• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembobotan Kriteria Tujuan dalam Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Wilayah Perbatasan Negara

Dalam dokumen IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 73-77)

Berdasarkan hasil dari pendapat pakar tersusun tujuan yang menjadi capaian utama, gambar 47 menunjukkan urutan prioritas tujuan tersebut.

Keterangan : PPK = Pengembangan dan Penataan Kawasan PKS = Peningkatan Kesejahteraan

PE = Pengembangan SDA dan Ekosistem Kawasan PRK = Pengembangan Prasarana Kawasan MK = Minimasi Konflik

Gambar 47. Urutan prioritas tujuan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di wilayah perbatasan negara

Berdasarkan gambar 47 hasil analisis AHP yang merupakan tujuan (level 4) menunjukkan pengembangan dan penataan kawasan dan peningkatan kesejahteraan mendapat priotitas utama dalam kriteria tujuan dengan masing-masing bobot nilai 0,326 dan 0,313. Pengembangan kawasan menjadi prioritas sesuai dengan GBHN 1999 mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan merupakan kawasan tertinggal yang harus mendapat prioritas dalam pembangunan. Amanat GBHN ini telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa wilayah perbatasan negara sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga akan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah perbatasan Kabupaten Nunukan.

Penanganan pengembangan kawasan permukiman sesuai dengan UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pada pasal 2 memuat penjelasan bahwa lingkup pengaturan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang

menyangkut penataan perumahan meliputi kegiatan pembangunan baru, pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaataannya. Pengembangan yang menyangkut penataan permukiman meliputi kegiatan pembangunan baru, perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Konsep penataan dan pengembangan permukiman di Indonesia berbeda dengan di Malaysia. Dalam mengembangkan kawasan permukiman, Malaysia khususnya di wilayah perbatasan dengan Indonesia menggunakan pola cascade (ditarik ke dalam tidak linier di sepanjang jalan). Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari perkembangan permukiman berpola linier/ribbon development (Departemen PU 2002).

Seiring meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan permukiman sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia ikut meningkat pula. Berdasarkan asumsi pertumbuhan penduduk berdasarkan pada tiap-tiap skenario yang direncanakan, serta dengan menggunakan asumsi bahwa setiap keluarga terdiri dari 5 orang, maka perkiraan kebutuhan minimum rumah pada tahun 2009 dan tahun 2014 berdasarkan tiap skenario dapat ditentukan seperti tertera pada Tabel 19.

Tabel 19. Kebutuhan rumah di Kabupaten Nunukan tahun 2009 dan 2014 Kawasan Skenario Jumlah Penduduk Kebutuhan Rumah (unit) Perumahan Pesimis 2009 96.961 18.640 2014 107.053 20.579 Optimis 2009 116.784 21.429 2014 144.840 26.578 Ambisius 2009 163.171 26.264 2014 239.751 41.110 Sumber: Hasil Analisis

Kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat merupakan permasalahan utama di wilayah perbatasan. Hal ini disebabkan sentralisasi pembangunan di masa lalu dan kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dalam pengelolaan wilayah perbatasan sehingga menyebabkan minimnya prasarana dan sarana wilayah, terbatasnya fasilitas umum dan sosial, serta rendahnya kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pelayanan publik di wilayah perbatasan menyebabkan orientasi

aktivitas sosial-ekonomi masyarakat ke wilayah negara tetangga. Untuk memenuhi hak-hak masyarakat sebagai warga negara dalam memperoleh pelayanan publik dan kesejahteraan sosial serta membuka keterisolasian wilayah, diperlukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan.

Kebijakan pengembangan wilayah perbatasan negara ke depan adalah dengan peningkatan keberpihakan terhadap wilayah perbatasan sebagai daerah tertinggal dan terisolir dengan menggunakan pendekatan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang.

Paradigma pengelolaan wilayah perbatasan pada masa lampau berbeda dengan pradigma saat ini. Pada masa lalu pengelolaan wilayah perbatasan lebih menekankan kepada aspek keamanan (security approach), sedangkan saat ini kondisi keamanan regional relatif stabil sehingga pengembangan wilayah perbatasan perlu pula menekankan kepada aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Pengelolaan wilayah perbatasan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) sangat diperlukan untuk mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, meningkatkan sumber pendapatan negara, dan mengejar ketertinggalan pembangunan dari wilayah negara tetangga. Oleh karena itu, pengembangan wilayah perbatasan melalui pendekatan kesejahteraan sekaligus pendekatan keamanan secara serasi perlu dijadikan landasan dalam penyusunan berbagai program dan kegiatan di wilayah perbatasan pada masa yang akan datang.

Prioritas selanjutnya adalah pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah dengan bobot nilai 0,158. Pengelolaan SDA dan ekosistem wilayah sangat penting untuk dilaksanakan sehingga SDA dan wilayah tidak terdegradasi akibat adanya pembangunan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan pembangunan perlu direncanakan secara terpadu berdasarkan pada pengelolaan secara optimal potensi-potensi SDA dan ekosistem wilayah.

Kawasan permukiman di wilayah perbatasan negara mempunyai dampak langsung terhadap kualitas lingkungan seperti fakta adanya kawasan permukiman yang liar dan tidak tertata yang keberadaannya juga dapat mengganggu ekosistem air tanah. Di lain pihak, masyarakat dan pekerja di wilayah perbatasan banyak kekurangan rumah sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah, para pekerja

menyewa tempat tinggal dengan tarif setengah dari gajinya. Apabila para pekerja dapat dipenuhi kebutuhan rumahanya oleh para stakeholders terkait, maka gajinya akan lebih besar untuk kebutuhan kesejahteraan sehingga etos kerja para pekerja akan semakin meningkat (Gilbreath 2002).

Prioritas selanjutnya yaitu pengembangan prasarana dan sarana dengan bobot nilai 0,116 yang sangat penting dilakukan untuk pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya alam di kawasan tersebut. Prioritas terakhir adalah minimalisasi konflik dengan bobot nilai 0,087 yang penting dilakukan agar tidak terjadi konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat dengan masyarakat negara tetangga, masyarakat dengan pemerintah daerah, dan masyarakat dengan pemerintah provinsi/pusat. Hal ini dapat mendatangkan keuntungan bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.

Peningkatan kerja sama bilateral, subregional, maupun regional dalam berbagai bidang pengelolaan perbatasan tidak dapat dilepaskan dari konteks lingkungan internasional maupun regional. Di era globalisasi seperti saat ini, setiap negara di saling tergantung satu sama lain.

Adanya saling ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan keamananan. Oleh karena itu, peningkatan kerja sama dengan negara tetangga baik secara bilateral, subregional, maupun regional diharapkan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat menghindari terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari segi sosial-budaya maupun ekonomi. Selain itu kerja sama, antarnegara sangat diperlukan untuk meningkatkan investasi dan optimalisasi pemanfaatan SDA di wilayah perbatasan, serta untuk menanggulangi berbagai permasalahan hukum yang terjadi di wilayah perbatasan.

Kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah perbatasan RI - Malaysia yang ada saat ini adalah General Border Committee (GBC) yang diketuai oleh Panglima TNI. Forum ini mengadakan pertemuan setahun sekali dengan pergantian tempat antara Indonesia dan Malaysia.

Permasalahan perbatasan yang ada saat ini terjadi pada sembilan titik. Permasalahan ini sangat kompleks dan menyangkut kepastian hukum wilayah NKRI atau Malaysia, yaitu masalah (1) Tanjung Datu, (2) Batu Aum, (3)

Semilau, (4) Sungai Sinapad, (5) Sungai Semantipal, (6) Nanga Badau, (7) Sungai Buan, (8) Gunung Raya, dan (9) Pulau Sebatik.

Kerja sama di bidang sosial-ekonomi daerah perbatasan Malaysia (Sarawak dan Sabah) dengan Indonesia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur) yang disebut Sosek Malindo telah dilengkapi dengan kelompok kerja (KK). Sosek Malindo di tingkat provinsi/negeri ditujukan untuk (a) menentukan proyek-proyek pembangunan sosial ekonomi yang digunakan bersama, (b) merumuskan hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan pembangunan sosial ekonomi di wilayah perbatasan, (c) melaksanakan pertukaran informasi mengenai proyek-proyek pembangunan sosial-ekonomi di wilayah perbatasan bersama, dan (d) menyampaikan laporan kepada KK Sosek Malindo tingkat pusat mengenai pelaksanaan kerja sama pembangunan sosial-ekonomi di daerah perbatasan.

E. Pembobotan Kriteria Sasaran dalam Pengembangan Kawasan

Dalam dokumen IV HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 73-77)

Dokumen terkait