• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.3. Cara Kerja

3.3.2. Pembuatan Biodiesel dengan Katalis KOH

Bahan baku berupa minyak goreng bekas sebelum digunakan terlebih dahulu disaring untuk memisahkan kotoran yang terdapat dalam minyak. Katalis KOH (0,5; 1; 2; 3; dan 4% berat minyak) dilarutkan dalam metanol (10, 20, 30,

32 dan 40% v/v) dan dipanaskan pada suhu 60oC. Minyak goreng bekas dipanaskan pada suhu 600C dengan selang waktu (15, 30, 60, dan 90 menit) dalam labu leher tiga yang sudah dilengkapi dengan termometer dan pengaduk. Setelah suhu kedua reaktan tercapai (60oC), larutan metoksida (KOH dan metanol) dimasukkan ke dalam labu leher tiga, pengaduk dijalankan dengan kecepatan putaran 1000 rpm.

Produk yang dihasilkan dipisahkan dalam corong pisah selama 1 malam sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas biodiesel dan lapisan bawah gliserol. Biodiesel yang dihasilkan ditimbang beratnya dan dihitung % hasilnya.

3.3.3. Pembuatan Biodiesel dengan Katalis H-Zeolit

Minyak goreng bekas dipanaskan pada suhu 60oC dengan selang waktu (1, 3, 5 dan 7 jam) dalam labu leher tiga yang sudah dilengkapi dengan termometer dan pengaduk. Metanol (10, 20, 30, dan 40% v/v) juga dipanaskan ditempat terpisah. Setelah suhu kedua reaktan tercapai (60oC), metanol dan katalis H-zeolit dengan konsentrasi ( 0,5%; 1%; 2%; 3%; dan 4% dari berat minyak) dimasukkan ke dalam labu leher tiga, pengaduk dijalankan dengan kecepatan putaran 1000 rpm. Produk yang dihasilkan dipisahkan dalam corong pisah selama 1 malam sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas biodiesel dan lapisan bawah gliserol.

Biodiesel yang dihasilkan ditimbang beratnya dan dihitung % hasil.

biodiesel =Berat biodiesel (hasil percobaan)

Berat minyak × 100%

33 Gambar 7. Rangkaian alat untuk pembuatan biodiesel

3.3.4. Analisa Senyawa Biodiesel dengan GCMS

Biodiesel yang sudah dihasilkan pada kondisi terbaik (waktu, konsentrasi katalis dan jumlah reaktan) ditambahkan n-heksan. Kemudian divortex dan dimasukkan ke dalam sentrifus. Larutan tersebut diambil, dan dimasukan ke dalam vial untuk dianalisa lebih lanjut dengan alat GCMS.

Gambar 8. GCMS Shimadzu-QP2010

34

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Sifat Fisika dan Kima Minyak Goreng Bekas.

Minyak goreng bekas sebelum direaksikan terlebih dahulu dianalisa sifat fisika dan kimianya. Datanya dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4. Sifat fisika dan kimia minyak goreng bekas

Nilai densitas dan viskositas pada penelitian ini diukur dua kali yaitu pada suhu ruang (29oC) dan pada suhu 40oC. Dari data di atas diketahui densitas minyak goreng bekas yang digunakan adalah 0,89 g/mL pada suhu ruang atau 29oC dan 0,88 g/mL pada suhu 400C. Nilai viskositas yang didapat sebesar 4,55 cSt pada suhu 29oC dan 3,27 cSt pada suhu 40oC, Perbedaan nilai tiap suhu disebabkan karena pada suhu yang tinggi kerapatan senyawa berkurang atau lebih encer. Pengukuran ini bertujuan untuk membandingkan densitas dan viskositas sebelum dan setelah proses transesterifikasi.

