• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur Penyidikan Terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah

BAB II PENYIDIKAN TERHADAP NOTARIS YANG TELAH

D. Prosedur Penyidikan Terhadap Notaris yang Dilaporkan Telah

Pemeriksaan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik-integral dengan melihat aspek lahiriah, formal dan materil akta Notaris, serta pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai wewenang Notaris, di samping berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris. Juga perlu dipadukan dengan realitas praktik Notaris.

Dalam kaitan ini, menurut Meijers diperlukan adanya kesalahan besar (hardschuldrecht) untuk perbuatan yang berkaitan dengan pekerjaan di bidang ilmu pengetahuan (wetenschappelijke arbeiders) seperti notaris.63 Notaris bukan tukang membuat akta atau orang yang mempunyai pekerjaan membuat akta, tapi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya didasari atau dilengkapi berbagai ilmu pengetahuan hukum dan ilmu-ilmu lainnya yang harus dikuasai secara terintegrasi oleh notaris. Akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris mempunyai kedudukan sebagai alat bukti, dengan demikian notaris harus mempunyai capital intellectual yang baik dalam menjalankan tugas jabatannya. Pemeriksaan terhadap notaris kurang memadai jika dilakukan oleh mereka yang belum mendalami dunia notaris, artinya mereka yang akan memeriksa notaris harus dapat membuktikan kesalahan besar yang dilakukan notaris secara intelektual, dalam hal ini kekuatan logika (hukum) yang diperlukan dalam memeriksa notaris, bukan logika kekuatan ataupun kekuasaan yang diperlukan dalam memeriksa notaris.

Dalam pemeriksaan terhadap seorang notaris yang dilaporkan telah melakukan perbuatan tindak pidana diatur di dalam UUJN Pasal 66. Namun hal pemanggilan tersebut lebih rinci lagi diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.03.HT.03.10 TAHUN 2007 Tentang Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris. Prosedur pemanggilan

63 Herlien Budiono, "Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 (Dilema Notaris di antara Negara Masyarakat, dan Pasar),” Renvoi No.4.28.III, 3 September 2005, hal. 37.

tersebut diatur dalam BAB IV mengenai Syarat Dan Tata Cara Pemanggilan Notaris Pasal 14 yang mengatakan :

(1) Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tembusannya disampaikan kepada Notaris.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka atau terdakwa.

Terhadap pemanggilan Notaris tersebut tidak semena-mena langsung ditanggapi oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD). MPD akan mempelajari terlebih dahulu pemanggilan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap Notaris yang bersangkutan. Apabila dalam pemeriksaan ada ditemukan indikasi bahwa Notaris tersebut melakukan penyimpangan prosedur pembuatan akta dari Kode Etik maka MPD baru memberikan ijin ataupun persetujuan kepada kepolisian terhadap pemanggilan tersebut. Namun apabila dalam pemeriksaan Notaris tersebut MPD tidak menemukan adanya indikasi pelanggaran tindak pidana maka MPD mempunyai kewenangan untuk tidak memberikan persetujuan terhadap pemanggilan tersebut. Persetujuan dari MPD akan diberikan melalui surat resmi atau secara tertulis.64

Dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia tersebut dikatakan bahwa Majelis Pengawas Daerah akan memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam

64

penyimpanan notaris atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

Adapun tindak pidana yang berkaitan dengan jabatan notaris yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti :

1. Pemalsuan surat pada Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pidana

penjara paling lama enam tahun. Notaris IG memalsukan surat tanda bukti setoran BPHTB.

2. Pemalsuan surat yang dilakukan pada akta otentik pada Pasal 264 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. Notaris SS di Medan.

3. Pemberian keterangan palsu dalam suatu akta otentik pada Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun. Notaris TPS di Deli Serdang mebuat keterangan palsu.

4. Membuka rahasia pada Pasal 322 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

Tahapan proses pemeriksaaan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, yakni :

1. Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaaan yang dilakukan untuk pertama kalinya oleh polisi baik sebgai penyelidik maupun penyidik, apabila ada dugaan hukum pidana dilanggar, terdiri dari:

a. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.

b. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang;

c. Penangkapan adalah suatu tindakan dari penyidik, berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan. Peintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdsarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHP) bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya tindak pidana;

d. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 (1) KUHP adalah :

1) Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan melarikan diri;

2) Tersangka atau Terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan

3) Tersangka atau Terdakwa dikahwatirkan akan melakukan lagi tindak pidana;

Jenis-jenis penahanan, yakni :

a. Penahanan Rumah Tahanan Negara ; b. Penahanan Rumah;

c. Penahanan Kota ;

e. Penggeledahan adalah tindakan penyidik memeriksa suatu tempat tertutup atau badan seseorang, untuk mendapatkan bukti-bukti yang berhubungan dengan suatu tindak pidana;

f. Penyitaan adalah suatu cara yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang untuk menguasai sementara waktu barang-barang baik yang merupakan milik terdakwa atau tersangka ataupun bukan, tetapi berasal dari atau ada hubungannya dengan suatu tindak pidana dan berguna untuk pembuktian;

g. Pemeriksaan dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan perkara, maka penyidik dapat melakukan pemeriksaan saksi. Saksi yang diperiksa pada tingkat penyidikan memberikan keteranganya tanpa disumpah terlebih dahulu; 2. Pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk

menentukan apakah dugaan bahwa seseorang yang telah melakukan tindak pidana itu dapat dipidana atau tidak, terdiri dari;

a. Pemeriksaan adalah berupa pemeriksaan alat-alat bukti dipersidangan yakni Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa.

b. Penuntutan adalah tindak Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwewenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputuskan oleh Hakim di Sidang Pengadilan;

Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan notaris yang menimbulkan permasalahan hukum pidana harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Notaris. Untuk kelancaran proses penyidikan atau pemeriksaan terhadap notaris yang menjadi tersangka dan terdakwa, perlu kiranya polisi atau kejaksaan konsultasi terlebih dahulu dengan Majelis Pengawas Notaris.

Sebelum memberikan persetujuan, maka Majelis Pengawas Notaris akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap notaris tersebut dan bersamaan dengan itu Majelis Pengawas Notaris juga akan meminta keterangan dari Penyidik atau Penuntut Umum/Jaksa, mengapa sampai memanggil notaris sebagai saksi/terangka. Hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris inilah yang akan menentukan relevansinya atau tidaknya notaris itu dipanggil oleh Polisi/ penyidik atau Jaksa/Penuntut Umum untuk diperiksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 66Undang- Undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notris menyatakan bahwa :

1. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwewenang :

a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris;

b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

2. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

Dalam nota Kesepahaman antara Ikatan Notris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Pembinaan Dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum yang terdiri dari 3 BAB dan 6 pasal, di mana Bab I berisi tentang ketentuan umum berkaitan dengan tindakan hukum seseorang yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Bab II berkaitan dengan pemanggilan notaris berkaitan dengan pemeriksaan oleh penyidik kepada notaris serta tata cara penyitaan akta notaris. Bab III berkaitan dengan pembinaan dan penyuluhan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan profesionalisme dari notaris dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Pasal 2 Nota Kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa:65 1. Tindakan pemanggilan terhadap Notaris harus dilakukan secara tertulis dan

ditandatangani oleh penyidik.

2. Pemanggilan Notaris dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan.

3. Surat pemangilan harus jelas mencantumkan alasan pemanggilan, status yang dipanggil (sebagai saksi atau tersangka), waktu dan tempat, serta pelaksanaannya tepat waktu.

4. Surat pemanggilan diberikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelumnya ataupun tenggang waktu 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat panggilan tersebut sebagaimana yang tercatat dalam penerimaan untuk

65

Nota kesepakatan antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Ikatan Notaris Indonesia No.Pol : B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI/V/2006 Tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum.

mempersiapkan bagi Notaris yang dipanggil guna mengumpulkan data- data/bahan-bahan yang diperlukan.

5. Dengan adanya surat pemanggilan yang sah menurut hukum, maka Notaris wajib untuk memenuhi panggilan penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 112 ayat (2) KUHAP.

6. Apabila Notaris yang dipanggil dengan alasan sah menurut hukum tidak dapat memenuhi panggilan penyidik, maka penyidik dapat datang ke kantor/tempat kediaman Notaris yang dipanggil untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 113 KUHAP.

Pasal 3 Nota Kesepakatan antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa dalam hal tindakan penyidik untuk melakukan pemeriksaan Notaris yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana khususnya yang berkenaan dengan akta-akta yang dibuat, mengcu kepada Pasal 7 ayat (1), Pasal 116, Pasal 117 KUHP, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris, dan petunjuk Mahkamah Agung Republik Indonesia NO.MA/Pemb/3425/86 tanggal 12 April 1986, antara lain sebagai berikut :

a. Notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol;

b. Dalam kedudukan dan perannya sebagai saksi, maka pemeriksaan tidak perlu dilakukan penyumpahan kecuali cukup kuat alasan bahwa ia tidak dapat hadir dalam pemeriksaan disidang pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (1) KUHP;

c. Notaris berhak mengetahui kesaksian apa yang diperlukan oleh Penyidik dan/atau tentang sangkaan apa yang dituduhkan kepadanya;

d. Sedapat mungkin pemeriksaan dilakukan oleh penyidik kecuali terdapat alasan yang patut dan wajar, serta dapat dimengerti maka pemeriksaan dapat dilakukan oleh Penyidik Pembantu ;

e. Pemeriksan dilakukan ditempat dan waktu sebagaimana tersebut dalam surat panggilan atau ditempat dan waktu yang telah disepakati antara penyidik dan Notaris yang dipanggil sesuai dengan alasan yang sah menurut Undang- Undang.

f. Notaris yang dipanggil sebagai saksi, wajib hadir dan memberi keterangan yang diperlukan tentang apa yang dilihat, diketahui, didengar dan dialami dalam obyek pemeriksaan (peristiwanya) secara benar dengan mengingat

sumpah jabatan dan ketentuan-ketenuan Undang-Undang Jabatan Notaris serta perundang-undangan lain-nya.

g. Dalam kaitanya dengan sumpah Jabatan Notaris (Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e, dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris ) Notaris dapat meminta untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP atau dapat menolak memberikan keterangan sebagaimana diatur di dalam Pasal 120 ayat (2) KUHP;

h. Hak ingkar/tolak Notaris dapat dilepaskan demi kepentingan hukum atau kepentingan umum yang lebih tinggi nilainya dari kepentingan pribadi yang berkaitan dengan isi akta ataupun berdasarkan adanya peraturan umum yang memberikan pengecualian sebagaimana ditegskan dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf e dan Pasal 54 Undang-Undang Jabatan Notaris;

i. Notaris yang disangka melakukan tindakan pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, berhak mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 54 KUHAP atau didampingi oleh pengurus INI berdasarkan surat penugasan;

j. Pemeriksaan terhadap Notaris dilakukan tanpa adanya tekanan dan paksaan dari penyidik/petugas;

k. Dalam hal Notaris yang diperiksa sebagai tersangka dan tidak terbukti adanya unsur-unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan (SP3) dalam waktu secepat-cepatnya setelah pemeriksaan baik saksi, tersangka maupun alat bukti dinyatakn selesai;

Pasal 4 Nota kesepahaman antara Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa:

1. Tindakan Penyidik berupa penyitaan terhadap Akta Notaris dan/atau protokol yang ada dalam penyimpanan Notaris untuk membuktikan perkara pidananya dan/atau keterlibatan Notaris sebagai tersangka, maka Penyidik harus memperhatikan prosedur sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang- Undang Jabatan Notaris serta Petunjuk Mahkamah Agung RI No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986;

2. Tata cara yang ditempuh dalam penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

a. Penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas di tempat kedudukan Notaris yang bersangkutan berada;

b. Surat permohonan tersebut menjelaskan secara rinci relevansi dan urgensinya untuk membuka rahasia suatu minuta akta Notaris, demi kelancaran kepentingan proses penyidikan suatu perkara pidana;

c. Dalam mengajukan surat permmohonan kepada Majelis Pengawa, Notaris yang bersangkutan wajib diberi tembusan, dengan demikian Notaris dapat memberikan pertimbangan kepada Majelis Pengawas, baik diminta maupun tidak;

d. Apabila terhadap persetujuan Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris diberikan, maka penyidik diberikan foto kopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, setelah disahkan oleh Notaris yang bersangkutan sesuai dengan aslinya, dan dibuat Berita Acara Penyerahan. e. Dalam hal diperlukan pemeriksaan laboratorium terhadap minuta akta dan/atau

protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, maka atas ijin Majelis Pengawas Daerah Notaris maka Penyidik dapat membawa bundel minuta akta tersebut ke Laboratorium Forensik (Labfor) yang telah ditentukan.

Dalam hal pemanggilan notaris oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai saksi, penyidik Polri harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris. Penyidik akan menyurati terlebih dahulu Majelis Pengawas Notaris yang tembusannya diberikan kepada notaris bersangkutan. Dalam surat pemanggilan tersebut penyidik harus mencantumkan alasan pemanggilan notaris tersebut. Dalam tingkat penyidikan awal notaris yang dipanggil pada umumnya statusnya masih sebagai saksi. Pemanggilan terhadap notaris tersebut berkaitan dengan akta notaris yang dibuatnya.66

66

Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris (Pol) Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009

Pemanggilan notaris oleh penyidik Polri sebagai saksi dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik harus memerlukan ijin dari Majelis Pengawas Notaris namun apabila tindak kejahatan notaris tersebut tidak menyangkut jabatan maka kepolisian tidak perlu meminta ijin dari Majelis Pengawas Notaris.67

Sebagai penuntut umum kejaksaan tidak perlu lagi meminta ijin kepada Majelis Pengawas Notaris dalam hal pemanggilan seorang notaris yang telah melakukan tindak pidana. Kejaksaan hanya menerima pelimpahan kasus dari kepolisian. Apabila berkas-berkas telah dilengkapi oleh polisi sebagai penyidik barulah kemudian berkas tersebut diberikan kepada pihak kejaksaan (berkas P 21). Dalam hal ini notaris sebagai tersangka telah menjadi status tahanan kejaksaan. Namun apabila notaris tersebut hanya sebagai saksi yang akan dimintai keterangannya oleh kejaksaan maka pihak kejaksaan akan meminta ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Notaris.68

Notaris adalah juga seorang pejabat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat umum sebagai saksi tidak sama dengan pemanggilan terhadap masyarakat umum. Pemanggilan terhadap seorang pejabat memerlukan ijin ataupun harus sepengetahuan atasan ataupun lembaga. Demikian juga pemanggilan terhadap notaris sebagai seorang pejabat umum harus ada ijin dari Majelis Pengawas Notaris. Hal ini

67

Hasil wawancara dengan Kepala Satuan Tindak Pidana Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Komisaris (Pol) Edison Sitepu, SH, M.Hum pada tanggal 24 Maret 2009

68

Hasil wawancara dengan Yos Gernold Tarigan,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 27 Februari 2009

sesuai dengan yang diamanatkan di dalam Pasal 66 Undang-Undang Jabatan Notaris nomor 30 Tahun 2004.69

69

Hasil wawancara dengan Erlinawati,SH Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Medan, pada tanggal 27 Februari 2009

Dokumen terkait