• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS ATAS TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

JABATAN NOTARIS

TESIS

OLEH :

FELIX CHRISTIAN ADRIANO 127011174/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ANALISIS YURIDIS ATAS TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

JABATAN NOTARIS

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FELIX CHRISTIAN ADRIANO 127011174/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Telah Diuji Pada

Tanggal : 3 Februari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum

(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda-tangan dibawah ini :

Nama : FELIX CHRISTIAN ADRIANO

Nim : 127011174

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

JudulTesis : ANALISIS YURIDIS ATAS TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG

JABATAN NOTARIS

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, 18 Februari 2015

Yang membuat pernyataan

(5)

ABSTRAK

Pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (7) dan ayat (8), pasal 41 yang menunjuk pasal 38, pasal 39, pasal 40, kemudian pasal 44, pasal 48, pasal 50, pasal 51, pasal 52 UUJN No. 2 Tahun 2014 akan mengakibatkan turunnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas tanpa melalui proses pengadilan dan hal ini tidak memberikan perlindungan hukum bagi Notaris karena tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Hal ini juga membuka kemungkinan intervensi terhadap jabatan Notaris dalam pembuatan akta. Batasan mengenai sanksi terhadap Notaris juga tidak jelas baik sanksi secara administrasi, perdata, maupun pidana. Dengan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut diatas sudah pasti para pihak dirugikan. Hal inilah yang diperlukan pembuktiannya melalui proses pengadilan.

Metode penelitian yang digunakan dalam membahas masalah-masalah tersebut diatas adalah melalui pendekatan Yuridis Normatif dengan mengumpulkan secara cermat data-data primer dan sekunder di lapangan. Penelitan di lapangan dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan akta otentik, yaitu Pejabat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Majelis Pengawasan Daerah Kota Medan.

Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengaturan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014 yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (7) dan ayat (8), pasal 41 yang menunjuk pasal 38, pasal 39, pasal 40, kemudian pasal 44, pasal 48, pasal 50, pasal 51, pasal 52. Bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal ini akan mengakibatkan turunnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan. Ketentuan dalam pasal-pasal di atas tidak melindungi jabatan Notaris karena tidak diperlukannya lagi proses pengadilan melalui putusan hakim untuk menentukan kekuatan pembuktian suatu akta Notaris. Penilaian akta Notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan hukum harus melalui proses gugatan ke pengadilan umum untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan pasal-pasal tersebut diatas atau tidak. Dengan putusan pengadilan yang tersebut, apabila Notaris terbukti melanggar ketentuan tersebut diatas maka batasan pertanggung jawaban Notaris terhadap akta tersebut yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat dan secara perdata dapat berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.

Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian Akta Notaris.

(6)

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah penulis menyusun dan memilih judul : “Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris”. Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., serta Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn., masing-masing selaku anggota komisi pembimbing yang banyak memberi masukan dan bimbingan kepada penulis selama dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K). selaku

(7)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH. M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Gomgoman Sitanggang dan Ibunda Ellen Theresia Panjaitan, yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik ananda dengan penuh kasih sayang dan segala doa serta semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Tak lupa penulis ucapkan kepada kakak penulis, Deisy Yolanda, ST., dan Jennefer Elgora, SE., yang banyak memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini;

(8)

Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang Kenotariatan.

Medan, Februari 2015

(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Felix Christian Adriano

Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 23 Desember 1988

Alamat : Jalan Delima Raya D. 54/ No. 08 Durensawit, Jakarta Timur

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Umur : 26 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Kristen Protestan

Nama Bapak : Gomgoman Sitanggang

Nama Ibu : Ellen Theresia Panjaitan

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : 1996-2001 Sekolah Dasar Budhaya II, St. Agustinus, Jakarta

Sekolah Menengah Pertama : 2001-2004 Sekolah Menengah Pertama Negeri 27, Jakarta

Sekolah Menengah Atas : 2004-2007 Sekolah Menengah Atas Negeri 12, Jakarta

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...i

ABSTRACT ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR ISTILAH ...ix

DAFTAR SINGKATAN...xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian ... 19

1. Spesifikasi Penelitian ... 20

2. Sumber Data ... 21

3. Teknik Pengumpulan Data ... 22

4. Alat Pengumpulan Data ... 23

(11)

BAB II KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 201425

A. Karakter Yuridis Akta Notaris ... 25

B. Nilai Pembuktian Akta Notaris ... 41

C. Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 201447 BAB III MEKANISME PENERAPAN SANKSI TERHADAP NOTARIS ATAS TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS ... 59

A. Pengawasan dan Sanksi Notaris ... 59

B. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Majelis Pengawas ... 65

C. Mekanisme Penerapan Sanksi Perdata terhadap Notaris dalam Hal Terjadinya Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris ... 71

BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN NOTARIS ATAS TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS ... 79

1. Notaris Sebagai Pejabat Umum ... 79

2. Pelaksanaan Jabatan Notaris ... 86

3. Hubungan Hukum Notaris dengan Para Pihak/Penghadap ... 90

a.Sanksi Tanggung Jawab Administrasi ... 96

b.Sanksi Tanggung Jawab Perdata ... 100

c.Sanksi Tanggung Jawab Pidana ... 102

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

(12)

DAFTAR ISTILAH

A Command Of The Lawgiver: perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa.

