologis atau empiris
yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan
hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan
bagi ilmu hukum.”23
Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang
dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat
ditentukan dengan lebih jauh sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang
saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum.
Teori juga merupakan sebuah desain langkah-langkah penelitian yang
berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya.
Sebuah teori harus diuji dengan kebenarannya menghadapkannya kepada fakta-fakta
yang kemudian harus dapat menunjukkan kebenarannya.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan
penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, ramalan atau prediksi
atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan
pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori merupakan suatu penjelasan yang bersifat
rasional serta harus sesuai dengan objek yang dipermasalahkan dan harus didukung
dengan adanya fakta yang bersifat empiris agar dapat diuji kebenarannya.
Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris didefinisikan sebagai “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini”. Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Jabatan Notaris ini merupakan pengertian Notaris yang umum. Apabila dikaitkan Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris, maka terciptalah definisi Notaris yaitu : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk
23
membuat akta autentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.24
“Menurut Komar Andasasmita bahwa walaupun menurut definisi di atas
ditegaskan bahwa Notaris adalah pejabat umum (openbare ambtenaar), namun
Notaris bukanlah pegawai menurut Undang-undang Kepegawaian Negeri. Notaris
tidak menerima gaji, tetapi menerima honorarium dari kliennya berdasarkan
peraturan perundang-undangan.”25
Pengertian pejabat umum yang diemban oleh Notaris bukan berarti Notaris
adalah pegawai negeri dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps
pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh
Pemerintah; seperti yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris adalah pejabat Pemerintah tanpa
diberi gaji oleh Pemerintah, Notaris dipensiunkan oleh Pemerintah tanpa mendapat
uang pensiun dari Pemerintah”.
Pejabat umum yang dimaksud disini adalah pejabat yang dimaksudkan dalam
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1 angka 1
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka sangat jelas
dikatakan bahwa Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk
membuat akta autentik.
24
Sutrisno, Komentar Atas Undang-undang Jabatan Notaris, Medan, 2007, halaman 118.
25
Di luar Notaris sebagai pejabat umum masih dikenal lagi pejabat-pejabat lain
yang juga tugasnya membuat alat bukti yang bersifat autentik, seperti Pejabat Kantor
Catatan Sipil, Pejabat Kantor Lelang Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala
Kantor Urusan Agama, Panitera di Pengadilan yang bertugas membuat exploit atau
pemberitahuan dari Juru Sita, dan lain sebagainya.
Bentuk atau corak Notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu :
a. Notariat functionnel, dalam mana wewenang-wewenang Pemerintah didelegasikan (gedelegeerd) dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di Negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara “wettlelijke" dan "niet wettelijk
werkzaamheden" yaitu pekerjaan-pekerjaan yang berdasarkan
Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.
b. Notariat profesionel, dalam kelompok ini walaupun Pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta Notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.26
Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris umum wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agamanya dihadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian
juga halnya pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004.
Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris telah diatur dalam Pasal 3
Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 sebagai berikut :
a. Warga negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani;
26
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris
dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa
sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua
kenotariatan;
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.
“Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik sejauh pembuatan akta autentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat
umum lainnya. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan bukti autentik atau
bukti sempurna dengan segala akibatnya.”27
“Anthoni Giddens menyatakan : secara sosiologis Notaris tidak hanya sebagai
pejabat hukum yang terkungkung dalam aturan-aturan yuridis yang serba mengikat,
melainkan juga sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Selain terikat pada
tatanan sosial, juga memiliki kebebasan dalam membentuk dunianya sendiri lewat
pemaknaan-pemaknaan yang bersifat subyektif.”28
Akta Notaris sebagai akta autentik menurut pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 165 HIR (285 Rbg) mempunyai kekuatan pembuktian mutlak dan mengikat, apa yang disebutkan dalam Akta Notaris merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Berdasarkan pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 165 HIR akta notaris yang merupakan
27
A. Kohar, Notaris Dalam Pratek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, halaman 64.
28
alat bukti tulisan atau surat juga disebut sebagai alat pembuktian yang utama dan pertama sekali. Dengan demikian, maka Akta Notaris sebagai alat bukti persidangan mempunyai kedudukan yang sangat penting.29
Akta yang dibuat Notaris memuat atau menguraikan secara autentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan
saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa Akta Notaris merupakan rangkaian
suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini disebabkan karena perbuatan
yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian atau disebabkan oleh orang lain
dihadapan Notaris.
Akta Notaris dapat dibedakan atas 2 (dua) bentuk yaitu :
(a) Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan “akta relaas” atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.
(b) Akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) Notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.30
“Verbaal acte (ambtelijke acte) adalah akta Notaris yang memuat catatan atau
berita acara dari apa yang oleh Notaris alami atau saksikan. Oleh karena verbaal acte
adalah akta Notaris yang berisi keterangan tentang yang dialami atau disaksikan oleh
Notaris sebagai Pejabat Umum, maka akta ini disebut pula akta pejabat (ambtelijke
acte).”31
29
Arwin Engsun, Kekuatan Hukum Akta Notaris yang Bersifat Simu1asi. <http://digilib.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=95 23&task=view>, halaman 1.
30
Gloria Gita Putri Ginting, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Sengketa, (Tesis Sarjana yang tidak diterbitkan, Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005).