Minyak goreng bekas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung kadar air 0,19%. Hasil ini menunjukan bahwa kadar air kurang dari 1% sehingga tidak perlu ada pelakuan untuk menghilangkan kadar air. Kadar air yang tinggi (lebih dari 1%) dapat mengakibatkan reaksi samping yaitu reaksi hidrolisis antara trigliserida dengan air yang menghasilkan asam lemak bebas yang dapat

No Sifat Fisik Kimia Satuan Nilai

36 mengganggu reaksi pembentukan biodiesel. Kadar air yang terkandung dalam minyak goreng selain berasal dari air yang terkandung dalam minyak goreng itu sendiri, juga berasal dari bahan pangan lain yang digoreng. Selama proses penggorengan berlangsung, sebagian air akan bebas menguap dan sebagian lagi masih berada dalam minyak (Sugiati, 2007).

Pada dasarnya kadar air berpengaruh terhadap perlakuan produksi biodiesel.

Menurut Rahayu (2009) syarat maksimal kadar air pada minyak adalah 1%. Jika kadar air lebih dari 1% maka perlu adanya perlakuan lebih lanjut untuk menghilangkan kadar air yang terkandung dalam minyak. Yoeswono dkk. (2008) mengurangi kadar air yang terkandung pada minyak dengan menambahkan natrium anhidrat.

Kadar asam lemak bebas (FFA) yang dihasilkan adalah 2,71 mg KOH/g minyak atau 0,07%. Nilai ini lebih kecil dari batas yang ditetapkan yaitu maksimal 1%. Jika kadar FFA < 1% maka tidak diperlukan pretreatment (esterifikasi) untuk menghilangkan FFA (Rahayu, 2009). Jadi pembuatan biodiesel bisa langsung menggunakan proses transesterifikasi tanpa melalui esterifikasi.

Jika kadar FFA > 1%, asam lemak bebas lebih reaktif bereaksi dengan katalis basa menghasilkan sabun dibandingkan trigliserida dan reaksi berlangsung secara nonreversible (Yurcel dan Turkay, 2003). Hal ini akan berdampak terhadap pemurnian biodiesel, dimana gliserol akan sulit dipisahkan dari biodiesel.

Tinggi atau rendahnya kandungan asam lemak bebas disebabkan oleh adanya kandungan air dalam minyak. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam

37 proses pengolahan lemak tersebut terjadi proses oksidasi yang sangat tinggi.

Reaksi pembentukan asam lemak bebas dalam minyak adalah :

Gambar 10. Reaksi pembentukan asam lemak bebas pada minyak.

Dan reaksi safonifikasi yang mungkin terjadi akibat asam lemak bebas (FFA) berlebih adalah :

R-COOH + KOH  R-COOK + H

2

O

Gambar 11. Reaksi safonifikasi asam lemak bebas

4.2. Optimasi Kondisi Operasi Pembuatan Biodiesel dengan Katalis KOH 4.2.1. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Yield Biodisel

Untuk mempelajari pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel dilakukan dengan cara mengubah-ubah waktu reaksi di setiap percobaan. Untuk katalis KOH ini, variabel waktu yang digunakan adalah 15, 30, 60 dan 90 menit.

Sedangkan untuk variabel lainnya dibuat konstan yaitu suhu 60oC yang didasarkan pada titik uap metanol yaitu sekitar 67oC, jumlah katalis 1%, dan perbandingan reaktan 4:1(volume) (Aziz, 2006).

38 Gambar 12. Pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel (katalis KOH)

Gambar diatas menunjukan bahwa pada penambahan waktu 15 menit yield biodiesel yang dihasilkan adalah 83,37%, kemudian dengan penambahan wakktu 30 menit tejadi peningkatan yield biodiesel yaitu sebesar 84,55%, kenaikan tertinggi dapat ditunjukan dengan penambahan waktu 60 menit dengan yield 84,68%. Kenaikan persen hasil biodiesel tidak terlalu tinggi karena reaksi sudah hampir mencapai kesetimbangan, sehingga tambahan waktu reaksi tidak akan mempengaruhi reaksi (Widyastuti, 2007). Tetapi pada penambahan waktu 90 menit biodiesel yang dihasilkan tidak mengalami kenaikan yaitu sebesar 84,12%

hal ini menunjukan bahwa waktu yang optimum dapat ditunjukan pada penambahan waktu 60 menit. Aziz (2007) melakukan penelitian tentang reaksi transesterifikasi dengan katalis KOH, didapatkan waktu optimum 60 menit.

