• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG ITE

B. Pembuktian Alat Bukti Elektronik

Dalam peradilan Pidana, pembuktian ialah upaya untuk menemukan kebenaran materil (materiel waarheid) tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan jelas siapa pelakunya. Untuk itu Aparat penegak hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, maupun persidangan, berusaha untuk merekonstruksi rangkaian kejadian dan menemukan sipelaku. Semua itu dilakukan berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan dengan dukungan dari saksi-saksi, dokumen-dokumen, keterangan yang diberikan oleh ahli serta yang diakui oleh pelaku sendiri. Fakta-fakta tersebut dapat menjadi satu kesatuan dalam barang-barang bukti.

KUHAP belum mengatur setidaknya secara tegas mengenai alat bukti elektronik yang sah, akan tetapi perkembangan peraturan perundang-undangan setelah KUHAP menunjukkan bahwa adanya kebutuhan untuk mengatur alat bukti elektronik. Seperti Surat Mahkamah Agung kepada Menteri Kehakiman Nomor 39/TU/88/102/Pid tanggal 14 Januari 1988 menyatakan bahwa Microfilm atau Microfiche64 dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan menggantikan alat bukti surat sebagaimana yang dijelaskan oleh pasal 184 ayat (1) sub c KUHAP mengenai alat bukti surat, dengan catatan microfilm tersebut dapat dijamin keasliannya yang ditelusuri kembali melalui registrasi maupun berita acara.65

64

Yang dimaksud dengan “microfilm” adalah film yang memuat rekaman bahan tertulis, tercetak, dan tergambar dalam ukuran yang sangat kecil.

Sampai saat ini ada beberapa perundang-undangan yang mengatur tentang eksistensi alat bukti elektronik. Pengaturan alat

65

http//informasilive.blogspot.com/2013/07/kekuatan-hukum-pembuktian-dalam-kontrak,

bukti dalam perundang-undangan tersebut menunjukkan keberagaman, tetapi keberagaman tersebut telah diselesaikan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berikut ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang eksistensi alat bukti elektronik yang dimaksud.

1. Undang-undang Dokumen Perusahaan.

Undang-undang Dokumen Perusahaan telah meletakkan dasar penting dalam penerimaan (admissibility) informasi atau dokumen elektronik. Dalam Bab III tentang pengalihan bentuk dokumen perusahaan dan legalisasi, pasal 15 ayat (1) UU Dokumen Perusahaan66

1. Setiap pengalihan dokumen wajib dilegalisasi atau disahkan tentang isi dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan kedalam bentuk misalnya, compact disk read only memory (CD-ROM) yang dilakukan oleh Pimpinan perusahaan atau pejabat yang ditunjuk dilingkungan perusahaan tersebut dengan dibuatkan berita acara yang memuat sekurang-kurangnya memuat:

menegaskan bahwa dokumen perusahaan yang dimuat dalam bentuk microfilm atau media lainnya dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Pengalihan Dokumen Perusahaan kedalam bentuk microfilm atau media lainnya tersebut harus memenuhi persyaratan yang secara implicit diatur dalam UU Dokumen Perusahaan.

a. Keterangan tempat waktu pelaksanaan legalisasi

66

b. Keterangan bahwa pengalihan dokumen tersebut telah sesuai dengan aslinya

c. Tanda tangan dan nama jelas pejabat yang bersangkutan. 2. Dapat dilakukan sejak dokumen dibuat atau diterima perusahaan 3. Pimpinan perusahaan wajib mempertimbangkan kegunaan naskah asli

dokumen yang perlu

4. Pimpinan perusahaan wajib menyimpan naskah asli dokumen perusahaan yang dialihkan kedalam bentuk microfilm atau media lainnya yang merupakan naskah asli yang mempumyai kekuatan pembuktian oetntik dan masih mengandung kepentingan hukum tertentu.

Dari pengaturan tersebut setidaknya ada dua kesimpulan yang dapat diambil pertama informasi atau dokumen elektronik harus dilegalisasi. Legalisasi diperlukan untuk menjaga keaslian dan keotentikan konten dari dokumen perusahaan agar bersesuaian dan dapat diterima sebagai alat bukti yang sah. Kedua, yang dimaksud dengan alat bukti yang sah menurut pasal 15 ayat (1) UU Dokumen Perusahaan alat bukti surat, khususnya akta di bawah tangan. Dengan kata lain dalam microfilm atau media lainnya yang telah dilegalisasi tersebut dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan.

