• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pidana dan Pemidanaan

2.3.3. Pembinaan Terpidana di Luar Lembaga Pemasyarakatan

Di dalam Pasal 1 angka 32 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian terpidana adalah “seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan".

Istilah narapidana tidak identik dengan istilah terpidana. Terpidana meliputi tidak hanya seorang yang dipidana hilang kemerdekaan (narapidana) tetapi juga meliputi seorang yang dipidana bukan hilang kemerdekaan seperti seorang yang dipidana denda. Seorang narapidana secara otomatis juga merupakan seorang terpidana tetapi seorang terpidana belum tentu merupakan seorang narapidana.

Dengan diterimanya konsep pemasyarakatan Saharjo (1963), maka sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan dihumanisasikan menjadi sistem pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan lahir pada tanggal 27 April 1964 sebagai hasil dari konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Jawa Barat. Dengan lahirnya sistem pemasyarakatan maka proses pembinaan narapidana dan anak didik mendapat pengayoman dan pembinaan demi pemasyarakatan narapidana yang mantap. Ini berarti bahwa narapidana dan anak didik dapat dibina, dibimbing dan dituntun menjadi warga masyarakat yang berguna.

Reksodiputro (1997) menyatakan, lahirnya konsepsi tentang sistem pemasyarakatan ini dianggap sebagai suatu perubahan yang menyeluruh dan mendasar dari falsafah penghukuman (yang antara lain ditandai oleh penderitaan seperti penggunaan pakaian penjara, kepala gundul dan rantai kaki) menjadi falsafah pembinaan (yang antara lain ditandai oleh pengakuan martabat terpidana sebagai manusia, mengembalikan harga diri terpidana dan mempersiapkannya kembali ke masyarakat).

Sistem pemasyarakatan barn diwujudkan dalam undang-undang yakni dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa "pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembaaaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana". Pasal 1 angka 2 menentukan pengertian sistem pemasyarakatan adalah :

Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, agar aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Pokok-pokok pikiran Saharjo tersebut akhirnya dijadikan prinsip-prinsip dari konsepsi pemasyarakatan sehingga bukan semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana. Adapun tujuan utama dari sistem pemasyarakatan menurut Pengabdian Hukum UI adalah :

1. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang baik.

2. Melindungi masyarakat dari timbulnya kejahatan bekas narapidana ke dalam masyarakat karena tidak mendapatkan pekerjaan.

Proses pemasyarakatan adaiah menggambarkan tahap-tahap sistem pembinaan narapidana yang bertujuan mencapai sasaran utama dari sistem pemasyarakatan Indonesia.

Dalam sistem pemasyarakatan ini proses pemasyarakatan (resosialisasi) narapidana dilaksanakan lewat 2 (dua) jalur. Pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan ditangani oleh Direktorat Pemasyarakatan dan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Bentuk pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan yaitu meliputi : program perawatan, program pendidikan, program keamanan dan ketertiban serta program rekreasi.

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 183 Tahun 1968 yang disempurnakan oleh Keputusan Presiden No. 44 dan No. 45 Tahun 1974 jo. Keputusan Menteri Kehakiman R.I No. Y.5.4/3/7/1975 ditentukan bahwa pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan berwujud kegiatan bimbingan yang meliputi :

1. Pidana bersyarat 2. Pelepasan bersyarat 3. Bimbingan lebih lanjut, 4. Proses asimilasi/integrasi,

5. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak, 6. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim

atau orang tua/wali. (Poernomo, 1986)

Narapidana dapat diberikan lepas bersyarat menurut Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu jika terpidana telah menjalani masa pidananya 2/3 (duapertiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, dan yang paling sedikit telah menjalani 9 (sembilan) bulan pidana penjara.

