• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Pemecahan Tanah Pertanian Yang Dilakukan Oleh

Perkembangan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan teknologi akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan terhadap tanah, misalnya untuk pertanian, perumahan, peternakan, perkantoran, tempat-tempat hiburan, dan fasilitas lainnya. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap tanah sudah barang tentu makin banyak terjadi peralihan hak atas tanah, khususnya dalam hal ini adalah tanah pertanian.

Peralihan hak atas tanah khususnya tanah pertanian banyak terjadi di Kabupaten Padang Lawas Utara, peralihan hak atas tanah pertanian tersebut dilakukan dengan cara sekaligus dan juga dilakukan dengan pemecahan. Pemecahan tanah pertanian tersebut dilakukan terhadap tanah yang belum bersertifikat dan juga tanah yang sudah bersertifikat. Untuk tanah yang belum bersertifikat biasanya peralihan haknya dilakukan secara dibawah tangan, sedangkan untuk tanah yang sudah bersertifikat dilakukan melalui izin pemindahan hak atas tanah pertanian yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Lawas Utara.

1. Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian yang dilakukan secara Ilegal / Dibawah tangan.

Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian yang terjadi di berbagai desa (16 desa) yang tersebar di wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara masih sulit dikendalikan oleh aparat desa. Peralihan hak yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar melakukannya cukup dengan alat bukti sebuah segel atau

kwitansi, selanjutnya terus dicatatkan SPPT nya ke Kantor PBB. Terkadang masyarakat membiarkannya saja tidak melaporkan peralihan tersebut terhadap pihak desa, dan pada ahirnya pihak desa akan merasa kesulitan sendiri untuk menarik iuran pajak buminya, karena dari pemilik tanah semula tidak mau membayar pajaknya.

Peralihan hak (jual beli) tanah pertanian yang dilakukan secara di bawah tangan ini sering menimbulkan konflik atau permasalahan di dalam masyarakat itu sendiri dikemuadian hari, karena jual beli tersebut banyak mengandung kelemahan terutama pada syarat-syarat formal hukumnya, antara lain: Terhadap penjual apakah sudah memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 9 ayat (1). Sedangkan pembeli juga harus memenuhi ketentuan batas maksimum pemilikan tanah (Pasal 1) dan ketentuan tanah

absentee PP 224 tahun 1961 pasal 3ayat (1) serta syarat-ayarat lainnya.

Pada prakteknya syarat-syarat dalam peralihan hak (jual beli) terhadap tanah pertanian tersebut banyak yang tidak dipenuhi oleh penjual maupun pembeli. Hal ini akan menimbulkan banyak permasalahan setelah tanah yang menjadi objek jual beli tersebut akan didaftarkan untuk dimohonkan sertifikatnya.

Jual beli tersebut berdasarkan hukum adat sudah dapat diterima karena sudah memenuhi syarat yang ditentukan yaitu bersifat kontan dan terang. Walaupun kedudukan Hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional

namun dalam rangka pemindahan hak (balik nama) harus memenuhi hukum positif yang berlaku (hukum pertanahan).

Terjadinya pemindahan hak karena jual beli yang tidak memenuhi syarat hukum agraria dan tidak ditindak lanjuti dengan pembuatan akta PPAT, dapat diketegorikan sebagai suatu pemindahan hak secara illegal / dibawah tangan, sehingga dengan sendirinya pemindahan hak tersebut tidak mendapat dan perlindungan hukum. Boedi Harsono menyebutkan “sebagai Okupasi Ilegal bila menguasai dan menggunakan tanah tanpa alas haknya baik tanah Negara maupun pihak lain”.43 Sedangkan Effendy Perangin menyebutkan bahwa “kalau orang-orang menguasai tanah tanpa hak (titel) disebut melakukan penguasaan secara liar, orang secara fisik menduduki tanah dengan tidak sah (illegal)”.44

Peralihan hak atas tanah yang berpotensi konflik adalah “semua jenis perjanjian peralihan hak atas tanah yang sejak semula memang sudah berpotensi konflik, dalam hal ini termasuk juga jual beli atas tanah yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960”.45

Peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) tersebut diatas yang terjadi di masyarakat kebanyakan untuk tanah yang masih belum bersertifikat. Untuk itu ‘jika membeli tanah yang belum bersertifikat,

43

Boedi Harsono,Beberapa Analisa Hukum Agraria,Bag 2, Jakarta, Essa Study Club, 1986, hal. 6.

44

Effendi Perangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Praktisi Hukum, Jakarta, Rajawali, 1986, hal. 2007.