Alpa : Khilaf.

Acta/Actum/Acte : suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh

pembuatnya.

Bestuursdwang : paksaan pemerintah.

Culpa : secara sengaja.

Das sollen : norma.

Das sein : fakta.

Decisoir eed : sumpah penentu yang bersifat memutuskan, ditentukan untuk memberi keputusan.

Degradasi : turun tingkatan.

Fakultatif : janji-janji yang boleh dicantumkan atau tidak

dicantumkan, baik sebagian maupun seluruhnya.

Fiat eksekusi : pemberian kuasa untuk pelaksanaan putusan executorial ( bersifat dapat dilaksanakan ).

Grosse acte : suatu salinan atau kutipan dari minuta akta yang diatas judul akta memuat kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan dibawahnya dicantumkan

kalimat “Diberikan Sebagai GrossePertama” dengan

Hoge Raad : Pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk

membayar sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak yang dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi yang sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk menghapuskan kerugian yang diderita.

Inbreng : pemasukan asset ke dalam perusahaan.

Inkracht van gewijsde : putusan berkekuatan hukum tetap, putusan badan peradilan atau pengadilan yang dikeluarkan oleh majellis hakim dimana putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tetap, serta tidak ada upaya hokum setelahnya.

Limitatif : bersifat membatasi.

Lastgeving : perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa.

Wetboek Nederland : Kitab revisi Burgerlijk Wetboek di Belanda.

(13)

Operational definition : semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operational, sehingga memudahkan pembaca/penguji dalam mengartikan makna penelitian.

Otentisitas : akta yang memiliki pembuktian sempurna.

Pacta sunt servanda : asas hukum yang menyatakan bahwa setiap perjanjian menjadi hokum yangh mengikat bagi parapihak yang melakukan perjanjian.

Proximate : kemungkinan.

Rechtsbescherming : perlindungan hukum untuk penyelesain

Represif sengketa.

Renvoi : pembetulan (perbaikan) tambahan di suatu akta autentik

dengan memberikan tanda di pinggir dan harus diparaf

Status quo : mempertahankan keadaan sekarang yang tetap seperti

keadaan sebelumnya.

Suppletoir eed : sumpah tambahan, sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang berpekara, apabila hakim itu berpendapat bahwa di dalam suatu perkara sudah terdapat permulaan pembuktian, yang perlu ditambah dengan

penyumpahan karena dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti yang terdapat itu.

Staatsblad : lembaran negara, fungsinya sebagai tempat dimana suatu perundang-undangan diumumkan pada zaman kolonial Belanda. Istilah asli staatsblad adalah Het Staatsblad van Nederlandsch Indie atau pada periode transisi disebut Het Staatsblad van Indonesie. Pada saat ini tidak lagi menggunakan Staatsblad, namun menggunakan Lembaran Negara Republik Indonesia atau LNRI.

Statute approach : perundang-undangan.

The fact : fakta.

Too remote : terlalu jauh.

Unifikasi : upaya atau proses menyeragamkan substansi pengaturan

Volmacht : tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada

penerima kuasa untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu.

Wanprestasi : suatu keadaan dimana debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.

(14)

DAFTAR SINGKATAN ABM : Aturan Bea Materai

BW : Burgerlijk Wetboek

KUH Perdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata. KUH Pidana : Kitab Undang-undang Hukum Pidana. PJN : Peraturan Jabatan Notaris.

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah.

STB : Staatsblad.

(15)

ABSTRAK

Pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (7) dan ayat (8), pasal 41 yang menunjuk pasal 38, pasal 39, pasal 40, kemudian pasal 44, pasal 48, pasal 50, pasal 51, pasal 52 UUJN No. 2 Tahun 2014 akan mengakibatkan turunnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut diatas tanpa melalui proses pengadilan dan hal ini tidak memberikan perlindungan hukum bagi Notaris karena tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Hal ini juga membuka kemungkinan intervensi terhadap jabatan Notaris dalam pembuatan akta. Batasan mengenai sanksi terhadap Notaris juga tidak jelas baik sanksi secara administrasi, perdata, maupun pidana. Dengan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut diatas sudah pasti para pihak dirugikan. Hal inilah yang diperlukan pembuktiannya melalui proses pengadilan.

