• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Zeolit

Zeolit merupakan mineral yang terdiri dari kristal aluminosilikat terhidrasi yang mengandung kation alkali atau alkali tanah dalam kerangka tiga dimensinya.

Ion-ion logam tersebut dapat diganti oleh kation lain tanpa merusak struktur zeolit dan dapat menyerap air secara reversible (Bekkum dkk., 1991). Molekul-molekul air yang terdapat dalam zeolit merupakan molekul yang mudah terlepas (Arifin dan Komarudin, 1995).

Kerangka dasar struktur zeolit (Gambar. 6) terdiri dari unit-unit tetrahedral AlO4 dan SiO4 yang saling berhubungan melalui atom O dan di dalam struktur tersebut Si4+ dapat diganti dengan Al3+ sehingga rumus empiris zeolit menjadi :

M2/nO.Al2O3.xSiO2.yH2O Dimana : M = kation alkali atau alkali tanah

n = valensi logam alkali

X = bilangan tertentu (2 s/d 10) Y = bilangan tertentu (2 s/d 7)

24 Gambar 5.Tetrahedral alumina dan silika (TO4) pada struktur zeolit

Jadi zeolit terdiri dari 3 komponen yaitu: kation yang dipertukarkan, kerangka aluminosilikat dan fase air. Ikatan ion Al –Si–O membentuk struktur kristal sedangkan logam alkali merupakan sumber kation yang mudah dipertukarkan (Bekkum, dkk., 1991; Sutarti dan Rahmawati, 1994). Struktur zeolit bermuatan ion Al3+ lebih kecil dari pada Si4+, sehingga ion Al3+ cenderung bersifat negatif dan mengikat kation alkali atau alkali tanah untuk dinetralkan muatannya. Kation alkali atau alkali tanah dalam zeolit inilah yang selanjutnya dimanfaatkan dalam proses ion exchange (Sutarti dan Rahmawati, 1994).

Zeolit alam yang telah diaktivasi dengan asam mineral (H2SO4), akan lebih tinggi daya pemucatnya karena asam mineral tersebut bereaksi dengan komponen berupa garam Ca dan Mg yang menutupi pori-pori adsorben. Di samping itu asam mineral melarutkan Al2O3 sehingga dapat menaikkan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2–3) : 1 menjadi (5–6) : 1. Zeolit dengan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 tinggi bersifat hidrofilik dan akan menyerap molekul yang tidak polar (Sutarti dan Rahmawati, 1994).

25 Berdasarkan asalnya zeolit dibagi menjadi 2, yaitu (Anshori, 2009):

A. Zeolit Alam

Zeolit alam terbentuk karena adanya proses perubahan alam (zeolitisasi) dari batuan vulkanik tuf. Pembentukan mineral zeolit diduga merupakan hasil reaksi debu vulkanik dengan air garam, ada juga beberapa zeolit seperti kabasit, erionit, dan filipsit diduga sebagai hasil dari proses hidrotermal.

Karena sifat-sifat zeolit alam sangat terbatas maka dilakukan sintesis zeolit untuk mensubstitusi zeolit yang berasal dari alam.

B. Zeolit Sintetik

Zeolit sintetik merupakan rekayasa dari zeolit alam yang direkayasa oleh manusia melalui proses kimia. Perkembangan zeolit sintetik dimulai sejak akhir tahun 1940 oleh Union Carbide Corporations, melalui suatu program pembuatan zeolit dengan meniru proses hidrotermal alamiah. Dengan cara ini telah berhasil dibuat lebih dari seratus jenis zeolit, sebagai upaya pencarian jenis-jenis zeolit yang mempunyai daya guna tinggi. Zeolit sintetik dapat diproduksi dengan cara hidrotermal dan kebanyakan diproduksi di bawah kondisi tidak setimbang, akibatnya zeolit yang dihasilkan merupakan bahan metastabil atau mudah berubah. Tahap pertama dalam pembuatan zeolit sintetis adalah mereaksikan bahan dasar seperti gel atau zat padat amorf hidroksida alkali dengan pH tinggi dan basa kuat dengan kondisi operasi pada suhu hidrotermal rendah.

Berdasarkan sifatnya, zeolit dapat digunakan untuk proses pengeringan atau dehidrasi, penyerapan (adsorbsi), penukar ion, dan sebagai katalis (Widayat dan Haryani, 2006). Zeolit telah banyak digunakan dalam berbagai keperluan

26 seperti bidang peternakan, pertanian, perikanan, industri, untuk keperluan rumah tangga dan juga pelestarian alam (Barrer,1987).