45

J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang berfotensi Konflik, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal. 26

jangan dilakukan jual beli, tetapi dengan membuat janji akan jual beli / pengikatan jual beli, kemudian jual beli akan dilakukan pada saat sertifikat telah selesai dan janji akan jual beli dibuat dengan akta notaris”.46

Pemindahan hak (jual beli) atas tanah biasanya terjadi karena penjual membutuhkan uang untuk keperluannya, sedangkan pembeli ingin mendapatkan tanah untuk keperluan hidupnya pula. Dalam hukum adat, pemindahan hak atas tanah harus bersifat kontan dan terang. “Kontan” (tanpa syarat) berarti penjual menyerahkan barang miliknya dan langsung menerima uang dengan jumlah yang disepakati (lunas), sedangkan pembeli langsung menerima barangnya (tanah). “Terang” berarti perpindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang dan disaksikan oleh beberapa orang saksi.

Jual beli menurut Pasal 1457 KUH Perdata: “Suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya dalam Pasal 1458 KUH Perdata: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.

Perikatan jual beli di bidang pertanahan dalam praktek sudah merupakan jual beli pula. Hal ini disebabkan bahwa secara materil harga tanahnya sudah dibayar dan tanahnyapun sudah diserahkan kepada pembeli. Namun dengan

46

dipergunakannya kata “perikatan” maka dapat diklasifikasikan ke dalam jenis perikatan / persetujuan.

Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Pasal 19 yang mengatur mengenai peralihan hak atas tanah:

“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah itu, meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungannya, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam PP ini disebut pejabat).

Ketentuan tersebut mengatakan bahwa hanya pejabatlah yang dapat membuat akta pemindahan hak atas tanah. Oleh karena itu, maka dalam Pasal 44 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ditentukan:

“Kepala desa dilarang menguatkan perjanjian yang dimaksud dalam pasal 22 dan 25 yang dibuat tanpa akta oleh Pejabat (PPAT). Pelanggaran terhadap larangan tersebut dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan / atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-“.

Sekalipun demikian, apabila PPAT meragukan wewenang seseorang untuk mengalihkan hak milik atas tanah, ia selalu dapat meminta kesaksian Kepala Desa atau seorang anggota pemerintah desa tempat di mana tanah terletak, sedangkan apabila tanah yang akan dialihkan itu belum dibukukan sehingga belum bersertifikat, maka kehadiran Kepala Desa atau seorang anggota pemerintah desa menjadi keharusan. “Keharusan Kepala Desa dan anggota pemerintah desa tersebut mempunyai maksud bahwa di samping sebagai saksi

adanya peristiwa hukum pemindahan hak atas tanah, mereka menjamin bahwa tanah yang akan dialihkan benar-benar sebagai tanah kepunyaan penjual”.47

Dalam pemindahan hak (jual beli) atas tanah pertanian, terhadap pembeli telah dipersyaratkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 Pasal 3 ayat (1), Yaitu: “Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke kecamatan letak tanah”.

Sedangkan terhadap penjual dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yaitu:

“Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali karena pembagian warisan dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan tersebut tidak berlaku kalau penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanahnya itu dijual sekaligus”.

Penggunaan perikatan jual beli tanpa ditindak lanjuti dengan pembuatan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT pada hakekatnya merupakan suatu penyeludupan hukum, sebab perikatan jual beli tersebut digunakan sebagai dasar untuk memperoleh suatu hak atas tanah . Pembuatan surat jual beli tanah di bawah tangan tersebut isinya tetap sah, artinya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tersebut tetap diakui sah, yaitu dengan adanya (Kptsn MA 123 K/sip/1970, tanggal 14 september1970) akan tetapi surat jual beli ini tidak dapat dipakai untuk urusan balik nama pada Badan Pertanahan Nasional.48

47

J. Kartini Soejendro, Op Cit, hal.70. 48

Di Kabupaten Padang Lawas Utara peralihan hak atas tanah pertanian secara ilegal atau dibawah tangan banyak terjadi terhadap tanah pertanian yang belum bersertifikat. Padahal setiap peralihan hak atas tanah pertanian baik yang sudah maupun belum bersertifikat menurut Peraturan Menteri Negara Agraria / Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 89 harus mendapat izin peralihan hak dari Kantor Pertanahan setempat terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk:

a. Mencegah terjadinya tanah absentee / guntai.

b. Mencegah terjadinya fragmentasi pemilikan tanah pertanian yang mengakibatkan timbulnya tanah pertanian kurang dari 2 hektar.

