ANALISIS PENILAIAN HAKIM ATAS PERANAN PETUGAS BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PELAKSANAAN
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PIDANA BERSYARAT (STUDI KASUS DI BAPAS KLAS I MEDAN)
TESIS
Oleh
SUHERDI 077019056/IM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PENILAIAN HAKIM ATAS PERANAN PETUGAS BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PELAKSANAAN
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PIDANA BERSYARAT (STUDI KASUS DI BAPAS KLAS I MEDAN)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Manajemen pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SUHERDI 077019056/IM
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis
:
ANALISIS PENILAIAN HAKIM ATAS PERANAN PETUGAS BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS)DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PIDANA BERSYARAT (STUDI KASUS DI BAPAS
KLAS I MEDAN) Nama Mahasiswa : Suherdi
Nomor Pokok : 077019056
Program Studi : Ilmu Manajemen
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Sutarman, M.Sc) (Drs. Irwan Djanahar, AK, MAFIS) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Direktur
(Prof. Dr. Rismayani, SE, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal : 31 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Sutarman, M. Sc
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : “ANALISIS PENILAIAN HAKIM ATAS PERANAN PETUGAS BALAI PEMASYARAKATAN (BAPAS) DALAM PELAKSANAAN PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PIDANA BERSYARAT (STUDI KASUS DI BAPAS KLAS I MEDAN)”
Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh siapapun sebelumnya kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Sumber-sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara benar dan jelas.
Medan, Agustus 2009 Yang membuat pernyataan,
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Medan tidak terlepas dari penilaian hakim dan petugas BAPAS, namun pada kenyataannya pelaksanaan pengawasan dan pembinaan tersebut masih belum maksimal.
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah teori manajemen umum yang berhubungan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penilaian hakim atas peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat dan mengetahui pengaruh yang dominan (penilaian hakim yang tercatat dan yang tidak tercatat) peranan Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : (1). Penilaian hakim secara tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat. (2) Penilaian hakim secara tidak tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat, (3). Penilaian hakim berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Balai Pemasyarakatan (BAPAS ) Klas-I Medan yang bertugas di bagian Pembimbing Kemasyarakatan berjumlah 34 orang pegawai. Oleh karena itu dalam penelitian ini jumlah sampel yang diteliti sama dengan jumlah populasi dari subjek yang akan diteliti, yaitu sebanyak 34 orang Pegawai BAPAS.
Data dikumpulkan dengan pengamatan langsung,
angket dan studi dokumentasi. Variabel yang diteliti
dengan skala Likert. Pengolahan data dengan
menggunakan perangkat lunak SPSS Versi 12,0,
dianalisis dengan analisis deskriptif dan pengujian
hipotesis dengan regresi linear berganda.
Sacara parsial penilaian hakim secara tercatat
berpengaruh signifikan terhadap Peranan BAPAS
dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat
dan penilaian hakim secara tidak tercatat juga
berpengaruh signifikan terhadap Peranan BAPAS
dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat
di
Balai Pemasyarakatan. Penilaian hakim secara tercatat
mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan
dengan penilaian hakim secara tidak tercatat
terhadap Peranan BAPAS dalam pembinaan dan
pengawasan pidana bersyarat di
Balai Pemasyarakatan.ABSTRACT
The successful execution of conditional supervision in the criminal correctional centers (BAPAS) class field i can not be separated from the assessment of judges and officers bapas, na but in reality the implementation of the supervision and guidance is still not maximal.
Theories used in this study include management theory u mum associated with the monitoring of the implementation of criminal parole.
purpose of this study is to investigate the influence of judges assessing the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation of criminal parole supervision and guidance and to know the dominant influence (rating of record and the judges are not listed) the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation and supervision conditional criminal coaching.
Hypothesis in this study were: (1). assessment by the judge noted influential on the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation of criminal parole supervision. (2) assessment of the judges are not listed hall effect on the role of correctional officers (bapas) in the implementation of the supervision and guidance of criminal probation, (3). assessment of the role of influential judges hall correctional officer (bapas) in the implementation of criminal parole supervision. population in this study were employees of correctional centers (bapas) class-i field supervisor on duty at the community numbered 34 employees, therefore in this study the number of samples equals the number of population from the subject to be studied, as many as 34 people bapas employees
Data collected by direct observation, questionnaires and documentation study, the variables studied with Likert scale, data processing using SPSS software version 12.0, were analyzed with descriptive analysis and hypothesis testing with multiple linear regression.
Results showed that: the assessment of judges in the carrying and not carrying significant influence bapas role in the guidance and supervision of criminal probation, run private judges in the carrying partial assessment significantly influence bapas role in the guidance and supervision of parole and criminal justice assessments are not listed also has a significant against a role in the guidance and supervision bapas criminal conditional on correctional center, the judge noted the assessment has a greater effect than the evaluation of judges are not listed on bapas role in the guidance and supervision of parole in the criminal correctional center.
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang memberikan rahmat dan karuniaNya kepada sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir penyusunan tesis ini.
Penelitian ini merupakan tugas akhir pada Program Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang meneliti masalah: “Analisis Penilaian Hakim Atas Peranan Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat ( Studi Kasus Di Bapas Klas I Medan )”
Selama melakukan penulisan tesis penulis banyak memperoleh bantuan moril dam materiil dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp(Ak), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Manajemen pada Sekolah Pascasarjana USU Medan.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T Chairun Nisa, B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Rismayani, SE, M.Si, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera sekaligus selaku penguji yang telah memberikan masukan-masukan demi penyempurnaan tesis ini.
4. Bapak Dr. Sutarman, M.Sc., selaku Ketua Pembimbing atas arahan dan bimbingannya selama masa perkuliahan dan pengerjaan tesis ini.
5. Bapak Drs. Irwan Djanahar, MAFIS, selaku Anggota Pembimbing yang selalu membantu, memberikan bimbingan dan mengarahkan penulis.
7. Seluruh Staf Pengajar Studi Magister Ilmu Manajemen Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
8. Orang tua penulis, yang memberikan perhatian, motivasi, saran serta doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
9. Rekan-rekan mahasiswa atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca. Semoga Allah SWT memberikan hidayah dan taufikNya kepada kita. Amin.
Medan, Agustus 2009 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Suherdi, dilahirkan di Tuntungan pada tanggal 29 Maret 1971 dari orang tua Repon dan Ibu (almh) Tumiyem, Sudah menikah dengan Suermawati pada tanggal 29 Desember 1996, anak pertama bernama Puspita Wisudari dan anak kedua beranama Muhammad Arkam.
Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 101827 Tuntungan tamat dan lulus tahun 1985, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Pancur Batu tamat dan lulus pada tahun 1988, pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pancur Batu tamat dan lulus tahun 1991, pendidikan Diploma III di Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP) Jakarta tamat dan lulus tahun 1994, melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) YNI Pematang Siantar tamat dan lulus tahun 2000. Pada tahun 2007 melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Manajemen Kekhususan Manajemen Kebijakan Publik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 5
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
1.5. Kerangka Berpikir... 7
1.6. Hipotesis ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
2.1. Teori Tentang Pengawasan ... 10
2.1.1. Pengertian Pengawasan... 10
2.1.2. Tahap-Tahap Dalam Proses Pengawasan... 11
2.2. Pidana dan Pemidanaan... 14
2.2.1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan ... 14
2.2.2. Perkembangan Teori tentang Tujuan Pemidanaan ... 16
2.3.1. Pengertian Pidana Bersyarat ... 23
2.3.2. Tujuan Pidana Bersyarat ... 25
2.3.3. Pembinaan Terpidana di Luar Lembaga Pemasyarakatan ... 28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 35
3.2. Metode Penelitian ... 35
3.3. Populasi dan Sampel ... 36
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 36
3.5. Jenis dan Sumber Data ... 37
3.6. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel ... 37
3.7. Pengujian Validitas dan Reliabilitas... 39
3.7.1. Uji Validitas ... 39
4.1.3.1. Penjelasan Responden Tentang Penilaian Hakim Secara Tercatat ... 52
4.1.3.3. Penjelasan Responden Tentang Peranan BAPAS Dalam Pembinaan dan Pengawasan Pidana
Bersyarat... 53
4.1.4. Pengujian Asumsi Klasik ... 54
4.1.4.1. Uji Normalistas ... 54
4.1.4.2. Uji Multikolinieritas... 56
4.1.4.3. Uji Heteroskedastisitas... 58
4.1.4.4. Uji Kebagusan Model ... 60
4.1.5. Pengujian Hipotesis... 60
4.1.5.1. Uji Serempak... 62
4.1.5.2. Uji Parsial... 63
4.2. Pembahasan... 65
4.2.1. Pengaruh Penilaian Hakim secara tercatat dan Tidak Tercatat Terhadap Peranan BAPAS dalam Pembinaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat ... 65
4.2.2 . Pengaruh Penilaian Hakim secara tercatat Terhadap Peranan BAPAS dalam Pembinaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat... 66
4.2.3 . Pengaruh Penilaian Hakim secara Tidak Tercatat Terhadap Peranan BAPAS dalam Pembinaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
5.1. Kesimpulan ... 70
5.2. Saran... 71
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1. Operasional Variabel Penelitian... 38
4.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia... 49
4.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja... 50
4.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan ... 51
4.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Status Perkawinan ... 51
4.5. Uji Kolmogorov – Smirnov (K-S) ... 56
4.6. Hasil Uji Multikolinearitas... 57
4.7. Hasil Uji Glesjer... 59
4.8. Hasil Uji Determinasi... 60
4.9. Hasil Regresi Penilaian Hakim Secara Tercatat dan Tidak Tercatat Terhadap Peranan BAPAS dalam Pembinaan dan Pengawasan Pidana Bersyarat ... 61
4.10. Hasil Uji Serempak ... 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1 Kerangka Berpikir Penelitian... 9
4.1 Uji Normalitas... 54
4.2 Uji Normalitas... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 74
2. Hasil Uji Validitas Variabel X1 ... 79
3. Hasil Uji Validitas Variabel X2 ... 80
4. Hasil Uji Validitas Variabel Y ... 81
5. Reliability... 82
6. Penilaian Hakim Yang Secara Tercatat... 83
7. Penilaian Hakim Yang Secara Tidak Tercatat ... 84
8. Peranan BAPAS Dalam Pembinaan Dan Pengawasan ... 85
9. Frequency Table Penilaian Secara Tercatat ... 86
10. Frequency Table Penilaian Secara Tidak Tercatat... 88
11. Frequency Table Peranan BAPAS ... 90
12. Regression ... 92
13. NPar Tests ... 93
14. Regression ... 94
ABSTRAK
Keberhasilan pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Klas I Medan tidak terlepas dari penilaian hakim dan petugas BAPAS, namun pada kenyataannya pelaksanaan pengawasan dan pembinaan tersebut masih belum maksimal.
Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah teori manajemen umum yang berhubungan dengan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penilaian hakim atas peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat dan mengetahui pengaruh yang dominan (penilaian hakim yang tercatat dan yang tidak tercatat) peranan Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : (1). Penilaian hakim secara tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat. (2) Penilaian hakim secara tidak tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat, (3). Penilaian hakim berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Balai Pemasyarakatan (BAPAS ) Klas-I Medan yang bertugas di bagian Pembimbing Kemasyarakatan berjumlah 34 orang pegawai. Oleh karena itu dalam penelitian ini jumlah sampel yang diteliti sama dengan jumlah populasi dari subjek yang akan diteliti, yaitu sebanyak 34 orang Pegawai BAPAS.
Data dikumpulkan dengan pengamatan langsung,
angket dan studi dokumentasi. Variabel yang diteliti
dengan skala Likert. Pengolahan data dengan
menggunakan perangkat lunak SPSS Versi 12,0,
dianalisis dengan analisis deskriptif dan pengujian
hipotesis dengan regresi linear berganda.
Sacara parsial penilaian hakim secara tercatat
berpengaruh signifikan terhadap Peranan BAPAS
dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat
dan penilaian hakim secara tidak tercatat juga
berpengaruh signifikan terhadap Peranan BAPAS
dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat
di
Balai Pemasyarakatan. Penilaian hakim secara tercatat
mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan
dengan penilaian hakim secara tidak tercatat
terhadap Peranan BAPAS dalam pembinaan dan
pengawasan pidana bersyarat di
Balai Pemasyarakatan.ABSTRACT
The successful execution of conditional supervision in the criminal correctional centers (BAPAS) class field i can not be separated from the assessment of judges and officers bapas, na but in reality the implementation of the supervision and guidance is still not maximal.
Theories used in this study include management theory u mum associated with the monitoring of the implementation of criminal parole.
purpose of this study is to investigate the influence of judges assessing the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation of criminal parole supervision and guidance and to know the dominant influence (rating of record and the judges are not listed) the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation and supervision conditional criminal coaching.
Hypothesis in this study were: (1). assessment by the judge noted influential on the role of correctional officers hall (bapas) in the implementation of criminal parole supervision. (2) assessment of the judges are not listed hall effect on the role of correctional officers (bapas) in the implementation of the supervision and guidance of criminal probation, (3). assessment of the role of influential judges hall correctional officer (bapas) in the implementation of criminal parole supervision. population in this study were employees of correctional centers (bapas) class-i field supervisor on duty at the community numbered 34 employees, therefore in this study the number of samples equals the number of population from the subject to be studied, as many as 34 people bapas employees
Data collected by direct observation, questionnaires and documentation study, the variables studied with Likert scale, data processing using SPSS software version 12.0, were analyzed with descriptive analysis and hypothesis testing with multiple linear regression.
Results showed that: the assessment of judges in the carrying and not carrying significant influence bapas role in the guidance and supervision of criminal probation, run private judges in the carrying partial assessment significantly influence bapas role in the guidance and supervision of parole and criminal justice assessments are not listed also has a significant against a role in the guidance and supervision bapas criminal conditional on correctional center, the judge noted the assessment has a greater effect than the evaluation of judges are not listed on bapas role in the guidance and supervision of parole in the criminal correctional center.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini masalah pembinaan semakin menjadi kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini menurut Muladi "diperlukan pendekatan multidimensional yang bersifat mendasar terhadap dampak dari pemidanaan, baik yang menyangkut dampak yang bersifat individual maupun yang bersifat sosial.