Metode penelitian yang digunakan dalam membahas masalah-masalah tersebut diatas adalah melalui pendekatan Yuridis Normatif dengan mengumpulkan secara cermat data-data primer dan sekunder di lapangan. Penelitan di lapangan dilakukan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan akta otentik, yaitu Pejabat Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Majelis Pengawasan Daerah Kota Medan.

Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa pengaturan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014 yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (7) dan ayat (8), pasal 41 yang menunjuk pasal 38, pasal 39, pasal 40, kemudian pasal 44, pasal 48, pasal 50, pasal 51, pasal 52. Bahwa pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal ini akan mengakibatkan turunnya kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta dibawah tangan. Ketentuan dalam pasal-pasal di atas tidak melindungi jabatan Notaris karena tidak diperlukannya lagi proses pengadilan melalui putusan hakim untuk menentukan kekuatan pembuktian suatu akta Notaris. Penilaian akta Notaris yang memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan hukum harus melalui proses gugatan ke pengadilan umum untuk membuktikan, apakah akta Notaris melanggar ketentuan pasal-pasal tersebut diatas atau tidak. Dengan putusan pengadilan yang tersebut, apabila Notaris terbukti melanggar ketentuan tersebut diatas maka batasan pertanggung jawaban Notaris terhadap akta tersebut yaitu berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, pemberhentian dengan tidak hormat dan secara perdata dapat berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga.

Kata Kunci : Kekuatan Pembuktian Akta Notaris.

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana juga perdata) telah diterima pula alat bukti elektronis atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan.1 Menurut George Whitecross Patton alat bukti dapat berupa oral (words spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a admissible documents) atau material (the production of a physical res other than a document).2

Alat bukti adalah bahan-bahan yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara di depan persidangan pengadilan.3 Dalam Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan alat-alat bukti terdiri dari :

1

a. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

b. Pasal 38 huruf b dan c Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

c. Pasal 26 A huruf a dan b Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Pasal 27 huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.

2

George Whitecross Patton, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford at the Clarendon Press, second edition, 1953, hal. 481.

3

(17)

1. Bukti Tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan;

5. Sumpah.

Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan.4 Baik akta otentik maupun akta dibawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting antara kedua jenis bukti tulisan tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Dengan kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak. Jika ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal tersebut dan penilaian atas penyangkalan bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Baik alat bukti akta dibawah tangan maupun akta otentik harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).

4

(18)

Menurut Subekti yang dimaksud dengan akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.5 Suatu akta dalam kedudukannya dapat menjadi akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu :

1. Akta harus dibuat oleh (door) atau dihadapan (ten overstaan) seseorang pejabat umum.

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu.

Akta yang dibuat oleh (door) Notaris dalam praktiknya disebut Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris, dalam praktik Notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.6

Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Ketentuan-ketentuan akta Notaris dalam UUJN dapat dilihat pada Pasal 38 yang berbunyi :

1. Setiap akta Notaris terdiri atas :

5

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 2005), hal. 25.

6

(19)

a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan

c. akhir atau penutup akta.

2. Awal akta atau kepala akta memuat : a. judul akta;

b. nomor akta;

c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. 3. Badan akta memuat :

a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan

d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup akta memuat:

a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m atau Pasal 16 ayat (7);

b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;

c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.

5. Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Kewenangan Pejabat untuk membuat akta diatur pada Pasal 15 UUJN yang berbunyi: Ayat (1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang

(20)

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.

Ayat (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 1888 KUHPerdata, kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya, apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar-ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukannya. Kekuatan pembuktian akta otentik akan ada selama minuta akta aslinya masih menjadi bagian prokol Notaris. Apabila Notaris tersebut pensiun maka protokol Notaris pensiun tersebut diteruskan oleh Notaris lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat sendiri oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa bantuan pejabat umum.7 Akta otentik diatur dalam HIR dan KUHPerdata, namun akta dibawah tangan ini tidak diatur dalam HIR untuk Jawa dan Madura. Akta dibawah tangan ini diatur dalam ordonansi Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 karena pada waktu HIR dibuat (sebelum tahun 1848) akta dibawah tangan tersebut diatur khusus dalam Staatsblad 1867 Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah

7

(21)

tangan. Untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam RBg Pasal 286 sampai dengan Pasal 305. Selain itu, akta dibawah tangan dapat juga dilihat dalam Pasal 1874 sampai Pasal 1880 KUHPerdata. Perbedaan antara HIR dan RBg adalah didalam HIR hanya mengatur mengenai akta otentik saja, maka RBg selain mengatur mengenai akta otentik juga mengatur mengenai akta dibawah tangan.

Adapun isi dari Pasal-pasal S. 1867 No. 29 adalah sebagai berikut:8

Pasal 1 “Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat rumah tangga, dan lain-lain tulisan yang ditandatangani, yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat umum. Dengan penandatanganan sebuah tulisan dibawah tangan dipersoalkan cap jari yang dibutuhkan dibawahnya, disahkan dengan suatu keterangan yang tertinggal dari seorang notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang dari mana ternyata bahwa ia

mengenai di pembubuh cap jari tersebut dibubuhkan dihadapan pejabat tersebut.”

Pasal 2 “Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan dibawah tangan, diwajibkan

secara tegas mengakui atau menyangkal tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang

mereka wakili.”

Pasal 3 “Jika seseorang menyangkal tulisan atau tanda tangannya, ataupun jika para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripadanya, menerangkan tidak mengakuinya, maka hakim harus memerintahkan supaya keaslian daripada tulisan atau tanda tangan tersebut.

Selain dari ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata mengenai kekuatan pembuktian akta, didalam UUJN juga mengatur ketentuan pembuktian akta tersebut, yaitu pada Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Beberapa Pasal tersebut mengatur terperincinya terhadap bentuk akta, dengan tidak terpenuhinya ketentuan yang ada pasal-pasal tersebut maka menyebabkan turunnya (degradasi) kekuatan pembuktian akta otentik. Istilah degradasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti penurunan,

8

(22)

tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran, kemerosotan atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih rendah.9 Dalam pengertian yang berhubungan dengan kekuatan bukti, akta notaris sebagai akta otentik memiliki kekuatan bukti yang lengkap atau sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, serta telah mencukupi batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu sengketa hukum perdata,10 namun demikian akta tersebut dapat mengalami penurunan mutu atau kemunduran atau kemerosotan status, dalam arti posisinya lebih rendah dalam kekuatan sebagai alat bukti, dari kekuatan bukti lengkap dan sempurna menjadi permulaan pembuktian seperti akta dibawah tangan dan dapat memiliki cacat hukum yang menyebabkan kebatalan atau ketidakabsahannya akta tersebut.11

Notaris sebagai pejabat umum tentunya dalam membuat suatu akta, tidak dapat diberlakukan serta merta terhadap akta yang dibuatnya mengalami turunnya kekuatan pembuktian dari akta otentik menjadi akta dibawah tangan, seharusnya melalui prosedur pembuktian di pengadilan dan mendapatkan keputusan pengadilan yang inkrah terlebih dahulu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya celah hukum bagi oknum yang tidak beritikad baik.

9

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke empat, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 304.

10

Menurut Pasal 1870 KUHPerdata suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau orang yang mendapatkan haknya dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan akta tersebut memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa akta tersebut sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Akta otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan, tetapi juga bahwa apa yang diterangkan tadi adalah benar.

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2008), hal. 27.

11

(23)

Pelaksanaan turunnya kekuatan pembuktian akta hanya karena kurang paraf (yang diatur pada Pasal 50 ayat (2)) yang salah satu akibatnya berpengaruh pada perjanjian kredit apabila debitur wanprestasi, kemudian Notaris harus mengganti kerugian berikut bunga dan biaya-biaya yang timbul. Apabila ada pihak debitur yang beritikad tidak baik hal-hal tersebut dapat menjadi celah hukum untuk menjatuhkan Notaris tanpa dibuktikan terlebih dahulu. Pasal-pasal tersebut sudah serta merta memberikan vonis Notaris bersalah tanpa melalui pembuktian di pengadilan (mengenyampingkan asas praduga tidak bersalah).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas ,maka perlu kiranya dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris.” B. Perumusan Masalah

Ada beberapa pokok permasalahan hukum yang akan dibahas dalam penyusunan penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014?

2. Bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

3. Bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

C. Tujuan Penelitian

(24)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014. 2. Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap

Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris.

3. Untuk mengetahui dan mengalisis bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnyakekuatan pembuktian akta Notaris.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

a. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum khususnya di Kenotariatan;

b. Bagi para akademis dan dunia pendidikan hasil penelitian ini juga diharapkan menambah khasanah keilmuan dan pengembangan ilmu hukum.

2. Secara Praktis

a. Sebagai bahan masukan bagi praktisi yang terlibat langsung mengenai akta otentik;

(25)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan Penelitian dan Penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil yang sudah ada, maupun yang sedang dilakukan khususnya pada perpustakaan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, mengenai penelitian dengan judul

“Analisis Yuridis Atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut

Undang-Undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris” belum pernah dilakukan.

