• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemekaran Wilayah

Sejak otonomi daerah dan desentralisasi fiskal mulai dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001, pemekaran daerah kabupaten atau kota dan juga provinsi menjadi sangat populer karena jumlahnya terus bertambah. Sebenarnya pembentukan daerah baru dengan pertimbangan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat ataupun pertimbangan strategis geopolitik dan geoekonomi, sudah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sebelum dikeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001. Meskipun masalah pemekaran wilayah dan kriterianya sudah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk melakukan pemekaran daerah. Aturan pelaksanaan pemekaran diatur dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Dalam PP Nomor 129 Tahun 2000 ditetapkan beberapa kriteria penilaian indikator yang harus dapat dipenuhi oleh daerah-daerah yang akan dimekarkan. Walaupun UU Nomor 22 Tahun 1999 sudah direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur 3 persyaratan untuk pembentukan daerah baru yaitu syarat administrasi, teknis dan fisik kewilayahan), namun teknis pengaturan pemekaran daerah mengacu pada PP Nomor 129 Tahun 2000 dan selanjutnya direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.

Syarat administrasi untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor

kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) keeamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Persyaratan tersebut dinilai dengan menggunakan sistem scoring yang terdiri darn 3 rnacam metode yaitu : (1) metode A (metode rata-rata), (2) metode B (metode distribusi.), dan (3) metode C (metode kuota). Metode A adalah metode yang rnernbandingkan besaran/nilai tiap daerah terhadap nilai rata-rata keseluruhan daerah. Semakin dekat dengan nilai rata-rata tertimbang keseluruhan daerah induknya semakin besar nilai skornya, yang berarti kesenjangan antar daerah semakin berkurang. Metode B adalah metode rata-rata yang mempertimbangkan distribusi data. Perhitungan skor dengan metode ini disesuaikan dengan kemampuan dan keruncingan kurva sebaran data. Metode C adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagal kuota penentu skoring. Metode ini ditetapkan pada data jumlah penduduk dan untuk daerah perkotaan saja, misalnya semakin mendekati 150.000 jiwa semakin tinggi nilai skornya.

Menurut Juanda (2007), pemekaran daerah otonom baru diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menciptakan daerah makin mandiri dan demokratis. Tujuan ini dapat diwujud nyatakan melalui peningkatan profesionalisme birokrat daerah untuk dapat menyelenggarakan pemerintahan yang efisien dan efektif, dapat meningkatkan pelayanan dasar publik, dapat menciptakan kesempatan lebih luas untuk masyarakat, serta dapat akses langsung pada unit-unit pelayanan publik yang tersebar dan mudah dijangkau oleh masyarakat pedesaan maupun kota.

Studi USAID dan DRSP (2007) di Sambas dan Buton menjelaskan bahwa pemekaran daerah memberikan banyak pengaruh positif terhadap daerah otonom baru. Selain itu, pemekaran Daerah menjadi beban terhadap anggaran pendapatan dan belanja nasional (APBN), sebab pemekaran wilayah memberikan dampak signifikan terhadap beban belanja negara. Kenyataan ini diperkuat oleh studi yang dilakukan World Bank dan DCF (2007) mengemukakan bahwa selang 2001-2005

biaya yang telah dikeluarkan oleh pemerintah nasional dan pemerintah daerah untuk pemekaran wilayah diperkirakan sebesar Rp 9.1 triliun. Jika biaya untuk pemekaran digunakan langsung untuk pembangunan fasilitas umum serta peningkatan pelayanan publik, mungkin manfaatnya akan lebih banyak dinikmati masyarakat, dibandingkan dengan hanya untuk pembiayaan pemekaran itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Juanda (2007), menyatakan bahwa pemekaran daerah memberikan beberapa manfaat bagi daerah baru dan masyarakat lokal, yang dikelompokkan dalam 7 manfaat, yaitu:

1. Peningkatan pelayanan pemerintah daerah terhadap masyarakat. Hal ini disebabkan karena jangkauan wilayah pelayanan akan semakin kecil dibandingkan dengan sebelum daerah tersebut dimekarkan. Badan dan Dinas yang berfungsi memberikan pelayanan langsun kepada masyarakat relatif lebih dekat dengan masyarakat. Selain itu, pemekaran memungkinkan pemerintah daerah menambah membangun fasilitas-fasilitas pelayanan dasar seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang tersebar lebih meluas di wilayah pedesaan, dimana sebelum pemekaran hanya terkonsentrasi di pusat- pusat kecamatan.