Bertitik tolak dengan pidana bersyarat, maka dasar hukum pidana bersyarat merupakan ruang lingkup dari Pasal 10 KUHP. Pidana bersyarat adalah bentuk penerapan pidana sebagaimana diatur daiam Pasal 14a KUHP sampai dengan Pasal 14 f KUHP, dengan segala peraturan pelaksananya.
Dalam pemberantasan kejahatan yang penting bukan hanya pidana atau tindakan apa yang harus dikenakan terhadap pelanggar hukum, tetapi terutama perlakuan sesudahnya yang akan menentukan apakah si pelanggar hukum menjadi baik atau tidak agar putusan pidana atau tindakan itu ada manfaatnya. Berdasarkan pengalaman bahwa kehidupan dalam lembaga kurang baik bila dibandingkan dengan kehidupan dalam masyarakat bebas yang disertai pengawasan dan bimbingan (pembinaan di luar lembaga).
Pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan selama ini dilaksanakan oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA). Sejak keluarnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, penggunaan nama Balai BISPA diganti dengan nama Balai Pemasyarakatan (BAPAS). Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan, "yang dimaksud dengan Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut dengan BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan.
yang diberi pidana bersyarat prilakunya tidak baik. Adapun diantara mereka selama dalam masa percobaan kembali lagi melakukan tindak pidana.
Petugas BAPAS dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bersyarat membuat suatu laporan kepada hakim dan jaksa eksekutor, tentang perkembangan sikap dan prilaku sipelanggar hukum dimasyarakat dalam bentuk laporan tertulis. Yang kemudian akan ada penilaian hakim atas pelaksanaan dan pembinaan yang dilaksanakan pegawai BAPAS.
Bentuk pembinaan dan pengawasan yang diberikan kepada sipelanggar hukum berupa nasehat dan arahan tentang aturan dan norma yang berlaku di masyarakat, menciptakan percaya diri sipelanggar hukum agar mampu berbuat baik, mengetahui apakah selama berada dilingkungannya siterhukum dapat diterima oleh masyarakat dan keluarganya, serta apakah siterhukum selama dimasyarakat kehidupan ekonomisnya menjadi lebih baik.
Dalam hal pidana bersyarat seorang hakim melaksanakan kegiatan berupa pengecekan registrasi petugas BAPAS dalam pelaksanaan pengawasan dan menilai apakah prosedur yang dilaksanakan petugas BAPAS sudah baik, serta hakim akan menilai apakah pidana yang dijatuhkan efektif atau tidak
Sebagai bentuk penilaian hakim kepada petugas BAPAS menurut pengamatan Penulis dirasakan belum maksimal. Yang mana atas dasar keyakinan seorang hakim, hakim mempunyai kewenangan mutlak untuk memutus suatu perkara disidang Pengadilan apakah seorang tersangka diputus bersalah atau tidak serta diputus dengan hukumam tinggi atau rendah. Sehingga atas dasar keyakinan tersebut seorang hakim dalam penilaian kepada petugas BAPAS masih rendah. Sementara seorang petugas BAPAS membuat suatu laporan tertulis berupa mengidentifikasikan terhadap tersangka/terhukum kiranya hal apa yang membuat mereka melakukan tindak pidana. Sebagai contoh mereka melakukan tindak pidana karena terpkasa, membela diri, memenuhi kebutuhan hidup untuk makan, terdesak ekonomi dan lain sebagainya. Maka kiranya atas laporan tertulis petugas BAPAS tersebut dapat dijadikan pertimbangan hakim untuk memutus seseorang yang bersalah.
Dalam pengawasan pidana bersyarat tersebut adakalanya mengalami hambatan-hambatan antara lain karena terpidana bersyarat sudah pindah tempat tinggal tanpa memberitahukan kepada aparat desa/kelurahan. Untuk pengawasan tersebut lembaga Kejaksaan selaku eksekutor putusan pidana bersyarat mempersiapkan formulir P-51 yaitu formulir pemberitahuan pemidanaan bersyarat yang berisi tentang identitas terpidana, waktu mulainya pelaksanaan eksekusi pidana bersyarat, nama eksekutornya, syarat khusus yang ditetapkan dalam putusan hakim dan lain sebagainya. Tembusan surat ini dikirimkan kepada BAPAS, Penyidik (Polisi), Kepala Desa/Lurah dimana si terpidana bertempat tinggal.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan beberapa masalah pokok di dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaruh penilaian hakim secara tercatat terhadap peranan petugas
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat?
2. Bagaimana pengaruh penilaian hakim secara tidak tercatat terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh Penilaian Hakim atas Peranan Petugas Balai
Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
2. Untuk mengetahui pengaruh yang dominan (penilaian hakim yang tercatat dan yang tidak tercatat) Peranan Petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
1. Sebagai sumbangan pemikiran dan masukan bagi Pengadilan Negeri Medan dan BAPAS Klas I Medan dalam hal
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat.
2. Sebagai menambah khasanah dan memperkaya penelitian di Sekolah Pascasarjana Universitas khususnya program studi Magister Ilmu Manajemen. 3. Sebagai menambah pengetahuan dan wawasan peneliti khususnya dalam hal
penilaian hakim atas peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat.
4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengkaji masalah yang sama akan datang.
Hukum pidana Indonesia merupakan hukum pidana peninggalan jaman Hindia Belanda yang mengalami banyak perubahan dan tambahan karena disesuaikan dengan jiwa bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Di dalam hukum pidana sejak lama telah dilakukan usaha-usaha untuk memperbaharui hukum pidana materil, yang harus dilakukan bersama-sama dengan hukum pidana formil (hukum acara pidana). Semuanya ini di dalam suatu kerangka untuk mewujudkan satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Muladi (1985) menyatakan pembaharuan hukum pidana tersebut akan mencakup persoalan-persoalan utama yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok di dalam hukum pidana yaitu tentang perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang dan pidana. Dalam hal masalah pidana, terdapat suatu malsalah yang sekarang ini secara universal terus dicarikan pemecahannya. Masalah tersebut adalah ketidakpuasan masyarkat terhadap pidana perampasan kemerdekaan yang di berbagai negara termasuk Indonesia terus diusahakan untuk mencari alternatif-alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan, antara lain berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non-institusional dalam bentuk pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling), dan pidana harta (vermogenstrat) misalnya denda.
memberantas kejahatan, baik dalam arti bentuk, sifat maupun tujuannya. Hal tersebut sejalan dengan perkembangan pandangan dan pemikiran manusia terhadap kejahatan dan penjahat. Tujuan pemidanaan yang terakhir ini lebih diarahkan sebagai sarana pembinaan bagi narapidana.
Gagasan untuk memperlakukan narapidana lebih manusiawi lagi antara lain nampak dalam ide pemasyarakatan, hal ini sesuai dengan gagasan dari Saharjo, yang diucapkan di dalam pidato penerimaan gelar doktor honoris causanya dalam ilmu hukum dari Universitas Indonesia pada tanggal 5 Juli 1963, di dalam pidatonya mengemukakan rumusan dari tujuan pidana penjara yaitu : "disamping menimbulkan rasa derita nestapa pada terpidana karena dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar supaya is menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna.” (Saharjo, 1963).
Jadi pembinaan terhadap narapidana tidak cukup apabila hanya dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan saja akan tetapi terhadapnya juga perlu diberikan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan.
Gambar 1.1 Kerangka Berpikir Penelitian 1.6. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dihipotesiskan sebagai berikut:
1. Penilaian hakim secara tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
2. Penilaian hakim secara tidak tercatat berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
3. Penilaian hakim berpengaruh terhadap peranan petugas Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Dalam Pelaksanaan Pengawasan dan Pembinaan Pidana Bersyarat.
Peranan BAPAS Penilaian Hakim yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teori Tentang Pengawasan 2.1.1. Pengertian Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu usaha untuk menjaga suatu tindakan sesuai dengan yang seharusnya. Dalam pelaksanaannya pengawasan merupakan suatu proses pengamatan dari seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, maka pimpinan perusahaan harus melakukan kegiatan-kegiatan pemeriksaan, pengecekan, pencocokan, inspeksi, pengawasan dan berbagai tindakan sejenis dengan hal tersebut, bahkan bila mana perlu mengatur dan mencegah sebelumnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang mungkin saja terjadi. Apabila ternyata kemudian ada penyimpangan, penyelewengan atau ketidakcocokkan maka pimpinan diharapkan untuk menempuh langkah-langkah perbaikan dan penyempurnaan. Handoko (2003) mengemukakan: “Pengawasan dapat didefinisikan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Ini berkenan dengan cara-cara membuat kegiatan-kegiatan sesuai dengan yang direncanakan.”
kesalahan-kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana ditetapkan.” Manullang (2004) mengemukakan: “Pengawasan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menerapkan pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilainya dan bila perlu mengoreksi dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.”
Dari beberapa batasan pengertian tentang pengawasan seperti yang sudah diketemukan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pengawasan merupakan suatu proses untuk mengetahui, mengoreksi, mengevaluasi serta mengarahkan kegiatan-kegiatan agar rencana yang telah ditetapkan tidak menyimpang dari apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Jadi pengawasan dapat dianggap juga sebagai suatu kegiatan untuk mengoreksi penyimpangan-penyimpangan atau kekeliruan-kekeliruan tertentu, karenanya fungsi pengawasan perlu dilakukan. Kekeliruan tersebut berupa anggapan bahwa pengawasan sebagai kegiatan untuk mencari kesalahan dan kelemahan orang lain, akan tetapi pengawasan juga merupakan tindakan preventif dan korektif untuk menghindari agar para bawahan tidak membuat kesalahan lagi. Dan bilamana terjadi penyimpangan atau kesalahan maka dengan segera dapat diketahui penyebabnya lalu diadakan tindakan perbaikan.
2.1.2. Tahap-Tahap Dalam Proses Pengawasan
proses, dimana sebelum mendapatkan hasil akhir terlebih dahulu melakukan serangkaian tindakan yang telah direncanakan sebelumnya.
Manullang (2004) menyatakan bahwa : “Proses pengawasan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh manajer dalam melaksanakan pengawasan terhadap perencanaan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan perusahaan.” Proses pengawasan biasanya terdiri paling sedikit lima tahap (langkah). Handoko (2003) mengemukakan tahap-tahap proses pengawasan sebagai berikut :
1. Penetapan standar pelaksanaan (perencanaan)
Penetapan standar sebagai suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menilai hasil-hasil perencanaan yang akan dicapai. Perencanaan itu adalah untuk mencapai tujuan, sasaran, target perencanaan, anggaran, margin keuntungan, keselamatan kerja dan sasaran produksi. Tiga bentuk standar umum adalah:
a. Standar-standar fisik, meliputi kuantitas barang jasa, jumlah langganan atau kualitas produk.
b. Standar-standar moneter, yang ditujukan dalam nilai rupiah dan mencakup biaya tenaga kerja, biaya penjualan, laba kotor dan pendapatan sales.
c. Standar-standar waktu yang meliputi kecepatan produksi-produksi atau batas waktu suatu pekerjaan harus diselesaikan.
2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan
Setelah frekwensi pengukuran dan system monitoring ditentukan pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus-menerus. Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan, antara lain :
a. Pengamatan (observasi) b. Laporan-laporan lisan tertulis c. Metoda-metoda otomatis
d. Inspeksi pengujian (test) atau dengan pengambilan sample.
4. Membandingkan pelaksanaan kegiatan dengan standar dan analisa penyimpangan
Tahapan kritis dari proses pengawasan adalah perbandingan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini mudah dilakukan, tetapi sering terjadi kompleksitas pada saat adanya penyimpangan (deviasi). Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisa untuk menentukan mengapa standar tidak dapat dicapai.
5. Pengambilan tindakan koreksi bila perlu
Tindakan koreksi yang dilakukan dapat berupa:
a. Mengubah standar mula-mula (mungkin terlalu tinggi atau terlalu rendah) b. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekwensinya
atau kuran atau bahkan mengganti system pengukuran itu sendiri).
c. Mengubah cara dalam menganalisa dan menginterprestasikan penyimpangan-penyimpangan.
2.2. Pidana dan Pemidanaan
2.2.1. Pengertian Pidana dan Pemidanaan
Pengertian pidana ini dapat dilihat dari banyak defenisi, baik dari ahli hukum di daiam negeri, maupun dari ahli hukum di luar negeri. Jari sederetan defenisi tentang pidana yang ada, Muladi menyimpulkan pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1998)
a. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
Memperhatikan unsur-unsur atau ciri-ciri pidana tersebut, tidak salah kiranya R. Soesilo (1979) membedakan pengertian hukuman atau pidana dengan pengertian hukuman yang merupakan istilah umum dan konvansional, yang dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Misalnya dalam bidang pendidikan, hukuman biasa diberikan oleh orang tua kepada anaknya, atau seorang guru kepada muridnya, demikian pula dalam bidang olah raga, hukuman dilarang bertanding biasa diberikan kepada seorang atlit yang terbukti menggunakan doping saat bertanding.
Soesilo memberi arti hukuman atau pidana adalah "suatu tindakan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis pada orang yang teiah melanggat undang-undang hukum pidana.
Sydarto dalam Lamintang (1988) menyatakan masalah pidana tidak terlepas dari masalah pemidanaan antara lain bahwa,
Secara sederhana, pemidanaan dapat diartikan sebagai suatu proses penjatuhan pidana oleh hakim terhadap seseorang yang dinyatakan terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana
2.2.2. Perkembangan Teori Tentang Tujuan Pemidanaan
Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai sekarang, menurut Andi Hamzah (1986) telah menjurus kearah yang lebih rasional. Tujuan pidana yang dianggap paling tua adalah pembalasan (revange) sebagai pemuas pihak yang dendam, baik masyarakat maupun korban. Tujuan pidana yang juga dipandang kuno ialah penghapusan doss (expiation) atau retribusi (retribution), yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan keseimbangan antara yang baik dan buruk.
Adapun yang dipandang sebagai tujuan pidana yang berlaku sekarang ini ialah variasi dari bentuk-bentuk : penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun masyarakat yang mempunyai potensi menjadi penjahat; perbaikan (reformasi) kepada penjahat, dan reformasi inilah yang paling modern dan populer sekarang ini. Hal ini selain bertujuan memperbaiki kondisi pemenjaraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.
a. Teori Pembalasan atau Teori Absolut
Teori ini tidak ada memikirkan akibat-akibat yang mungkin timbul dengan adanya pemidanaan, hanya menghendaki adanya pembalasan bagi seseorang yang telah melakukan kejahatan. Aliran ini beranggapan bahwa siapa saja yang telah melakukan kejahatan tidak boleh tidak kepadanya harus diberi pembalasan yang berupa pidana, yang sesuai dengan kejahatan yang telah dilakukan. Jadi menurut teori ini, pidana tidaklah bertujuan praktis seperti memperbaiki penjahat, tetapi bertujuan menjadikan pelaku kejahatan menderita, tanpa memikirkan akibat-akibat yang mungkin akan timbul dengan adanya pemidanaan itu. Teori ini hanya melihat ke masa lampau dan tidak melihat ke masa yang akan datang.
Teori absolut ini baru dikenal pada akhir abad 18 Masehi dan beberapa sarjana pengikut aliran ini diantaranya adalah Stahl, Kant dan lain-lain.
Menurut Imanuel Kant, suatu perbuatan kejahatan itu tidak sesuai dengan rasa keadilan dan hukum, maka untuk menghilangkan ketidaksesuaian tersebut pelakunya secara mutlak harus dibalas dengan suatu pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Hal ini didasarkan dengan hal yang disebut Kategorischen Imperativ, yaitu yang menghendaki agar setiap perbuatan melawan hukum itu harus dibalas.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran absolut tersebut hanya berorientasi pada pembalasan atas dilakukannya tindak pidana oleh seseorang. Pembalasan itu dilakukan oleh negara terhadap di pelaku tindak pidana. Orang yang melakukan pidana harus dibalas dengan tindakan pembalasan yang berupa pidana.
b. Teori Tujuan atau Teori Relatif
Oleh karena teori pembalasan kurang memuaskan kemudian timbul teori tujuan atau teori relatif. Teori ini mempunyai dasar pemikiran bahwa tujuan pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat. Akan tetapi ada juga yang menafsirkan bahwa tujuan pemidanaan itu adalah untuk memulihkan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan atau tujuan untuk mencegah agar orang lain tidak melakukan kejahatan.(Lamintang, 1988)
1) Pencegahan umum
Pencegahan umum ini ditujukan kepada semua orang atau masyarakat agar takut melakukan kejahatan, dengan jalan penjatuhan pidana yang sangat berat atau menjerakan pelaku tindak pidana yang pelaksanaannya dilakukan di muka umum. Dengan demikian setiap orang dapat menyaksikan pelaksanaan pidana tersebut untuk membuat agar masyarakat umum takut berbuat suatu tindak pidana.
Tokoh utama prevensi umum ini adalah Von Feuerbach (1775-1833), dengan teorinya "Psychologische Zwang" atau paksaan psikologis. Secara garis besar teori ini menyatakan bahwa ancaman pidana bekerja sebagai ancaman psikologis. Ancaman itu akan menakutkan orang untuk melakukan tindak pidana. Pelaksanaan pidana hanya penting untuk merealisasikan ancaman itu.(Andi Hamzah, 1986). Dengan adanya ancaman pidana yang berat, maka dapat menakutkan orang yang berniat melakukan tindak pidana, karena ancaman dapat menimbulkan suatu tekanan jiwa. Apabila orang akan melakukan tindak pidana, maka ia akan berpikir terlebih dahulu dengan adanya ancaman pidana yang berat itu.
2) Pencegahan khusus
Pencegahan khusus ini berfungsi setelah terjadinya suatu tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini adalah mencegah niat buruk si penjahat untuk melakukan kejahatan lagi. Jadi ancaman pidananya ditujukan kepada siterpidana agar tidak lagi melakukan tindak pidana. Tujuan pencegahan khusus ini dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang bersifat menakut-nakuti, memperbaiki dan membuatnya tidak berdaya.
Dalam hal ini Van Hamel (XXX) membuat suatu gambaran tentang pidana yang bersifat pencegahan khusus yaitu :
a Pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk melaksanakan niat buruknya;
b. Pidana harus mempunyai unsur memperbaiki ;
c. Pidana mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki; d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tats tertib hukum.(Andi
Hamzah, 1986).
Dengan berpokok pangkal pada pendapat seperti tersebut di atas maka dapat disimpulkan, bahwa baik pencegahan umum maupun pencegahan khusus menghendaki setiap orang takut melakukan suatu tindak pidana.
c. Teori Gabungan
lainnya maupun menitikberatkan pada semua unsur yang ada.. Sedangkan menurut Muladi di dalam teori ini tujuan pemidanaan bersifat plural, karena berusaha menghubungkan prinsip-prinsip retributif dan utilitarianism. Sehingga sering kali teori ini disebut "Aliran Integratif. (Muladi, 1985)
Penulis yang pertama mengajukan teori ini adalah Pelligrino Rossi (1787-1848), kemudian diikuti oleh sarjana yang lain yaitu Binding, Merkel, Kohler Schimid, dan Beling. Pandangan integratif ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus yaitu ‘retributif dan relatif’. Jadi pemidanaan dalarn hal ini memerlukan pembenaran ganda. Disamping negara mempunyai hak untuk memidana si pelanggar hukum, juga dengan upaya memidana tersebut diharapkan suatu hasil yang bermanfaat. Misalnya, pencegahan dan rehabilitasi, kesemuanya ini dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.
Pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cars tertentu dapat memuaskan permintaan/kebutuhan pembalasan. Namun dengan cars tertentu pula dapat merehabilitasi dan meresosialisasi para narapidana ke dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut Muladi (1985) : "diperlukan seperangkat tujuan pemidanaan yang hares dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis". Seperangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan adalah
3. Memelihara solidaritas masyarakat ; dan 4. Pengimbalan/pengimbangan.
Sebagai penutup uraian tentang perkembangan teori tujuan pemidanaan ini, penulis kutipkan sebuah pandangan tujuan pemidanaan di zaman modern, yaitu dalam usulan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional tahun 2000 dalam Pasal 50, selengkapnya menentukan :
(1) Pemidanaan bertujuan :
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan menggdkkan pembinaan sehingga menjadi orang baik yang berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
merehabilitasi, tetapi juga meresosialisasikan terpidana dan mengintegrasikan terpidana ke dalam masyarakat. Tujuan ketiga dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan terpidana, untuk menyelesaikan konflik dan juga untuk mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Dan tujuan yang keempat untuk pembebasan rasa bersalah pada terpidana. Dengan penegasan bahwa pemidanaan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. 2.3. Teori Tentang Pidana Bersyarat
2.3.1. Pengertian Pidana Bersyarat
Pidana bersyarat atau yang juga Bering disebut sebagai hukuman percobaan berasal dare perkataan voorwaardelijke veroordeling. yang sebenarnya adalah lebih baik apabila perkataan tersebut diterjemahkan sebagai pemidanaan bersyarat. Akan tetapi perkataan pemidanaan bersyarat itu sendiri sebenarnya juga kurang tepat, karena dapat memberikan kesan seolah-olah yang digantungkan pada syarat itu adalah pemidanaannya atau penjatuhan dari pidananya, padahal yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu itu, sebenarnya adalah pelaksanaan atau eksekusi dari pidana yang teiah dijatuhkan oieh hakim. Mengenai pengertian pidana bersyarat ada beberapa pendapat pars ahli hukum
Sedangkan Muladi (1985) menyatakan bahwa, pidana bersyarat adalah suatu pidana, dalam hal mans si terpidana tidak usah menjalani pidana tersebut, kecuali bilamana selama masa percobaan terpidana telah melanggar syarat-syarat umum atau khusus yang telah ditentukan oleh pengadilan. Dalam hal ini pengadilan yang mengadili perkara tersebut mempunyai wewenang untuk mengadakan perobahan syarat-syarat yang telah ditentukan atau memerintahkan agar pidana dijalani apabila terpidana melanggar syarat-syarat tersebut. Pidana bersyarat ini merupakan penundaan terhadap pelaksanaan pidana.
Soesilo (1979) menyatakan bahwa, pidana bersyarat yang biasa disebut peraturan tentang "hukum dengan perjanjian" atau "hukuman dengan bersyarat" atau "hukuman janggelan" artinya adalah : orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi keputusan penjatuhan hukuman tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan.
2.3.2. Tujuan Pidana Bersyarat
Dari pengertian-pengertian tentang pidana bersyarat yang telah dijelaskan di atas maka dapat dikatakan bahwa pidana bersyarat itu sifatnya penundaan terhadap pelaksanaan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana. Hukuman itu bisa hapus apabila si terpidana selama jangka waktu yang telah ditetapkan oleh hakim, dapat menguasai atau mengendalikan dirinya agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan, akan tetapi apabila syarat-syarat tersebut diabaikan maka si terpidana harus menjalani hukumannya setelah ada putusan dari hakim.
Sepintas bila dikatakan pidana bersyarat itu ringan tidaklah berlebihan karena selama syarat-syarat itu dipenuhi maka selama masa hukumannya si terpidana tersebut berada di luar lembaga pemasyarakatan, akan tetapi anggapan tersebut tidaklah benar karena sebenarnya pidana bersyarat itu sama beratnya dengan pidana penjara, bedanya pidana penjara berada di lembaga pemasyarakatan sedangkan pidana bersyarat berada di luar lembaga pemasyarakatan. Namun setiap tindakan yang dilakukannya selaiu dalam pengawasan yang berlangsung sepanjang diterapkan syarat-syaratnya oleh hakim.
Jadi, menurut Soesilo (1979) tersebut di atas bahwa bagi terpidana yang dikenakan pidana bersyarat ini adalah suatu kesempatan untuk memperbaiki dirinya selama masa percobaan dengan perjanjian yang telah ditetapkan.
Akan tetapi adalah tidak tepat apabila untuk memperbaiki diri bagi si terpidana tersebut hanya selama masa ,menjalani pidana bersyaratnya saja, dengan demikian pengertiannya seolah-olah setelah habis masa percobaan yang ditetapkan oleh hakim maka individu atau bekas narapidana bebas untuk melakukan suatu tindak pidana.
Tidak semua jenis tindak pidana itu dapat dijatuhkan pidana bersyarat, misalnya untuk tindak pidana (delik) kekerasan seperti pembunuhan, penganiayaan berat, perampokan dan lain-lain, karena alasan adanya anggapan dalam masyarakat, terutama korban seakan-akan putusan pidana bersyarat itu sinonim dengan bebas (vrijspraak) karena terpidana bebas berkeliaran di luar, dan kesulitan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 a ayat (4) KUHP.(Andi Hamzah, 1986) Penjatuhan pidana bersyarat sering dilakukan untuk tindak pidana ringan, seperti Pasal 352 ayat (1) tentang penganiayaan ringan, Pasai 310 ayat (1) tentang penghinaan ringan dan lain-lain.
Menurut Muladi (1985) tujuan pidana bersyarat harus diarahkan pada manfaat-manfaat sebagai berikut :
a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak mempertahankan tertib hokum serta memberikan perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap pelanggaran hukum lebih lanjut.
b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi masyarakat terhadap rehabilitasi dengan cara memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana dengan masyarakat secara formal.
c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan akibatakibat negatif bari pidana perampasan kemerdekaan yang seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali narapidana ke dalam masyarakat.
d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem koreksi yang berdaya guna.
e. Pidana bersyarat diharapkan dapat mengatasi kerugian-kerugian dari penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si pelaku tindak pidana.
2.3.3. Pembinaan Terpidana di Luar Lembaga Pemasyarakatan
Di dalam Pasal 1 angka 32 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian terpidana adalah “seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan pengertian narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan".
Istilah narapidana tidak identik dengan istilah terpidana. Terpidana meliputi tidak hanya seorang yang dipidana hilang kemerdekaan (narapidana) tetapi juga meliputi seorang yang dipidana bukan hilang kemerdekaan seperti seorang yang dipidana denda. Seorang narapidana secara otomatis juga merupakan seorang terpidana tetapi seorang terpidana belum tentu merupakan seorang narapidana.
Dengan diterimanya konsep pemasyarakatan Saharjo (1963), maka sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan dihumanisasikan menjadi sistem pemasyarakatan.
Reksodiputro (1997) menyatakan, lahirnya konsepsi tentang sistem pemasyarakatan ini dianggap sebagai suatu perubahan yang menyeluruh dan mendasar dari falsafah penghukuman (yang antara lain ditandai oleh penderitaan seperti penggunaan pakaian penjara, kepala gundul dan rantai kaki) menjadi falsafah pembinaan (yang antara lain ditandai oleh pengakuan martabat terpidana sebagai manusia, mengembalikan harga diri terpidana dan mempersiapkannya kembali ke masyarakat).
Sistem pemasyarakatan barn diwujudkan dalam undang-undang yakni dengan lahirnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bahwa "pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembaaaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana". Pasal 1 angka 2 menentukan pengertian sistem pemasyarakatan adalah :
Pokok-pokok pikiran Saharjo tersebut akhirnya dijadikan prinsip-prinsip dari konsepsi pemasyarakatan sehingga bukan semata-mata sebagai tujuan dari pidana penjara melainkan merupakan sistem pembinaan narapidana. Adapun tujuan utama dari sistem pemasyarakatan menurut Pengabdian Hukum UI adalah :
1. Memasukkan bekas narapidana ke dalam masyarakat sebagai warga negara yang baik.
2. Melindungi masyarakat dari timbulnya kejahatan bekas narapidana ke dalam masyarakat karena tidak mendapatkan pekerjaan.
Proses pemasyarakatan adaiah menggambarkan tahap-tahap sistem pembinaan narapidana yang bertujuan mencapai sasaran utama dari sistem pemasyarakatan Indonesia.