4.2.2. Pengaruh Konsentrasi KOH terhadap Yield Biodiesel

Pada pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel yang dipelajari ini, konsentrasi katalis yang digunakan untuk katalis KOH yaitu pada variasi

39 konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4%, sedangkan untuk variabel tetap yang digunakan adalah pada waktu 1 jam berdasarkan data yang diperoleh dari pengaruh waktu terhadap yield biodiesel dengan suhu 60oC, konsentrasi reaktan 20% dan kecepatan pengadukan 1000 rpm

Berdasarkan data yang dihasilkan, dapat dilihat dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi katalis KOH terhadap yield biodiesel Konsentrasi katalis KOH 0,5% menghasilkan yield biodiesel sebesar 90,36%. Ketika konsentrasi KOH dinaikkan menjadi 1%, yield biodiesel juga naik menjadi 92,10%. Hal ini disebabkan karena semakin banyak katalis akan meningkatkan energi aktivasi, sehingga akan meningkatkan jumlah molekul yang teraktifkan yang menyebabkan kecepatan reaksi menjadi naik (Widyastuti, 2007).

Kenaikan konsentrasi katalis diatas 1%, ternyata tidak menaikkan yield biodiesel.

Hal ini disebabkan karena kemungkinan reaksi samping yang terjadi antara katalis dengan minyak misalnya reaksi safonifikasi dengan katalis KOH yang menghalangi terjadinya reaksi antara minyak dengan metanol yang mengakibatkan kecepatan reaksi biodiesel yang dihasilkan semakin menurun,

0

40 disamping itu KOH yang seharusnya berfungsi sebagai katalis berubah menjadi reaktan yang ikut bereaksi dengan minyak, sehingga efektivitas katalis semakin menurun (Aziz, 2007).

Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Aziz (2007) bahwa persen hasil biodiesel tertinggi dicapai pada penggunaan katalis 1%. Dalam penelitian Yoeswono (2008) dijelaskan bahwa konsentrasi katalis yang dominan (pada titik dimana konsentrasi katalis mencapai titik optimum) akan menghasilkan spesies ion metoksida yang lebih banyak dibandingkan konsentrasi katalis yang lainnya. Pada penelitannya nilai optimum dicapai pada konsentrasi katalis 1%

untuk katalis KOH.

4.2.3. Pengaruh Perbandingan Reaktan Terhadap Yield Biodiesel.

Sama seperti variasi yang lain, di tahapan ini yang dibedakan adalah jumlah metanol dengan variasi konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan 40% (volume) dengan variabel tetap waktu 1 jam, konsentrasi katalis 1%, berdasarkan data yang dihasilkan dari pengaruh waktu dan konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel, suhu 60oC, dan kecepatan pengadukan 1000 rpm.

Berdasarkan data yang diperoleh, pengaruh konsentrasi metanol dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

41 Gambar 14. Pengaruh % reaktan terhadap % yield biodiesel (katalis KOH)

Dari gambar di atas dapat dilihat yield biodiesel yang dihasilkan utuk variasi konsentrasi metanol dengan katalis KOH. Semakin tinggi konsentrasi metanol maka yield biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi, hal ini dapat dilihat pada variasi konsentrasi 10% ke 20% dengan yield 87,93% ke 92,10%. Tetapi konsentrasi metanol di atas 20% ternyata tidak lagi menaikkan yield biodiesel.

Hasil yang didapatkan cenderung stabil. Yield biodiesel pada konsentrasi metanol 30% dan 40%, adalah 91,79% dan 89,44%. Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi metanol yang terbaik dengan katalis KOH dapat dilihat pada konsentrasi metanol 20%.

