• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemecahan Tanah Pertanian di bawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan dengan Penerapan Landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemecahan Tanah Pertanian di bawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan dengan Penerapan Landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PEMECAHAN TANAH PERTANIAN

DIBAWAH BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI

DIKAITKAN DENGAN PENERAPAN LANDREFORM

DI KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

SAHRIAL AZHAR SIREGAR

097011002/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 September 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

(4)

ABSTRAK

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Terjadinya ketimpangan dalam masyarakat atas penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah khususnya tanah pertanian sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat, kerena bagaimana mungkin seorang petani bisa sejahtera jika tidak mempunyai tanah pertanian. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur tentang pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, khususnya dalam pasal 17. Pengaturan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara, Bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform

di Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform

di Kabupaten Padang Lawas Utara.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, serta melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tentang pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan

landreform.

Terjadinya pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara adalah karena keterpaksaan terhadap masyarakat atas kepentingan-kepentingan yang mendesak untuk kelangsungan hidup mereka sendiri, seperti untuk biaya berobat, biaya pendidikan, membayar hutang, modal usaha, dan lain sebagainya, dan kemudian sisa tanah yang tidak dijual masih bisa diolah lagi untuk anak cucu mereka. Sebagai akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum adalah akan dipidana dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan / atau denda sebanyak Rp 10.000,00, sesuai dengan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Adapun upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan ini adalah perlunya ditinjau kembali undang-undang tersebut, dimana batas minimum 2 hektar untuk saat sekarang ini sudah sulit untuk diterapkan mengingat kondisi lahan yang tersedia dibandingkan dengan jumlah penduduk sekarang ini, selanjutnya kesadaran hukum yang ada pada masyarakat sangatlah mempengaruhi tercapainya penegakan hukum khususnya tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara.

(5)

ABSTRACT

Land is the bounty of God which is very important in human life. Social imbalance, due to the control, utility, and ownership of land, particularly agricultural land is very contrary to the social values in the social life because a farmer will never be prosperous if he does not have any agricultural land. The Agrarian Law (UUPA), especially Article 17, regulates the use, ownership, and control over agricultural land. This regulation was clarified by Law No. 56/1960 on the Provision on the Area of agricultural Land. The problems discussed in the research were as follows: how about the factors which cause the incident of the division of agricultural land below minimum limit through buying and selling in Padang Lawas Utara District, how about legal consequence of the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling related to the application of land-reform in Padang Lawas Utara District, and how about the attempts which influenced law enforcement about the prohibition of dividing agricultural land below minimum limit through buying and selling related to the application of land-reform in Padang Lawas Utara District.

The research was conducted by using judicial empirical approach; that is, a research which is referred to legal provisions, laws, and regulations and the reality found in the society about the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling related to the application of land-reform.

The incident of the division of agricultural land below the maximum limit through buying and selling in Padang Lawas District was because people had to do it urgently for the continuity of their lives, such for medication cost, education cost, paying off debt, business capital, and so on, and the remainder of the land can be used for their descendants. The legal consequence of the incident of dividing agricultural land below the minimum limit is that the perpetrator will be sentenced to maximum imprisonment of three months and/or will be fined ten thousand rupiahs as it is stipulated in Article 9, paragraph 2 of Law No. 56/1960. Some attempts which influence legal enforcement about the prohibition of this division are the need for the law to reviewed, where the maximum limit of two hectares is difficult to be applied today since the area of the land is not balanced with the number of people and people’s legal awareness highly influences the achievement of legal enforcement, particularly about the prohibition of the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling in Padang Lawas District.

(6)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan, dan shalawat beserta salam kehadirat nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam kegelapan ke alam yang sekarang ini yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Tesis ini dengan judul “ Pemecahan Tanah Pertanian di bawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan dengan Penerapan Landreform

di Kabupaten Padang Lawas Utara”.

Penyusunan Tesis ini bertujuan untuk melengkapi syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan terlebih karena keterbatasan kemampuan, baik dari segi penyajian teknik penulisan maupun materi.

Penulisan tesis ini tidaklah mungkin akan menjadi sebuah karya ilmiah tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah ikut serta baik langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), SpA(K), selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara.

(7)

menjadi mahasiswa Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta waktu dalam penelitian Tesis ini.

4. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH.,M.Hum., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta waktu dalam penulisan Tesis ini.

5. Ibu Chairani Bustami, SH., SpN., M.Kn., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta waktu dalam penulisan Tesis ini.

6. Bapak Notaris, Dr. Syahril Sofyan, SH.,M.Kn., selaku Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum., selaku Anggota Komisi Penguji dalam penelitian ini.

8. Seluruh Staff Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh Staf Pegawai Adiministrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(8)

kasih atas doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

11. Kepada rekan seperjuangan stambuk 2009 Group C dan seluruh rekan-rekan lainnya di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya selama ini.

Secara khusus, penulis menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua Ayahanda H. Mukhtar Siregar dan Ibunda Hj. Derlan Harahap, yang telah membesarkan penulis dan memberikan kasih sayang yang tak terhingga serta telah memberikan doa restunya sehingga penulis dapat melanjutkan dan meyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis persembahkan kepada Kakanda tersayang Hj. Hasna Eriani Siregar, Syafrida Wati Siregar, Hotmarito Siregar, S.Ag, H. Sunggul Lelo Siregar, S.PdI., dan Nurliana Siregar, Amd, dan juga kedua Adinda tercinta Rosmina Syafitri Siregar, S.PdI., dan Irham Ahmad Siregar, yang selama ini selalu memberi semangat dan motifasi kepada penulis hingga selesainya penulisan Tesis ini.

