• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBICARA: MERVIN SADIPUN KOMBER (PAPUA BARAT) Terimakasih Pimpinan

Saya mungkin mau mennyampaikan beberapa hal. Setelah membaca laporan dari Komite I, saya memberikan apresiasi karena mulai melihat realitas yang ada di tanah Papua. Bagi saya begini Pimpinan, di Papua ini akan penyakit kronis, bukan lagi penyakit-penyakit biasa karena penyakit kronis penanganannya juga harus luar biasa, harus ada operasi besar itu operasi caesar untuk menyelesaikan semua akar-akar itu.

Sejak dulu kita ketahui bersama banyak orang mengatakan kan sudah ada otsus, otsus sudah memberikan sekian, sekian, sekian, dan sekian tetapi kan otsus itu muncul akibat ketetapan MPR yang memerintahkan harus ada perlakuan khusus terhadap Papua pasca lepasnya Timtim dan itu muncul dari desakan politik tim 100 yang menghadap presiden, meminta untuk “keluar” sehingga bagi saya kalau kemudian kita merevisi undang-undang otsus ini tetapi dalam Undang-undang Otsus memberikan ruang harus ada evaluasi. Evaluasi selama ini kan parsial, kementerian-kementerian membuat evaluasi sendiri-sendiri sesuai dengan standarnya masing-masing.

Saran saya begini Pimpinan, kalau memang ini sudah dilihat oleh Komite I, periode lalu kita sempat buat Pansus Papua. Pansus Papua itu kan ada beberapa hasil-hasil kajiannya yang cukup relevan untuk saat ini tetapi kalau kemudian kita mendorong lagi dibuat suatu

undang baru yang dikhawatirkan oleh masyarakat di Papua adalah apakah undang-undang ini akan pro terhadap kondisi di Papua saat ini ataukah tidak.

Saran saya begini Pimpinan, dengan kondisi internasionalisasi masalah Papua yang heboh saat ini, ada MSG, ada Pasific Island Forum, lalu kemudian ada momentum-momentum nasional/internasional lainnya yang dimainkan oleh negara-negara yang pro terhadap kemerdekaan Papua, saran saya itu mungkin DPD bisa mencetuskan ide diadakan dialog nasional. Karena banyak masyarakat tokoh-tokoh dan kemudian baik dari tokoh agama, tokoh adat menginginkan adanya itu. Jadi dialog ini semacam sebuah operasi caesar itu untuk kita buka sama-sama apa masalahnya. Masalah HAM kita selesaikan, ada yang terlibat mari diselesaikan, kita bentuk karena dalam Undang-undang Otsus diberikan ruang untuk ada pengadilan Ad Hoc, ada komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Pasal 50 Undang-Undang Otsus. Sehingga menurut saya kalau dialog yang terbuka itu bisa kita buat dengan melibatkan semua pihak, kita panggil dan kita tunjukkan kepada negara-negara yang selama ini bahwa masyarakat Papua bersama Republik Indonesia kita bisa menyelesaikan permasalahan ini.

Hasil dari itu bisa menjadi peta jalan, blue print bagi masa depan tanah Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, mungkin itu yang bisa kita tawarkan, karena kalau kita ketika dia sakit kita beri obat generik, sakit beri obat generik, tiba saat, tiba akal selamanya tidak akan bisa menyelesaikan dan kita khawatirkan kedepan, kalau gema ini semakin naik, semakin naik, gema HAM ini semakin menguat ini akan menyebabkan kondisi tidak mengenakkan. Sama seperti kita kehilangan Timor Leste dulu.

Saran saya begitu Pimpinan. Mungkin ada baiknya ada tim kecil, tim khusus yang mengkaji ini secara dalam lalu kemudian langkah-langkah DPD seperti apa yang bisa kita tawarkan kepada presiden untuk penyelesaian ini. Saran saya begitu Pimpinan, terima kasih. PIMPINAN SIDANG: H. MOHAMMAD SALEH, S.E. (KETUA DPD RI)

Pak Djasarmen, silakan.