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida sehingga diperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan volum alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 v/v dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw dan Meuly, 1944). Terlalu banyak alkohol yang dipakai menyebabkan biodiesel mempunyai viskositas yang terlalu rendah dibandingkan dengan minyak solar, selain itu juga menurunkan titik nyala

87.5

42 biodiesel, karena pengaruh sifat alkohol yang mudah terbakar. Purwanto dkk.

(2003) menggunakan perbandingan pereaksi sebesar 1:2,2 (etanol:minyak), Kusmiyati (1999) menggunakan rasio molar alkohol-minyak 1:6, dan Azis (2005) menggunakan rasio volume 1:4 metanol-minyak. Dalam penelitian-penelitian yang lain (Sing dkk., 2006; Susilowati dkk., 2006; dan Tjukup dkk., 2011) menggunakan perbandingan reaktan minyak dengan metanol 1:6.

4.3. Optimasi Kondisi Operasi Pembuatan Biodiesel dengan katalis H-zeolit 4.3.1. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Yield Biodisel

Pada pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel ini waktu yang digunakan dibuat bervariasi yaitu 1 jam, 3 jam, 5 jam kemudian 7 jam, sedangkan untuk variabel lainnya dibuat konstan yaitu pada suhu 60oC, jumlah katalis 1%, kecepatan pengadukan 1000 rpm dan perbandingan reaktan 4:1(volume) (Aziz, 2006). Waktu yang digunakan antara katalis KOH dan H-zeolit berbeda karena setelah dilakukan uji ternyata biodiesel dengan katalis zeolit pada waktu sebelum satu jam belum terbentuk sehingga digunakan variabel waktu tersebut.

Dari hasil penelitian ini data yang diperoleh dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

43 Gambar 15. Pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel (katalis H-zeolit)

Penggunaan katalis H-zeolit pada waktu 1 jam menghasilkan yield biodiesel sebesar 5,99 % dan naik seiring dengan pertambahan waktu. Kenaikan yield biodiesel yang maksimum dapat dilihat pada waktu 5 jam yaitu sebesar 7,85

%. Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa semakin lama waktu reaksi, yield yang didapat semakin naik tetapi tidak terlalu besar. Penambahan waktu menjadi 7 jam, yield yang dihasilkan tidak mengalami kenaikan atau hampir dikatakan konstan. Ini menandakan bahwa reaksi sudah mencapai titik kesetimbangan (Darsono dkk., 2010). Kenaikan persen hasil biodiesel tidak terlalu tinggi karena reaksi sudah hampir mencapai kesetimbangan, sehingga tambahan waktu reaksi tidak akan mempengaruhi reaksi (Widyastuti, 2007)

4.3.2. Pengaruh Konsentrasi H-zeolit terhadap Yield Biodiesel

Pada pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel yang dipelajari ini, konsentrasi katalis H-zeolit yang digunakan yaitu pada konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4% H-zeolit (b/b). Untuk variabel lain yang digunakan dibuat tetap

44 yaitu pada waktu 5 jam (berdasarkan data yang diperoleh dari pengaruh waktu terhadap yield biodiesel), dengan suhu 60oC, konsentrasi reaktan 20% dan kecepatan pengadukan 1000 rpm

Berdasarkan data yang dihasilkan, dapat dilihat dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 16. Pengaruh konsentrasi H-zeolit terhadap yield biodiesel

Konsentrasi katalis H-zeolit 0,5%, yield biodiesel yang terbentuk adalah 6,15% berat dan naik pada konsentrasi 1% sebesar 11,56%, pada konsentrasi di atas 1% yield biodiesel mengalami penurunan. Widyastuti (2007) menyatakan bahwa semakin banyak katalis akan meningkatkan energi aktivasi, sehingga akan meningkatkan jumlah molekul yang teraktifkan yang menyebabkan kecepatan reaksi menjadi naik. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Padmaningsih dkk (2006) yang melakukan penelitian dengan menggunakan katalis Nb2O5-ZAA (zeolit alam aktif) yang menghasilkan biodiesel sebesar 76,76% dengan konsentrasi katalis 3,75%. Sementara itu Susilowati (2006) melakukan penelitan

0

45 pembentukan biodiesel dari minyak biji kapuk dengan katalis yang diaktivasi dengan NH4NO3 yield metil ester yang dihasilkan sebesar 1,76%.

