• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Pidana dan Pemidanaan

2.2.2. Perkembangan Teori Tentang Tujuan Pemidanaan

Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai sekarang, menurut Andi Hamzah (1986) telah menjurus kearah yang lebih rasional. Tujuan pidana yang dianggap paling tua adalah pembalasan (revange) sebagai pemuas pihak yang dendam, baik masyarakat maupun korban. Tujuan pidana yang juga dipandang kuno ialah penghapusan doss (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara yang baik dan buruk.

Adapun yang dipandang sebagai tujuan pidana yang berlaku sekarang ini ialah variasi dari bentuk-bentuk : penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun masyarakat yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat, dan reformasi inilah yang paling modern dan populer sekarang ini. Hal ini selain bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.

Berkaitan dengan tujuan pidana yang garis besarnya telah disebutkan di atas maka muncul teori-teori mengenai tujuan pidana. Teori-teori tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Teori Pembalasan atau Teori Absolut

Teori ini tidak ada memikirkan akibat-akibat yang mungkin timbul dengan adanya pemidanaan, hanya menghendaki adanya pembalasan bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan. Aliran ini beranggapan bahwa siapa saja yang telah melakukan kejahatan tidak boleh tidak kepadanya harus diberi pembalasan yang berupa pidana, yang sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan. Jadi menurut teori ini, pidana tidaklah bertujuan praktis seperti memperbaiki penjahat, tetapi bertujuan menjadikan pelaku kejahatan menderita, tanpa memikirkan akibat-akibat yang mungkin akan timbul dengan adanya pemidanaan itu. Teori ini hanya melihat ke masa lampau dan tidak melihat ke masa yang akan datang.

Teori absolut ini baru dikenal pada akhir abad 18 Masehi dan beberapa sarjana pengikut aliran ini diantaranya adalah Stahl, Kant dan lain-lain.

Menurut Stahl, pembalasan itu sesuai dengan kehendak Tuhan, yang beranggapan bahwa keadilan abadi menghendaki adanya penjatuhan pidana bagi setiap pelaku kejahatan. Negara dipandang sebagai wakil Tuhan di dunia maka negara mempunyai tugas untuk mempertahankan norms-norma keadilan Tuhan yang tercantum dalam undang-undang duniawi. Sehingga apabila ada warganya yang telah melakukan kejahatan, negara harus membalasnya dengan suatu pidana dengan cara meniadakan penjahatnya atau membuat penjahatnya dapat merasakan suatu penderitaan.

Menurut Imanuel Kant, suatu perbuatan kejahatan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan dan hukum, maka untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut pelakunya secara mutlak harus dibalas dengan suatu pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Hal ini didasarkan dengan hal yang disebut Kategorischen Imperativ, yaitu yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.

Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran absolut tersebut hanya berorientasi pada pembalasan atas dilakukannya tindak pidana oleh seseorang. Pembalasan itu dilakukan oleh negara terhadap di pelaku tindak pidana. Orang yang melakukan pidana harus dibalas dengan tindakan pembalasan yang berupa pidana.

b. Teori Tujuan atau Teori Relatif

Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan kemudian timbul teori tujuan atau teori relatif. Teori ini mempunyai dasar pemikiran bahwa tujuan pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Akan tetapi ada juga yang menafsirkan bahwa tujuan pemidanaan itu adalah untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan atau tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.(Lamintang, 1988)

Agar tindak pidana tidak dilakukan oleh masyarakat maka diadakanlah pencegahan-pencegahan. Sifat dari pencegahan pidana ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :

1) Pencegahan umum

Pencegahan umum ini ditujukan kepada semua orang atau masyarakat agar takut melakukan kejahatan, dengan jalan penjatuhan pidana yang sangat berat atau menjerakan pelaku tindak pidana yang pelaksanaannya dilakukan di muka umum. Dengan demikian setiap orang dapat menyaksikan pelaksanaan pidana tersebut untuk membuat agar masyarakat umum takut berbuat suatu tindak pidana.

