• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 4 Peta lokasi penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Proses Kebijakan dan Indikator Pemekaran Kabupaten Raja Ampat

Dalam pelaksanan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, yang membuka peluang kepada daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melakukan pemekaran daerah. Bersamaan dengan itu, muncullah aspirasi masyarakat Papua untuk memisahkan diri (merdeka) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak Tahun 1999 sampai tahun 2001, dengan alasan sudah hampir 37 tahun (1963-2000) Papua bergabung dengan NKRI tetapi terus tertinggal di berbagai aspek kehidupan pembangunan. Masyarakat Papua merasa sumberdaya alamnya melimpah namun miskin di atas kekayaan alam tersebut, karena selama pemerintahan sentralistik (orde baru), semua kekayaan alam Papua di bawa ke pusat sedangkan daerah hanya memperoleh sebagian kecil saja. Tuntutan dan kekecewaan masyarakat Papua tersebut, langsung ditanggapi oleh pemerintahan Indonesia Bersatu yang dipimpin Presiden Megawati Soekarno Putri dengan mencari solusi terbaik untuk mempertahankan Papua dalam bingkai NKRI dengan menerbitkan suatu produk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (Otsus). Dengan adanya produk Undang- undang tersebut dan diperkuat dengan UU No.22 Tahun 1999 dan juga PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka pada tahun 2001 Pemerintah Daerah Provinsi Papua melalui DPRD mengusulkan 14 calon daerah otonom baru di Papua ke pemerintah pusat. Dengan adanya usulan tersebut, maka pada tanggal 11 Desember 2002 pemerintah RI menetapkan 14 kabupaten baru di Tanah Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Mapi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Waropen, Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang.

Pembentukan 14 kabupaten baru di Provinsi Papua melalui hak inisiatif DPR yang didasarkan pada hak legislasi DPR dalam membentuk Undang-undang yang salah satunya adalah UU Pembentukan Daerah. DPR mengajukan usulan UU Pembentukan Daerah berdasarkan usulan masyarakat yang disampaikan kepada DPR. Dengan demikian pembentukkan 14 kabupaten baru di Papua termasuk Kabupaten Raja Ampat, alasan politik lebih dominan dibandingkan dengan alasan teknis sebagaimana diamanatkan dalam PP No.129 Tahun 2000 tentang Kriteria Pemekaran dan Persyaratan Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Hal ini berkaitan dengan belum sepenuhnya disosialisasikannya PP No.129 Tahun 2000 pada Tahun 2001, sehingga belum secara optimal diperketat kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Di dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 bahwa kriteria pemekaran dan persyaratan pembentukan harus dilakukan dengan kajian akademik yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Negeri. Namun pembentukan 14 Kabupaten baru di Provinsi Papua tidak dilakukan kajian akademik oleh perguruan tinggi negeri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu anggota DPRD Kabupaten Raja Ampat (2008), bahwa pada saat usulan pemekaran Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2001 data indikator dalam PP No.129 Tahun 2000 sebagian besar sudah dipenuhi, namun datanya tidak tersedia untuk peneliti. Dengan tidak adanya data pada Tahun 2001 terkait usulan pembentukan Kabupaten Raja Ampat pada Tahun 2002, maka untuk menilai apakah indikator pemekaran sudah atau belum dipenuhi setelah 3 tahun pemekaran, peneliti menggunakan data BPS (Kabupaten Sorong dan Raja Ampat Dalam Angka) dan sumber data lainnya pada Tahun 2006. Data tersebut dilihat pada Lampiran 3.

Dijelaskan dalam Undang-undang tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi pemekaran, khususnya Kabupaten Raja Ampat adalah untuk memacu pembangunan di Provinsi Papua pada umumnya, serta Kabupaten Sorong khususnya, serta adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dipandang perlu meningkatkan penyelenggaran pemerintahan, pelayanan kepada masyarakat, dan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan memperhatikan hal tersebut di atas dan perkembangan kemampuan

ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lainnya, maka dipandang perlu untuk membentuk Kabupaten Raja Ampat. Pemekaran ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah.

Respon masyarakat Raja Ampat juga sangat tinggi terhadap pembentukan Kabupaten Raja Ampat, hal ini dapat dilihat dari kemauan masyarakat Raja Ampat dalam menantikan terbentuknya kabupaten baru yaitu mengadakan seminar, lobi dan pendekatan dengan pemerintah pusat untuk mendukung terbentuknya Kabupaten Raja Ampat. Dukungan masyarakat juga dibuktikan dengan pemberian cuma-cuma tanah adat seluas 600 hektar untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan di Ibukota Kabupaten Raja Ampat di Waisai, serta pada setiap Ibukota Distrik tanpa diminta ganti rugi tanah. Disamping itu telah dijelaskan bahwa adanya Undang-Undang RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang RI No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Daerah dan Pusat, ikut mendorong respon masyarakat Kabupaten Raja Ampat dalam mendukung pelaksanaan pembangunan.

Indikator pemekaran wilayah berdasarkan PP N0.129 Tahun 2000 serta UU No.32 Tahun 2004 pasal 5 dinyatakan bahwa pembentukan daerah harus memenuhi syarat administrasi, teknis dan fisik wilayah. Syarat administrasi telah dipenuhi Kabupaten Raja Amat dengan adanya persetujuan dari DPRD Kabupaten Sorong dan persetujuan dari DPRD Provinsi Papua dan Gubernur Papua pada tahun 2001 serta adanya rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

Syarat teknis meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah dan pertimbangan lainnya. Dalam PP No.129 Tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dengan PP No.78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, dijelaskan tata cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan daerah sebagai berikut :

1. Kependudukan

Jumlah penduduk Kabupaten Sorong pada tahun 2006 berjumlah 81.109 jiwa, sedangkan Kabupaten Raja Ampat 32.175 jiwa. Jumlah penduduk kedua kabupaten ini selisih 48.934 jiwa, ini karena Kabupaten Sorong merupakan kabupaten induk yang sudah lama dan juga dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi yang sudah maju serta adanya transmigrasi nasional asal Jawa dan Bali yang menetap di sana. Kepadatan penduduk di Raja Ampat 5 jiwa/km2 sedangkan Kabupaten Sorong 4 jiwa/km2. Secara lengkap jumlah, laju dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sorong dan Kabupaten Raja Ampat dapat dilihat pada Lampiran 4.