PEMBICARA: DJASARMEN PURBA, S.H. (KEP. RIAU) Terima kasih Pimpinan.

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Om Swastiastu.

Saya mengapresiasi apa yang telah disampaikan oleh Komite I tetapi kita harapkan keputusan kita nanti jangan hanya hitam di atas putih. Saya mengatakan kepada butir ketujuh Komite I menyangkut tentang 4 putusan anggota DPD menjadi 5, ini adalah hak konsitusi kita. Jadi jangan hanya sebatas katakanlah hanya hitam di atas putih tapi tidak kita perjuangkan untuk yang akan datang. Harapan kami dengan ini karena tidak melanggar konstitusi masih utuh dia sepertiga daripada 560 orang, itu yang pertama. Yang kedua, pertimbangannya adalah utusan MPR dulu, itu Utusan Golongan dulu juga ada 5 orang. Nah, harapan kami bagaimana caranya Pimpinan, ini bisa nanti langsung untuk 5 yang mewakili daerah itu sendiri. Ini harapan kami yang paling penting, Pimpinan, terima kasih Pimpinan. PEMBICARA: Drs. H. ANDI SURYA (LAMPUNG)

Pimpinan, satu lagi Pimpinan, B31, Pak.

Terima kasih kepada Ketua Komite I yang tadi sudah merespon, bagus sekali karena memang ada harapan-harapan agar DOB itu tetap harus berjalan yang kedua respon terhadap

ormas. Kemudian barangkali ada satu lagi yang perlu saya sampaikan, ini juga terkait dengan Komite I, ini sikap dari pemerintah kita untuk menolak bergabung dengan koalisi militer negara-negara Islam ya ada 34 tetapi ketika dimintakan tidak ikut dalam koalisi tersebut dengan alasan bahwa ideologi luar negeri kita adalah bebas dan aktif. Barangkali ini menjadi perhatian kita karena memang isu terorisme ini sangat kuat ya, baik di negara kita maupun di negara-negara lain. Maka oleh karenanya, ketidakinginan kita untuk bisa bergabung dengan negara-negara Islam dalam koalisi militer ini, Malaysia saja ikut, Pak, ya beberapa negara Asia ikut, nah, kita harus pertanyakan kenapa ini bisa terjadi. Padahal koalisi ini adalah koalisi yang memang bersifat untuk bisa meredam peristiwa-peristiwa terorisme yang terjadi saat ini ataupun ada negara-negara yang melakukan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap muslim, contoh seperti di Myanmar, Rohingya yang itu kita juga harus bersikap di situ.

Yang kedua juga bagaimana sikap kita memandang persoalan yang terjadi di Suria, terkait dengan konflik yang ada di Kota Alepo.

Barangkali demikian masukan kami Pak, terima kasih. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

PIMPINAN SIDANG: H. MOHAMMAD SALEH, S.E. (KETUA DPD RI) Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih Pak Andi, Pak Farouk silakan.

PEMBICARA: Prof. Dr. FAROUK MUHAMMAD (WAKIL KETUA DPD RI) Baik, terima kasih.

Pertama, terkait DOB, betul kita usulan DOB ini merupakan prioritas, tetapi tidak ada instrumen sebelum dua PP itu keluar. Karena itu, kemarin selain disampaikan secara umum oleh pimpinan, ditambahkan lagi oleh Pimpinan Komite I, desak dulu dua PP ini. Presiden merespon betul soal anggaran, tetapi kita tidak usah dulu persoalkan itu, yang penting keluar dulu PP itu, saya rasa yang menjadi prioritas pertama. Betul Pak Ketua Komite I ya kemarin? Kemudian kedua, terkait ormas. Nah, menyikapi memang beberapa masukan, saya amati, saya langsung mengadakan koordinasi dengan Badan Intelejen Kepolisian dari Polri, saya minta klarifikasi soal beredarnya isu tentang ormas ini. Hasil penelitian dari Polri, semua ini sudah oke, sudah sesuai dengan aturan yang ada, persoalannya bersumber pada peraturan. Nah, itu saya rasa, kami persilakan, mungkin ini Komite III yang punya gawe, yang punya porsi ini untuk mengangkat isu ini untuk diminta, minimal minta klarifikasi dari pemerintah atau apapun itu. Kalau memang demikian ini, baru kita pikirkan pansus.