31
“Lebih lanjut Soepadmo mengatakan bahwa verbaal acte memuat pernyataan
atau kesaksian oleh Notaris mengenai perbuatan-perbuatan atau fakta-fakta yang
disaksikan oleh Notaris. Oleh karena itu verbaal acte dapat disebut juga akta
kesaksian Notaris, dan sebagai contoh dari akta ini adalah akta Berita Acara Rapat
Umum Pemegang Saham.”32
Partij acte adalah akta Notaris yang memuat apa yang diterangkan oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dan dikehendaki oleh mereka supaya dimasukkan dalam akta Notaris untuk mendapatkan kekuatan pembuktian. Apa yang diterangkan oleh pihak-pihak dalam akta ini memuat apa yang diperjanjikan atau yang ditentukan. Adapun contoh dari partij acte antara lain adalah akta jual beli dan akta pendirian perseroan terbatas.33
Perbedaan antara verbaal acte dan partij acte antara lain adalah sebagai berikut : 1. Dalam verbaal acte tidak ada pihak-pihaknya atau yang dikatakan sebagai
penghadapnya, sedangkan dalam partij acte pihak-pihak atau penghadap adalah syarat mutlak adanya akta tersebut. Secara sederhana perbedaannya adalah ada tidaknya penghadap dalam akta. Verbaal acte disebut juga
ambtelijke acte (akta pejabat), akta kesaksian Notaris selaku Pejabat Umum,
sehingga dalam verbaal acte tidak ada penghadap yang bertindak sebagai pihak dalam akta. Berbeda dengan verbaal acte, partij acte disebut sebagai akta para pihak. Partij acte disebut akta para pihak karena dalam akta merumuskan apa yang dikehendaki oleh para pihak.
2. Pada verbaal acte Notaris selaku pembuatnya bertanggungjawab sepenuhnya atas akta tersebut, karena akta ini berisi kesaksian dari Notaris selaku Pejabat Umum. Dalam partij acte Notaris hanya bertanggungjawab pada awal akta dan akhir atau penutup akta. Isi akta bukan merupakan tanggung jawab dari Notaris pembuat akta tersebut melainkan tanggung jawab dari pihak-pihak atau penghadap. Hal ini karena isi akta pada partij acte berisi kesepakatan atau ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh para pihak. Dengan perkataan lain isi akta adalah kemauan dari para pihak yang dituangkan atau dirumuskan dalam akta.34
“Dengan diresmikannya akta yang ditandatangani penandatanganan akta oleh
para pihak, saksi-saksi dan Notaris (untuk partij acte), selesailah pelaksanaan jabatan
32
Djoko Soepadmo, Teknik Pembuat Akta Akta Seri A-1, Bagian Ke Dua, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1996, halaman 10.
33
Ibid., halaman 56.
34
seorang Notaris. Selanjutnya pelaksanaan dari akta, akibat hukum yang timbul dari
akta tersebut adalah tanggung jawab dari para pihak yang bersangkutan.”35
Pertanggungjawaban dari seorang Notaris tidak berakhir dengan diresmikannya akta tersebut, bahkan seorang Notaris yang sudah mengakhiri jabatannya pun masih tetap dapat diminta pertanggungjawaban atas akta yang dibuatnya. Pertanggungjawaban Notaris khususnya adalah pertanggungjawaban dari pembuat akta tersebut, sedangkan isi dari akta merupakan tanggung jawab dari para pihak sepanjang Notaris dalam merumuskan kehendak para pihak sudah benar.36
“Dalam beracara di pengadilan khususnya untuk acara perdata apa yang
tertuang dalam akta (isi akta) harus diyakini menurut hukum (demi hukum) bahwa
itulah yang sebenarnya, kecuali ada pembuktian yang sebaliknya terhadap pihak
ketiga akta autentik merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu
bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim.”37
Berbeda dengan dalam proses acara pidana yang harus mencari kebenaran materil, akta autentik yang merupakan alat bukti tertulis bukan merupakan alat bukti utama. Terhadap isi dari akta autentik, Hakim masih mempunyai kewajiban untuk menggali kebenaran materil, akta autentik hanya memberikan pembuktian formil. Oleh karena itu dalam praktek tidak jarang Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim masih meminta keterangan lebih lanjut dari Notaris pembuat akta.38
Apabila seorang Notaris menerangkan di dalam aktanya, bertentangan dengan kebenaran, bahwa akta itu dibuat di suatu tempat yang terletak di dalam daerah jabatannya, maka Notaris yang bersangkutan dalam hal ini melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ia dapat di hukum, tidak hanya apabila dari penggunaan akta itu timbul suatu kerugian, akan tetapi juga apabila timbul kerugian disebabkan akta itu tidak dapat dipergunakan, misalnya apabila para pihak yang bersangkutan untuk sesuatu perjanjian yang mereka adakan memerlukan akta autentik.39
R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, halaman 120.
38
Djoko Sukisno, Op. Cit., halaman 57.
39
Untuk dapat membuat akta autentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta autentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta autentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat Akta Kelahiran atau Akta Kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai Pejabat Umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.40
Menurut A. Kohar, akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan
alat bukti. Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut
dikatakan sebagai akta notarial, atau autentik, atau Akta Notaris. Suatu akta dikatakan
autentik apabila dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat
dihadapan Notaris merupakan akta autentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara
pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang
tidak disebutkan dalam Undang-undang harus dengan akta autentik boleh saja dibuat
di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi
kuat maka harus dibuat dengan akta autentik.
Grosse Akta Notaris selalu diidentikkan dengan akta autentik, yang diatur
dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo. Undang-undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memberikan batasan mengenai akta autentik, dimana dikatakan : “Suatu akta
autentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh Undang-undang (welke in
de wettelijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat di mana akta dibuatnya.” 41
40
R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit., halaman 43.
41