• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

C. Aspek Hukum Jual Beli Tanah Pertanian

3. Subjek dan Objek Jual Beli Tanah

1) Penjual.

Dalam transaksi jual beli ada pihak-pihak yang menjadi penjual dan yang menjadi pembeli. Penjual adalah harus sebagai pemilik tanah baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Dalam hal pemilik tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual secara sendiri. Tapi bila pemilik tanah dua orang atau lebih, maka yang berhak menjual tanah tersebut adalah pemilik semua secara bersama-sama.

Apabila salah satu ingin menjual baginya, maka ia harus meminta surat persetujuan dari pemilik yang lain sebagai pemilik bersama tersebut. Misalnya tanah gono gini (milik bersama suami istri), maka apabila suami atau isteri akan menjual tanah tersebut harus minta surat persetujuan dari suami atau isteri tersebut, bila datangnya secara sendiri-sendiri di hadapan PPAT tanpa ada surat persetujuan dari suami isteri, maka jual beli yang dilakukan tersebut akan menimbulkan sengketa dikemudian hari.

Dalam hal tanah milik anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa dan dalam sertifikat tercatat atas namanya sebagai pemegang hak, namun anak tersebut tidak berwenang melakukan jual beli walaupun ia berhak atas tanah tersebut, jual beli dapat dilaksanakan bila yang bertindak adalah ayah atau ibu si anak sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua ataupun diwakili walinya.41

Seseorang berhak dan berwenang untuk menjual tanah tersebut namun ia belum atau tidak boleh menjual tanah tersebut, apabila tanah tersebut:

a) Sedang dijadikan jaminan hutang. b) Sedang disita (tanah sitaan).

c) Sedang dalam masalah atau perselisihan atau sengketa.

d) Terkena rencana tata kota (advis planning) untuk dijadikan rumah sakit, kantor pemerintahan, dan sebagainya.

2) Pembeli.

Pihak pembeli harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Kondisi apabila hal ini terjadi akan terkena sanksi yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria bahwa “setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termasuk dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan

41

tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.”

Atas dasar ketentuan pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria tersebut maka orang asing , badan hukum, kewarganegaraan rangkap tidak boleh membeli tanah hak milik kepunyaan warga negara Indonesia dengan cara apapun dan alasan apapun. Jika dilanggar maka akibat hukumnya haknya hapus, tanah menjadi tanah negara dan pembayaran yang telah diberikan kepada pemilik tanah dapat diminta kembali.

b) Objek Jual Beli Tanah.

Objek jual beli tanah adalah hak atas tanah yang akan dijual, dalam praktek disebut jual beli tanah. Secara hukum yang benar adalah jual beli hak atas tanah, hak atas tanah yang dijual bukan tanahnya. Tujuan membeli hak atas tanah adalah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah. Tetapi yang dibeli atau dijual itu bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya. Informasi yang diperlukan untuk hak atas tanahnya adalah tentang letak, batas- batas, luas tanah, status tanah, alat bukti dan keadaan tanah yang bersangkutan.

1) Letaknya.

Masalah letak hubungan ada hubungannya dengan aspek hukum adalah mempengaruhi dalam siapa saja yang berwenang membuat aktanya, artinya PPAT yang berwenang membuat aktanya adalah PPAT yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang dijual belikan tersebut.

Hal ini dapat diketahui apakah tanah tersebut sudah bersertifikat, untuk tanah yang sudah bersertifikat, informasi tentang batas-batas dan luasnya dapat diketahui secara pasti dalam surat ukurnya. Karena tanah yang telah bersertifikat dapat dijamin kepastian hukumnya, sedangkan dalam hal tanah yang belum bersertifikat maka petunjuk tersebut dapat diperoleh dari letter C, girik, atau petunjuk pajak.

3) Jenis Tanah.

Dalam hal ini tanah yang akan dijual apakah tanah pertanian ataukah tanah perumahan atau bangunan. Untuk jual beli tanah dan bangunan maka harus diperjanjikan dan dinyatakan secara tegas bahwa yang akan dijual adalah tanah dan bangunan dituangkan dalam akta jual beli tanah, maka sebelum dibuat akta jual beli tanah harus jelas apakah bangunan diatas tanah tersebut turut dijual (dibeli) atau tidak. Hal itu nanti disebut secara tegas dalam akta jual beli, jika bangunan tidak disebut dalam akta jual beli, maka maka bangunan tersebut tidak ikut dijual, karena kini berlaku asas pemisahan horizontal.

Sedangkan untuk tanah pertanian harus memperhatikan ketentuan- ketentuan yang diatur dalam landreform, yaitu antara lain tentang ketentuan batas maksimum, kepemilikan tanah secara absentee dan larangan fragmentasi tanah kurang dari 2 hektar, bila dilanggar akan menimbulkan kesulitan bagi pembeli, antara lain kesulitan dalam hal balik nama sertifikat, karena tidak diperolehnya izin jual beli atau haknya akan menjadi hapus.

4. Prosedur Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria atau Hukum Tanah Nasional.

Sejak berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, pada pasal 37 menyebutkan bahwa jual beli dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya. Dengan demikian dilakukan jual beli dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang gelap yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi), akta jual beli yang ditandatangani oleh para pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan hukum jual beli yang bersangkutan telah dilaksanakan.

Akta tersebut membuktikan bahwa telah benar dilakukan pemindahan hak untuk selama-lamanya dan pembayaran harganya, karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut membuktikan bahwa penerima hak (pembeli) sudah menjadi pemegang hak yang baru, akan tetapi hal itu baru diketahui oleh para pihak dan para ahli warisnya, karenannya juga baru mengikat para pihak dan para ahli warisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.”42

42

Boedi Harsono, Perkembangan Hukum Tanah Adat melalui Yurisprudensi, (ceramah disampaikan pada simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan kedudukan tanah-tanah adat dewasa ini, Banjarmasin, 7 Oktober 1977), hal. 50.

D. Pemecahan Tanah Pertanian Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Di

Dokumen terkait