c. Mencegah terjadinya akumulasi pemilikan atau penguasaan tanah pada orang-orang tertentu.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Menteri Negara Agraria / Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 60 bahwa: “Peralihan hak atas tanah di bawah tangan atau ilegal yang menggunakan tanda bukti kwitansi, segel maupun bentuk peralihan hak lainnya dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat. Peralihan hak atas tanah pertanian seharusnya dilakukan dengan tetap memohon izin peralihan hak terlebih dahulu dari Kantor Pertanahan setempat. Namun kenyataannya oleh Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah mengatakan “peristiwa peralihan hak atas tanah tersebut masih sering kali diproses dan diterbitkan sertifikat tanahnya tanpa harus menggunakan izin peralihan hak terlebih dahulu. Menurut keterangan dari Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan mengatakan “bahwa hal tersebut terjadi adalah karena masih sangat sulit untuk mengendalikan hal tersebut dan bahkan masyarakat juga sangat sulit untuk mendaftarkan tanahnya untuk

disertifikatkan dan juga masyarakat lebih cendrung untuk melakukan yang ilegal, karena masyarakat beranggapan selain karena biayanya lebih murah juga urusannya lebih gampang”49.

Hasil penelitian lapangan yang peneliti laksanakan, cukup banyak terdapat peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) khususnya terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat. Menurut keterangan PPAT di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara, peralihan hak atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) rasanya masih sangat sulit untuk dikendalikan, karena para pemilik tanah menganggap bahwa tanah miliknya itu benar untuk dijual belikan asalkan tidak merugikan orang lain.

Terjadinya penjualan tanah pertanian sebagian yang terjadi dimasyarakat disebabkan karena kepentingan-kepentingan yang mendesak untuk kelangsungan hidup mereka sendiri dan sisanya masih tetap bisa diolah untuk anak cucunya kelak. Disemua desa yang diteliti (8 desa) yang tersebar di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara telah terjadi jual beli tanah pertanian sebagian yang memang sulit untuk dikendalikan oleh aparat desa. Bahkan banyak diantara mereka yang melakukan jual beli hanya cukup dengan alat bukti sebuah segel atau kwitansi, selanjutnya dilaporkan ke pihak desa, dengan demikian secara tidak langsung Kepala Desa telah ikut menyaksikan jual beli tersebut.

Dari hasil wawancara dengan beberapa Kepala Desa di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara dikatakan bahwa jual beli tanah pertanian tersebut sudah

49

Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011.

dilakukan terlebih dahulu oleh para pihak, tatapi selang beberapa hari, bulan bahkan tahun baru dilaporkan pada pihak desa, sehingga pihak desa sering kali menemui permasalahan dalam penarikan PBB, karena subyek haknya masih atas nama penjual, sedangkan tanah / obyeknya sudah beralih ke pembeli. Dalam kondisi yang demikian Kepala Desa tidak bisa berbuat banyak, dan pada akhirnya agar masalah tersebut tidak menimbulkan masalah sosial (terutama kepada ahli waris penjual) dan masalah PBB, maka Kepala Desa terpaksa mencatat jual beli tersebut ke buku desa.

Dengan semakin banyaknya permohonan sertifikat massal swadaya, maka tanah-tanah hasil jual beli tersebut diatas juga didaftarkan untuk memperoleh sertifikat-sertifikat hak atas tanahnya. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24/97 jo Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor3/97 tentang Pendaftaran Tanah khususnya untuk pendaftaran tanah pertama kali, bukti- bukti yang diperluhkan adalah terdapat pada Pasal 24 ayat (1). Syarat- syaratnya antara lain:

Pada angka ke-6: “Akta Pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan disertai kesaksian Kepala Adat / Kepala Desa / Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP ini (8 Juli 1997)”.

2. Peralihan hak atas tanah pertanian sebagian Secara Legal dengan menggunakan Izin Pemindahan Hak Atas Tanah Pertanian Oleh BPN Kabupaten Padang Lawas Utara.

Banyaknya kasus peralihan hak atas tanah pertanian sebagian melalui jual beli di masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara mengakibatkan terjdinya

pelanggaran Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Terjadinya pelanggaran tersebut karena ada beberapa alasan yang menurut pemilik (penjual) merupakan suatu keterpaksaan untuk melakukannya. Adapun alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:

a. Untuk biaya berobat.

Kesehatan adalah segala-galanya, apapun akan dilakukan demi kesehatan termasuk menjual sebagian tanah yang dimiliki. Sering terjadi dimasyarakat ketika suatu keluarga dimana salah satu anggota dari keluarga mengalami musibah kecelakaan dan dirawat dirumah sakit. Mereka membutuhkan biaya atau uang tunai sedangkan mereka kebetulan hanya mempunyai sebidang tanah yang luasnya masih kurang dari 2 hektar, sehingga mereka terpaksa menjual tanah tersebut sebagian (sesuai dengan kebutuhan saja) demi kesembuhan penyakit anggota keluarga.

b. Untuk membiayai pendidikan.

Sudah sering kita jumpai di masyarakat bahwa didalam kehidupan modern seperti sekarang ini, banyak sekali orang tua berusaha semaksimal mungkin untuk menyekolahkan anak-anaknya, agar nantinya mendapatkan masa depan yang lebih baik. Orang tua rela untuk melakukan segala usaha (termasuk menjual tanah pertaniannya) demi pendidikan anak-anaknya. c. Untuk membayar hutang.

Seseorang melakukan penjualan tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) tersebut kebanyakan karena kebutuhan yang mendesak termasuk juga untuk membayar hutang. Bahkan sering dapat dijumpai bahwa tanah

tersebut sudah dikuasai terlebih dahulu oleh orang yang memberi hutang, sehingga sulit untuk menghindari penjualan tanahnya.

d. Untuk Modal Usaha

Tidak selamanya usaha dalam bidang pertanian selalu memperoleh keuntungan, ada kalanya para petani mengalami kerugian, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup perlu melakukan suatu usaha yang dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pada bertani (seperti usaha dagang), akhirnya mereka menjual tanah pertanian sebagian untuk mendapatkan modal usaha tersebut, dan sisanya untuk diberikan kepada anak cucu mereka kelak.

e. Untuk biaya naik haji.

Bagi orang-orang yang fanatik, kebutuhan rohani adalah merupakan yang terpenting untuk dilaksanakan, walaupun naik haji adalah kewajiban bagi ummat islam yang mampu, demi kabutuhan batin mereka rela menjual tanahnya sebagian demi untuk mencukupi biayanya naik haji.

f. Untuk dibelikan tanah kembali.

Terkadang tanah pertanian yang mereka miliki kurang mencukupi kesuburannya, dimana mereka berkeinginan untuk mendapatkan tanah yang lebih baik untuk mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi. Terkadang juga untuk mendapatkan tanah yang lebih dekat dari tempat dimana mereka tinggal.

Keterangan diatas disusun berdasarkan hasil wawancara dengan para penjual tanah pertanian sebagian. Berdasarkan alasan-alasan yang

dikemukakan tersebutlah, serta beberapa pertimbangan kemanusiaan dan pertimbangan sosial lainnya Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Padang Lawas Utara mengambil langkah-langkah kebijakan agar peralihan hak (jual beli) tanah pertanian tidak terjadi permasalahan di kemudian hari, yaitu dengan cara memberikan dispensasi (izin khusus) pada peralihan hak tersebut. Setelah mendapatkan dispensasi tersebut, mereka meneruskan peralihan hak (jual beli) tersebut ke PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) untuk dibuatkan aktanya dan selanjutnya didaftarkan ke Kantor Pertanahan untuk dibuatkan sertifikat hak atas tanahnya.

Izin pemindahan hak atas tanah pertanian tersebut dibuat berdasarkan Surat Pernyataan Diri dari penerima hak (pembeli) yang pada intinya yaitu dengan pemindahan hak tersebut, maka penerima hak (pembeli) tidak akan melanggar ketentuan batas luas maksimum dan tidak menjadikan pemilikan tanah absentee. Pernyataan tersebut sebenarnya sama sekali tidak mengontrol apakah pemindahan hak (jual beli) tersebut melanggar Pasal 9 ayat (1) atau tidak. Seharusnya pengendalian tersebut jangan hanya dipertimbangkan dari sisi pembelinya saja, namun juga dari sisi penjualnya, karena justru yang melakukan pelanggaran Pasal 9 ayat (1) adalah pihak penjual.

Selain dari itu pengendalian terhadap pemindahan hak atas tanah pertanian (jual beli) yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) tersebut sampai sejauh ini belum juga terwujud. Karena lemahnya atau kurang efisiennya sistem pengendalian tersebut, maka pemindahan hak (jual beli) atas tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) pada akhirnya tidak terkendalikan

oleh hukum, walaupun dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 39 telah dipersyaratkan kepada PPAT untuk menolak pemindahan hak tersebut apabila telah melanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang- undangan yang bersangkutan misalnya larangan pemecahan tanah pertanian yang dimaksudkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 56/Prp/1960.50

Pada dasarnya problema Pasal 9 ayat (1) bagi masyarakat dianggap tidak signifikan, kerena mereka dapat melakukan bentuk pemindahan hak (jual beli) tanah pertanian dengan mudah, yaitu dengan membuat pernyataan diri bahwa sudah tidak mempunyai lagi tanah pertanian selain tanah yang akan dijualnya itu. Dengan keadaan seperti itu Kantor Pertanahan tidak bisa berbuat apa-apa dan akan percaya akan hal itu, kecuali Kantor Pertanahan memiliki data mengenai pemilikan tanah masing-masing orang pada daerah tersebut sebagai cara untuk mengendalikan jual beli tersebut.