UU Terorisme mengakui keberadaan alat bukti elektronik. Pasal 27 UU Terorisme mengatur bahwa alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:67

a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik68

c. Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada:

atau yang serupa dengan itu, dan

i. Tulisan, suara, atau gambar

ii. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya

iii. Huruf, tanda, angka symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh yang mampu membaca atau memahaminya.

Jika dihubungkan dengan KUHAP, UU terorisme mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti keenam. Menurut Undang-undang ini alat bukti elektronik terdiri dari dua jenis yaitu:

1. Alat bukti elektronik yang menggunakan alat optik atau serupa dengan itu. UU terorisme dengan tegas mengatakan bahwa alat bukti

67

Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-undang.

68

Yang dimaksud dengan alat optik adalah alat yang cara kerjanya memanfaatkan prinsip pemantulan dan pembiasan cahaya, seperti lup mikroskop, periskop dan kamera.

elektronik tersebut dikategorikan sebagai alat bukti lain, yang tidak termasuk alat bukti yang diatur dalam KUHAP.

2. Alat bukti elektronik berupa data, rekaman, atau informasi. Walaupun tidak diatur secara tegas sebagai alat bukti lain, alat bukti ini tetap dikategorikan sebagai alat bukti lain karena pada esensinya sama dengan poin 1 tersebut diatas.

3. Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juga mengatur tentang alat bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 38. Sebagai berikut:

Alat bukti pemeriksaan Tindak Pidana Pencucian Uang berupa: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana

b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan

c. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 7.69

Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

69

Pasal 1 butir 7 Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi “Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dilakukan secara independen, objektif, dan profesional untuk menilai dugaan adanya tindak pidana”.

a. Tulisan, suara, atau gambar

b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya

c. Huruf, tanda, angka, symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pada prinsipnya ketentuan alat bukti elektronik yang diatur dalam Undang-undang Terorisme serupa dengan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Akan tetapi, UU TPPU mengatur bahwa alat bukti elektronik dapat diklasifikasikan sebagai dokumen, yaitu data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca. Dan/atau didengar yang terekam secara elektronik. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam UU TPPU, alat bukti surat telah diperluas hingga mencakup dokumen yang terekam secara elektronik.

4. Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pada Pasal 26A UU Tipikor70

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:

mengatur bahwa:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu. Yang dimaksud dengan “disimpan secara elektronik”

70

Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001.

misalnya data yang disimpan dalam microfilm, Compact Disk Read Only Memory (CD ROM) atau Write Once Read Many (WORM). Yang dimaksud dengan “alat optic atau yang serupa dengan itu” dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili. b. Dokumen, yakni setiap rekaman dan atau informasi yang dapat dilihat,

dibaca, dan/atau didengar yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Kesimpulan yang dapat diambil dari Pasal 26A UU Tipikor tersebut diatas adalah, pasal tersebut mengatur alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dan sebagai dokumen, yaitu perluasan dari alat bukti surat dan pengaturan ini sama dengan pengaturan yang ada pada UU TPPU dan Pasal 26A UU Tipikor menegaskan bahwa alat bukti elektronik dapat dijadikan sebagai sumber petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP. Kesimpulan tersebut diatas merupakan suatu hal yang logis mengingat pada prinsipnya, petunjuk hanya dapat diperoleh dari alat bukti lain yang sah.

5. Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

Ketentuan mengenai alat bukti dalam tindak pidana korupsi tidak hanya diatur dalam UU Tipikor, tetapi juga UU KPK71

71

Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

berikut “telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti termasuk tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, UU KPK mengakui keberadaan alat bukti elektronik, tetapi pengaturan mengenai alat bukti elektronik tersebut masih sangat abstrak karena belum dapat ditarik kesimpulan yang tegas apakah alat bukti elektronik tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang diatur dalam KUHAP atau merupakan alat bukti tambahan. Seharusnya ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU KPK tersebut dimasukkan dalam UU Tipikor mengingat dalam Undang-undang tersebut telah diatur bab tersendiri mengenai penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

6. Undang-undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Pengaturan mengenai alat bukti elektronik dalam UU ITE diatur dalam BAB III tentang informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik, serta Pasal 44 UU ITE. Pasal 5 ayat (1) UU ITE mengatur secara tegas bahwa Informasi atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (2) UU ITE menegaskan bahwa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya… adalah merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.”72

1. Memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, dan

Ketentuan ini menegaskan bahwa alat bukti elektronik telah diterima dalam system hukum pembuktian di Indonesiadi berbagai peradilan, konstitusi, termasuk arbitrase. Akan tetapi, penekanan dari Pasal ini adalah pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, dan tidak membahas keterkaitannya dengan hukum acara lainnya. UU ITE tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “perluasan dari alat bukti yang sah”. Akan tetapi, Pasal 5 ayat (2) UU ITE memberikan petunjuk penting mengenai perluasan ini, yaitu bahwa perluasan tersebut harus “sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.” Mengacu kepada pembahasan mengenai Undang-undang sebelumnya, perluasan tersebut mengandung makna:

2. Mengatur sebagai alat bukti lain, yaitu menambah jumlah alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP.

Melihat kepada ketantuan-ketentuan mengenai Pembuktian yang diatur dalam KUHAP yang berbunyi “sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia” maksudnya adalah bahwa harus ada alat penguji terhadap alat bukti elektronik agar alat bukti tersebut dapat dinyatakan sah dipersidangan dan sama seperti alat bukti lainnya, yang sesuai dengan

72

Pasal 5 Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang ITE berlaku terhadap seluruh hukum acara yang berlaku di Indonesia , oleh karena itu, pengaturan ini tidak saja berlaku dalam hukum acara pidana, tetapi juga dalam hukum acara perdata, tata usaha Negara, mahkamah konstitusi dan hukum acara lainnya yang berlaku di Indonesia.

persyaratan formil juga materil berdasarkan jenis alat bukti elektronik (dalam bentuk original atau hasil cetakan). Alat bukti elektronik dalam UU ITE jika dikaitkan dengan KUHAP maka penentuannya adalah sebagai berikut:

1. Alat bukti elektronik memperluas cakupan atau ruang lingkup alat bukti.

Alat bukti dalam KUHAP yang diperluas adalah alat bukti surat. Inti dari surat ialah kumpulan tanda baca dalam bahasa tertentu yang memiliki makna. Esensi ini sama dengan hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik. Hasil cetak dari informasi dan dokumen elektronik dikategorikan sebagai surat lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 187 huruf d KUHAP dan hanya dapat dijadikan alat bukti apabila hasil cetak tersebut memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian lain.hasil cetak informasi dan dokumen elektronik belum bisa dijadikan akta otentik73 mengingat pembatasan yang diberikan oleh Pasal 5 ayat (4) UU ITE74

2. Alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain. .

Mengenai alat bukti elektronik sebagai alat bukti lain dipertegas dalam Pasal 44 UU ITE yang mengatur bahwa Informasi atau Dokumen elektronik adalah alat bukti lain. Penegasan mengenai hal tersebut telah diatur dalam KUHAP mengingat informasi atau dokumen

73

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

74

Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

elektronik dalam bentuk originalnya dapat mengandung informasi yang tidak dapat diperoleh apabila informasi atau dokumen elektronik tersebut dicetak.

3. Alat bukti elektronik sebagai sumber petunjuk.

Pasal 188 ayat (2) KUHAP menentukan secara limitative sumber petunjuk, yaitu: keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Akan tetapi, berdasarkan uraian diatas, alat bukti elektronik juga dapat dijadikan sumber petunjuk, yaitu hasil cetak informasi atau dokumen elektronik dapat dikategorikan sebagai surat. Surat yang dimaksud ialah ”surat lain” sepanjang surat itu memiliki hubungan dengan isi dari alat pembuktian yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 huruf d. walaupun demikian, khusus untuk pembuktian dalam Tipikor, Pasal 26A UU Tipikor telah mengatur bahwa alat bukti dalam bentuk original dapat juga dijadikan sumber petunjuk.

Tentang keabsahan alat bukti , Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa dalam sistem pembuktian di Indonesia, kesalahan terdakwa ditentukan oleh minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Keabsahan alat bukti ditentukan oleh pemenuhan syarat dan ketentuan baik segi formil maupun materil. Prinsip ini juga berlaku terhadap pengumpulan dan penyajian alat bukti elektronik baik melalui penyitaan maupun penyadapan. KUHAP telah memberikan pengaturan mengenai upaya paksa dalam penggeledahan dan penyitaan secara umum, namun belum terhadap system elektronik juga belum mengatur mengenai penyadapan. Hal ini diatur di dalam berbagai Undang-undang yang lebih spesifik.

Oleh karena itu, ketentuan dan persyaratan formil dan materil mengenai alat bukti elektronik harus mengacu kepada KUHAP, UU ITE dan Undang-undang lain yang mengatur secara spesifik mengenai alat bukti elektronik tersebut.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN