• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM MENGENAI POLITIK DAN PEMERINTAHAN ORDE BARU

II.2. Pemerintahan Orde Baru Dalam Bidang Politik

Peristiwa 3 Juli 1946, memiliki perspektif dalam sejarah politik Indonesia yang melibatkan peran Soeharto membebaskan tahanan politik di penjara Wirogunan, Yogyakarta kemudian membawanya ke Markas Resimen Wiyoro. Disini sudah ada Mayjen Soedarsono. Di tempat ini para pengikut Tan Malaka menyusun maklumat yang isinya seolah Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Tan Malaka. Maklumat itu dibawa ke Istana agar di tandatangani Presiden Soekarno. Usaha itu gagal, kelompok itu kemudian di tangkap pengawal Presiden.

27

sebagai seorang politikus tertanam sejak adanya Peristiwa 3 Juli 1946 ini. Soeharto telah memakai tangan orang lain untuk membebaskan dirinya dari kesulitan.28

28

H. Ahmad Shahab, Biografi Politik: Presiden Republik Indonesia Kedua

Soeharto Pembangunan & Partisipasi, Jakarta: Golden Terayon Press, 2008. Hal:

57.

Pada tanggal 1 Maret 1949, dalam sehari Letkol Soeharto berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda yang kemudian peristiwa tersebut di abadikan sebagai perjuangan yang legendaris bagi rakyat Indonesia dengan sebutan Jogja kembali.

Karir militer dan politik Soeharto mulai menanjak pesat sejak adanya peristiwa G30S/PKI (Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia) tahun 1965. Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil alih pimpinan TNI Angkatan Darat sera menyusun kekuatan untuk menghancurkan G30S/PKI. Dari rencana-rencana yang dibuat oleh Soeharto akhirnya berhasillah G30S/PKI dimusnahkan dari negara Indonesia.

Setelah diangkat menjadi Pejabat Presiden tahun 1967 dan Presiden tahun 1968, perhatian utama Soeharto adalah pemulihan ekonomi yang sangat merosot pada akhir pemerintahan Soekarno. Soeharto berprinsip bahwa pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas keamanan baik secara nasional maupun regional. Indonesia segera memulihkan hubungan dengan Malaysia, kembali menjadi anggota PBB, mensponsori pembentukan ASEAN dan kemudian menjadi motor penggerak organisasi regional tersebut. Keamanan dalam negeri harus terjamin agar penanaman modal asing yang diperlukan tidak terganggu.

Tindakan represif dilakukan baik terhadap pers, mahasiswa maupun kelompok masyarakat yang mencoba melakukan kritik tajam terhadap kebijakn. Ia mempunyai pembantu dekat yang terdiri dari berbagai kelompok, terutama beberapa fraksi militer/intelijen dan para ekonom dari Universitas Indonesia. Dengan penuh perhatian ia mendengar keterangan dan penjelasan dari para menteri ekonominya, meskipun setelah 10 tahun kemudian ia dapat menguasai persoalan teknis tersebut. Terhadap para jenderalnya ia membuat mereka tergantung kepada dia dan satu sama lain saling mencurigai serta tidak ada "putra mahkota" di bawah dia.

Orde Baru lahir memetik hikmah dari suasana negara dalam keadaan kacau balau. Pertikaian politik yang berlarut-larut antar berbagai golongan politik. Kebangkrutan ekonomi, dimana inflasi mencapai sampai sekitar 650 persen, membuat melambungnya harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari. Maka kelahiran Orde Baru yang lebih mengedepankan nasib rakyat, mendapatkan sambutan yang hangat dari masyarakat.

Soeharto sebagai tokoh sentral Orde Baru memulai strategi politik dan ideologisnya. Caranya, dengan menggabungkan antara pandangan hirearkis militer yang berpola ketaatan garis komando atasan kepada bawahan yang ketat disatu pihak, dan konsep stratifikasi sosial budaya Jawa yang berpola ketaatan paternalistik serba tertutup dipihak lain. Birokrasi Orde Baru, meskipun memperlihatkan ciri-ciri modern, namun tetap kental dengan nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik Jawa, seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan

hirearki birokrasi didasarkan pada hubungan personal atau hubungan ”majikan-buruh”.29

Soeharto memulai Orde Baru dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Kedua organisasi ini lebih berfungsi secara stempel untuk tiap kebijakan Soeharto. Anggotanya bahkan dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Maka tidak heran jika aspirasi rakyat sama sekali tidak dapat didengar oleh pusat. Pembagian Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga sangat tidak adil karena 70% dari PAD tiap propinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang antara pusat dan daerah.30

1. Partai Persatuan Indonesia (PPP)

Didalam bidang politik, Presiden Soeharto melakukan penyatuan partai-partai politik sehingga pada masa itu dikenal tiga partai politik, yaitu:

2. Golongan Karya (Golkar)

3. Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Dalam upayanya menyederhanakan kehidupan berpolitik di Indonesia sebagai akibat dari politik pada masa Presiden Soekarno yang menggunakan sistem

29

Baskara T. Wardaya, Op Cit. Hal: 71.

30

multipartai yang berakibat pada jatuh bangunnya kabinet dan dianggap penyebab tersendatnya pembangunan. Kemudian dikeluarkannya UU Politik dan Asas Tunggal Pancasila yang mewarnai kehidupan politik saat itu. Namun dalam perjalanannya, terjadi ketimpangan dalam kehidupan politik dan muncul istilah ”mayoritas tunggal” yaitu Golkar dalam setiap penyelenggaraan Pemilu.

Soeharto menunjuk secara langsung 20% anggota MPR yang kebanyakan diambilkan dari unsur-unsur Golkar. Dalam kehidupan pengaruh di birokrasi, Golkar satu-satunya yang diterima oleh pejabat pemerintah.

Rezim Orde Baru sangat terkenal dengan kekerasan-kekerasan yang dilakukannya terhadap masyarakat. Pada masa ini terjadi penekanan terhadap bangsa Tionghoa, melarang penggunaan penulisan Tionghoa di berbagai material tertulis, dan menutup organisasi Tionghoa karena tuduhan simpati mereka terhadap komunis. Pada tahun 1970 Soeharto melarang protes pelajar setelah demonstrasi yang meluas melawan korupsi. Sebuah komisi menemukan bahwa korupsi sangat umum. Soeharto menyetujui hanya dua kasus dan kemudian menutup komisi tersebut. Korupsi kemudian menjadi sebuah endemik.

Dia memerintah melalui kontrol militer dan penyensoran media. Dia menguasai finansial dengan memberikan transaksi mudah dan monopoli kepada saudara-saudaranya, termasuk enam anaknya. Soeharto juga terus memainkan faksi berlainan di militer melawan satu sama lain, dimulai dengan mendukung kelompok Nasionalis dan kemudian mendukung unsur Islam.

Pada interval waktu antara tahun 1975 sampai 1983, terjadi proses transisi yang ditandai dua macam krisis, yaitu krisis politik dan ksisis ekonomi. Krisis politik

terjadi ketika meletus peristiwa Malari yang menentang modal asing, mahasiswa berdemonstrasi menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka. Sejak awal 1970 Soeharto mengeluarkan larangan melakukan protes pemuda pelajar dan mahasiswa yang dulu sewaktu menjatuhkan rezim Orde Lama dikenal sebagai KAPPI dan KAMI.

Pada 1973 dia memenangkan jangka lima tahun berikutnya melalui pemilihan ”electoral college”. Dan juga terpilih kembali pada 1978,1983,1988, 1993 dan 1998. Soeharto mengubah UU Pemilu dengan mengizinkan hanya tiga partai yang boleh mengikuti pemilihan, termasuk Golkar. Oleh karena itu, semua partai Islam yang ada diharuskan bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sementara partai-partai non-Islam (Katolik dan Protestan) serta partai-partai nasionalis digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia.

Korupsi mejadi beban berat pada era 1980-an. Pada 5 Mei 1980 sebuah kelompok yang lebih dikenal dengan Petisi 50 menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Kelompok ini terdiri dari anggota militer, politisi, akademik dan mahasiswa. Media Indonesia menekan beritanya dan pemerintah mencekal penandatanganannya. Setelah pada tahun 1984 kelompok ini menuduh bahwa Soeharto menciptakan negara satu partai, beberapa pemimpinnya dipenjarakan.

Pada tahun 1996 Soeharto berusaha menyingkirkan Megawati Soekarnoputri dari kepemimpinan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), salah satu dari tiga partai resmi. Pada Juni pertengahan tahun yang sama, pendukung Megawati menduduki markas besar partai tersebut. Setelah pasukan keamanan menahan mereka, kerusuhan

pecah di Jakarta pada 27 Juli 1996. Yang dikenal dengan Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Tujuh Juli).

Namun, praktik sosio-politik tersebut masih dirasakan sesuatu yang biasa dan, karena itu, tidak perlu mengganti pemerintah. Itu semua dianggap sebagai kesalahan oknum dan sejumlah kecil orang. Juga bukan kesalahan Soeharto, biasanya bila masalah itu memuncak Soeharto akan memanggil oknum tersebut dan persoalan menjadi ”selesai”.

Disisi lain meskipun kepemimpinan Orde Baru sangat otoriter, namun kehidupan rakyat ”tampak” tenang, stabil, cukup pangan. Semua ketidaknyamanan, ketidakstabilan, dan ketidakpuasan rakyat tidak keluar ke permukaan dan hanya mengendap di ”bawah karpet”, yang tampak keluar adalah stabilitas dan kenyamanan. Ini semua karena kepiawaian Soeharto mengoperasikan ideologi Orde Baru yang membuat setara agama yang bersifat absolut. Ideologisasi ini disusupkan lewat rasionalisasi setiap kebijakan Orde Baru oleh barisan kaum intelektual dan juga kaum agamawan yang setia di sekitar Soeharto sehingga segala sesuatu yang dilakukan rezim ini tampak baik-baik saja.

Pada masa Orde Baru, demokrasi memang dikembangkan oleh pemerintah, tetapi demokrasi itu dibungkus dengan nama demokrasi Pancasila. Muatan dan isi demokrasi Pancasila sudah dikonstruksi oleh ideologi Orde Baru. Ideologi Orde Baru dengan sangat piawai disusupkan kedalam doktrin nilai-nilai Pancasila yang kemudian diajarkan didalam sekolah-sekolah, dipenataran-penataran dan disegala penulisan sejarah. Praktis demokrasi Pancasila hanya memiliki satu tafsir, yaitu tafsir Pancasila versi pemerintah. Meskipun disebutkan bahwa Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945 tidak memiliki tafsir, tetapi kenyataannya pemerintahlah yang selalu menafsirkannya.

BAB III