Seseorang yag mempunyai tanah pertanian beberapa bidang terletak dibeberapa desa (tidak terkena ketentuan absentee), dimana mereka menjual sebagian tanahnya yang terletak di Desa A, Kantor Pertanahan tidak akan dapat melacak kepemilikan tanah lainnya, padahal menurut ketentuan Pasal 9 ayat (1) hal tersebut dilarang dan untuk memperoleh data tersebut sangat tergantung dari pemohon dengan kejujurannya.

Menurut keterangan Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa peralihan hak atas tanah pertanian yang mengakibatkan timbulnya pemilikan tanah pertanian kurang dari 2

50

Boedi Harsono, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah: Isi dan Penjelasannya, disampaikan pada Seminar Nasional bekerja sama antara FH Universitas Trisakti dengan BPN, Jakarta, 1997.

hektar yang terjadi pada masyarakat “masih sangat sulit untuk dikendalikan, hal ini disebakan karena masyarakat cenderung melakukan jual beli dibawah tangan dan itu tidak mungkin untuk dibatalkan, hal ini disebabkan uang yang diterima penjual sudah dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat mendesak”.51

Kebanyakan masyarakat melakukan jual beli tersebut karena ada keperluan yang mendesak (berobat, biaya sekolah dan lain-lain) dengan tanpa memperdulikan apakah jual beli tersebut dilarang atau tidak. Mereka beranggapan bahwa “tanah itu memang bener-benar tanah mereka sendiri, sehingga mereka bebas untuk melakukan perbuatan hukum apapun terhadap tanah mereka tersebut, jika mereka terhimpit kebutuhan yang mendesak pemerintah tidak akan mungkin mencukupi kebutuhan mereka”.52

Menurut Kasi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan bahwa “pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum tersebut tidak perlu dikhawatirkan asal tidak menyebabkan perubahan penggunaan tanah, yang perlu dikhawatirkan justru jika pemecahan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan tanah pertanian (sawah) menjadi tanah non pertanian”.53 Kekhawatiran ini dapat dipahami karena hal tersebut akan menyebabkan luas tanah pertanian menjadi sempit sehingga tujuan landreform

untuk memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna

51

Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011.

52

Wawancara dengan beberapa warga masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara, Tanggal 23 Desember 2011.

53

Wawancara dengan Bapak Aladin Harahap, (Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan), Tanggal 12 Desember 2011.

mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat akan semakin jauh dari kenyataan.

Camat Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara juga mengatakan bahwa “jual beli tanah pertanian yang melanggar Pasal 9 ayat (1) di Kecamatan Portibi banyak terjadi, yang biasanya dilakukan secara dibawah tangan dan bahkan tidak diketahui / dilaporkan pada Kepala Desa setempat”.54 Mereka tidak sadar bahwa jual beli tersebut akan mengandung masalah atau konflik di kemudian hari, dan mereka umumnya melakukan jual beli tanah pertanian tersebut untuk keperluan berobat, biaya sekolah, membayar hutang dan lain-lain.

Demikian juga Camat Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara mengatakan bahwa “pelanggaran terhadap ketentuan tersebut sudah biasa terjadi, dimana sebagian masyarakat tidak mengetahui atas ketentuan Undang-undang tersebut dan bahkan masyarakat umumnya sudah tidak peduli lagi terhadap ketentuan tersebut”.55

Selanjutnya Notaris/ PPAT Kabupaten Padang Lawas Utara juga mengatakan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1), “rasanya sangat sulit , terutama untuk daerah pedesaan, karena kebanyakan mereka belum mengerti terhadap ketentuan tersebut, walaupun mengerti jika mereka terdesak oleh kebutuhan ekonomi mereka tidak peduli dengan ketentuan tersebut”.56

54

Wawancara dengan Bapak Haholongan Siregar, (Camat Portibi Kabupaten Padang Lawas Utara), Tanggal 04 Januari 2012.

55

Wawancara dengan Bapak Tunggul.P, (Camat Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas

Dokumen terkait