Menurut hasil penelusuran di perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara pernah ada penelitian yang juga membahas mengenai pembatalanakta Notaris, nama penulis Zuliana Maro Batubara, Nomor Induk Mahasiswa 087011134, Magister

Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, dengan Judul “Analisis Yuridis Terhadap

Pembatalan Akta Notaris (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Medan”. Di dalam hasil penelitian tersebut membahas mengenai :

1. Bagaimana suatu akta Notaris dapat menjadi batal oleh suatu putusan Pengadilan? 2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang menjadi batal demi hukum

oleh suatu putusan Pengadilan ?

3. Bagaimana pandangan badan peradilan khususnya Pengadilan Negeri Medan dalam pertimbangannya dalam membatalkan akta Notaris ?

Dalam penelitian ini yang berjudul “Analisis Yuridis Turunnya Kekuatan

Pembuktian Akta Notaris Menurut Undang-undang Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014

(26)

1. Bagaimana kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014?

2. Bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

3. Bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris?

Dari beberapa permasalahan yang diteliti, maka penelitian yang dilakukan ini sangatlah berbeda dan penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting. Teori memberikan sarana untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. Hal-hal yang semula tampak dan berdiri sendiri bisa disatukan dan ditunjukkan kaitannya satu sama lain secara bermakna. Teori, dengan demikian memberikan penjelasan dengan cara mengorganisasi dan mensistematisasikan masalah yang dibicarakan.12

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.13 Kerangka teori juga dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis si penulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan

12

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2012), hal. 269.

13

(27)

perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,14 yang nantinya merupakan masukan eksternal dalam penelitian ini.

Menurut Soerjono Soekanto, kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut :15

a. Teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta mengembangkan definisi-definisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu teori hukum positif dari Jhon Austin, yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

Penelitian ini berusaha untuk menganalisis kedudukan hukum atas batasan turunnya kekuatan pembuktian akta Notaris berdasarkan UUJN No. 2 Tahun 2014, bagaimana mekanisme penerapan sanksi terhadap Notaris dalam terjadinya turunnya kekuatan

14

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 80. 15

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hal. 121.

16

(28)

pembuktian akta Notaris dan bagaimana batasan pertanggungjawaban Notaris atas turunnyakekuatan pembuktian akta Notaris.

Menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak

dari kata “actum” yang merupakan bahasa Latin yang mempunyai arti perbuatan

-perbuatan.17 Kata “akta” dalam pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut

bukanlah berarti surat atau tulisan, melainkan “perbuatan hukum”, yang berasal dari

bahasa Perancis yaitu “acte” yang artinya perbuatan.18 Menurut Soedikno Mertukusumo,

akta adalah surat yang diberi tanda tangan memuat peristiwa-peristiwa, yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan-perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.19

Ketentuan turunnya kekuatan pembuktian dalam UUJN diatur pada Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51. Setiap pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 akan mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan (degradasi).

Pada Pasal 40 menjelaskan tentang saksi dalam akta, yaitu paling sedikit 2 (dua) orang saksi dengan kriteria paling rendah berumur 18 tahun atau sebelumnya telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf. Pada Pasal 44 mengenai tanda tangan,

17

R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, ( Penerbit Pradnya, Jakarta, 1980 ), hal. 9.

18

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, ( PT. Intermasa, Jakarta, 1985 ), hal. 29. 19

(29)

dimana setelah akta dibacakan oleh Notaris, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan. Pasal 48 menyebutkan akta dilarang untuk diubah dengan diganti, ditambah, dicoret, disisipkan, dihapus, ditulis tindih. Perubahan tersebut dapat dilakukan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Pada Pasal 49 mengatur tentang perubahan atas akta yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dibuat disis kiri akta apabila karena hal suatu perubahan tidak dapat dibuat disisi kiri, perubahan tersebut dapat dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan. Pada Pasal 50 mengatur tentang pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta. Pencoretan tersebut sah setelah diberi paraf atau tanda pengesahan lain dari para penghadap, saksi, dan Notaris.

Beberapa ketentuan inilah yang apabila tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.

(30)

2. Konsepsi

Dalam pemberian suatu konsep atau pengertian merupakan salah satu unsur pokok yang penting dalam suatu penelitian, pentingnya konsepsional untuk menghindari perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang digunakan. Maka perlu diuraikan beberapa konsep yang menjadi pegangan dalam proses penelitian yaitu :

a. Pejabat umum

Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan umum ( pemerintah ), dan diberi wewenang serta kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu, karena itu ia ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah.20 b. Notaris

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut Sutrisno, Pasal 1 angka 1 UUJN tersebut merupakan pengertian mengenai notaris secara umum, untuk definisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN. Jadi, bila digabung Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1), terciptalah definisi notaris, yaitu :21

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

20

Sutrisno, Diktat Kuliah tentang Komentar atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Medan, 2007, hal. 119.