Kemudian yang berikut, yang dulu saya masih ingat, waktu reses kita banyak sekali menampung permasalahan tentang tenaga kerja asing. Nah, pada saat itu saya sudah menyampaikan karena kondisi 2016 tidak memungkinkan insya Allah di 2017 masuk ke Masa Sidang III, kita agendakan untuk membentuk pansus untuk mengawasi dua, baik tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia, maupun tenaga kerja Indonesia yang banyak permasalahan di luar negeri yang melalui jalur-jalur legal tapi masih menimbulkan masalah. Terserah kepada Komite III, kita tunggu saja usulannya agar kalau bisa pada Panmus pertama sudah bisa diagendakan nanti pada paripurna mengagendakan kita membentuk paripurna itu memutuskan mengesahkan pembentukan pansus tentang tenaga kerja asing. Itu yang utama, saya rasa dulu kita pernah itu karena ini banyak melibatkan soal TK.

Kemudian soal Papua, memang kemarin yang disampaikan kepada presiden itu menyangkut isu terutama otsus. Baik itu tentang evaluasi otsus maupun dan revisi Undang-Undang Nomor 21 tentang Otsus Papua. Nah itu, tapi presiden kita tahu persis, presiden itu sebelumnya saya pernah ikut bersama berbicara bertiga, setelah waktu-waktu reses dulu

mendapat laporan dari Papua, saya langsung mengangkat isu bicara dengan presiden secara beliau didampingi oleh staf khusus yang orang Papua menjelaskan tentang segala masalah yang dilakukan oleh pemerintah di Papua. Nah, karena kemarin kita menyampaikan revisi otsus belum direspon oleh presiden, tapi belum merespon tentang betapa harga BBM sudah 645 di Papua, sama dengan daerah lain, sedang-sedang diarahkan tentang semen. Kita memang belum mengangkat masalah HAM. Saya pikir masalah HAM, tolong kami kembalikan di Komite I, tolong Komite I itu membahas itu kalau memang perlu ini kita angkat lagi soal HAM. Saya pikir itu bisa kita responsi.

Kemudian sekali lagi, kemudian yang terakhir soal koalisi negara-negara Islam, itu memang satu, ini porsinya porsi sudah hubungan kepada luar negeri merupakan kebijaksanaan, tapi bukan berarti kita tidak bisa mengikuti perkembangan tentang ini, tapi dari pengamatan kita yang bergerak diinformasi yang bergerak di medsos ini, bahwa isu itu, program itu 2015 dulu. Nah, kita masih perlu nanti klarifikasi, kalau memang itu masih hangat sekarang bukan tidak mungkin kita menanyakan kepada pemerintah, minta klarifikasi soal ini.

Biarlah semua hal yang berkembang ini, Pimpinan dan forum yang saya hormati, kita masukan paham-paham, hal-hal yang perlu menjadi perhatian pada memasuki Masa Sidang ke-III 2017 nanti. Terima kasih.

Ada tambahan sedikit Pak Komite I, sudah ada, oh ya sudah, masuk, saya kira anda mau diputuskan, terima kasih. Silakan Pak.

PIMPINAN SIDANG: H. MOHAMMAD SALEH, S.E. (KETUA DPD RI)

Baik, sidang yang saya hormati, setelah kita bersama-sama mendengarkan laporan Pimpinan Komite I, apakah kita dapat menyetujui hasil kerja Komite I yang pertama tentang Pandangan DPD RI terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Setuju?

KETOK 2X

Yang kedua, anggota tim kerja DPD RI dalam pembahasan RUU tentang penyelenggaraan pemilihan umum apakah dapat disetujui? Ini saya sampaikan ya nama-namanya:

1. Bapak Drs. Haji Ahmad Muqowam. 2. Benny Ramdani.

3. Fachrul Razi.

4. Bapak Ahmad Kennedy. 5. Bapak Hendri Zainuddin. 6. Ibu Ir.Hj.Eni Sumarni. 7. Bapak Gede Pasek Swadika. 8. Bapak Syafrudin Antasoge. 9. Bapak Drs.Bahar Ngitung.