(9)

Akhirnya tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Penulis hanya bisa mendoakan agar semua pihak yang telah membantu selama ini dilipatgandakan pahalanya. Dengan iringan doa semoga Allah SWT berkenan menerima amal ini menjadi sebuah nilai ibadah disisi-Nya dan dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga Tesis ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan. Amiin Yaa Robbal’alamin.

Wasalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, Agustus 2013

Penulis

(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Sahrial Azhar Siregar

Tempat / Tanggal Lahir : Nagasaribu / 15 Juli 1985

Status : Lajang

Alamat : Desa Nagasaribu, Kec. Padang Bolak, Kab. Padang Lawas Utara.

Agama : Islam.

II. Keluarga

Nama Ayah : H. Mukhtar Naposo Siregar

Nama Ibu : Hj. Derlan Harahap

Nama Saudara : Hj. Hasna Eriani Siregar, Syafrida Wati Siregar, Hotmarito Siregar, H. Sunggul Lelo Siregar, Nurliana Sari Siregar, Rosmina Syafitri Siregar, Irham Siregar.

III. Pendidikan

1. SD Negeri No. 142730, Padang Bolak : Tamat Tahun 1997 2. SLTP Negeri 3 Padangsidempuan : Tamat Tahun 2000

3. SMU N 6 Padangsidempuan : Tamat Tahun 2003

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah

Tapanuli Selatan : Tamat Tahun 2009

5. S-2 Magister Kenotariatan Universitas

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Keaslian Penelitian ... 9

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Kerangka Konsepsi ... 15

G. Metode Penelitian ... 17

1. Spesifikasi Penelitian ... 18

2. Populasi dan Sampel ... 19

3. Sumber Data. ... 21

4. Teknik Pengumpulan Data ... 22

5. Alat Pengumpulan Data ... 23

(12)

BAB II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA

PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DIBAWAH

BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DI

KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA ... 25

A. Deskripsi Kabupaten Padang Lawas Utara ... 25

B. Tinjauan UmumTentang Tanah Pertanian ... 29

C. Aspek Hukum Jual Beli Tanah Pertanian ... 33

1. Pengertian Jual Beli Tanah Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria ... 33

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria ... 35

3. Subjek dan Objek Jual Beli Tanah ... 36

D. Pemecahan Tanah Pertanian Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Kabupaten Padang Lawas Utara ... 41

BAB III. AKIBAT HUKUM PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DIBAWAH BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DIKAITKAN DENGAN PENERAPAN LANDREFORM DI KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA ... 65

A. Tinjauan Umum Tentang Landreform ... 65

1. Pengertian Landreform ... 65

2. Maksud dan Tujuan Landreform ... 67

3. Program Landreform ... 73

4. Landreform di Indonesia ... 74

5. Kendala Pelaksanaan Landreform ... 78

B. Program Landreform Terhadap Batas Minimum Pemulikan Tanah Pertanian ... 83

(13)

BAB IV. UPAYA-UPAYA YANG MEMPENGARUHI

PENEGAKAN HUKUM TENTANG LARANGAN

PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DIBAWAH

BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DIKAITKAN

DENGAN PENERAPAN LANDREFORM DI

KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA ... 88

A. Kesadaran Hukum Dari Masyarakat Khususnya Tentang Larangan Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum ... 88

B. Faktor Peraturan Perundang-undangan ... 92

C. Peranan Pemerintah Dalam Hal Penegakan Hukum Tentang Larangan Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli di Kabupaten Padang Lawas Utara ... 97

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 105

(14)

ABSTRAK

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Terjadinya ketimpangan dalam masyarakat atas penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah khususnya tanah pertanian sangatlah bertentangan dengan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat, kerena bagaimana mungkin seorang petani bisa sejahtera jika tidak mempunyai tanah pertanian. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur tentang pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, khususnya dalam pasal 17. Pengaturan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. Permasalahan yang dibahas dalam tesis ini adalah: Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara, Bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform

di Kabupaten Padang Lawas Utara, dan Bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform

di Kabupaten Padang Lawas Utara.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, serta melihat kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tentang pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan

landreform.

Terjadinya pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara adalah karena keterpaksaan terhadap masyarakat atas kepentingan-kepentingan yang mendesak untuk kelangsungan hidup mereka sendiri, seperti untuk biaya berobat, biaya pendidikan, membayar hutang, modal usaha, dan lain sebagainya, dan kemudian sisa tanah yang tidak dijual masih bisa diolah lagi untuk anak cucu mereka. Sebagai akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum adalah akan dipidana dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan / atau denda sebanyak Rp 10.000,00, sesuai dengan pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Adapun upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan ini adalah perlunya ditinjau kembali undang-undang tersebut, dimana batas minimum 2 hektar untuk saat sekarang ini sudah sulit untuk diterapkan mengingat kondisi lahan yang tersedia dibandingkan dengan jumlah penduduk sekarang ini, selanjutnya kesadaran hukum yang ada pada masyarakat sangatlah mempengaruhi tercapainya penegakan hukum khususnya tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara.

(15)

ABSTRACT

Land is the bounty of God which is very important in human life. Social imbalance, due to the control, utility, and ownership of land, particularly agricultural land is very contrary to the social values in the social life because a farmer will never be prosperous if he does not have any agricultural land. The Agrarian Law (UUPA), especially Article 17, regulates the use, ownership, and control over agricultural land. This regulation was clarified by Law No. 56/1960 on the Provision on the Area of agricultural Land. The problems discussed in the research were as follows: how about the factors which cause the incident of the division of agricultural land below minimum limit through buying and selling in Padang Lawas Utara District, how about legal consequence of the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling related to the application of land-reform in Padang Lawas Utara District, and how about the attempts which influenced law enforcement about the prohibition of dividing agricultural land below minimum limit through buying and selling related to the application of land-reform in Padang Lawas Utara District.

The research was conducted by using judicial empirical approach; that is, a research which is referred to legal provisions, laws, and regulations and the reality found in the society about the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling related to the application of land-reform.

The incident of the division of agricultural land below the maximum limit through buying and selling in Padang Lawas District was because people had to do it urgently for the continuity of their lives, such for medication cost, education cost, paying off debt, business capital, and so on, and the remainder of the land can be used for their descendants. The legal consequence of the incident of dividing agricultural land below the minimum limit is that the perpetrator will be sentenced to maximum imprisonment of three months and/or will be fined ten thousand rupiahs as it is stipulated in Article 9, paragraph 2 of Law No. 56/1960. Some attempts which influence legal enforcement about the prohibition of this division are the need for the law to reviewed, where the maximum limit of two hectares is difficult to be applied today since the area of the land is not balanced with the number of people and people’s legal awareness highly influences the achievement of legal enforcement, particularly about the prohibition of the division of agricultural land below maximum limit through buying and selling in Padang Lawas District.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah sebagai sumber kehidupan, karena disinilah setiap orang bertempat tinggal, bercocok tanam untuk memperoleh bahan pangan, dan sebagai tempat peristirahatan yang terahir ketika dipanggil sang pencipta. Tanah yang dulu dipandang dari sudut sosial, yang tercakup dalam lingkungan hukum adat, Hak Ulayat dan fungsi sosial, kini mulai dilihat dengan kaca mata ekonomi, sehingga tepat apabila Perserikatan Bangsa-Bangsa mensinyalir bahwa saat ini masalah pertanahan tidak lagi menyangkut isu kemasyarakatan tetapi telah berkembang menjadi isu ekonomi.1

Sekitar jutaan jiwa petani di Indonesia masih belum memiliki lahan pertanian atau mengandalkan dirinya sebagai buruh tani. Besarnya jumlah buruh tani tersebut sangat memprihatinkan karena bagaimana mungkin bisa sejahtera seorang petani jika tidak memiliki lahan pertanian. Banyaknya petani yang belum memiliki lahan pertanian tersebut kemungkinan besar terjadi karena masih rendahnya pendidikan formal, biasanya petani adalah seorang pekerja keras namun sangat rendah pengetahuannya, sementara itu petani yang memiliki lahan pertanian juga masih sulit untuk hidup sejahtera, karena tidak sedikit dari mereka terjerat rentenir untuk membiayai pengelolaan tanahnya.2

1

Muhammad Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2004, hal. 26.

2

(17)

Berdasarkan landasan politik hukum agraria Indonesia, yaitu Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian sebagai pelaksana dari ketentuan diatas dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, bahwa hak menguasai Negara tersebut memberi wewenang untuk: 3

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Berkaitan dengan kewenangan Negara diatas, maka pemanfaatan tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk mengatur pemanfaatan, pemilikan dan penguasaan tanah pertanian , Undang-Undang Pokok Agraria dalam Pasal 17 menentukan tentang batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau suatu keluarga, baik dengan hak milik atau hak-hak lainnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar seseorang (keluarga) dapat memiliki atau menguasai tanah pertanian tidak melebihi atau kurang dari ketentuan batas luas

3

(18)

maksimum dan minimum, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup atau penghidupan bagi para petani.4

Dari berbagai penelitian yang dilakukan terhadap masalah pertanian di Indonesia telah menunjukkan bahwa penguasaan, penggunaan dan pemilikan tanah masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam masyarakat, dimana ada sekelompok kecil dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui batas sedangkan dipihak lain sebagian kelompok dari masyarakat memiliki atau menguasai tanah dalam jumlah yang sangat terbatas, yaitu dibawah batas minimum pemilikan tanah dan bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama sekali, terpaksalah hidup sebagai buruh tani yang senantiasa hidup dibawah garis kemiskinan yang sifatnya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.5

Hal ini juga sangatlah bertentangan dengan tujuan dari penerapan

landreform yang diimplamentasikan di Indonesia sejak tahun 1960, dimana tujuan

landreform diIndonesian dalam pidato Menteri Agraria Soedjarwo pada tanggal 12 September 1960 adalah;

1. Untuk mangadakan pembagian yang adil atas sumber panghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasi yang adil pula, dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner, guna merealisir keadilan sosial.

2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani (land to the tillers) agar tidak terjadi lagi tanah sebagai objek spekulasi dan objek pemerasan. 3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga

Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial, suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak privat bezit yaitu hak

4

Upik Hamidah, Pelaksanaan Penetapan Batas Tanah Pertanian Setelah Diberlakukannya UU No. 56 Prp Tahun 1960, Justisia, No. 16 Th. V 1997.

5

(19)

milik sebagai hak yang kuat, bersifat perorangan, dan turun temurun, tetepi berfungsi sosial.

4. Untuk mengakhiri sistem tuan-tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk setiap keluarga, selanjutnya kepada keluarga dapat laki-laki ataupun perempuan. 5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya

pertanian yang intensif secara gotong-royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan adil dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan petani.

Secara umum tujuan landreform adalah untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian secara khusus landreform di Indonesia agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus menyebutkan bahwa tujuan dari landreform adalah sebagai berikut:6

1. Ekonomi Landreform

a. Untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dari fungsi sosial pada hak milik tersebut.

b. Untuk memperbaiki produksi nasional khususnya disektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.

2. Tujuan Sosial Politik Landreform

a. Mengakui sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang sangat luas.

b. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar pembagian yang adil juga. 3. Tujuan Mental Phsycology Landreform.

a. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai kepemiliken tanah.

b. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Selanjutnya dalam rangka pembangunan pertanian perlu adanya tata ruang dan tata guna tanah, sehingga penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas

6

(20)

tanah dapat menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu perlu dicegah pemilikan dan penguasaan tanah oleh perorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak.

Oleh karena itu dalam rangka pembangunan masyarakat yang sesuai dengan asas sosialisme Indonesia disamping perlu adanya batas maksimal pemilikan tanah pertanian yang boleh dikuasai oleh satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan hak lain, juga perlu diadakan penetapan luas minimumnya, dengan tujuan supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luas agar dapat mencapai taraf hidup yang layak. Peraturan yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa: “pemerintah mengadakan usaha-usaha agar setiap petani sekeluarga memiki tanah pertanian minimum 2 hektar, baik untuk sawah maupun untuk lahan kering”. Sehubungan adanya penetapan batas minimum dua hektar maka diadakan larangan untuk menjual, membagi-bagikan atau memisah-misahkan tanah yang sudah ada sehingga menimbulkan berlangsungnya pemilikan hak atas tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar.”

(21)

atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan tersebut tidak berlaku kalau penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus”.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pemecahan tanah pertanian yang luasnya dibawah batas minimum dua hektar kecuali karena pembagian warisan dilarang. Namun pada hakekatnya masih sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, hal ini sering dilakukan oleh petani diwilayah Kabupaten Padang Lawas Utara.

Pemilikan tanah pertanian di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara masih banyak lagi yang dibawah 2 hektar setiap petani sekeluarga, dan bahkan yang tidak mempunyai tanah sama sekalipun masih banyak didapati. Jika pemecahan tanah tersebut masih tetap terjadi dilakukan oleh masyarakat bukan tak mungkin tanah yang sudah ada tersebut akan mengakibatkan timbulnya bagian-bagian yang lebih kecil lagi.

Pada dasarnya hal itu sangat tidak dikehendaki oleh masyarakat, karena bagaimana mungkin masyarakat mau jika tanah yang mereka miliki semakin habis. Pasti ada alasannya mengapa masyarakat tetap melakukannya, dimana kebanyakan mereka melakukan itu adalah karena keadaan ekonomi yang mendesak hanya itulah jalan satu-satu yang harus dilakukan dengan menjual sebagian dari tanah mereka.

(22)

“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pajabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Akan tetapi kenyataannya di Kabupaten Padang Lawas Utara tidaklah demikian. Kebanyakan jual beli yang dilakukan oleh penduduk hanya dihadapan Kepala Desa, bahkan masih sering juga terjadi peralihan hak yang hanya dilakukan dengan secara lisan dan/atau kuitansi untuk pembuktian. Hal inilah yang sering menyebabkan terjadinya pemecahan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, karena jual beli tanah tersebut tidak dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan Kepala Desa sendiri tidak meneliti apakah peralihan hak tersebut melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 atau tidak.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut diatas maka ada terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara? 2. Bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah

(23)

3. Bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli di Kabupaten Padang Lawas Utara.

2. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum atas terjadinya pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara.

3. Untuk mengetahui bagaimana upaya-upaya yang mempengaruhi penegakan hukum tentang larangan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform di Kabupaten Padang Lawas Utara.

D. Manfaat Penelitian

(24)

1. Secara teoritis

Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi ilmiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang permasalahan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform.

2. Secara Praktis

Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi pemerintah yang berwenang dalam mengambil langkah-langkah kebijakan selanjutnya guna mengatasi permasalahan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual beli dikaitkan dengan penerapan landreform.

E. Keaslian Penelitian

(25)

Adapun hasil dari penelusuran kepustakaan yang berhubungan dengan judul tersebut diatas adalah sebagai berikut:

1. “Pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Landreform Berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 Di Kabupaten Langkat”, oleh Zulkarnain, Nim: 027005047. Permasalahan yang diangkat:

a. Bagaimana penerapan ketentuan landreform setelah berlakunya Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat?

b. Akibat hukum apa yang timbul setelah penerbitan Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat?

c. Kebijakan hukum apa yang diambil terhadap Keputusan Menteri Agraria Nomor SK.24/HGU/65 di Kabupaten Langkat?

2. “Pelaksanaan Landreform Di Kabupaten Deli Serdang, Studi Mengenai Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)”, oleh Irzan, Nim: 047005032/Hk. Permasalahan yang diangkat:

a. Bagaimana pelaksanaan landreform dalam konteks Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)?

b. Apakah kendala dalam pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah (P4T)? c. Bagaimana kebijakan yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang ditemui

(26)

3. “Kajian Atas Landreform Dalam Rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”, oleh Herman S, Nim: 9733101004. Permasalahan yang diangkat: a. Bagaimana kontribusi landreform terhadap pembangunan hukum ekonomi? b. Mengapa program landreform di Indonesia tidak berjalan dengan baik? c. Bagaimana strategi hukum terhadap pelaksanaan program landreform di

Indonesia dalam upaya pembangunan ekonomi?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi7, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya8. Selain itu teori dapat juga didefinisikan adalah suatu konstruksi dialam cita atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam pengalaman9.

Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep dan memperkembangkan defenisi, suatu ikhtiar yang diketahui, kemungkinan prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan10.

7

J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hal. 203.

8

Ibid, hal. 216

9

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, ELSAM-HUMA, 2002, hal. 184.

10

(27)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.11

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya suatu kerangka teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan pemikiran teoritis.12

Menurut Kaelan M.S Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan dasar-dasar operasional penelitian. Landasasan teori pada suatu penelitian adalah bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.13

Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan sebagai berikut:

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta,

membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtiar dari padahal-hal yang diteliti. d. Teori memberi kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.14

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung , Mandar Maju, 1994, hal. 80.

12

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 37.

13

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), Yogyakarta, Paradigma, 2005, hal. 239.

14

(28)

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan acuan dalam “Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli Dikaitkan dengan Penerapan Landreform” adalah dengan menggunakan pendekatan teori tujuan landreform.

Landreform merupakan sebuah program yang berisikan redistribusi drastis atas pemilikan dan pendapatan melalui pengorbanan kaum tuan tanah, yang meliputi seluruh atau sebagian dari unsur-unsur; redistribusi jaminan pengaturan pembiayaan yang layak bagi pembelian tanah penyakapan, jaminan penguasaan dan penyakapan tanah yang adil, bimbingan teknis, perkreditan yang baik, pasilitas pemasaran dan lain-lain.15

Gerakan landreform muncul sebagai akibat tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat petani. Perbedaan kehidupan antara para petani dan tuan-tuan tanah terlalu menyolok sehingga menimbulkan kesadaran dari para petani untuk bangkit dan menuntut keadilan sosial, kemerdekaan dan emansipasi (penghargaan yang sama atas dasar kesamaan kedudukan), seperti halnya yang dimiliki oleh para tuan-tuan tanah.

Aturan yang menetapkan larangan pemecahan tanah pertanian di bawah batas minimum terdapat pada Pasal 8 juncto Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dengan kualifikasi pelanggaran dan bukan kejahatan, maka karena sifat hakikatnya dalam sejarah kemanusiaan, perbuatan itu menjadi tindak pidana bukan karena kualitas perbuatannya, melainkan hanya akibat dibentuk dan diterapkannya peraturan perundang-undangan oleh penguasa. Perbuatan itu sendiri bukan sesuatu perbuatan yang dalam kesadaran hukum masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang jahat.

15

(29)

Oleh karenanya, penataan kembali struktur penguasaan dan pemilikan tanah melalui hukum dan perundang-undangan demikian, yang harus konsisten berpedoman pada asas dalam UUD 1945 dan UUPA. Untuk dapat terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, itu dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut: 16

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum menegakkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat , yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Abdurrahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang atau peraturan, yaitu: 17

a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistim peraturannya dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya, peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan substansi atau isi dari peraturan tersebut.

b. Faktor pelaksanaan dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan tersebut.

c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut.

d. Faktor budaya dan masyarakat setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.

Faktor-faktor tersebut diatas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-undang atau peraturan. Keempat faktor tersebut

16

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002,) hal. 12.

17

(30)

dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai suatu proses, ada 3 komponen yang harus diperhatikan , yaitu: 1) Legal structure (struktur hukum), 2)

Legal substance (substansi hukum), 3) Legal culture (budaya hukum).18

Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem yang saling mempengaruhi satu sama lain tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat, oleh karna itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja, tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam masyarakat. Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh budaya hukumnya.

Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah-masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan didalam efektifitas penerapan undang-undang terhadap Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari yang abstrak menjadi suatu

18

(31)

yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.19 Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai untuk ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang diperluhkan “.20 Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.21

Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan defenisi operasional dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penetapan luas tanah pertanian dilakukan dengan peraturan perundang-undangan dan pemilikan atau penguasaan tanah pertanian dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Menurut penjelasannya 2 (dua) hektar itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.22

b. Pada umumnya tanah pertanian adalah semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan, bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempatlah

19

Soerjono Soekanto, Loc.Cit

20

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2006, hal. 31.

21

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 20.

22

(32)

yang menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa luas yang merupakan tanah pertanian.23

c. Landreform adalah perombakan mengenai pemilikan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah.24

d. Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

e. Pemilikan atas tanah adalah jaminan hukum yang lebih luas dan terpenuh dari hak-hak lain untuk melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan hak itu untuk memenuhi kepentingannya sepanjang tidak bertentangan dengan fungsi sosial.

f. Tanah Absentee adalah tanah yang dimiliki seseorang (pemilik), dimana orang tersebut bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah tersebut.25

G. Metodologi Penelitian

Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dengan asal kata methods yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasran ilmu

23

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria isi dan Pelaksanaanya, Jakarta, Djambatan, 2000, hal.372.

24

Ibid, hal. 364. 25

(33)

yang bersangkutan.26 Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodologis, dan konsisten.27 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan gejala menganalisanya.28

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memhami obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.29 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu. Sehubungan dengan itu dalam kegiatan penelitian yang akan dilakukan sehubungan dengan permasalahan tersebut sebelumnya dapat dikemukakan beberapa hal diantaranya:

1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan judul dan permasalahan yang akan dibahas didalam penelitian ini, maka penelitian ini bersifat deskriptif analitis, disebut demikian karna “penelitian ini merupakan penelitian yang memafarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan

26

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta , Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 16

27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 1.

28

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta, Sinar Grafika, 1996, hal. 6.

29

(34)

frekuensi sesuatu yang terjadi”.30 Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskriptif atau gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Pemecahan Tanah Pertanian Dibawah Batas Minimum Melalui Jual Beli di Kabupaten Padang Lawas Utara yang dikaitkan dengan Penerapan

Landreform, kemudiaan melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang mengacu pada peraturan perundang-undangan, artinya “penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku”,31 serta melihat kenyataannya yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tentang pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum dikaitkan dengan penerapan landreform.

2. Populasi dan Sampel.

Adapun populasi dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memecah tanah pertanian yang luasnya dibawah batas minimum pemilikan tanah pertanian melalui jual-beli di Kabupaten Padang Lawas Utara. Metode penentuan sampel dalam penelitian ini adalah teknik porpusive sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu.

30

Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hal. 58.

31

(35)

Adapun subyek yang dijadikan sampel pada penelitian ini adalah dari kabupaten tersebut diambil 4 kecamatan, dan dari masing-masing kecamatan yang terpilih sebagai sampel tersebut diambil 4 desa sebagai sampel, jadi jumlah desa sampel seluruhnya ada 16 desa, dari masing-masing desa diambil 3 orang yang melakukan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum melalui jual-beli. Sehingga sampel yang diambil adalah 48 orang yang melakukan pemecahan tanah pertanian dibawah batas minimum. Masing-masing kecamatan dan desa yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Kecamatan Padang Bolak. 1) Desa Nagasaribu.

2) Desa Gunung Tua Tonga. 3) Desa Sihoda-hoda. 4) Pagaran Tonga. b) Kecamatan Portibi.

1) Desa Paya Goti. 2) Desa Muara Sigama. 3) Desa Pijor Koling. 4) Desa Gunung Manaon II. c) Kecamatan Padang Bolak Julu.

(36)

d) Kecamatan Halongonan. 1) Desa Hutaimbaru. 2) Desa hiteurat. 3) Desa Hutanopan. 4) Desa Hambulo.

Selain itu, untuk melengkapi data dalam penelitian ini juga dipilih narasumber antara lain:

a) Kepala Desa/Lurah dari beberapa sampel. b) Tokoh masyarakat yang ada disetiap sampel. c) PPAT dan Camat setiap kecamatan Sampel. d) Kantor Pertanahan Kabupaten Tapanuli Selatan.

2. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan studi dokumen maka data sekunder atau bahan pustaka lebih diutamakan dari pada data primer.

Data sekunder yang diteliti terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum: 1. Bahan Hukum Primer

(37)

Keputusan-keputusan Menteri Agraria serta peraturan pelaksanaannya yang berkaitan dengan topik.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut tentang bahan hukum primer, yakni tulisan atau pendapat pakar hukum, hasil penelitian yang merupakan data dari studi dokumen yang berkaitan dengan objek permasalahan yang diteliti.

3. Bahan Hukum Tersier

Data tersier yaitu data yang memberikan petunjuk dan juga penjelasan terhadap data primer dan data sekunder yang berupa kamus, majalah, surat kabar dan jurnal-jurnal, laporan-laporan ilmiah yang akan dianalisis dengan tujuan untuk memahami lebih dalam penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (penelitian kepustakaan), yaitu dilakukan untuk memperoleh data-data yang berasal dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

(38)

4. Alat Pengumpulan Data

Agar dapat memperoleh data yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi dokumentasi atau studi kepustakaan. Setelah itu dilakukan wawancara secara langsung terhadap narasumber, yang bertujuan untuk mengumpulkan bahan penelitian berupa data-data kebenaran secara konkrit dan jeles melalui bantuan narasumber yang terkait dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.32

Pengertian dianalisis disini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah.

Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan

32

(39)
(40)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PEMECAHAN TANAH PERTANIAN DIBAWAH BATAS MINIMUM MELALUI JUAL BELI DI

KABUPATEN PADANG LAWAS UTARA

A. Deskripsi Kabupaten Padang Lawas Utara

Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2007. Dimana sebelumnya Kabupaten Padang Lawas Utara merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan.

Secara geografis Kabupaten Padang Lawas Utara Berada pada posisi 1’13,5 – 2’2,32 Lintang Utara dan 99’20,44 – 100’19,1 Bujur Timur, dengan luas daerah 3.918,05 km2 dan ketinggian daerah 0 – 1915 meter diatas permukaan laut. Adapun batas-batas daerah ini adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu Selatan. 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Riau.

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas. 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan.

Kabupaten Padang Lawas Utara Terdiri dari 9 Kecamatan dengan 388 Desa / Kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain:

1. Kecamatan Batang Onang, terdiri dari 32 Desa / Kelurahan. 2. Kecamatan Dolok, terdiri dari 86 Desa / Kelurahan.

(41)

6. Kecamatan Padang Bolak, terdiri dari 77 Desa / Kelurahan. 7. Kecamatan Padang Bolak Julu, terdiri dari 23 Desa / Kelurahan. 8. Kecamatan Portibi, terdiri dari 38 Desa / Kelurahan.

9. Kecamatan Simangambat, terdiri dari 34 Desa / Kelurahan. Tabel 1

Jumlah Kecamatan dan Desa / Kelurahan di Kabupaten

Padang Lawas Utara

NO KECAMATAN JUMLAH DESA

( KELURAHAN)

1 Dolok Sigompulon 44

2 Dolok 86

3 Holongonan 44

4 Padang Bolak 77

5 Padang Bolak Julu 23

6 Portibi 38

7 Batang Onang 32

8 Simangambat 34

9 Hulu Sihapas 10

Jumlah 9 388

Sumber: BPS Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2011

Dilihat dari segi relief, Kabupaten Padang Lawas Utara dapat dikatakan banyak ragamnya, yaitu dataran rendah dan pegunungan, baik yang berbukit maupun yang curam, dapat dikalkulasikan sebagai berikut:

(42)

4. Bergunung : 45,12%

Penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara setelah dilakukan Validasi oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil setempat hingga Oktober 2011 adalah mencapai 279.414 jiwa. Dibandingkan dengan tahun 2007 yang berjumlah 201.327 jiwa telah mengalami peningkatan penduduk yang cukup pesat yaitu meningkat sebanyak 78.087 jiwa.

Dari jumlah penduduk tersebut 142.225 jiwa laki-laki dan 137.189 jiwa perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 64.761 kepala keluarga. Penduduk yang paling banyak berada di Kecamatan Padang Bolak (75.818 jiwa), disusul Kecamatan Simangambat (60.883 jiwa), Kecamatan Halongonan (37.363 jiwa), Kecamatan Portibi (29.115 jiwa), Kecamatan Dolok (27.060 jiwa), Kecamatan Dolok Sigompulon (16.826 jiwa), Kecamatan Batang Onang (14.188 jiwa), Kecamatan Padang Bolak Julu (12.558 jiwa) dan Kecamatan Hulu Sihapas (5.603 jiwa).

Tabel 2

Jumlah Penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara

NO KECAMATAN JUMLAH (JIWA)

1 Dolok Sigompulon 16.826

2 Dolok 27.060

3 Holongonan 37.363

4 Padang Bolak 75.818

5 Padang Bolak Julu 12.558

6 Portibi 29.115

7 Batang Onang 14.188

(43)

9 Hulu Sihapas 5.603

JUMLAH 279.414

Sumber: BPS Kabupaten Padang Lawas Utara Tahun 2011

Oleh karena luas wilayah Kabupaten Padang Lawas Utara adalah 3.918,05 km2 dengan jumlah penduduk 279.414 jiwa, maka kepadatan penduduk tiap kilometer persegi adalah 71 jiwa. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 1 ayat (1), maka Kabupaten Padang Lawas Utara dapat dikatakan sebagai daerah yang kurang padat penduduknya, sehingga luas maksimum pemilikan tanahnya adalah 20 hektar untuk tanah sawah dan 12 hektar untuk tanah kering.33

Penduduk asli Kabupaten Padang Lawas Utara adalah suku Batak Mandailing yang Mayoritas menganut agama Islam, sedangkan yang lainnya lagi menganut agama Kristen, Katholik, hindu dan Budha. Dimana Kabupaten Padang Lawas Utara juga masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka, terbukti dengan istilah dalihannatolu masih sangat kental pada lapisan masyarakatnya, selain itu juga budaya margondang

atau yang lebih dikenal dengan sebutan tari tortor masih kerap kali dapat dilihat di daerah Kabupaten Padang Lawas Utara.

Jika dilihat dari segi sosial ekonomi, sebagian besar penduduk Kabupaten Padang Lawas Utara bermata pencaharian sebagai petani / pekebun, selainnya bermata pencaharian sebagai buruh, pegawai negeri sipil, pedagang dan lain

33

(44)

sebagainya. Konstribusinya terindikasi dengan melihat luasnya lahan pertanian dan perkebunan yang tersedia di wilayah ini.

Tanaman Kelapa Sawit dan Karet merupakan pengahasilan andalan dari Kabupaten Padang Lawas Utara. Tanaman Kelapa Sawit dan Karet yang tersebar diseluruh kecamatan inilah yang memacu sektor perkebunan dan menjadi tulang punggung perekonomian di Kabupaten Padang Lawas Utara.

Hal ini terbukti dengan melihat “luas perkebunan kelapa sawit yang mencapai kira-kira 27.995,15 Ha, dan karet 41.717,89 Ha”34. “Sedangkan untuk segi pertanian dalam 5 tahun belakangan ini setiap tahun semakin menurun, dimana dapat kita lihat lahan persawahan yang dimiliki masyarakat telah banyak ditanami perkebunan kelepa sawit maupun karet, karena menurut pendapat masyarakat bahwa perkebunan kelapa sawit dan karet lebih menjanjikan hasilnya dibandingkan dengan persawahan”.35

B. Tinjauan Umum Tentang Tanah Pertanian

1. Pengertian Tanah Pertanian

Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria juga menyatakan bahwa: “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain

34

Badan Pusat Statistik Kabupaten Padang Lawas Utara, 2011.

35

(45)

serta badan-badan hukum”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tanah dalam pasal diatas adalah permukaan bumi.

Selanjutnya untuk tanah pertanian, dimana dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tidak diberikan penjelasan apakah yang dimaksud dengan tanah pertanian, sawah dan tanah kering, namun didalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria tanggal 5 Januari Tahun 1961 Nomor: Sekra 9/1/12 memberikan penjelasan sebagai berikut: “yang dimaksud dengan tanah pertanian adalah semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah tempat pengembalaan ternak, tanah belukar bekas tanah negara dan hutan yang menjadi tempat mata pencaharian bagi yang berhak”.

Pada umumnya tanah pertanian adalah “semua tanah yang menjadi hak orang, selainnya tanah untuk perumahan dan perusahaan. Bila atas sebidang tanah luas berdiri rumah tempat tinggal seseorang, maka pendapat setempat itulah yang menentukan berapa luas bagian yang dianggap halaman rumah dan berapa luas yang merupakan tanah pertanian”.36

2. Pengaturan Pembatasan Penguasaan Tanah Pertanian

Ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tani yang jauh berbeda pendapatan antara tuan-tuan tanah dengan petani-petani kecil. Hal ini mengakibatkan para petani menuntut agar diadakan pemerataan pemilikan /penguasaan tanah pertanian.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian untuk

36

(46)

membatasi pemilikan / penguasaan tanah pertanian yang dapat dipunyai oleh seseorang atau sekeluarga. Sebab tanpa adanya pembatasan tersebut dikhawatirkan ketimpangan-ketimpangan serta pemerasan-pemerasan yang disebabkan oleh tanah terus berlangsung.

Untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), maka perlu diadakan larangan yang membatasi pemilikan/penguasaan tanah yang melampaui batas.

Atas dasar ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh 31egara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Undang-Undang Pokok Agraria didalam Pasal 7 menyebutkan “untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.

Pemilikan tanah yang melampaui batas jelas sangat merugikan kepentingan umum, sebab dengan bertumpuknya tanah berhektar-hektar pada seseorang berarti pemerataan dibidang pemilikan dan penguasaan tanah tidak ada. Dengan demikian berarti juga tidak ada pemerataan hasil dari tanah yang bersangkutan.

(47)

Penetapan luas maksimum tiap-tiap daerah kabupaten berbeda-beda, yaitu dengan memperhatikan keadaan masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut:

1. Tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi.

2. Jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering diperhatikan apakah ada perairan yang teratur atau tidak.

3. Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan beberapa buruh tani.

4. Tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.37 Tabel 3

Batas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian

Menurut Kepadatan Penduduk dan Jenis Tanah Pertanian

Kepadatan

Penjelasan: Tabel ini didasarkan pada data tahun 1960

Untuk mempertinggi taraf hidup para petani kepada mereka perlu diberikan tanah garapan yang cukup luasnya. Oleh karena itu maka Pasal 17 Undang-Undang Pokok Agraria selain menetapkan luas maksimum, menghendaki juga luas minimumnya. Berhubungan dengan hal itu dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 diperintahkan kepada pemerintah untuk mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekaluarga memiliki tanah

37

(48)

pertanian minimum 2 hektar. Menurut penjelasannya 2 hektar itu bisa berupa sawah, tanah kering atau sawah dan tanah kering.38

Ditetapkannya batas minimum tersebut tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari 2 hektar akan diwajibkan untuk melepaskan tanahnya, dua hektar itu merupakan tujuan yang harus diusahakan tercapainya secara berangsur-angsur (Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria.

C. Aspek Hukum Jual Beli Tanah Pertanian.

1. Pengertian Jual-Beli Tanah Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria. Ada dua pengertian jual beli tanah, yaitu:

a. Menurut Hukum Adat.

Jual beli tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum , yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya pada waktu pembeli membayar harganya atau (walaupun baru sebagian) tanah tersebut kepada penjual.

Sejak itu hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pambeli, dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik atas tanah tersebut. Jadi jual beli menurut hukun adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli, maka bisa dikatakan bahwa jual beli menurut Hukum Adat itu bersifat tunai dan nyata. Dalam hal jual beli yang pembayarannya belum lunas, sisa harganya itu merupakan utang piutang antara pihak pembeli dengan pihak penjual. Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya,

38

(49)

maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar utang piutang.39

b. Menurut Hukum Barat.

Pengertian jual beli menurut Hukum Barat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1457, Pasal 1458 dan 1459. Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.

Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Jual beli itu telah dianggap terjadi antara kedua belah pihak , sekatika setelah orang-orang ini mencapai kata sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum lunas”.

Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:

“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada sipembeli, selama penyerahannya belum menurut Pasal 612, 613 dan 616 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”.

Pada saat para pihak telah mencapai kata sepakat maka proses jual beli tanah sudah selesai akan tetapi hak atas tanah belumlah berpindah karena hak untuk tanah baru berpindah hak kepemilikannya kalau telah dilakukan suatu penyerahan secara hukum (juridische levering), yang harus dilakukan dengan

39

(50)

pembuatan akta balik nama berdasarkan Ordonansi Balik Nama Stb Nomor 27 Tahun 1834.

2. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria, dikehendaki adanya penghapusan dualisme dan mengadakan unifikasi dengan berdasarkan pada hukum adat. Keberadaan Hukum Adat didalam Hukum Tanah Nasional dapat kita lihat pada Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa:

Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak betentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama.

Dalam Penggunaannya sebagai pelengkap hukum tertulis, norma-norma Hukum Adat menurut Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria juga akan mengalami pemurnian atau saneering dari unsur-unsurnya yang tidak asli. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional yang digunakan sebagai bahan utama adalah konsepsi dan asas-asasnya.40

Berdasarkan uraian diatas, maka macam-macam pengertian jual beli yang dimaksud dalam hukum adat (jual lepas, jual gadai dan jual tahunan) tetap diakui. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan bahwa: “Jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

40

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian perbandingan heat exchanger aliran searah menggunakan baffle dan tanpa menggunakan baffle , tujuannya untuk

Kerjasama dan komitmen organisasi berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja ini dibuktikan dengan F hitung > F tabel atau (32,368 < 3,23), dan nilai

Hasil yang didapatkan adalah ciri-ciri masjid wali yang meliputi bangunannya ditopang empat saka guru, atapnya limasan bersusun tiga (Tuimpang/Meru), di depan bangunan

Berkaitan dengan sestodosis pada peternakan ayam, maka dinamika populasi sestoda dewasa pada ayam dan metasestoda pada serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya serta

Kanak-kanak merupakan mangsa eksploitasi yang dilihat menjadi mangsa kepada kekejaman seksual dimana kebanyakkan kanak-kanak yang terlibat sebagai ejen aktif bagi industri seks selain

Anak usia remaja memiliki skor kelelahan lebih tinggi dari usia sekolah, dapat disimpulkan bahwa kelelahan yang dirasakan anak usia remaja lebih berat dari pada anak

Seberapa besar hasil peningkatan motivasi belajar siswa berdasarkan penerapan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD) pada pembelajaran

Unit ini berlaku untuk melakukan pemeriksaan sarana prasarana pengolahan benih dan melakukan pengambilan sampel benih yang digunakan untuk melaksanakan pengawasan