21

(31)

kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

c. Akta

Suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.22

d. Akta Otentik

Akta yang dibuat oleh/dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan yang berkepentingan untuk dicatat didalamnya.23

e. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik

Kekuatan pembuktian akta otentik itu adalah sebagai berikut : 1). Kekuatan pembuktian lahir.

Bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat –syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat diangap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada pembuktian sebaliknya. 2). Kekuatan pembuktian formil.

Dalam arti formil akta otentik membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan pejabat. Ini adalah pembuktian tentang kebenaran daripada keterangan pejabat sepanjang mengenai apa yang

22

Rocky Marbun, CS, Kamus HukumLengkap, (Jakarta : Visimedia 2012), hal. 12.

23

(32)

dilakukan dan dilihatnya. Dalam hal ini yang pasti adalah tanggal dan tempat akta otentik itu dibuat serta keaslian tanda tangannya.

3). Kekuatan pembuktian materiil.

Pada umumnya akta pejabat tidak mempunyai kekuatan materiil, karena akta pejabat tidak lain hanyalah untuk membuktikan kebenaran apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Akta pejabat yang mempunyai kekuatan pembuktian materil adalah akta yang dilakukan atau dikeluarkan kantor pencatatan sipil. G. Metode Penelitian

Meneliti pada hakekatnya berarti mencari, yang dicari dalam penelitian hukum adalah kaedah, norma atau das sollen, bukan peristiwa, perilaku dalam arti fakta atau das sein.24 Sebagai suatu penelitian yang ilmiah, maka rangkaian kegiatan penelitian diawali dengan pengumpulan data hingga analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah penelitian sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis, yaitu memaparkan dan menganalisis data secara sistematis dengan maksud untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya. Deskriptif

mengandung arti, bahwa penulis ingin menggambarkan dan memberikan data yang seteliti mungkin, sistematis dan menyeluruh. Analisis mengandung makna, mengelompokkan,

24

(33)

menghubungkan dan membandingkan aspek yang berkaitan dengan masalah secara teori dan praktek.

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative

yang merupakan penelitian kepustakaan dengan pendekatan historis dan perundang-undangan (statute approach) serta sinkronisasi vertical dan horizontal dalam hukum positif di Indonesia. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan menurut Soerjono Soekamto mencakup :25

a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematik hukum;

c. penelitian terhadap sinkronisasi vertical dan horizontal; d. perbandingan hukum;

e. sejarah hukum. 2. Sumber Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.26

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 7.

26

(34)

b) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). c) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.

2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berkaitan dengan Akta Notaris.

3) Bahan Hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan Akta Notaris.

b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait dengan penelitian ini, yaitu melakukan wawancara kepada 2 (dua) orang dari praktisi Pejabat Notaris, dan 1 (satu) orang dari Ikatan Notaris Indonesia Wilayah Sumatera Utara. 3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan bahan dari hasil penelitian kepustakaan yakni dengan pengumpulan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

(35)

Penelitian ini dilakukan dengan menggabungkan dua metode pengumpulan data, yaitu studi pustaka/studi dokumen (documentary study) dan penelitian lapangan (Field Research).

Studi kepustakaan/studi dokumen (documentary study) ini dimaksudkan untuk memperoleh data, berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier, dengan memperhatikan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai relevansi dengan penelitian yang akan dilakukan, akurasi datanya serta aktualitas.

Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh melalui Penelitian lapangan (Field Research). Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam yang menggunakan pedoman interview kepada 2 (dua) orang dari praktisi Pejabat Notaris Kota Medan, dan 1 (satu) orang dari Majelis Kehormatan Wilayah.

4. Alat Pengumpul Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:

a. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

(36)

5. Analisis Data

Dalam suatu penelitian diperlukan adanya analisis terhadap data yang ditemukan yang gunanya akan memberikan jawaban terhadap permasalahan dari penelitian yang dilakukan. Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan informan hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

(37)

BAB II

KEDUDUKAN HUKUM ATAS BATASAN TURUNNYA KEKUATAN PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS BERDASARKAN UUJN NO. 2 TAHUN 2014 A. Karakter Yuridis Akta Notaris

Dalam hukum acara perdata, alat bukti yang sah atau diakui oleh hukum terdiri dari :

1. Bukti tulisan;

2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan;

5. Sumpah;

(38)

mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau didukung dengan alat bukti lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut.27 Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak, jika para pihak mengakuinya, maka akta di bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta otentik, jika salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada Hakim. Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materil mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata) sebagai suatu perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bentuknya sudah ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Sebagai bahan perbandingan kerangka atau susunan akta yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN berbeda dengan yang dipakai dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Dalam PJN kerangka akta atau anatomi akta terdiri dari :28

27

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris). (Bandung : Refika Aditama, 2009), hal. 121.