Pemakaian zeolit sebagai katalis telah banyak digunakan, diantaranya sebagai katalis dalam perengkahan minyak goreng, sebagai katalis dalam proses konversi senyawa aseton-butanol-etanol (ABE) menjadi hidrokarbon. Pengolahan zeolit alam menjadi katalis juga telah banyak dilakukan diantaranya sebagai katalis untuk pembuatan biodiesel (Susilowati, 2006). Padmaningsih et al (2006) menggunakan katalis Nb2O5-ZAA untuk membuat biodiesel. Astuti et al (2006) menggunakan zeolit alam Lampung untuk mengurangi kandungan asam lemak bebas dalam minyak goreng bekas pada pembuatan biodiesel.

Pada umumnya zeolit yang ditambang langsung dari alam masih mengandung pengotor-pengotor organik berwujud kristal maupun amorf. Untuk meningkatkan kualitas zeolit alam, terutama sebagai katalis dalam pembuatan biodiesel, harus dilakukan aktivasi terhadap zeolit alam. Daya kerja zeolit sebagai katalis dapat diperbesar dengan mengaktifkan zeolit terlebih dahulu dan untuk menghilangkan pengotor-pengotor yang terkandung dalam zeolit (Astuti, 2006).

Aktivasi katalis biasanya diikuti dengan karakterisasi zeolit yang bertujuan untuk mengetahui luas permukaan total, volume pori total, dan jari-jari pori rata- rata. Luas permukaan merupakan luas total permukaan per gram katalis. Luas permukaan dipengaruhi oleh besar atau kecilnya pori pada permukaan katalis.

Semakin kecil pori, luas permukaan akan semakin besar sehingga aktivitas zeolit dapat meningkat. Dalam reaksi katalitik, luas permukaan sangat mempengaruhi laju reaksi, karena semakin besar luas permukaan menyebabkan semakin banyak reaktan yang dapat teradsorpsi pada sisi aktif katalis.

27 Proses pembuatan katalis zeolit dilakukan melalui tahap dealuminasi, pencucian, pengeringan, dan kalsinasi (Maygasari dkk., 2010). Proses dealuminasi merupakan suatu metode untuk menjaga stabilitas struktur pori dan menghilangkan alumina dari framework zeolit agar katalis ini tidak mudah mengalami deaktivasi. Proses dealuminasi biasanya dilakukan dengan menambah sejumlah asam (misalnya amonium klorida, asam klorida, asam florida, dan sebagainya) pada zeolit. Sedangkan proses kalsinasi adalah proses hidrothermal yang dilakukan untuk menjaga agar katalis yang diperoleh relatif stabil pada suhu tinggi.

28

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan dari bulan Juni 2011 sampai September 2011. Penelitian dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah piknometer, Falling Ball Viscometer, labu leher tiga, pengaduk, termometer, kondensor, dan GCMS Shimadzu-QP2010.

Bahan yang digunakan adalah minyak goreng bekas yang diambil dari pedagang kaki lima (pecel lele dan gorengan) di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, metanol, zeolit alam dari Lampung jenis Clinoptilolit dari CV. Manatama Lampung dan KOH.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Analisa Bahan Baku

Sebelum dilakukan pembuatan biodiesel, minyak goreng bekas terlebih dahulu dianalisa densitas, viskositas, kadar air, kadar asam lemak total, dan kadar asam lemak bebas serta dilakukan aktivasi zeolit alam.

29 a. Analisa Kadar Air

Cawan porselen dikeringkan dalam oven selama 15 menit, lalu dimasukkan ke dalam desikator. Sebanyak 5 gram sampel minyak (W1) dimasukan ke dalam cawan tersebut dan ditimbang (W2). Cawan tersebut dipanaskan selama 4 jam pada suhu 110oC. Cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W3). Kadar air dicari dengan rumus:

Kadar Air (%) =W2 − W3

W1 × 100%

Keterangan:

W1 = berat sampel (g)