2. Kemungkinan pengelolaan sumber daya alam dengan prinsip-prinsip kearifan lokal dan berkelanjutan. Konsekuensi pemekaran wilayah antara lain, luas wilayah akan semakin berkurang sehingga sumber daya alam yang dimiliki daerah akan semakin mudah untuk dikontrol dan dikelola oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah daerah. Selain itu, otonomi daerah akan mengurangi intervensi-intervensi pemerintah nasional dalam pengelolaan sumberdaya alam seperti yang terjadi selama era pemerintahan sentralistik lebih dari 30 tahun, sebagai penyebab utama hilangnya sebagian sumber daya alam yang tidak diperbaharui (un-renewable resources) karena kurang kontrol pemerintah nasional dan daerah terhadap pengelolaan dan eksploitasi sumber daya alam sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan secara besar-besaran.

3. Partisipasi masyarakat dan rasa memiliki dapat semakin meningkat. Adanya pemekaran wilayah dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara langsung dan komprehensif dimulai dengan

proses perencanaan pembangunan daerah mulai dari tingkat desa atau kelurahan, kecamatan, sampai kabupaten atau kota. Melibatkan masyarakat secara langsung dan aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan menikmati hasil perencanaan dan pembangunan daerah, akan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai serta mendorong masyarakat lokal untuk turut serta secara aktif dalam merawat dan memelihara fasilitas-fasilitas serta infrastruktur yang telah dibangun bersama-sama antara masyarakat dan pemerintah daerah.

4. Efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya alam kemungkinan meningkat. Karena masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan, maka hasil-hasil pengelolaan sumber daya alam dapat meningkatkan jumlah penerimaan oleh pemerintah daerah serta mempermudah alokasi-alokasi penggunaan dana untuk kepentingan publik sehingga hasil-hasil pengelolaan sumberdaya alam diharapkan akan digunakan untuk membangun infrastruktur dan fasilitas-fasilitas umum serta pelayanan publik akan semakin ditingkatkan dan semakin baik.

5. Kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dapat terwujud. Pemekaran wilayah membuka ruang yang lebih luas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang makin berkualitas. Hal ini lebih realistik terjadi kepada masyarakat lokal sebab bagian terbesar kewenangan pemerintah telah diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (kabupaten dan kota). Demikian juga untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, pajak daerah, retribusi dan bagi hasil pajak sumber daya alam, minyak dan gas sepenuhnya diserahkan dan dikelola oleh pemerintah daerah. Selain itu, masyarakat lokal menentukan sendiri secara langsung para wakil-wakil mereka di DPRD dan pemimpin daerah (Bupati/Walikota dan wakil). Jadi dengan mengelola dan memanfaatkan secara langsung sumber-sumbernya di daerah oleh pemerintah daerah dan masyarakat lokal; roda pemerintah daerah dikelola dengan prinsip-prinsip good government; pemimpin daerah yang berkepribadian berani dan tegas dalam pengambilan keputusan; serta memiliki

ciri-ciri entreprenuership, akan memacu lebih cepat terwujudnya masyarakat lokal yang sejahtera dan berkeadilan.

Juanda (2007), menyatakan bahwa meskipun pemekaran wilayah dapat memberikan berbagai manfaat yang dapat menyentuh langsung kepada masyarakat lokal, pemekaran daerah juga berdampak secara langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD Provinsi).

2.2. Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah