• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi

1. Pemberian susu formula (promosi susu formula) yang

Pada saat ibu melahirkan atau pada saat persalinan, tempat pelayanan kesehatan adalah salah satu penentu ibu dalam memberikan ASI kepada bayinya. Hal ini disebabkan karena tempat pelayanan kesehatan adalah sebuah awal dimana kontak fisik antara ibu dan bayi terjadi agar ibu dapat menyusui bayinya dengan baik dan benar. Untuk menunjang keberhasilan laktasi, bayi hendaknya disusui segera atau sedini mungkin setelah lahir. Namun tidak semua persalinan berjalan normal dan tidak semua dapat dilaksanakan menyusui dini

Perlakuan rawat gabung pada bayi juga merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh Rumah Sakit atau Rumah Bersalin agar ibu dan melihat perkembangan bayi selama dirawat di RS, namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis ditemukan bahwa masih banyak rumah sakit

yang tidak melakukan rawat gabung pada ibu dan bayi meskipun ibu melahirkan normal dan pada saat terpisah ruangan dengan bayi, pihak Rumah Sakit memberikan susu formula kepada bayi.

Perlakuan rawat gabung pada bayi yang baru lahir adalah salah satu cara untuk memudahkan pemberian ASI, dimana setelah kelahiran, bayi tidak ditempatkan dalam ruang tersendiri, melainkan disatukan dengan ibunya. Dengan demikian, orang tua akan lebih mudah dalam mengontrol kebutuhan bayi akan ASI. Dari wawancara yang dilakukan, sebagian besar rumah sakit maupun Rumah Bersalin sudah memberikan fasilitas rawat gabung (rooming in) pada bayi yang baru lahir, walau masih ada juga yang belum memberikan fasilitas tersebut. Di tempat pelayanan kesehatan dimana mereka melahirkanpun juga masih ada yang memberikan susu formula untuk diminumkan pada bayi namun itu hanya sebagian kecil saja. Hampir semua responden mengaku saat di Rumah Sakit atau Rumah Bersalin mereka ditempatkan 1 ruangan dengan bayi dan bayi mereka tidak diberi susu formula. Hanya ibu Murtiningsih yang mengaku tidak ditempatkan 1 ruangan dengan bayinya saat di Rumah Sakit. Ibu Murtiningsih mengatakan demikian “ Setelah melahirkan itu saya dipisah dengan bayi, ditaruh di ruang sendiri-sendiri dan dikasih susu formula bendera dari RS padal anak saya lahirnya normal, ya mau gimana lagi mbak, kalau ASIne tidak keluar kan bayi itu harus diberi susu formula jadi saya ya setuju-setuju saja. Awalnya saya coba kasih ASI tapi terus saya kasih susu formula itu terus karena ASI saya tidak keluar“ (Sumber : Wawancara 1 Mei 2011)

Sedangkan Ibu Dwi Prihatin yang melahirkan anaknya yang prematur

“Untuk malam pertama terpisah karena kan disinar mbak, baru malam berikutnya nembe kaleh kulo. Nggih diparingi susu formula SGM tapi sing BBLR, dados untuk berat bayi lahir rendah, niku kulo paringi sampai 6 bulan terus sak niki gantos Lactogen. Dari Rumah Bersalin niku kulo angsal susu formula SGM BBLR 1 box kecil. Pas wonten ndalem nggih kulo parengke bayi kulo mbak ngantos telas, bar niku kulo tumbas piyambak”

(Untuk malam pertama terpisah karena kan disinar mbak, baru malam berikutnya satu ruangan sama saya. Sewaktu dipisahkan itu bayi saya diberi susu formula SGM tapi yang BBLR , jadi untuk berat bayi lahir rendah, itu saya kasih sampai 6 bulan terus sekarang saya ganti Lactogen. Dari Rumah Bersalin itu saya mendapatkan susu formula SGM BBLR 1 box kecil. Sewaktu sudah di rumah ya saya berikan pada bayi saya sampai habis, setelah itu saya beli sendiri) (Sumber : Wawancara 1 Mei 2011)

Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa sebagian besar tempat pelayanan kesehatan sudah memberikan fasilitas rawat gabung (rooming in) terhadap ibu dan bayi, meskipun masih ada tempat pelayanan kesehatan yang tidak memberikan fasilitas ini, seperti yang dialami oleh Ibu Murtiningsih, setelah melahirkan ia dipisah dengan bayinya dan selama dipisah bayinya diberi susu formula dari RS dengan alasan karena ASI dari Ibu Murtiningsih pada saat itu tidak keluar. Lain lagi dengan Ibu Murtiningsih, Ibu Dwi Prihatin pada awal kelahiran juga dipisah dengan bayinya namun itu bukan karena tempat pelayanan kesehatan dimana ia melahirkan tidak memberikan fasilitas rawat gabung melainkan karena kondisi bayi dari Ibu Dwi Prihatin yang tidak normal (prematur) sehingga perlu disinar atau dimasukkan inkubator dan dipisahkan dengan ibunya selama 1 hari dan hari berikutnya saat kondisi bayi sudah cukup kuat baru ditempatkan satu ruangan dengan ibunya. Selama dipisahkan dengan ibu Dwi Prihatin, bayinya diberikan susu khusus untuk berat bayi lahir rendah dari RS dikarenakan lahirnya yang prematur. commit to user

Apa yang telah dialami oleh Ibu Murtiningsih ternyata juga dibenarkan oleh pernyataan dari Ibu Yustina Rumondor, kepala bangsal perawatan ibu dan anak RS Dr. Oen Surakarta.

Berikut pernyataan dari Ibu Yustina :

“Sejak saya menempati bagian bangsal perawatan ibu dan anak, disini juga sudah diberlakukan kebijakan untuk tidak menempatkan ibu dan bayi dalam satu ruangan dikarenakan bayi setelah lahir rentan terinfeksi virus dan bayi membutuhkan ruangan khusus yang steril agar terjaga kesehatannya, maka dari itu bayi hanya diberikan pada ibunya saat jam-jam tertentu saja dan saat di ruang steril bayi akan diberi susu formula oleh perawat yang ada disana. Kebijakan ini sudah daridulu dan saya sendiri tidak tahu bagaimana awal mulanya. Saya disini hanya sebagai pengawas dan memberikan perintah saja.” (Sumber : wawancara 17 November 2011)

Dari pernyataan Ibu Yustina diatas dapat dilihat bahwa di RS Dr.Oen memang telah mempunyai kebijakan untuk tidak menempatkan ibu dan bayi dalam 1 ruangan sekalipun kelahirannya normal, dengan alasan kesterilan ruangan dan kesehatan bayi, dan beliau mengikuti apa yang menjadi kebijakan di Rumah Sakit.

Namun tidak semua Rumah Sakit mempunyai kebijakan seperti yang telah diungkapkan oleh Ibu Yustina diatas, di RSUD Moewardi, ibu dan bayi ditempatkan dalam satu ruangan dan tidak diberi susu formula apapun. Hal ini disampaikan oleh Ibu Nur selaku staff kesehatan di RSUD Moewardi. Beliau mengungkapkan :

“Biasanya kalau kelahiran normal itu setelah ibu melahirkan, bayi dibersihkan lalu ditempatkan dalam satu ruangan agar ibu dapat belajar untuk menyusui secara ekslusif dan kami juga tidak memberikan susu formula pada bayi, kecuali dalam operasi caesar atau bayi prematur maka kami harus memberikan susu formula disebabkan karena kondisi ibu dan bayi yang tidak memungkinkan” (Sumber: wawancara 22 November 2011)

Walaupun telah ada peraturan tentang pemasaran pengganti ASI untuk bayi dibawah 1 tahun berdasarkan Kepmenkes 237 ini, namun dikarenakan tidak efektifnya pengawasan atas pelaksanaan peraturan ini serta sanksi yang tidak maksimal, pelanggaran atas peraturan ini pun terjadi di mana-mana, termasuk di Kota Surakarta. Banyak sekali kita jumpai rumah sakit-rumah sakit yang menjadi sarana promosi susu formula, sampel gratis dibagikan dimana-mana dan pelanggaran-pelanggaran lainnya. Hal berikut ini juga dialami oleh beberapa responden, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Murtiningsih berikut ini :

“Dulu saya dikasih susu bendera kotak kecil dari RS karena waktu habis melahirkan itu ASI saya tidak keluar dan memang dari RS bayi saya langsung dikasih susu bendera itu” (Sumber : Wawancara 1 Mei 2011)

Dari apa yang telah diungkapkan oleh Ibu Murtiningsih diatas menunjukkan bahwa masih adanya Rumah Sakit yang tidak mengikuti kebijakan yang telah diatur oleh pemerintah. Apa yang dialami oleh Ibu Murtiningsih ternyata juga dialami oleh responden lain, yaitu Ibu Yuli yang mengaku ditawari untuk membeli produk susu formula Lactogen oleh perawat di Rumah Sakit dimana ia melahirkan sampai akhirnya mertuanya memutuskan untuk membeli produk tersebut. Namun Ibu Yuli berbeda dengan Ibu Murtiningsih yang terus memberikan susu formula dari RS kepada bayinya, meski mertuanya membeli produk susu formula tersebut, Ibu Yuli tetap memilih untuk menyusui bayinya secara eksklusif dan tidak memberikan susu formula yang telah dibeli oleh mertuanya.

Meskipun aturan pemasaran produk pengganti ASI terdapat dalam kode etik internasional yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dalam SK Menteri Kesehatan, namun tetap saja para produsen susu bayi melakukan promosi secara gencar, bahkan sampai menyediakan susu formula itu di rumah sakit ataupun klinik-klinik Bersalin.

Dalam pelaksanaannya, promosi susu formula yang dilakukan oleh produsen ternyata tidak hanya berlangsung di Rumah Sakit atau Rumah Bersalin melainkan juga terjadi di Posyandu yang ada di masyarakat dengan persetujuan dari Puskesmas setempat. Hal inilah yang diungkapkan oleh Kader Posyandu daerah Losari, Ibu Sugeng, yang menyatakan sebagai berikut: “Riyin niku enten promosi mbak wonten Posyandu, pun sekitar 3 kali, niku sing promosi saking sales, merk susune SGM, carane niku nggih diparingi sithik-sithik ngoten,biasane dikasih wonten adah gudir (agar-agar) cilik ngoten niku terus dimimikke anak’e, terus nek ibu’e ajeng mundut nggih mundut wonten mriku, Puskesmase nggih ngertos, kan niku ijin lapor riyin kaleh Puskesmas”

(Dulu itu ada promosi mbak di Posyandu, sudah sekitar 3 kali, itu yang promosi dari sales, merk susunya SGM, caranya itu dikasih sampel sedikit-sedikit, biasanya ditaruh di tempat agar-agar(jelly kecil terus diminumkan ke anaknya, terus kalau ibunya mau beli ya tinggal beli disitu, Puskesmasnya ya tahu, kan itu ijin lapor dulu ke Puskesmas) (Sumber : Wawancara 6 Juni 2011)

Dari apa yang diungkapkan oleh Ibu Sugeng diatas dapat dilihat bahwa di Posyandu daerah Losari telah sering menjadi sasaran promosi yang dilakukan oleh sales sebuah produk susu formula dan hal tersebut ternyata diketahui oleh Puskesmas dan Puskesmas setempat (dalam hal ini yaitu Puskesmas Sangkrah) memberikan ijin kepada sales tersebut untuk mengadakan promosi di Posyandu, namun ijin yang diberikan oleh Puskesmas sebenarnya hanya

untuk produk susu formula bagi bayi berusia diatas 6 bulan tapi dalam prakteknya pihak produsen susu formula melalui sales masih saja memberikan susu tersebut untuk bayi berusia di bawah 6 bulan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kader Posyandu daerah Losari yang lain, yaitu Ibu Yuni yang mengungkapkan bahwa di Posyandu Matahari II tempatnya menjadi kader juga pernah ada promosi dari produk susu formula yang sama dengan Ibu Sugeng dan cara yang dilakukan oleh sales juga sama, namun hal itu hanya terjadi satu kali dan sekarang sudah tidak pernah ada promosi lagi.

Hanya ASI yang paling ideal untuk bayi, maka perubahan yang dilakukan pada komponen gizi susu sapi harus mendekati susunan zat gizi ASI. Meskipun para ahli teknologi telah berusaha untuk memperbaiki susunan zat gizi susu sapi agar komposisinya mendekati susunan zat gizi ASI, sampai saat ini usaha tersebut belum menunjukkan hasil yang baik. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah adanya pembagian susu formula yang dilakukan oleh petugas kesehatan/ non kesehatan di tempat ibu melahirkan atau Posyandu yang dibeli oleh responden sehingga akan mempengaruhi pemberian ASI eksklusif pada bayi.

Promosi atau pemberian susu formula pada bayi ternyata juga tidak hanya dilakukan di Rumah Sakit tapi juga dilakukan di Posyandu, dari penelitian yang penulis lakukan dan dari informasi yang didapat dari Kader Posyandu, di Daerah Losari, Kelurahan Semanggi ini pernah mendapatkan promosi susu formula dari produsen susu yang datang ke Posyandu di daerah ini.

Peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan distribusi susu formula menyebabkan turunnya angka menyusui bayi baik di daerah pedesaan/perkotaan. Distribusi dan promosi susu formula berlangsung terus dan bahkan meningkat tidak hanya di televisi dan media massa melainkan juga di tempat pelayanan kesehatan masyarakat di Indonesia, seperti di Rumah Sakit, Rumah Bersalin maupun di Posyandu.

2. Rumah Sakit dan tenaga kesehatan menyarankan agar ibu yang ASI

Dokumen terkait