28

(39)

1. Kepala (hoofd) Akta : yang memuat keterangan-keterangan dari Notaris mengenai dirinya dan orang-orang yang datang menghadap kepadanya atau atas permintaan siapa dibuat berita acara ;

2. Badan Akta : yang memuat keterangan-keterangan yang diberikan oleh pihak-pihak dalam akta atau keterangan-keterangan dari Notaris mengenai hal-hal yang disaksikannya atas permintaan yang bersangkutan ;

3. Penutup Akta : yang memuat keterangan dari Notaris mengenai waktu dan tempat akta dibuat, selanjutnya keterangan mengenai saksi-saksi, dihadapan siapa akta dibuat dan akhirnya tentang pembacaan dan penandatanganan dari akta itu.

(40)

Adanya perubahan mengenai pencantuman identitas para pihak atau para penghadap yang semula dalam PJN yang merupakan bagian dari kepala atau, kemudian dalam Pasal 38 ayat (3) huruf b UUJN identitas para pihak atau para penghadap diubah menjadi bagian dari badan akta menimbulkan kerancuan dalam menentukan isi akta, sehingga muncul penafsiran bahwa identitas para pihak dalam akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan isi akta. Pencantuman identitas para pihak merupakan bagian dari formalitas akta Notaris, bukan bagian dari materi atau isi akta. Dalam hal ini Pasal 38 ayat (2) dan (3) telah mencampuradukkan antara komparisi dan isi akta.29

Akta Notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.

Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, dan syarat objektif yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang tidak dilarang.30

Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif dan syarat objektif tidak dipenuhi. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan.

29

Habib Adjie, Op. Cit. Hal. 122-123.

30

(41)

Syarat subjektif ini senantiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar ancaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapapun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum,31 karena perjanjian sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun. Misalnya jika suatu perjanjian wajib dibuat dengan akta (Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)), tapi ternyata tidak dilakukan, maka perbuatan hukum atau perjanjian tersebut batal demi hukum.

Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta Notaris. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, dan syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Dengan demikian jika dalam awal akta, terutama

31

(42)

syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan orang tertentu akta tersebut dapat dibatalkan. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum. Oleh karena Pasal 38 ayat (3) huruf a UUJN telah menentukan bahwa syarat subjektif dan syarat objektif bagian dari badan akta, maka timbul kerancuan, antara akta yang dapat dibatalkan dengan akta yang batal demi hukum, sehingga jika diajukan untuk membatalkan akta Notaris karena tidak memenuhi syarat subjektif, maka dianggap membatalkan seluruh badan akta, termasuk membatalkan syarat objektif. Syarat subjektif ditempatkan sebagai bagian dari awal akta, dengan alasan meskipun syarat subjektif tidak dipenuhi sepanjang tidak ada pengajuan pembatalan dengan cara gugatan dari orang-orang tertentu, maka isi akta yang berisi syarat objektif tetap mengikat para pihak, hal ini berbeda jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka akta dianggap tidak pernah ada.32

Akta Notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh ketentuan prosedur atau tata cara pembuatan akta dipenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi, dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada Hakim.

Selain diatur dalam UUJN , dalam teknik pembuatan akta otentik juga tidak terlepas

dari Aturan Bea Materai 1921 Pasal 29 (ABM’21). ABM’21 sudah tidak berlaku lagi

karena sudah ada Undang-undang No. 13 ditahun 1985 tentang Bea Materai tapi menurut

32

(43)

Mahkamah Agung, akta Notaris yang dulunya tunduk kepada aturan bea materai luas, artinya setiap halaman akta dikenakan bea materai, diminta untuk dipertahankan walaupun

bea materai luas tersebut sudah tidak ada lagi. Dalam Pasal 29 ABM’21, akta Notaris harus

dibuat menurut ukuran luas kertas 12.4740 mm², jumlah suku kata dalam satu baris sudah

ditentukan sebanyak 15 suku kata, pada sisi kiri akta masih ada ruangan kosong sekitar ⅓

bagian dan ruang kosong ini dipergunakan untuk mengisi renvoi bila ada. Satu halaman hanya boleh mengandung 30 baris.33

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, hal ini sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik yaitu :34

1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (bentuknya baku), 2. Dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.

Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta Notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta Notaris, dengan syarat-syarat sebagai berikut : 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat

umum,

2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, 3. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai

wewenang untuk membuat akta tersebut.

33

Sutrisno, Komentar UU Jabatan Notaris Buku II, Medan, 2007, hal. 2.

34

(44)

Menurut C.A.Kraan akta otentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

2. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

3. Ketentuan perundang-undangan yang harus dipenuhi, ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/jabatan pejabat yang membuatnya dan data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut).

4. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

5. Pernyataan dari fakta atau tindakan yang disebutkan oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Syarat-syarat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : a. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum.

(45)

Akta yang dibuat oleh Notaris dalam praktek Notaris disebut akta relaas atau akta berita acara yang berisi berupa uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris. Akta yang dibuat di hadapan Notaris, dalam praktek Notaris disebut akta pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan Notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.35

Pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran Notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta Notaris, meskipun demikian tetap bahwa hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat Notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan Notaris.36

Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris, jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka :

35

G.H.S.Lumban Tobing, Op Cit, hal. 51.

36

(46)

1. Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.

2. Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka Hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan. Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hukum.

Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban Penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materil atas akta Notaris.

b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

Pengaturan pertama kali Notaris Indonesia berdasarkan Instruktie Voor De Notarissen Residerende In Nederlands Indie dengan Stbl No. 11, tanggal 7 Maret 1822, kemudian dengan Reglement Op Het Notaris Ambt In Indonesie (Stb.1860 : 3), dan

(47)

diterjemahkan menjadi PJN.37 Meskipun Notaris di Indonesia diatur dalam bentuk

Reglement, hal tersebut tidak dimasalahkan karena sejak lembaga Notaris lahir di Indonesia, pengaturannya tidak lebih dari bentuk Reglement, dan secara kelembagaan dengan Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954, yang tidak mengatur mengenai bentuk akta. Setelah lahirnya UUJN keberadaan akta notaris mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN.38

c. Pejabat umum oleh – atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

Wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu :

1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang Notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau Notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang Notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas. Pasal 15 UUJN telah menentukan wewenang Notaris.39 Wewenang ini merupakan suatu batasan,

37

Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktek Notaris, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 362.

38

Habib Adjie, Op Cit, hal. 54.

39

Kewenangan Notaris yang lainnya yaitu : (2) Notaris berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;

(48)

bahwa Notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang tersebut.

2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.

Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang (-orang) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat. Meskipun Notaris dapat membuat akta untuk setiap orang, tapi agar menjaga netralitas Notaris dalam pembuatan akta, ada batasan bahwa menurut Pasal 52 UUJN Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta untuk diri sendiri, isteri/suami atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.

3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) UUJN menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan berkantor di daerah kabupaten atau kota

sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang;

(49)

(Pasal 19 ayat (1) UUJN). Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 19 ayat (2) UUJN). Pengertian pasal-pasal tersebut bahwa Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak hanya harus berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh propinsi. Hal ini dapat dijalankan dengan ketentuan :

a. Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya (membuat akta) di luar tempat kedudukannya, maka Notaris tersebut harus berada di tempat akta akan dibuat.

b. Pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan dan penyelesaian akta.

c. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu propinsi tidak merupakan suatu keteraturan atau tidak terus menerus (Pasal 19 ayat (2) UUJN).

4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya. Agar tidak terjadi kekosongan, maka Notaris yang bersangkutan dapat menunjuk Notaris Pengganti (Pasal 1 angka 3 UUJN).

(50)

Karakter yuridis akta Notaris, yaitu :

1. Akta Notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang (UUJN).

2. Akta Notaris dibuat karena ada permintaan para pihak, dan bukan keinginan Notaris.

3. Meskipun dalam akta Notaris tercantum nama Notaris, tapi dalam hal ini Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.

4. Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapa pun terikat dengan akta Notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut. 5. Pembatalan daya ikat akta Notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya terca

Referensi

Dokumen terkait

Notaris berkewajiban untuk melekatkan sidik jari penghadap dalam minuta akta, namun karena ketiadaan penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur pembubuhan sidik jari

Penyelesaian hukum terhadap pelanggaran notaris dalam pembuatan akta autentik adalah melalui Pengawasan Notaris yang dilakukan oleh Menteri dengan dibantu oleh

Pasal 16 ayat (7) revisi Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan: “Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki

Ketika penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatannya dituangkan atau diformulasikan ke dalam akta notaris sesuai dengan kewenangan notaris, dan kemudian

Selanjutnya disebut penerima kuasa yang diwajibkan oleh para penghadap pada akta otentik sehingga dengan kartu contoh minuta akta notaris kepada pembina tidak mempunyai peranan

Penelitian yang berjudul Tanggungjawab Notaris Atas Pembuatan Akta Partij Berdasarkan Keterangan Palsu Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris : (1) Bagaimana

Akta dibawah tangan yang dilegalisasi Notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang tidak sama dengan akta otentik, karena tanda tangan yang terdapat dalam akta

Untuk menentukan hubungan hukum antara notaris dan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta autentik menjadi mempunyai