10. Bapak Letjen.TNI. Purn. DR. Nono Sampono, M.Si. Bisa disetujui?

Yang ketiga, apakah kita dapat menyetujui pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya mengenai pengelolaan desa dan pendamping desa. Setuju?

KETOK 2X

Yang keempat, pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang pemerintahan daerah khususnya mengenai urusan pemerintahan penataan daerah, perangkat daerah dan produk hukum daerah, apakah ini dapat disetujui?

KETOK 2X

Selanjutnya, kami persilakan dari Komite II untuk menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan tugasnya.

PEMBICARA: PARLINDUNGAN PURBA, S.H., M.M. (KETUA KOMITE II DPD RI)

Baik, terima kasih.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera bagi kita.

Om swasti astu. Namo Buddhaya. Horas.

Nuwun sewu.

Ijinkan pada kesempatan ini kami atas nama pimpinan Komite II dan para anggota menyampaikan beberapa perkembangan pelaksana tugas.

Yang terhormat Bapak Ketua, Bu Wakil Ketua dan Ibu Bapak Wakil Ketua DPD. Yang saya hormati Sekretariat Jenderal, bapak-bapak ibu-ibu anggota DPD RI yang hadir beserta hadirin sekalian.

Kami melaporkan beberapa hal terkait tentang pelaksanaan tugas Komite II kepada Sidang Paripurna ke-5 hari ini mengenai pertama, penyusunan RUU usul inisiatif DPD RI, kedua, penyusunan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang, dan lain-lain.

Yang pertama penyusunan RUU inisiatif DPD RI, selama tahun 2016 ini Komite II DPD RI telah selesai membahas, dan menyusun 2 RUU inisiatif yaitu RUU tentang Perlindungan Varietas Tanaman, dan RUU atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berikut kami sampaikan laporan singkat penyusunan hal tersebut. Yang pertama tentang penyusunan atas perlindungan varietas tanaman, dalam rangka menjamin kedaualatan Bangsa melalui penyediaan pangan dan bahan lain yang dihasilkan tanaman serta meningkatkan daya saing bangsa maka penyediaan varietas tanaman baru merupakan hal yang penting. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 yang ada tentang perlindungan varietas selama ini sudah 16 tahun belum mampu mensejajarkan Bangsa Indonesia dalam menghasilkan varietas tanaman yang berdaya saing. Pada periode 2016 telah terbit berbagai perundangan baru yang terkait dengan sumber daya generetik, sesuai dengan Nagoya protokol dan pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah dengan demikian relevansi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 sudah berkurang sehingga perubahan perlu dilakuan agar tujuan penyediaan baru yang lebih baik dan bisa dicapai. Sumber daya ini kami menerapkan bahwa perlindungan dan pemantapan varietas lokal sebagai bagian sumber daya genetik perlu diatur baik dengan Undang-Undang perlindungan agar kedaulatan negara terjaga dan memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya

bagi seluruh masyarakat Indonesia khususnya para petani. Postur Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 lebih menitikberatkan pada prosedur, baku, proses permohonan, dan pemberian hak PVT sehingga menyulitkan dalam pelaksanaannya ketika lingkungan strategisnya sudah berubah. Indonesia pada saat ini belum menjadi anggota UPOV. UPOV itu adalah International Union for the Protection of New Varieties of Plants yang merupakan wadah kerja sama antar negara dalam pelaksanaan pemberian hak PVT akan tetapi untuk disejajarkan dengan peraturan internasional maka terminologi umum yang ada pada perundangan ini juga harus disesuaikan. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang PVT sudah berlaku, dilakukan perlu ada penggantian dengan materi terkait:

1. Isi pengaturan lebih substansial.

2. Memberikan ruang perlindungan terhadap varietas lokal.

3. Mewajibkan pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah untuk bertanggung jawab terhadap pengembangan varietas sehingga sikap proses perlindungannya.