4.3.3. Pengaruh Perbandingan Reaktan Terhadap Yield Biodiesel.

Pada tahapan ini yang dibedakan adalah jumlah metanol dengan variasi konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan 40% (volume) dengan variabel tetap waktu 5 jam, konsentrasi katalis 1% (berdasarkan data yang dihasilkan dari pengaruh waktu dan konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel), suhu 60oC, dan kecepatan pengadukan 1000 rpm.

Berdasarkan data yang diperoleh, pengaruh konsentrasi metanol dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 17. Pengaruh % reaktan terhadap % yield biodiesel (katalis H-zeolit) Dari gambar di atas dapat dilihat yield biodiesel yang dihasilkan untuk variasi konsentrasi metanol dengan katalis H-zeolit terjadi kenaikan pada setiap penambahan metanol. Pada konsentrasi metanol 10%, yield biodiesel yang

0

46 dihasilkan 2,07% dan naik ke konsentrasi metanol 20%, 30% dan 40% dengan yield biodiesel secara berturut-turut adalah 11,56%, 15,98% dan 43,41%.

Secara fisika biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan katalis H-zeolit ini lebih mudah menguap, encer, dan warnanya lebih jernih. Kemungkinan yang terjadi adalah zeolit yang digunakan sebagai katalis ini lebih dominan berperan sebagai absorben (Widayat dan Haryani, 2006)

4.4. Karakteristik Biodiesel.

Pada pengukuran karakteristik ini biodiesel yang digunakan dibuat berdasarkan waktu, konsentrasi katalis dan konsentrasi reaktan yang dihasilkan berdasarkan hasil optimum pada setiap variabel yaitu pada waktu 1 jam (katalis KOH), 5 jam (katalis zeolit), perbandingan reaktan 1% (katalis KOH dan H-zeolit), perbandingan reaktan 20%, suhu 60oC, kecepatan pengadukan 1000 rpm.

Pengukuran karakteristik ini meliputi pengukuran densitas dan viskositas pada.

Hasil pengukuran densitas dan viskositas yang dilakukan dengan dua variabel suhu yang berbeda antara suhu 29 oC dan 40 oC, dengan faktor pembanding karakteristik fisika biodiesel menurut SNI 2006 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Sifat fisik biodiesel dengan katalis KOH dan H-zeolit

No Sifat Fisik Katalis KOH Katalis H-zeolit Biodiesel SNI 2006

1 Densitas 29oC (g/mL) 0,85 0,78 0,85-0,89

2 Densitas 40oC(g/mL) 0,84 0,77 0,85-0,89

3 Viskositas 29 oC (cSt) 3,70 0,38 2,3-6,0

4 Viskositas 40oC (cSt) 3,09 0,35 2,3-6,0

Densitas biodiesel dengan katalis KOH pada suhu 29oC adalah 0,85 g/mL dan turun pada kenaikan suhu 40oC dengan nilai 0,84 g/mL. Jika dibandingkan

47 dengan standar SNI biodiesel, biodiesel ini masuk range yang ditetapkan, sedangkan apabila dibandingkan dengan sampel minyak memiliki nilai yang berbeda, densitas sampel minyak pada suhu 29oC dan 40oC secara berturut-turut adalah 0,89 g/mL dan 0,88 g/mL. Begitu juga dengan katalis zeolit nilai densitas pada suhu 29 oC memiliki nilai 0,78 g/mL dan 0,77 g/mL pada suhu 40oC. Pada dasarnya densitas biodiesel berkaitan dengan nilai kalor dan daya yang dihasilkan oleh mesin diesel. Densitas yang rendah akan menghasilkan kalor yang tinggi (Aziz, 2010).