W2 = berat cawan + sampel minyak sebelum dipanaskan (g) W3 = berat cawan + sampel minyak setelah dipanaskan (g)

b. Analisa densitas

Piknometer dibersihkan dengan HCl lalu dibilas sebanyak 3 kali dengan akuades, sekali dengan alkohol dan kemudian dikeringkan di dalam oven selama 5 menit. Setelah itu dimasukkan ke dalam desikator selama 10 menit, lalu ditimbang piknometer tersebut hingga diperoleh massa tetap (W1). Piknometer diisi dengan larutan sampel, bagian luarnya dilap hingga kering dan ditimbang hingga diperoleh massa yang tetap (W2). Perhitungan densitas (ρ) sampel dengan persamaan:

Dimana :

ρ = densitas, (g/mL)

W2 = massa piknometer + sampel, (g) W1 = massa piknometer, (g)

V = volume piknometer, (mL)

30 c. Analisa Viskositas

Alat falling ball viscometer dibersihkan dengan alkohol dan aseton lalu dibiarkan hingga mengering. Sampel minyak dimasukkan ke dalam alat tersebut secara hati-hati hingga melebihi batas titik awal + 1 cm. kemudian dimasukkan bola kaca dengan cara memiringkan alat tersebut dan ditutup dengan rapat hingga tidak ada larutan yang menetes keluar. Alat diputar 180oC dan stopwatch dijalankan tepat saat bola bergerak dari titik awal. Waktu yang dibutuhkan oleh bola tersebut untuk bergerak hingga garis batas akhir diukur (t0). Viskositas sampel dihitung dengan persamaan:

Keterangan: µ = Viskositas (cSt)

ρ* = Massa jenis bola (g/mL) ρ = Massa jenis gliserol (g/mL)

k = Koefisien bola (0,007 mPa.s.cm3/g.s) t = Waktu aliran larutan (detik)

Gambar 6. Falling ball viscometer

d. Analisa Asam Lemak Total

Minyak goreng bekas sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam erlemeyer, kemudian ditambahkan 50 ml KOH etanolisis 0,5 N. Larutan didihkan selama 1

31 jam dengan pendingin balik. Setelah dingin ditambah indikator fenolptalein dan di titrasi dengan HCl sampai warna merah hilang. Langkah yang sama dilakukan untuk analisa blangko tanpa sampel.

Ekivalen asam lemak total =Volum HCl (sampel − blanko)

Berat minyak × N. HCl

e. Analisa kadar asam lemak bebas

Minyak goreng bekas sebanyak 5 gram dimasukkan kedalam erlemeyer kemudian ditambahkan 50 ml alkohol. Campuran dipanaskan selama 10 menit sampai asam lemak larut. Setelah itu didinginkan dan dititrasi dengan KOH 0,1 N dengan indikator pp.

Ekivalen asam lemak bebas =Volum KOH x N. KOH Berat minyak

f. Pembuatan Katalis H-zeolit

Sebanyak 25 gram zeolit alam dimasukan ke dalam beaker glass yang berisi 125 mL HCl 6N, diamkan selama 30 menit pada temperatur 50oC sambil diaduk dengan pengaduk magnet, kemudian disaring dengan ukuran 70 mesh dan dicuci berulang kali sampai tidak ada ion Cl- yang terdeteksi oleh larutan AgNO3, dikeringkan pada suhu 130oC selama 3 jam dalam oven (Trisunaryanti dkk., 2005).

3.3.2. Pembuatan Biodiesel dengan Katalis KOH

Bahan baku berupa minyak goreng bekas sebelum digunakan terlebih dahulu disaring untuk memisahkan kotoran yang terdapat dalam minyak. Katalis KOH (0,5; 1; 2; 3; dan 4% berat minyak) dilarutkan dalam metanol (10, 20, 30,

32 dan 40% v/v) dan dipanaskan pada suhu 60oC. Minyak goreng bekas dipanaskan pada suhu 600C dengan selang waktu (15, 30, 60, dan 90 menit) dalam labu leher tiga yang sudah dilengkapi dengan termometer dan pengaduk. Setelah suhu kedua reaktan tercapai (60oC), larutan metoksida (KOH dan metanol) dimasukkan ke dalam labu leher tiga, pengaduk dijalankan dengan kecepatan putaran 1000 rpm.

Produk yang dihasilkan dipisahkan dalam corong pisah selama 1 malam sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas biodiesel dan lapisan bawah gliserol. Biodiesel yang dihasilkan ditimbang beratnya dan dihitung % hasilnya.

3.3.3. Pembuatan Biodiesel dengan Katalis H-Zeolit

Minyak goreng bekas dipanaskan pada suhu 60oC dengan selang waktu (1, 3, 5 dan 7 jam) dalam labu leher tiga yang sudah dilengkapi dengan termometer dan pengaduk. Metanol (10, 20, 30, dan 40% v/v) juga dipanaskan ditempat terpisah. Setelah suhu kedua reaktan tercapai (60oC), metanol dan katalis H-zeolit dengan konsentrasi ( 0,5%; 1%; 2%; 3%; dan 4% dari berat minyak) dimasukkan ke dalam labu leher tiga, pengaduk dijalankan dengan kecepatan putaran 1000 rpm. Produk yang dihasilkan dipisahkan dalam corong pisah selama 1 malam sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan atas biodiesel dan lapisan bawah gliserol.

Biodiesel yang dihasilkan ditimbang beratnya dan dihitung % hasil.

biodiesel =Berat biodiesel (hasil percobaan)

Berat minyak × 100%

33 Gambar 7. Rangkaian alat untuk pembuatan biodiesel

3.3.4. Analisa Senyawa Biodiesel dengan GCMS

Biodiesel yang sudah dihasilkan pada kondisi terbaik (waktu, konsentrasi katalis dan jumlah reaktan) ditambahkan n-heksan. Kemudian divortex dan dimasukkan ke dalam sentrifus. Larutan tersebut diambil, dan dimasukan ke dalam vial untuk dianalisa lebih lanjut dengan alat GCMS.

Gambar 8. GCMS Shimadzu-QP2010

34

35 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisa Sifat Fisika dan Kima Minyak Goreng Bekas.

Minyak goreng bekas sebelum direaksikan terlebih dahulu dianalisa sifat fisika dan kimianya. Datanya dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 4. Sifat fisika dan kimia minyak goreng bekas

Nilai densitas dan viskositas pada penelitian ini diukur dua kali yaitu pada suhu ruang (29oC) dan pada suhu 40oC. Dari data di atas diketahui densitas minyak goreng bekas yang digunakan adalah 0,89 g/mL pada suhu ruang atau 29oC dan 0,88 g/mL pada suhu 400C. Nilai viskositas yang didapat sebesar 4,55 cSt pada suhu 29oC dan 3,27 cSt pada suhu 40oC, Perbedaan nilai tiap suhu disebabkan karena pada suhu yang tinggi kerapatan senyawa berkurang atau lebih encer. Pengukuran ini bertujuan untuk membandingkan densitas dan viskositas sebelum dan setelah proses transesterifikasi.

Minyak goreng bekas yang digunakan dalam penelitian ini mengandung kadar air 0,19%. Hasil ini menunjukan bahwa kadar air kurang dari 1% sehingga tidak perlu ada pelakuan untuk menghilangkan kadar air. Kadar air yang tinggi (lebih dari 1%) dapat mengakibatkan reaksi samping yaitu reaksi hidrolisis antara trigliserida dengan air yang menghasilkan asam lemak bebas yang dapat

No Sifat Fisik Kimia Satuan Nilai

36 mengganggu reaksi pembentukan biodiesel. Kadar air yang terkandung dalam minyak goreng selain berasal dari air yang terkandung dalam minyak goreng itu sendiri, juga berasal dari bahan pangan lain yang digoreng. Selama proses penggorengan berlangsung, sebagian air akan bebas menguap dan sebagian lagi masih berada dalam minyak (Sugiati, 2007).

Pada dasarnya kadar air berpengaruh terhadap perlakuan produksi biodiesel.

Menurut Rahayu (2009) syarat maksimal kadar air pada minyak adalah 1%. Jika kadar air lebih dari 1% maka perlu adanya perlakuan lebih lanjut untuk menghilangkan kadar air yang terkandung dalam minyak. Yoeswono dkk. (2008) mengurangi kadar air yang terkandung pada minyak dengan menambahkan natrium anhidrat.

Kadar asam lemak bebas (FFA) yang dihasilkan adalah 2,71 mg KOH/g minyak atau 0,07%. Nilai ini lebih kecil dari batas yang ditetapkan yaitu maksimal 1%. Jika kadar FFA < 1% maka tidak diperlukan pretreatment (esterifikasi) untuk menghilangkan FFA (Rahayu, 2009). Jadi pembuatan biodiesel bisa langsung menggunakan proses transesterifikasi tanpa melalui esterifikasi.