Dalam sistem pemasyarakatan ini proses pemasyarakatan (resosialisasi) narapidana dilaksanakan lewat 2 (dua) jalur. Pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan ditangani oleh Direktorat Pemasyarakatan dan pembinaan di luar lembaga pemasyarakatan dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Bentuk pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan yaitu meliputi : program perawatan, program pendidikan, program keamanan dan ketertiban serta program rekreasi.
1. Pidana bersyarat 2. Pelepasan bersyarat 3. Bimbingan lebih lanjut, 4. Proses asimilasi/integrasi,
5. Pengentasan anak dengan cara pemasyarakatan untuk terpidana anak, 6. Pengentasan anak yang diserahkan negara dengan keputusan hakim
atau orang tua/wali. (Poernomo, 1986)
Narapidana dapat diberikan lepas bersyarat menurut Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu jika terpidana telah menjalani masa pidananya 2/3 (duapertiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, dan yang paling sedikit telah menjalani 9 (sembilan) bulan pidana penjara.
Pelepasan bersyarat ini sifatnya fakultatif, dapat diadakan jika menurut pertimbangan seorang narapidana itu patut diberikan Pelepasan bersyarat. Adapun faktor-faktor yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mengusulkan dan memberikan pelepasan bersyarat antara lain, yaitu :
1. Sifat delik yang telah dilakukan, 2. Pribadi dan riwayat hidup terpidana,
3. Kelakuan terpidana selama dalam lembaga pemasyarakatan,
Bimbingan lebih lanjut adaiah sangat perlu, oleh karena bukan saja dengan maksud mempermudah asimilasi dengan masyarakat, tetapi juga apabila ternyata perhitungan hakim waktu menerapkan pidana tidak cocok dengan kenyataan, yang maksudnya lamanya masa pidana yang diterapkan ternyata tidak/belum cukup membentuk narapidana menjadi manusia yang seratus persen bersih dan baik, maka narapidana dibina dalam proses lanjutan ini.
Dipandang dari unsur bimbingan/bantuan yang perlu diberikan, maka pembinaan lanjutan ini menyerupai pelepasan bersyarat, yaitu kedua pelanggar hukum tersebut telah lama-sama pernah dibina di dalam lembaga yang kemudian juga sama-sama memerlukan bantuan dan bimbingan dalam proses kembalinya ke dalam masyarakat yang telah terpaksa dipisahkan darinya.
Asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan apabila telah menjalani setengah dari masa pidana sebenarnya.
Menurut Pasal 1 Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 yang dimaksud dengan asimilasi adaiah "proses pembinaan narapidana yang dilakukan dengan membaurkan narapidana ke dalam kehidupan masyarakat.
Peraturan Menteri Kehakiman R.I No. M.01.PK.04.10 Tahun 1989 mengenai cuti yang berkaitan dengan kegiatan assimilasi ini ada 2 (dua) bentuk yaitu :
1. Cuti biasa, adalah cuti yang diberikan kepada narapidana melalui syarat-syarat tertentu untuk keperluan mengunjungi keluarga atas alasan-alasan seperti menjadi wali dalam pernikahan, menghadiri kematian, atau karena ada keluarganya yang sakit keras.
Cuti ini dilaksanakan selama 2 x 24 jam, dengan mendapat pengawalan dari petugas lembaga pemasyarakatan, dan diberikan kepada narapidana dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun ke bawah, tidak memperoleh cuti ;
b. Narapidana yang dipidana 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun
c. memperoleh cuti 1 kali dalam 1 (satu) tahun
d. Narapidana yang dipidana 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 2 (dua) tahun ;
e. Narapidana yang dipidana 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 20 (dua puluh) tahun memperoleh cuti 1 kali dalam 3 (tiga) tahun f. Narapidana yang dipidana seumur hidup, setelah pidana berubah
sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selama-lamanya 1 (satu) tahun tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan. 2. Cuti menjelang lepas mutlak (cuti pre-release) ialah cuti yang diberikan
kepada narapidana melalui syarat-syarat tertentu sebelum is memperoleh kebebasannya, dengan syarat bahwa narapidana yang bersangkutan telah menjalani setengah dari masa pidana yang sebenarnya harus dijalani sesuai dengan remisi terakhir selama-lamanya 1 (satu) tahun tidak boieh lebih dari 6 (enam) bulan.
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) selaku pembimbing dan pembina terpidana di luar lembaga pemasyarakatan rnemiliki tugas yang sangat renting bagi tercapainya keberhasilan pembinaan diri terpidana. Selain Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang memiliki tugas membimbing terpidana di luar embaga pemasyarakatan maka unsur yang tidak kalah pentingnya dalam turut serta mensukseskan program pembinaan itu sendiri adalah peran serta Masyarakat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di BAPAS Klas-I Medan, selama 3 bulan
mulai dari bulan Pebruari 2009 sampai bulan April 2009.
3.2. Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah studi kasus yang didukung dengan
survey. Adapun jenis penelitian adalah deskriptif kuantitatif. Nazir (2005)
menyatakan bahwa : “Penelitian deskriptif adalah metode dalam penelitian status
kelompok manusia, suatu pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar
fenomena yang diselidik.
Sedangkan Arikunto (2002) menyatakan bahwa , “penelitian kuantitatif
memiliki kejelasan unsur yang rinci sejak awal, langkah penelitian yang sistematis,
populasi, memiliki hipotesis jika perlu, memiliki desain jelas dengan langkah-langkah
penelitian dan hasil yang diharapkan, memerlukan pengumpulan data yang dapat
Unit analisis yang dilakukan adalah Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Klas-I
Medan dengan subjek penelitian adalah pegawai Balai Pemasyarakatan ( BAPAS )
Klas-I Medan yang merupakan Pembimbing Kemasyarakatan. Yang berjumlah 34
orang. Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif explanatory. Sugiyono (2003)
menyatakan bahwa, “penelitian explanatory merupakan penelitian yang bermaksud
menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti serta hubungan antara satu
variabel dengan yang lainnya.”
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Balai Pemasyarakatan
(BAPAS) Klas-I Medan yang bertugas di bagian Pembimbing Kemasyarakatan
berjumlah 34 orang pegawai.
Menurut Sugiyono (2003), bahwa apabila semua anggota populasi dijadikan
sampel disebut sampling jenuh atau istilah lainnya adalah sensus. Oleh karena itu
dalam penelitian ini jumlah sampel yang diteliti sama dengan jumlah populasi dari
subjek yang akan diteliti, yaitu sebanyak 34 orang pegawai.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
1. Daftar Pertanyaan (Questionnaire) yang diberikan kepada pegawai Rumah
Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas-I Medan yang dijadikan sampel
2. Wawancara (Interview) yang dilakukan dengan pimpinan yang berhak dan
berwenang memberikan informasi dan data sesuai dengan penelitian ini.
3. Studi Dokumentasi, pengumpulan data melalui dokumen-dokumen berupa
laporan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas-I Medan dan data lain
yang menunjang dalam penelitian ini.
3.5. Jenis dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari pegawai yang
dijadikan sampel penelitian dan dari penyebaran angket dan wawancara.
2. Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang mendukung data primer, yang diperoleh
peneliti dari dokumen-dokumen di Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Klas-I
Medan. Data ini berupa informasi tambahan yang diperlukan peneliti
seperti sejarah perusahaan, struktur organisasi dan data kepegawaian yang
diperoleh dari Balai Pemasyarakatan ( BAPAS ) Klas-I Medan
3.6. Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel
Dalam penelitian ada tiga (3) hipotesis. Untuk hipotesis pertama,
variabel yang diukur yaitu penilaian hakim secara tercatat (X1) dan penilaian
dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat (Y) sebagai variabel
terikat.
Penilaian hakim yang secara tercatat (X1) dengan indikator:
a. Penilaian atas perundang-undangan
b. Penilaian administrasi
Penilaian hakim yang secara tidak tercatat (X2) dengan indikator:
a. Penilaian atas sarana / prasarana
b. Penilaian terhadap teknis pembinaan dan pengawasan
Tabel 3.1. Operasional Variabel Penelitian
Variabel Definisi Indikator Pengukuran
Peranan bapas
3.7. Pengujian Validitas dan Reliabilitas 3.7.1. Uji Validitas
Untuk menguji apakah instrumen angket yang dipakai cukup layak
digunakan sehingga mampu menghasilkan data yang akurat sesuai dengan tujuan
pengukurannya maka dilakukan uji validitas. Ghozali (2005) menyatakan bahwa
pengukuran waliditas dapat dilakukan dengan korelasi bivariate antara
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk. Perhitungan korelasi bivarite
masing-masing skor indikator dengan total skor konstruk dengan menggunakan
perangkat lunak SPSS versi 12,0.
Ketentuan apakah suatu butir instrument valid atau tidak adalah melihat
nilai probabilitas koefisien korelasinya. Menurut Ghozali (2005),uji signifikansi
dilakukan membandingkan nilai r hitung dengan r table. Jika r hitung lebih besardari r table
Menurut Umar (2004), untuk melakukan uji validitas instrumen dengan
melakukan uji coba pengukur pada sejumlah responden, responden diminta untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada. Jumlah responden untuk uji coba
disarankan minimal 30 orang, agar distribusi skor ( nilai ) akan lebih mendekati
kurva normal.
Dari hasil pengujian validitas yang dilakukan dengan menggunakan
SPSS pada lampiran terhadap variabel penilaian hakim secara tercatat (X1) dan
penilaian hakim secara tidak tercatat (X2) terhadap peranan petugas BAPAS dalam
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat (Y), ternyata seluruh
valid, karena lebih besar dari 0,30.
3.7.2. Uji Reliabilitas
Selanjutnya untuk mendapatkan instrumen yang realibel, dilakukan uji
realibitasi. Uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui instrumen yang
dapat dipercaya sebagai alat ukur data. Dalam hal ini teknik yang digunakan
untuk menguji realibilitas adalah Cronbach Alpha. Menurut Nunnally dalam
Imam Ghozali (2005) instrumen penelitian dikatakan reliabel bila hasil
Cronbach Alpha > 0,60. Nilai-nilai reliabilitas instrumen penelitian ini berkisar
0,688 sampai dengan 0,764 yang menunjukkan tingkat reliabilitas instrumen
3.8. Pengujian Asumsi Klasik
Menurut Arikunto (2002) penggunaan Model Regresi Linier Berganda
harus memenuhi asumsi klasik, antara lain:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Menurut
Ghozali (2005) ada dua cara mendeteksi apakah residual berdistribusi
normal atau tidak yaitu dengan analisis grafik dan uji statistik Analisis grafik
dengan melihat histogram dan normal plot sedangkan analisis statistik
dilakukan dengan menggunakan uji statistik non parametrik
Kolmogorov-Smirnov (K-S).
2. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas (independent). Model
regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel
independent. Jika variabel independen saling berkorelasi, maka
variabel-variabel ini tidak ortogonal.
Variabel ortogonal adalah variabel independen sama dengan nol. Menurut
Ghzali (2005) mul multikolinieritas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan
lawannya (2) variance inflation factor (VIF). Kedua ukuran ini
menunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model
regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan yang lain. Jika variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas. Model regresi
yang baik adalah yang homokedastisitas atau tidak terjadi
heteroskedastisitas. Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya
heteroskedastisitas yaitu dengan melihat Grafik Plot dan Uji Park (Ghozali,
2005)
3.9. Model Analisis Data
Model analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi
Linear Berganda (Multiple Regression) dengan model sebagai berikut:
Y = β0 + β 1 X1 + β 2 X2 + ∈
Dimana:
Y = Peranan BAPAS dalam pembinaan dan pengawasan pidana bersyarat
X1 = Penilaian hakim yang secara tercatat
X2 = Penilaian hakim yang secara tidak tercatat
β 0 = Koefisien regresi
β 1 = Koefisien Variabel X1
∈ = Epsilon atau variabel yang tidak diteliti
Pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat diuji pada α = 0,05.
Kriteria pengujian hipotesis untuk uji secara bersama-sama (serempak) adalah:
1. H0 : β 1 = β 2 = 0 (Analisis penilaian hakim atas peranan petugas BAPAS
tidak berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan pengawasan dan pembinaan
pidana bersyarat)
2. Ha : Minimal satu β ≠ 0 (Analisis penilaian hakim atas peranan petugas
BAPAS berpengaruh signifikan terhadap pelaksanaan pengawasan dan
pembinaan pidana bersyarat)
Untuk menguji apakah hipotesis diajukan diterima atau ditolak digunakan
statistif F (Uji F). Dalam hal ini F hitung dibandingkan dengan F tabel, jika F hitung <
F tabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika F hitung > F tabel, maka H0
ditolak dan Ha diterima. Cara lain adalah jika tingkat kepercayaan lebih kecil dari
95% maka H0 diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika tingkat kepercayaan lebih
besar dari 95% maka H0 ditolak dan dan Ha diterima.
Sedangkan pengujian hipotesis secara parsial adalah:
1. a. H0 : β 1 = 0 (Analisis penilaian hakim yang secara tercatat atas peranan
petugas BAPAS tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
b. Ha : β 1 ≠ 0 (Analisis penilaian hakim yang secara tercatat atas peranan
petugas BAPAS tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat)
2. a. H0 : β 2 = 0 (Analisis penilaian hakim yang secara tidak tercatat atas
peranan petugas BAPAS tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat)
b. Ha : β 2 ≠ 0 (Analisis penilaian hakim yang secara tidak tercatat atas
peranan petugas BAPAS berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pelaksanaan pengawasan dan pembinaan pidana bersyarat
Kriteria pengambilan keputusan: t hitung dibandingkan dengan t tabel (uji dua
sisi), jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika t hitung > t
tabel, maka H0 ditolak dan Ha diterima, dengan cara lain adalah jika tingkat
kepercayaan lebih kecil dari 95% maka H0 diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika
tingkat kepercayaan lebih besar dari 95% maka H0 ditolak dan dan Ha diterima, atau
jika sig > α0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak, sedangkan jika sig < α0,05, maka