4. Mewajibkan pemerintah melakukan pengendalian dan pengawasan dalam hal penggunaan hak PVT oleh pemilihnya terkait kepentingan bangsa yang mendesak terkait dengan kelautan, kemandirian, ketahanan, dan stabilnya harga pangan, maka penggantian Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 harus masuk Prolegnas Tahun 2017 agar Undang-Undang ini dapat sesuai kami memohon kiranya ini dapat menjadi masukan kepada Paripurna pada saatnya nanti.

Yang kedua, penyusunan RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kajian ini ditujukan untuk bukan untuk mengganti tetapi mengusulkan perubahan dalam rangka penguatan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang melalui:

1. Penambahan pasal, ayat dan strip atau penjelasan yang diperlukan untuk memperkuat dan memperjelas materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

2. Penghilangan atau pengurangan pasal atau ayat penjelasan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang terlalu detail dan bersifat teknis dan strip atau telah diatur dalam peraturan perundangan yang lain, perlu sinkronisasi.

3. Penjelasan pasal, ayat yang kurang jelas atau memiliki makna ganda ambigu ini konsisten dengan pasal, ayat yang lain.

Ruang lingkup materi perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 diusulkan dalam naskah akademik, ini meliputi:

1. Ketentuan umum. Dalam ketentuan umum ditambahkan pengertian dari asas yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.

2. Materi yang akan diatur dalam perubahan, pengurangan, penghilangan ayat, penjelasan yang dianggap kurang selesai.

Inilah dua yang kami usulkan dalam Undang-Undang Inisiatif.

Yang kedua, kami laporkan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang, kami mengawasi ada 4 pengawasan Undang-Undang, yang pertama tentang penanggulangan bencana. Kami melihat bahwa pertama, DPD RI mendorong pemerintah untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam hal menghadapi bencana. Kita memahami bahwa pemerintah perlu mengeluarkan kerangka pada saat tanggap darurat (National Response Frame Work) dan kerangka rehabiltasi nasional (National Recovery Frame Work) sebagai panduan bagi seluruh pemerintah daerah dalam melakukan penanggulan bencana. Kita juga prihatin dan mendoakan semoga kiranya tidak terjadi lagi bencana di Indonesia khususnya yang baru terjadi kita prihatin di Pidie Aceh, dan beberapa daerah lainnya. Kami melihat bahwa ini

sangat penting Undang-Undang ini kita memberikan pengawasan. Kedua, DPD RI menodorong pemerintah untuk memberikan kualitas informasi, dan tata terkait penanggulangan bencana. Hal ini tersebut dengan menyusun dan menduplikasi peta multifisiko pada 1:50.000 dan 1:25.000 untuk digunakan oleh pemerintah daerah dalam menyusun program penanggulangan bencana. Ketiga, DPD RI mendesak pemerintah untuk menetapkan aturan yang mewajibkan akan adanya dana penanggulangan bencana di setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten di seluruh Indonesia. Memang sudah ada ketentuan dana yang siap pakai oleh BNPB Pusat tetapi perlu juga dibantu dengan dana yang tersedia di kabupaten kota. Selanjutnya DPD RI mendorong pemerintah meningkatkan pengawasan dan pendampingan terhadap penggunaan dana penanggulangan bencana terutama pada saat tanggap darurat. Selanjutnya DPD RI mendesak untuk memastikan seluruh BNBP di daerah memiliki payung hukum agar memikirkan anggran sebagaimana yang kami sebut tadi dan yang penting juga DPD RI meminta dan mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan peraturan pemerintah tentang penetapan status dan tingkatan bencana. Bapak, ibu ini sangat serius karena banyak diskusi tentang klasifikasi bencana nasional, bencana provisi dan bencana daerah kita sedang menunggu peraturan pemerintahnya dan kita sudah menyampaikannya kepada pemerintah. DPD RI mendorong pemerintah untuk menjadikan upaya penanggulangan bencana sebagai suatu budaya di masyarakat banyak kasus misalnya di Sinabung yang sudah 6 tahun masih ada 9000 orang yang masih di penampungan kita mengupayakan agar ini bisa Perpresnya keluar.

