• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Elemen Identitas Nilai

B.4. Pembinaan Basis Massa

Menurut fungsionaris DPD PDIP Jateng Bona Ventura dan Nuniek Sriyuningsih, terhadap seluruh anggota dan simpatisan PDIP, tanggung jawab pemeliharaan basis anggota PDIP diserahkan ke masing-masing tingkatan organisasi. Artinya, seluruh pengurus di tingkat ranting, anak cabang serta cabang mendapat tugas untuk memelihara kadernya. Selain menyerahkan ke organisasi, setiap caleg terpilih yang berasal dari PDIP juga ditugasi untuk mengampu seluruh kader dan konstituennya sesuai dengan daerah pemilihannya masing-masing. Di mana setiap kader yang menjadi anggota legislatif membawahi dua kecamatan yang menjadi wilayah binaan. Dengan adanya pembagian ini, maka jika terjadi kekalahan dalam Pilkada di daerah yang menjadi wilayah binaannya, maka yang membina wilayah tersebut akan dimintai pertanggungjawaban.

Pembinaan dengan basis kewilayahan ini juga sangat membantu dalam rangka pemetaan politik serta dalam menggerakkan mesin partai. Sebab, soliditas dan penggalangan mesin partai dapat dilakukan dengan cepat. Disamping itu, pemeliharan terhadap basis massa merupakan faktor penting untuk menjaga soliditas partai dan rasa

“nduweni” kader atas PDIP.

Menurut para narasumber, pola pemeliharaan ini biasanya didasarkan pada ikatan ideologis dan kecintaan kader terhadap partai. Partai tidak pernah memberikan imbal balik berupa materi kepada kader-kader yang ada di bawah. Justru kader-kader PDIP seringkali bergotong-royong untuk membiayai kegiatan partai.

“Aktifitas di partai itu bukan mencari uang. Justru, semua berangkat dari kesetiaan terhadap partai sehingga kader partai seringkali malah keluar uang untuk membiayai kegiatan partai. Kader-kader partai tidak ingin diberi uang, tetapi setiap ada kegiatan, para kader ini sudah senang ketika diikutsertakan dalam kegiatan tersebut. Sebab, mereka merasa sebagai bagian dari partai,” kata Diarti

Hal senada juga dikemukakan oleh Joko Suryanto. Menurutnya, pola pemeliharaan yang dilakukan oleh pengurus PDIP di Kota Semarang dilakukan oleh caleg-caleg PDIP dengan memberikan perhatian kepada konstituen yang diampunya hingga ke tingkat bawah (grassroot). Bentuk perhatian itu yakni, ketika para caleg dimintai sumbangsih untuk mendukung kegiatan masyarakat dan partai, para caleg terpilih ini selalu siap membantu dan mengayomi konstituennya.

“Ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban anggota legislatif terpilih kepada konstituennya. Mereka selalu siap dan itu harus. Karena mereka itu dipilih dari rakyat konstituennya,” kata Joko.

Ia mengatakan, pemeliharaan hubungan ini tidak hanya terbatas pada permintaan sumbangan saja. Namun, seluruh pengurus dan anggota legislatif terpilih selalu menjalin komunikasi dan koordinasi untuk menyikapi persoalan yang ada di tingkat masyarakat.

“Ketika pencalegan itu para caleg ini sudah berjanji akan membawa aspirasi masyarakat jika nanti terpilih. Hal ini juga diketahui oleh seluruh pengurus partai di tingkat Cabang, anak cabang, ranting hingga ke tingkat ranting. Jadi ada tanggung jawab moral yang melekat pada caleg tersebut dengan janji yang diucapkannya pada saat pencalegan,” kata Joko.

Pembinaan yang dilakukan oleh DPD/DPC PDIP terhadap kader yang ada di tingkat ranting, menurut Joko, juga diwujudkan dalam bentuk intensitas melakukan koordinasi dengan jajaran pengurus partai di tingkat bawah. Koordinasi biasanya dilakukan untuk menjalankan instruksi dan keputusan partai yang menjadi agenda partai ke depan.

Wakil Ketua Bidang Pemberdayaan Perempuan DPC PDIP Kota Tegal, Diarti mengemukakan, DPD PDIP Jateng selalu berkoordinasi dengan pengurus cabang. Bentuk koordinasi itu yakni dengan mengikutsertakan atau melibatkan secara aktif seluruh DPC

PDIP yang ada di Jateng untuk melakukan rapat koordinasi dalam rangka membahas konsolidasi dan koordinasi partai.

“Selain itu, setiap ada pertemuan, biasanya ada pembinaan dari tingkat DPD/DPC PDIP dan pengurus ranting selalu menghadirkan mereka. Walaupun belum maksimal, kepengurusan di tingkat atasnya itu sudah maksimal. Tapi kalau masyarakat menilai mungkin memang lain,” kata Joko.

Hal berbeda justru dikemukakan Fatria Rahmadi. Ia mengatakan, hubungan yang dibangun dengan kader selama ini tidak lepas dari pemberian “gizi” kepada kader-kader yang ada di bawah. Ia menyatakan, mustahil kerja-kerja politik dapat berjalan tanpa ada “materi” yang dikeluarkan. Ia mencontohkan, dalam pemilu legislatif lalu, seluruh caleg

“ngopeni” kader-kader yang ada dibawah untuk menjamin perolehan suaranya. Hanya saja, kesemrawutan proses pemilu yang berlangsung mengakibatkan pelaksanaan di lapangan menjadi seperti pasar bebas. Sehingga persaingan yang terjadi di internal partai berlangsung tanpa kendali.

Sementara menyangkut pola pembinaan dengan basis kewilayahan yang digagas PDIP, Fatria mengatakan, bahwa konsep itu tidak berjalan sebagaimana konsepsi awal perumusannya. Sebab, konsep itu tidak dibangun secara terus menerus dan hanya difungsikan pada saat pelaksanaan Pilkada.

“Pola kewilayahan itu mandeg dalam proses keseharian. Sebab itu hanya difungsikan pada saat pelaksanaan moment strategis seperti pemenangan Pilkada saja,” kata Fatria.

Menurut Fatria, jika konsep itu dapat berjalan, sebenarnya hal itu akan memberikan keuntungan bagi mesin partai. Sebab, kinerja partai dapat diukur. Ia mengatakan, gagasan pembinaan basis dengan pola kewilayahan itu sebenarnya tidak

hanya berhenti pada pemenangan Pilkada saja. Namun, hal itu juga bisa difungsikan untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi masyarakat.

“Pembinaan dengan pola kewilayahan itu sebenarnya juga untuk mengetahui persoalan yang ada di masyarakat. Model yang digagas itu yakni di satu kecamatan dibentuk koodinator yang membawahi beberapa desa. Nah, koordinator itu nanti yang akan menyerap aspirasi dan solusi ketika muncul permasalahan. Contohnya jika terjadi kelangkaan pupuk disuatu wilayah, maka koordinator ini nanti yang akan mencarikan solusi. Namun hal ini juga macet,” kata Fatria.

Ia mengatakan, kemacetan ini disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya dana pendampingan yang harus dikeluarkan partai cukup besar. Sehingga karena tidak ada dana, maka hal itu menjadi macet. Namun, ia menilai, hal itu sebenarnya juga terletak pada sejauh mana keseriusan (political will) struktur partai untuk membangun pelembagaan politik hingga ke tingkat bawah.