Jika kadar FFA > 1%, asam lemak bebas lebih reaktif bereaksi dengan katalis basa menghasilkan sabun dibandingkan trigliserida dan reaksi berlangsung secara nonreversible (Yurcel dan Turkay, 2003). Hal ini akan berdampak terhadap pemurnian biodiesel, dimana gliserol akan sulit dipisahkan dari biodiesel.

Tinggi atau rendahnya kandungan asam lemak bebas disebabkan oleh adanya kandungan air dalam minyak. Hal ini mungkin disebabkan karena dalam

37 proses pengolahan lemak tersebut terjadi proses oksidasi yang sangat tinggi.

Reaksi pembentukan asam lemak bebas dalam minyak adalah :

Gambar 10. Reaksi pembentukan asam lemak bebas pada minyak.

Dan reaksi safonifikasi yang mungkin terjadi akibat asam lemak bebas (FFA) berlebih adalah :

R-COOH + KOH  R-COOK + H

2

O

Gambar 11. Reaksi safonifikasi asam lemak bebas

4.2. Optimasi Kondisi Operasi Pembuatan Biodiesel dengan Katalis KOH 4.2.1. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Yield Biodisel

Untuk mempelajari pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel dilakukan dengan cara mengubah-ubah waktu reaksi di setiap percobaan. Untuk katalis KOH ini, variabel waktu yang digunakan adalah 15, 30, 60 dan 90 menit.

Sedangkan untuk variabel lainnya dibuat konstan yaitu suhu 60oC yang didasarkan pada titik uap metanol yaitu sekitar 67oC, jumlah katalis 1%, dan perbandingan reaktan 4:1(volume) (Aziz, 2006).

38 Gambar 12. Pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel (katalis KOH)

Gambar diatas menunjukan bahwa pada penambahan waktu 15 menit yield biodiesel yang dihasilkan adalah 83,37%, kemudian dengan penambahan wakktu 30 menit tejadi peningkatan yield biodiesel yaitu sebesar 84,55%, kenaikan tertinggi dapat ditunjukan dengan penambahan waktu 60 menit dengan yield 84,68%. Kenaikan persen hasil biodiesel tidak terlalu tinggi karena reaksi sudah hampir mencapai kesetimbangan, sehingga tambahan waktu reaksi tidak akan mempengaruhi reaksi (Widyastuti, 2007). Tetapi pada penambahan waktu 90 menit biodiesel yang dihasilkan tidak mengalami kenaikan yaitu sebesar 84,12%

hal ini menunjukan bahwa waktu yang optimum dapat ditunjukan pada penambahan waktu 60 menit. Aziz (2007) melakukan penelitian tentang reaksi transesterifikasi dengan katalis KOH, didapatkan waktu optimum 60 menit.

4.2.2. Pengaruh Konsentrasi KOH terhadap Yield Biodiesel

Pada pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel yang dipelajari ini, konsentrasi katalis yang digunakan untuk katalis KOH yaitu pada variasi

39 konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4%, sedangkan untuk variabel tetap yang digunakan adalah pada waktu 1 jam berdasarkan data yang diperoleh dari pengaruh waktu terhadap yield biodiesel dengan suhu 60oC, konsentrasi reaktan 20% dan kecepatan pengadukan 1000 rpm

Berdasarkan data yang dihasilkan, dapat dilihat dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 13. Pengaruh konsentrasi katalis KOH terhadap yield biodiesel Konsentrasi katalis KOH 0,5% menghasilkan yield biodiesel sebesar 90,36%. Ketika konsentrasi KOH dinaikkan menjadi 1%, yield biodiesel juga naik menjadi 92,10%. Hal ini disebabkan karena semakin banyak katalis akan meningkatkan energi aktivasi, sehingga akan meningkatkan jumlah molekul yang teraktifkan yang menyebabkan kecepatan reaksi menjadi naik (Widyastuti, 2007).

Kenaikan konsentrasi katalis diatas 1%, ternyata tidak menaikkan yield biodiesel.

Hal ini disebabkan karena kemungkinan reaksi samping yang terjadi antara katalis dengan minyak misalnya reaksi safonifikasi dengan katalis KOH yang menghalangi terjadinya reaksi antara minyak dengan metanol yang mengakibatkan kecepatan reaksi biodiesel yang dihasilkan semakin menurun,

0

40 disamping itu KOH yang seharusnya berfungsi sebagai katalis berubah menjadi reaktan yang ikut bereaksi dengan minyak, sehingga efektivitas katalis semakin menurun (Aziz, 2007).

Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Aziz (2007) bahwa persen hasil biodiesel tertinggi dicapai pada penggunaan katalis 1%. Dalam penelitian Yoeswono (2008) dijelaskan bahwa konsentrasi katalis yang dominan (pada titik dimana konsentrasi katalis mencapai titik optimum) akan menghasilkan spesies ion metoksida yang lebih banyak dibandingkan konsentrasi katalis yang lainnya. Pada penelitannya nilai optimum dicapai pada konsentrasi katalis 1%

untuk katalis KOH.

4.2.3. Pengaruh Perbandingan Reaktan Terhadap Yield Biodiesel.

Sama seperti variasi yang lain, di tahapan ini yang dibedakan adalah jumlah metanol dengan variasi konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan 40% (volume) dengan variabel tetap waktu 1 jam, konsentrasi katalis 1%, berdasarkan data yang dihasilkan dari pengaruh waktu dan konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel, suhu 60oC, dan kecepatan pengadukan 1000 rpm.

Berdasarkan data yang diperoleh, pengaruh konsentrasi metanol dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

41 Gambar 14. Pengaruh % reaktan terhadap % yield biodiesel (katalis KOH)

Dari gambar di atas dapat dilihat yield biodiesel yang dihasilkan utuk variasi konsentrasi metanol dengan katalis KOH. Semakin tinggi konsentrasi metanol maka yield biodiesel yang dihasilkan semakin tinggi, hal ini dapat dilihat pada variasi konsentrasi 10% ke 20% dengan yield 87,93% ke 92,10%. Tetapi konsentrasi metanol di atas 20% ternyata tidak lagi menaikkan yield biodiesel.

Hasil yang didapatkan cenderung stabil. Yield biodiesel pada konsentrasi metanol 30% dan 40%, adalah 91,79% dan 89,44%. Dari grafik di atas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi metanol yang terbaik dengan katalis KOH dapat dilihat pada konsentrasi metanol 20%.

Secara stoikiometri, jumlah alkohol yang dibutuhkan untuk reaksi adalah 3 mol untuk setiap 1 mol trigliserida sehingga diperoleh 3 mol alkil ester dan 1 mol gliserol. Perbandingan volum alkohol dengan minyak nabati 4,8:1 v/v dapat menghasilkan konversi 98% (Bradshaw dan Meuly, 1944). Terlalu banyak alkohol yang dipakai menyebabkan biodiesel mempunyai viskositas yang terlalu rendah dibandingkan dengan minyak solar, selain itu juga menurunkan titik nyala

87.5

42 biodiesel, karena pengaruh sifat alkohol yang mudah terbakar. Purwanto dkk.

(2003) menggunakan perbandingan pereaksi sebesar 1:2,2 (etanol:minyak), Kusmiyati (1999) menggunakan rasio molar alkohol-minyak 1:6, dan Azis (2005) menggunakan rasio volume 1:4 metanol-minyak. Dalam penelitian-penelitian yang lain (Sing dkk., 2006; Susilowati dkk., 2006; dan Tjukup dkk., 2011) menggunakan perbandingan reaktan minyak dengan metanol 1:6.

4.3. Optimasi Kondisi Operasi Pembuatan Biodiesel dengan katalis H-zeolit 4.3.1. Pengaruh Waktu Reaksi terhadap Yield Biodisel

Pada pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel ini waktu yang digunakan dibuat bervariasi yaitu 1 jam, 3 jam, 5 jam kemudian 7 jam, sedangkan untuk variabel lainnya dibuat konstan yaitu pada suhu 60oC, jumlah katalis 1%, kecepatan pengadukan 1000 rpm dan perbandingan reaktan 4:1(volume) (Aziz, 2006). Waktu yang digunakan antara katalis KOH dan H-zeolit berbeda karena setelah dilakukan uji ternyata biodiesel dengan katalis zeolit pada waktu sebelum satu jam belum terbentuk sehingga digunakan variabel waktu tersebut.