Yang kedua, Undang-Undang Pengawasan atau Undang-Undang Nomor 38 tentang Jalan. Untuk memenuhi standart ini perlu ada standart norma kriteria dan peningkatan mutu jalan. DPD mendesak pemerintah dan pemerintah daerah untuk menerapkan standarisasi nasional meliputi penerapan mutu, sertifikasi keahlian bagi penyelenggara jalan serta pengawas jalan dari masyarakat sekitar lokal. Ini yang menggembirakan bahwa mulai tahun depan akan ada mantri jalan yang akan mengawasi kerusakan jalan di suatu tempat dengan masyarakat lokal. Yang kedua, dalam hal pemerintah daerah tidak mampu membiayai penyelenggaraan jalan yang bersumber dari APBD, DPD RI merekomendasikan pembiayaan jalan yang bersumber dari kerjasama pemerintah daerah dan swasta, dengan BUMN dengan pertemuan kepada Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur. Pada kesempatan ini Bapak Ketua, Bapak Wakil Ketua dan Ibu Wakil Ketua kami juga menyarankan kiranya pada Paripurna yang akan datang kita bisa menandatangani MoU antara ini Pimpinan DPD dengan PT. Sarana Multi Infrastruktur dalam hal percepatan pembangunan infrastruktur di daerah. Kami sudah rapat, nanti konsep kami sampaikan kepada Bapak Ketua.

DPD RI mendesak pemerintah dan pemerintah daerah untuk menetapkan ketentuan dan kewajiban pengumpulan bahan baku yang tersedia di dalam negeri seperti aspal buton karet dan sumber daya alamnya dalam pembangunan siklus dalam pembangunan seluruh klasifikasi adalah status jalan. Jadi perkembangan dari Kementerian PU bahwa karet sudah bisa dimanfaatkan sehingga dapat menaikkan harga karet dan dari daerah yang pada saat ini harganya sangat turun dan juga pemanfaatan aspal Buton. Dalam hal pengadaan tanah untuk memenuhi struktur jalan DPD RI mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik pertanahan yang melibatkan masyarakat melalui penyelesaian dan pemberian ganti rugi walaupun sudah ada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum perlu sosialisasi yang lebih pasal lagi dalam masyarakat. Ketiga, yang kami awasai adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman. Beberapa kesimpulan DPD RI mendorong pemerintah untuk melakukan harmonisasi regulasi perumahan. Hal ini terkait dengan adanya Undang Undang Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pemerintah Daerah agar kewenangan membangun rumah bagi MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) juga menjadi kewenangan

pemerintah daerah selama ini diambil oleh Kementrian Pusat, Kementerian PUPR terutama kabupaten/kota. Harmonisasi regulasi perlu agar tujuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman dapat tercapai yakni terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan rumah dan rumah layak huni dimana pemerintah daerah dapat berperan optimal untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR. Kami juga, DPD RI juga mendukung agar pemerintah merevisi PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulan Bencana untuk mengatur itu pendirian rumah bagi korban bencana.

Selanjutnya DPD RI dari mendorong pemerintah untuk melakukan maksimalisasi konsep hunian berimbang yaitu peraturan pemerintah untuk pengganti Peraturan Menteri Perumhan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013. PP ini harus jelas mengatur kewajiban yang hunian berimbang serta sanksi yang tegas bagi para pengembang yang tidak melaksanakan hunian berimbang. PP tersebut juga harus memberikan kewenangan yang kuat bagi pemerintah daerah terutama kabupaten/kota dalam mengatur hunian berimbang serta kewenangan pemerintah dalam memberikan sanksi kepada pihak yang terkait. Selanjutnya DPD RI mendorong pemerintah meningkatkan alokasi anggaran perumahan, menyediakan skema pembiayaan perumahan yang lebih fleksibel dan memudahkan akses masyarakat terhadap

Dokumen terkait