• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembuatan Emulsi

Emulsi yang dibuat merupakan emulsi oral ekstrak etanol buah pare tipe A/M dengan HLB 6,0 yang berdasarkan Required HLB dari VCO. Pembuatan emulsi berdasarkan aplikasi desain faktorial dalam menentukan jumlah perlakuan atau percobaan dan jenis formula. Dalam penelitian ini, faktor yang akan diteliti secara desain faktorial adalah lama pencampuran (faktor A) dan kecepatan putar propeller mixer (faktor B).

Faktor yang diteliti terdiri dari dua level yaitu level tinggi dan rendah. Adapun level rendah dan tinggi untuk masing-masing faktor adalah 5 dan 15 menit untuk faktor A dan 300 dan 700 rpm untuk faktor B. Pemilihan level rendah dan tinggi dari kedua faktor ini berdasarkan hasil orientasi sebelum penelitian, dimana diperoleh bahwa pada menit kelima sudah terbentuk massa emulsi (secara visual menunjukkan ciri-ciri emulsi) dan pada menit ke-15 masih menunjukkan massa emulsi yang tidak terpisah secara visual. Pemilihan level faktor lama pencampuran ini juga pernah dilakukan oleh Gohel, Amin, 1997, yang meneliti tentang optimasi pencampuran dengan kajian terhadap pelepasan terkontrol

Natrium Diklofenak dalam sistem microsphere yaitu dengan level rendah 5 menit dan 15 menit. Pemilihan level kecepatan putar juga didasarkan pada hasil orientasi sebelum penelitian yaitu pada kecepatan putar 300 rpm secara visual sudah bisa membentuk massa emulsi yang tidak terpisah secara visual (pencampuran sudah homogen secara visual) dan pada kecepatan 700 rpm, massa yang terbentuk tidak terpisah secara visual.

Dalam penelitian ini terdapat empat formula dan dilakukan replikasi sebanyak 3 kali. Formula emulsi ini mempunyai dua fase yaitu fase air dan fase minyak. Fase air terdiri dari ekstrak etanol buah pare, aquadest, gliserin, larutan sukrosa 50% b/v, dan Tween 80. Fase minyak terdiri dari VCO dan Span 80. Dalam penelitian ini digunakan pengawet metil paraben yang terbukti aman (Boylan, Cooper, Chowhan, 1986) dan bekerja efektif pada pH 4-8.

Emulgator yang digunakan merupakan surfaktan nonionik yang aman dan tidak toksis bila digunakan secara oral (Rowe, Paul, Marian, 2009). Surfaktan nonionik kurang sensitif terhadap perubahan pH dan elektrolit (Kim, 2005). Dalam penelitian ini dipilih kombinasi emulgator Tween 80 dan Span 80 karena kombinasi tween dan span dengan proporsi tertentu akan menghasilkan emulsi sesuai dengan tipe yang diinginkan (Martin, Swarbick, Cammarata, 1993). Span 80 dan Tween 80 mempunyai panjang rantai hidrokarbon yang sama sehingga ikatan antara span dan tween akan seimbang dan mampu menghasilkan lapisan film yang stabil. Tipe emulsi yang dihasilkan adalah A/M dengan kombinasi Tween 80 dan Span 80 pada proporsi tertentu yang menghasilkan nilai HLB 6,0.

Gambar 20. Mekanisme kerja Tween 80 dan Span 80 pada emulsi A/M berdasarkan modifikasi dari Martin, Swarbick, Cammarata, 1993.

Berdasarkan gambar 20, mekanisme kerja Tween 80 dan Span 80 dapat dijelaskan sebagai berikut: rantai hidrokarbon Span 80 akan terletak pada fase minyak (medium dispersi). Kepala sorbitan yang banyak dan besar dari molekul span akan mencegah ekor-ekor hidrokarbon mendekat secara rapat atau dekat di dalam fase minyak. Ketika tween ditambahkan, rantai hidrokarbon tween akan masuk ke dalam fase minyak juga, kemudian rantai lain yang tersisa bersama dengan cincin sorbitan dan rantai polioksietilen akan memasuki fase air. Rantai hidrokarbon tween akan terletak bersama-sama dengan rantai hidrokarbon span di dalam fase minyak dan membentuk ikatan Van der Waals yang efektif. Rantai polioksietilen dan cincin sorbitan akan menghasilkan gaya tolak menolak

antardroplet yang diakibatkan oleh adanya halangan sterik dari kedua molekul tersebut (Martin, Swarbick, Cammarata, 1993). Selain itu, bagian hidrofilik dari tween dan span saling berinteraksi dalam ikatan hidrogen.