Dari hasil penelitian ini data yang diperoleh dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

43 Gambar 15. Pengaruh waktu reaksi terhadap yield biodiesel (katalis H-zeolit)

Penggunaan katalis H-zeolit pada waktu 1 jam menghasilkan yield biodiesel sebesar 5,99 % dan naik seiring dengan pertambahan waktu. Kenaikan yield biodiesel yang maksimum dapat dilihat pada waktu 5 jam yaitu sebesar 7,85

%. Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa semakin lama waktu reaksi, yield yang didapat semakin naik tetapi tidak terlalu besar. Penambahan waktu menjadi 7 jam, yield yang dihasilkan tidak mengalami kenaikan atau hampir dikatakan konstan. Ini menandakan bahwa reaksi sudah mencapai titik kesetimbangan (Darsono dkk., 2010). Kenaikan persen hasil biodiesel tidak terlalu tinggi karena reaksi sudah hampir mencapai kesetimbangan, sehingga tambahan waktu reaksi tidak akan mempengaruhi reaksi (Widyastuti, 2007)

4.3.2. Pengaruh Konsentrasi H-zeolit terhadap Yield Biodiesel

Pada pengaruh konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel yang dipelajari ini, konsentrasi katalis H-zeolit yang digunakan yaitu pada konsentrasi 0,5%, 1%, 2%, 3% dan 4% H-zeolit (b/b). Untuk variabel lain yang digunakan dibuat tetap

44 yaitu pada waktu 5 jam (berdasarkan data yang diperoleh dari pengaruh waktu terhadap yield biodiesel), dengan suhu 60oC, konsentrasi reaktan 20% dan kecepatan pengadukan 1000 rpm

Berdasarkan data yang dihasilkan, dapat dilihat dalam bentuk grafik sebagai berikut:

Gambar 16. Pengaruh konsentrasi H-zeolit terhadap yield biodiesel

Konsentrasi katalis H-zeolit 0,5%, yield biodiesel yang terbentuk adalah 6,15% berat dan naik pada konsentrasi 1% sebesar 11,56%, pada konsentrasi di atas 1% yield biodiesel mengalami penurunan. Widyastuti (2007) menyatakan bahwa semakin banyak katalis akan meningkatkan energi aktivasi, sehingga akan meningkatkan jumlah molekul yang teraktifkan yang menyebabkan kecepatan reaksi menjadi naik. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan Padmaningsih dkk (2006) yang melakukan penelitian dengan menggunakan katalis Nb2O5-ZAA (zeolit alam aktif) yang menghasilkan biodiesel sebesar 76,76% dengan konsentrasi katalis 3,75%. Sementara itu Susilowati (2006) melakukan penelitan

0

45 pembentukan biodiesel dari minyak biji kapuk dengan katalis yang diaktivasi dengan NH4NO3 yield metil ester yang dihasilkan sebesar 1,76%.

4.3.3. Pengaruh Perbandingan Reaktan Terhadap Yield Biodiesel.

Pada tahapan ini yang dibedakan adalah jumlah metanol dengan variasi konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan 40% (volume) dengan variabel tetap waktu 5 jam, konsentrasi katalis 1% (berdasarkan data yang dihasilkan dari pengaruh waktu dan konsentrasi katalis terhadap yield biodiesel), suhu 60oC, dan kecepatan pengadukan 1000 rpm.

Berdasarkan data yang diperoleh, pengaruh konsentrasi metanol dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 17. Pengaruh % reaktan terhadap % yield biodiesel (katalis H-zeolit) Dari gambar di atas dapat dilihat yield biodiesel yang dihasilkan untuk variasi konsentrasi metanol dengan katalis H-zeolit terjadi kenaikan pada setiap penambahan metanol. Pada konsentrasi metanol 10%, yield biodiesel yang

0

46 dihasilkan 2,07% dan naik ke konsentrasi metanol 20%, 30% dan 40% dengan yield biodiesel secara berturut-turut adalah 11,56%, 15,98% dan 43,41%.

Secara fisika biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan katalis H-zeolit ini lebih mudah menguap, encer, dan warnanya lebih jernih. Kemungkinan yang terjadi adalah zeolit yang digunakan sebagai katalis ini lebih dominan

Secara fisika biodiesel yang dihasilkan dengan menggunakan katalis H-zeolit ini lebih mudah menguap, encer, dan warnanya lebih jernih. Kemungkinan yang terjadi adalah zeolit yang digunakan sebagai katalis ini lebih dominan

Dokumen terkait