Pelepasan bersyarat ini sifatnya fakultatif, dapat diadakan jika menurut pertimbangan seorang narapidana itu patut diberikan Pelepasan bersyarat. Adapun faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengusulkan dan memberikan pelepasan bersyarat antara lain, yaitu :

1. Sifat delik yang telah dilakukan, 2. Pribadi dan riwayat hidup terpidana,

3. Kelakuan terpidana selama dalam lembaga pemasyarakatan,

4. Kemungkinan-kemungkinan pekerjaan/tempat yang akan diperoleh terpidana setelah diberi pelepasan bersyarat.

Bimbingan lebih lanjut adaiah sangat perlu, oleh karena bukan saja dengan maksud mempermudah asimilasi dengan masyarakat, tetapi juga apabila ternyata perhitungan hakim waktu menerapkan pidana tidak cocok dengan kenyataan, yang maksudnya lamanya masa pidana yang diterapkan ternyata tidak/belum cukup membentuk narapidana menjadi manusia yang seratus persen bersih dan baik, maka narapidana dibina dalam proses lanjutan ini.

Dipandang dari unsur bimbingan/bantuan yang perlu diberikan, maka pembinaan lanjutan ini menyerupai pelepasan bersyarat, yaitu kedua pelanggar hukum tersebut telah lama-sama pernah dibina di dalam lembaga yang kemudian juga sama-sama memerlukan bantuan dan bimbingan dalam proses kembalinya ke dalam masyarakat yang telah terpaksa dipisahkan darinya.

Asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan apabila telah menjalani setengah dari masa pidana sebenarnya.

Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 yang dimaksud dengan asimilasi adaiah "proses pembinaan narapidana yang dilakukan dengan membaurkan narapidana ke dalam kehidupan masyarakat.

Wujud dari kegiatan assimilasi ini dapat berupa : memberikan kesempatan kepada narapidana untuk beribadah di luar lembaga pemasyarakatan bersama masyarakat luar, bekerja di luar lembaga pemasyarakatan ataupun rnengikut sertakan narapidana ke dalam berbagai bentuk kegiatan cuti.

Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 mengenai cuti yang berkaitan dengan kegiatan assimilasi ini ada 2 (dua) bentuk yaitu :

1. Cuti biasa, adalah cuti yang diberikan kepada narapidana melalui syarat-syarat tertentu untuk keperluan mengunjungi keluarga atas alasan-alasan seperti menjadi wali dalam pernikahan, menghadiri kematian, atau karena ada keluarganya yang sakit keras.

Cuti ini dilaksanakan selama 2 x 24 jam, dengan mendapat pengawalan dari petugas lembaga pemasyarakatan, dan diberikan kepada narapidana dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, tidak memperoleh cuti ;

b. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun

c. memperoleh cuti 1 kali dalam 1 (satu) tahun

d. Narapidana yang dipidana 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 2 (dua) tahun ;

e. Narapidana yang dipidana 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 3 (tiga) tahun f. Narapidana yang dipidana seumur hidup, setelah pidana berubah

menjadi pidana sementara (melalui syarat-syarat tertentu) sebelum is memperoleh kebebasannya, dengan syarat bahwa narapidana yang bersangkutan telah menjalani setenaah dari masa pidana yang

sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selama-lamanya 1 (satu) tahun tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan. 2. Cuti menjelang lepas mutlak (cuti pre-release) ialah cuti yang diberikan

kepada narapidana melalui syarat-syarat tertentu sebelum is memperoleh kebebasannya, dengan syarat bahwa narapidana yang bersangkutan telah menjalani setengah dari masa pidana yang sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selama-lamanya 1 (satu) tahun tidak boieh lebih dari 6 (enam) bulan.

Balai Pemasyarakatan (BAPAS) selaku pembimbing dan pembina terpidana di luar lembaga pemasyarakatan rnemiliki tugas yang sangat renting bagi tercapainya keberhasilan pembinaan diri terpidana. Selain Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang memiliki tugas membimbing terpidana di luar embaga pemasyarakatan maka unsur yang tidak kalah pentingnya dalam turut serta mensukseskan program pembinaan itu sendiri adalah peran serta Masyarakat.

Masyarakat diharapkan pengertiannya, bantuannya dan bahkan rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan program pembinaan narapidana karena pada dasarnya program pemasyarakatan itu justru diiakukan demi kepentinaan masyarakat itu sendiri. Tanpa adanya rasa pengertian dari masyarakat maka mustahil program pembinaan narapidana yang bertujuan untuk memasyarakatkan kembali narapidana sehingga dapat menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna akan dapat dicapai dengan baik.

BAB III

Dokumen terkait