Tokoh utama prevensi umum ini adalah Von Feuerbach (1775-1833), dengan teorinya "Psychologische Zwang" atau paksaan psikologis. Secara garis besar teori ini menyatakan bahwa ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakutkan orang untuk melakukan tindak pidana. Pelaksanaan pidana hanya penting untuk merealisasikan ancaman itu.(Andi Hamzah, 1986). Dengan adanya ancaman pidana yang berat, maka dapat menakutkan orang yang berniat melakukan tindak pidana, karena ancaman dapat menimbulkan suatu tekanan jiwa. Apabila orang akan melakukan tindak pidana, maka ia akan berpikir terlebih dahulu dengan adanya ancaman pidana yang berat itu.

Tujuan pencegahan umum adalah dengan mengetahui pelaksanaan pidana atau adanya ancaman pidana maka dapat dicegah orang dari perbuatan pidana. Dengan demikian pencegahan umum ini berfungsi sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

2) Pencegahan khusus

Pencegahan khusus ini berfungsi setelah terjadinya suatu tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini adalah mencegah niat buruk si penjahat untuk melakukan kejahatan lagi. Jadi ancaman pidananya ditujukan kepada siterpidana agar tidak lagi melakukan tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang bersifat menakut-nakuti, memperbaiki dan membuatnya tidak berdaya.

Dalam hal ini Van Hamel (XXX) membuat suatu gambaran tentang pidana yang bersifat pencegahan khusus yaitu :

a Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk melaksanakan niat buruknya;

b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki ;

c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki; d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tats tertib hukum.(Andi

Hamzah, 1986).

Dengan berpokok pangkal pada pendapat seperti tersebut di atas maka dapat disimpulkan, bahwa baik pencegahan umum maupun pencegahan khusus menghendaki setiap orang takut melakukan suatu tindak pidana.

c. Teori Gabungan

Teori gabungan ini mendasarkan pidana sebagai pembalasan dan mempertahankan tats tertib di dalam masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsur tanpa menghilangkan unsur yang

lainnya maupun menitikberatkan pada semua unsur yang ada.. Sedangkan menurut Muladi di dalam teori ini tujuan pemidanaan bersifat plural, karena berusaha menghubungkan prinsip-prinsip retributif dan utilitarianism. Sehingga sering kali teori ini disebut "Aliran Integratif. (Muladi, 1985)

Penulis yang pertama mengajukan teori ini adalah Pelligrino Rossi (1787-1848), kemudian diikuti oleh sarjana yang lain yaitu Binding, Merkel, Kohler Schimid, dan Beling. Pandangan integratif ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus yaitu ‘retributif dan relatif’. Jadi pemidanaan dalarn hal ini memerlukan pembenaran ganda. Disamping negara mempunyai hak untuk memidana si pelanggar hukum, juga dengan upaya memidana tersebut diharapkan suatu hasil yang bermanfaat. Misalnya, pencegahan dan rehabilitasi, kesemuanya ini dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.

Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cars tertentu dapat memuaskan permintaan/kebutuhan pembalasan. Namun dengan cars tertentu pula dapat merehabilitasi dan meresosialisasi para narapidana ke dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Muladi (1985) : "diperlukan seperangkat tujuan pemidanaan yang hares dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis". Seperangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah

1. Pencegahan (umum dan khusus) ; 2. Perlindungan masyarakat ;

3. Memelihara solidaritas masyarakat ; dan 4. Pengimbalan/pengimbangan.

Sebagai penutup uraian tentang perkembangan teori tujuan pemidanaan ini, penulis kutipkan sebuah pandangan tujuan pemidanaan di zaman modern, yaitu dalam usulan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional tahun 2000 dalam Pasal 50, selengkapnya menentukan :

(1) Pemidanaan bertujuan :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan menggdkkan pembinaan sehingga menjadi orang baik yang berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang tercantum di dalam Rancangan KUHP Nasional Tahun 2000 tersebut merupakan penjabaran teori integratif dalam arti luas. Pasal 50 tersebut memuat tujuan ganda yang hendak dicapai melalui pemidanaan, yang meliputi tujuan pertama tersimpul usaha preventif dan perlindungan masyarakat. Tujuan kedua mengandung maksud bukan saja

merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasikan terpidana dan mengintegrasikan terpidana ke dalam masyarakat. Tujuan ketiga dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan terpidana, untuk menyelesaikan konflik dan juga untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Dan tujuan yang keempat untuk pembebasan rasa bersalah pada terpidana. Dengan penegasan bahwa pemidanaan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2.3. Teori Tentang Pidana Bersyarat

Dokumen terkait