Nilai viskositas biodiesel dengan katalis KOH pada data diatas dengan suhu yang berbeda antara suhu 29oC dan 40oC secara berturut turut adalah 3,70 cSt dan 3,09 cSt, sedangkan viskositas dengan katalis H-zeolit secara berturut turut 0,38 cSt dan 0,35 cSt. Pada variabel suhu terlihat sekali perbedaan bahwa semakin tinggi suhunya maka nilai viskositas akan semakin rendah. Sama halnya dengan densitas, nilai viskositas biodiesel juga mengalami mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan sampel minyak. Penurunan nilai viskositas ini disebabkan oleh terjadinya pemutusan gliserol yang terdapat dalam minyak goreng bekas sehingga viskositasnya turun (Aziz, 2008). Menurut Knothe dkk.

(2004), viskositas biodiesel yang tinggi dapat mengganggu alat injeksi mesin kendaraan dan cenderung menghasilkan deposit pada tangki pembakaran.

Dari data di atas jelas sekali bahwa pembuatan biodiesel dengan katalis KOH memenuhi kriteria karakteristik biodiesel menurut SNI sedangkan pembuatan biodiesel dengan menggunakan katalis H-zeolit tidak sesuai dengan karakteristik biodiesel menurut SNI. Di bawah ini dapat dilihat bentuk fisik dari biodiesel yang dihasilkan:

48

(a) (b)

Gambar 18 . Biodiesel dengan katalis H-zeolit (a) dan KOH (b) Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa biodiesel yang dihasilkan dengan katalis KOH secara visual berwarna coklat pekat sedangkan biodiesel dengan katalis H-zeolit warnanya agak kekuning-kuningan serta lebih encer dibandingkan dengan biodiesel yang menggunakan katalis KOH. Ini menunjukkan bahwa H-zeolit tidak hanya berfungsi sebagai katalis tetapi juga sebagai adsorben yang menyebabkan warna biodiesel menjadi kuning jernih.

4.5. Komposoisis Senyawa Biodiesel Hasil Uji GC-MS.

Di bawah ini dapat dilihat hasil kromatogram biodiesel hasil analisis dengan GCMS dengan menggunakan katalis KOH.

Gambar19. Kromatogram biodiesel dengan katalis KOH hasil analisa GCMS

49 Dan berdasarkan spektrum tersebut maka senyawa kimia yang terkandung dalam biodiesel dengan katalis KOH adalah sebagai berikut:

Tabel 6. Jenis senyawa yang terkandung pada biodiesel dengan katalis KOH Puncak

Retensi Nama Senyawa Rumus

Molekul

Senyawa biodiesel yang dihasilkan dengan katalis KOH pada umumnya merupakan senyawa metil ester sebagaimana ditunjukan pada tabel di atas. Pada katalis KOH terdapat 4 puncak utama yang dominan yaitu asam Oktadekanoat, metil ester (4.58%), 9-asam Heksadekenoat, metil ester, (Z)- (6.17%), asam heksadekanoat, metil ester (29.90%), 9-asam oktadekenoat (Z)-, metil ester (55.80%).

Sedangkan untuk senyawa biodiesel yang dilakukan dengan analisis GCMS dengan menggunakan katalis H-zeolit ini dapat dilihat dari data di bawah ini:

50 Gambar20. Kromatogram biodiesel dengan katalis H-zeolit

Berdasarkan spektrum dapat diketahui jenis senyawa yang dihasilkan.