Ekstrak pare dilarutkan ke dalam air terlebih dahulu karena ekstrak tersebut berbentuk serbuk halus sehingga bila berupa larutan air akan lebih mudah didispersikan ke dalam fase minyak. Gliserin digunakan sebagai agen peningkat viskositas dan membantu dalam proses mencegah pertumbuhan mikroba karena gliserin yang digunakan secara oral dapat berfungsi sebagai pengawet (Boylan, Cooper, Chowhan, 1986). Larutan sukrosa 50% b/v digunakan untuk mengurangi perbedaan berat jenis kedua fase dengan cara meningkatkan viskositas sehingga dapat membantu mencegah creaming (Binks, 1998) .

VCO digunakan sebagai fase minyak dalam emulsi A/M karena VCO mempunyai Required HLB sekitar 6 (Philip, 2004). VCO memiliki kelarutan dalam air, yaitu membentuk campuran homogen berwarna putih ketika dicampur dengan sedikit air (Patil, 2009). Sifat inilah yang dimanfaatkan dalam pembuatan emulsi karena akan mempermudah proses pencampuran atau pendispersian kedua fase dan pemisahan lebih minimal. Hal ini didukung dengan perbedaan berat jenis VCO dan air yang tidak terlalu besar yaitu VCO mempunyai berat jenis 0,9160 gr/cm3 dan air sekitar 1 gr/cm3 sehingga diharapkan pemilihan minyak ini dapat memperkecil kecepatan creaming dan dengan adanya penambahan sukrosa dapat meminimalisasi terjadinya creaming. Gliserin pada suhu 25oC mempunyai berat jenis 1,2620 gr/cm3 (Boylan, Cooper, Chowman, 1986).

Proses pembuatan emulsi dilakukan dengan alat propeller mixer. Dalam pencampuran fase A terlebih dahulu larutan ekstrak pare dalam aquadest dicampur dengan Tween 80 lalu dilanjutkan dengan gliserin dan larutan sukrosa. Lama pencampuran tiap fase juga disesuaikan dengan level rendah dan tinggi faktor lama pencampuran. Setelah pencampuran dengan propeller mixer, ukuran droplet diperkecil dengan menggunakan Ultra Turrax selama 3x1 menit. Propeller mixer digunakan karena emulsi A/M yang dibuat memiliki viskositas yang rendah (Niewnow, 1997; Lachmann, 1989) dan bertujuan untuk menyeragamkan ukuran droplet yang terbentuk sebelum dihomogenisasi. Hal ini karena arah aliran pada propeller mixer merupakan arah aliran aksial yaitu berputar pada poros (Lachman, 1989). Arah aliran aksial mempunyai arah aliran yang searah sehingga mampu berputar secara kontinyu dan mampu menyeragamkan droplet yang terbentuk. Penelitian ini tidak menggunakan blender karena pisau terdapat pada dasar wadah sehingga menyebabkan campuran hanya statis di bagian dasar wadah dan ukuran droplet yang terbentuk kurang seragam. Tujuan penggunaan alat Ultra Turrax adalah untuk mengecilkan ukuran partikel sehingga diharapkan dapat meningkatkan stabilitas emulsi (Bjerregaard, Soderberg, Vermehren, Frokjaer, 1999). Dalam suatu homogenizer, dispersi dari dua cairan dicapai dengan melewatkan campuran melalui suatu lubang masuk kecil pada tekanan tinggi sehingga ukuran droplet menjadi lebih kecil (Lachmann, 1989).

Proses pencampuran emulsi dilakukan suhu kamar dengan pengaturan suhu di water bath pada suhu 35oC. Tujuan penggunaan suhu kamar adalah dikarenakan suhu juga merupakan faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi

terutama bila pada suhu yang tinggi karena akan cenderung terjadi perubahan hidrasi yang signifikan pada lapisan antarmuka dan stabilitas emulsi akan berkurang (Eccleston, 2007). Pada saat penelitian berlangsung, suhu kamar mengalami perubahan terus menerus karena pengaruh cuaca lingkungan, oleh karena itu variabel suhu dikendalikan agar tidak mempengaruhi hasil akhir. Hal ini karena faktor yang ingin diteliti pengaruhnya terhadap stabilitas emulsi adalah kecepatan dan lama pencampuran sehingga dengan pengendalian faktor suhu bisa meminimalisasi bias yang akan terjadi.

Dokumen terkait