Jenis senyawa yang terkandung di tunjukan pada tabel di bawah ini:

Tabel 7. Jenis senyawa yang terkandung pada biodiesel dengan katalis H-zeolit Puncak

Retensi Nama Senyawa Rumus

Molekul

51 Pada spektrum yang di hasilkan dapat dilihat bahwa biodiesel dengan menggunakan zeolit terdapat 6 puncak yang paling dominan yaitu 9,12-asam oktadekanoat (Z,Z), metil ester (4.53% ), 9,12-asam oktadekanoat, metil ester (6.14%), asam heksadekanoat, metil ester (10.85%), 9-asam oktadekanoat (Z),- metil ester (11.97%), asam heptadekanoat (19.85%), 9-asam oktadekanoat (Z)-(31.59%). Dimana hasil yang dominan bukan merupakan metil ester, hal ini menunjukan bahwa pada penggunaan katalis zeolit, reaksi pembentukan biodiesel tidak sempurna karena terdapat banyak senyawa yang belum terbentuk menjadi metil ester.

Pada penelitian yang dilakukan Padmaningsih dkk (2006) senyawa biodiesel (metil ester) yang dihasilkan dengan menggunakan katalis Nb2O5-ZAA adalah metil oleat (C19H36O2), metil laurat (C13H26O2), metil palmitat (C17H34O2), metil miristat (C15H30O2), metil kaprilat (C9H18O2) dan metil kaprat (C11H22O2), dengan konsentrasi secara berturut turut 34,67 %; 23,09 %; 21,43 %; 9,81 %; 3,76

%; dan 3,14%. Sementara itu apabila dibandingkan dengan metil ester dari sampel yang dilakukan oleh aziz dkk (2011) kandungan senyawa yang dominan dihasilkan oleh senyawa C18H33O2 (55,49%), C16H31O2 (34,52%), C18H35O2

(5,31%), dan C16H29O2 (2,05%) hasil ini tidak berbeda jauh dengan konversi biodiesel yang dihasilkan bahwa kandungan karbon yang diperoleh berasal dari senyawa tersebut.

52

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi optimum pembuatan biodiesel dengan katalis KOH adalah: waktu reaksi 1 jam, konsentrasi katalis 1%, perbandingan reaktan 1:4 dengan yield 92%.

2. Kondisi optimum pembuatan biodiesel dengan katalis H-zeolit adalah: waktu reaksi 5 jam, konsentrasi katalis 1%, perbandingan reaktan 1:4 dengan yield 12%.

3. Biodiesel yang dihasilkan menggunakan katalis KOH memenuhi syarat SNI Biodiesel.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan uji titik nyala, titik tuang serta indeks setana dari biodiesel.

2. Perlu adanya langkah-langkah lain untuk meningkatkan kuantitas biodiesel baik pada katalis KOH ataupun pada katalis zeolit misalnya dengan perlakuan yang berbeda pada aktivasi katalisnya.

3. Biodiesel yang dihasilkan juga perlu diuji menggunakan mesin untuk mengetahui apakah bahan bakar tersebut dapat digunakan.

53

DAFTAR PUSTAKA

Agra, S.W. 1992. Kinetika Katalisis. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.

Anonim. 2006. Standar dan Mutu Biodiesel. SNI-04-7182-2006

Anonim. 2008. Jenis Tanaman sebagai Bahan Baku Biodiesel. Eka Tjipta Foundatiaon

Al Anshori, Jamaludin. 2009. Siklisasi Intermolekuler Dikatalisis Zeolit dan Bahan Mesoporus. Karya Tulis Ilmiah Jurusan Kimia, UNPAD, Bandung.

Arifin, M. dan Komarudin, 1999, Zeolit, Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral.

Astuti, W., Agus, J., Eni, S., dan Rahmat Ismail. 2006. Pengolahan Zeolit Alam Lampung Untuk Menurunkan Kadar Asam Lemak Bebas dalam Minyak Kelapa Sawit, Prosiding Seminar Nasional IPTEK Solusi Kemandirian Bangsa, Yogyakarta.

Azis, I. 2005. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah dalam Reaktor Alir Tangki Berpengaduk dan Uji Performance Biodiesel pada Mesin Diesel.

Tesis. Yogyakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Aziz, I. 2007. Kinetika Reaksi Transesterifikasi Minyak Goreng Bekas. Jurnal Valensi vol.1, no.1, Jakarta.

Aziz, I. 2008. Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dalam Reaktor Alir Berpengaduk. Jurnal Valensi vol.1, no.2, Jakarta.

Azis, Isalmi. 2010. Uji Performance Mesin Diesel Menggunakan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas. Jurnal Valensi vol.1, no.6 291-297, Jakarta.

Aziz, I., Nurbayti, S., dan Ulum, B. 2011. Sintesis Biodiesel dengan Reaksi Esterifikasi dan Transesterifikasi. Jurnal Valensi Vol.2, No.3 Hal 443-448.

Barrer, R.M., 1987, Zeolite and Clay Mineral Assorbents and Molecule Sieves, Academic Press Inc New York.

Bekkum, H.V., Flanigen, E.M., and Jansen, J.C., 1991, “Introduction to Zeolite Science and Practise”, Elsevier, Netherland

Bradshaw, George Burt.; and Meuly,Wlater.C. 1944. “Preparation of Detergent”.

US Patent Office 2,360,844.

Buasri, Achanai., Nattawut Chaiyut, dan Pimprapa Ketlekha. 2009. “Biodiesel Production from Crude Palm Oil with a High Content of Free Fatty Acids and Fuel Properties“. Center of Materials for Energy and Environment, Department of Materials Science and Engineering, Faculty of Engineering

54 and Industrial Technology, Silpakorn University, Nakhon Pathom 73000:

Thailand, CMU. J. Nat. Sci. (2009) Vol. 8(1).

Chevtia, Ericca. 2008. Profil Lemak Hewani (Ayam, Sapi, dan Babi) Berdasarkan Hasil Analisa Spektrofotometri FTIR (Fourier Transform Infra Red) dan Kandungan Radikal Bebas, Skripsi. Jakarta: Program Studi Kimia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Darsono W., dan Oktari S. 2010. Proses Pembuatan Biodiesel Dari Dedak Dan Metanol Dengan Esterifikasi In Situ Universitas Diponegoro Semarang.

Dunn, R.O., 2005. Effect of antioxidants on the oxidative stability of methyl soyate (biodiesel). Fuel Processing Technology 86, 1071-1085.

Ardiana, Dwi Setyawardhani, Martutik, dan Wahyuni. 2008. Pengaruh Rasio Metanol / Minyak Terhadap Parameter Kecepatan Reaksi Metanolisis Minyak Jelantah dan Angka Setana Biodiesel. Ekuilibrium Vol. 7 No. 1.

Fogler, H. Scott. 1999. Element of Chemical Reaction Enginering Third Edition.

New Jersey: Prentic-Hal International series in the physical and chemical enginering science.

Freedman, B., Butterfield, R.O., dan Pryde, E.H., 1986, “ Transesterifikasi of Kinetic of Soybean Oil “, J. Am.Oil Chem.Soc., 63, 1375-1380.

Gerpen, J.V., 2005. Biodiesel processing and production. Fuel Processing Technology 86, 1097-1107.

Groggins, P.H., 1958, “ Unit Processes in Organic Synthesis “, 5 ed., Mcgraw Hill Book Company, New York.

Hardjono, A. 2001. Teknologi Minyak Bumi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Havendri, Adly. 2008. Kaji Eksperimental Prestasi dan Emisi Gas Buang Motor Bakar Diesel Menggunakan Variasi Campuran Bahan Bakar Biodiesel Minyak Jarak (Jatropha Curcas L) dengan Solar. Jurnal Teknik A No. 29

Havendri, Adly. 2008. Kaji Eksperimental Prestasi dan Emisi Gas Buang Motor Bakar Diesel Menggunakan Variasi Campuran Bahan Bakar Biodiesel Minyak Jarak (Jatropha Curcas L) dengan Solar. Jurnal Teknik A No. 29

Dokumen terkait