• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini menjelaskan tentang deskripsi lingkungan desa Jambakan yang sedikit banyak mempengaruhi cara bertindak masyarakatnya dalam membangun mekanisme pengelolaan kelembagaan ketahanan pangan terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan dan juga mempengaruhi interaksi antara masyarakat desa dengan pihak atas desa.

Lokasi Dan Keadaan Alam

Desa Jambakan merupakan salah satu desa yang terletak di bagian utara wilayah kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten dengan secara administratif terletak di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah dengan luas wilayah Desa Jambakan adalah 168,8485 Ha. Desa Jambakan terbagi atas dua dusun dan sembilan dukuh. Dusun I terdiri dari empat dukuh yaitu Widoro, Barengan, Jambakan dan Jaten. Dusun II terdiri dari lima dukuh yaitu Geneng, Winong, Karang Uni, Brumbung, dan Doyo.

Desa Jambakan juga terbagi atas tujuh rukun warga (RW) dan 18 rukun tetangga (RT) yang secara geografis berbatasan dengan beberapa wilayah yang meliputi sebelah Utara desa Tegal Rejo, sebelah Selatan Desa Ngerangan dan propinsi D.I Yogjakarta, Sebelah Timur Desa Karang Asem dan sebelah Barat Desa Dukuh. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa (yang biasanya dipanggil "pak Lurah"), dibantu oleh seorang sekretaris desa (yang biasanya dipanggil "pak Carik") dan empat orang perangkat desa (kaur umum/modin, kaur pembangunan, dan dua kepala dusun/bayan).

Aksesibilitas ke Desa Jambakan cukup lancar karena masyarakat desa pada umumnya memiliki sepeda motor atau juga dapat mengaksesnya dengan transportasi umum terutama mikrolet. Jarak antara Desa dengan Kecamatan sejauh lima kilometer, yang dapat ditempuh selama 15 menit dengan sepeda motor dan tidak ada angkutan umum yang menghubungkan secara langsung. Menjangkau desa Jambakan dari ibukota kabupaten Klaten yang berjarak sejauh 14 kilometer dapat ditempuh selama kuranglebih 45 menit dengan menggunakan angkutan kota jurusan Klaten-Cawas dan berhenti di pertigaan Nglengkong.

Kemudian perjalanan untuk mencapai Desa Jambakan dilanjutkan dengan menggunakan ojeg. Atau kalau ditempuh dari terminal Solo ada Bus menuju Kabupaten Gunungkidul yang melewati kecamatan Bayat, turun di SMP Bayat, dan menuju desa Jambakan juga dengan Ojeg. Sedangkan, jarak desa jambakan dengan Kota Semarang, Ibukota Propinsi sejauh 150 kilometer dan kurang lebih 1500 kilometer dengan ibukota negara Jakarta.

Dari sisi topografi, wilayah Desa Jambakan adalah termasuk daerah dataran rendah dengan ketinggian tanah adalah 54 meter di atas permukaan laut, dan dikelilingi oleh bukit yang oleh warga setempat menamainya sebagai Gunung Gambar, tampak terlihat tandus berkapur. Namun, pada musim penghujan desa ini sering mengalami banjir. Pada tahun 2006, desa Jambakan salah satu dari desa-desa di Kecamatan Bayat yang mengalami musibah gempa. Desa Jambakan beriklim tropis dengan suhu rata-rata 36° Celcius, termasuk salah satu daerah kering.

Desa Jambakan mengalami musim penghujan antara Bulan September hingga Januari dengan curah hujan berkisar 1.025 mm per tahun, dan musim kemarau yang panjang antara bulan Februari hingga Agustus. Luas Desa Jambakan adalah 168.8485 Ha, dengan peruntukan jalan 15 Ha, tanah sawah dan ladang 106.3765 Ha (sawah irigasi tadah hujan 103.095 Ha dan tegalan 3.367 Ha), pemukiman/perumahan 53.640 Ha (Perkantoran 0,200 Ha), perkuburan 0,500 Ha dan tanah wakaf 0,383 Ha.

Pendududuk, Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi Lokal

Jumlah penduduk Desa Jambakan menurut data kependudukan dari Buku Data Monografi Desa tahun 2007, total jumlah penduduk yang keseluruhannya adalah kewarganegaraan WNI adalah sebanyak 2.695 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki adalah 1.220 jiwa (45 persen) dan jumlah penduduk perempuan adalah 1.475 jiwa (55 persen). Jumlah Kepala Keluarga di Desa Jambakan adalah 700 KK. Jumlah bayi lahir pada tahun 2006 sebanyak tujuh orang sedangkan jumlah orang meninggal sebanyak delapan orang. Sebagian besar penduduk beragama Islam, yaitu sekitar 2646 (99 persen) dan sisanya beragama Kristen dan Hindu.

Masyarakat Desa Jambakan hampir seluruhnya adalah berasal dari suku Jawa. Kehadiran para pendatang baik dari Kediri, Magetan, Solo dan sekitarnya lebih banyak disebabkan oleh ikatan perkawinan, termasuk juga bidan desa yang asli Aceh dan menikah dengan penduduk setempat. Tidak ada satu pun etnis Cina ada di desa ini. Semua penduduknya menggunakan bahasa Jawa. Dan hampir seluruh warga lancar berbahasa Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Jambakan, sebagian besar merupakan lulusan SLTA dan hanya sekitar sepuluh persen yang menempuh perguruan tinggi. Lainnya hanya sampai pada tingkat sekolah dasar dan menengah pertama. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan sudah meningkat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya persamaan kesempatan bagi anak laki-laki dan perempuan dalam memperoleh pendidikan.

Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan sebelum tahun 1990-an, masyarakat lebih mengutamakan pendidikan bagi laki-laki. Keterbatasan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, pada saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Jumlah penduduk menurut kelompok pendidikan dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di Desa Jambakan Tahun 2006 Kelompok Pendidikan (Tahun) Jumlah Penduduk (Orang) Persentase (%) 00-03 04-06 07-12 13-15 16-18 19 keatas 170 165 142 125 114 245 17.7 17.2 14.8 13.01 11.9 25.5 Jumlah 961 100.00

Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006)

Penduduk yang menamatkan sekolah hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama/SLTP (kelompok usia 13-15 tahun) hingga ke Sekolah Lanjutan Tingkat Atas/SLTA (kelompok usia 16-18 tahun) hampir merata berasal dari golongan yang mampu secara ekonomi seperti keluarga pengrajin tenun, juga dari keluarga buruh tani. Tingkat pendidikan formal yang relatif tinggi (untuk di pedesaan)

informal seperti buruh pabrik, pegawai peternakan di Jakarta maupun Tangerang, dan yang paling banyak adalah bermigrasi sirkuler berdagang warung angkringan di Solo dan Yogjakarta.

Sebagian besar tenaga kerja berada pada kelompok usia 10-14 tahun seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di Desa Jambakan Tahun 2006

Kelompok Tenaga Kerja (Tahun) Jumlah Penduduk (Orang) Persentase (%) 10-14 15-19 20-26 27-40 41-56 57 keatas 400 25 228 116 205 129 36.3 2.3 20.7 10.5 18.6 11.7 Jumlah 1.101 100 Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006)

Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Jambakan adalah petani dan yang menjadi buruh tani lebih besar lagi. Namun, demikian statusnya hanya sebagai buruh tani atau penggarap. Sistem pertanian tadah hujan menyebabkan masyarakat Desa Jambakan tidak menggantungkan hidupnya dengan pertanian semata Hanya sedikit sekali yang bermata pencaharian sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sedangkan mereka yang bekerja di bidang pertukangan dan kuli bangunan dilakukan hingga lintas kecamatan. Terlebih lagi pasca bencana gempa, kebutuhan desa-desa sekitar terhadap tukang dan kuli bangunan bertambah.. Sebagian masyarakat ada juga yang menjadi pedagang warung hek atau angkringan, buruh pabrik, buruh bangunan, tenun dan pegawai negeri. Jumlah penduduk desa Jambakan menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 4.

Pertanian di Desa Jambakan merupakan pertanian tanah hujan karena belum ada sistem irigasi. Dengan curah hujan 1.025 mm/th, suhu udara rata-rata 36° Celcius dan tidak adanya sumber mata air menyebabkan pertanian di Desa Jambakan tidak bisa diandalkan. Jika musim kemarau tiba maka saluran air atau sungai yang melintas di desa tersebut tidak ada airnya. Hal inilah yang selalu menjadi kendala sistem pertanian di Desa Jambakan dan sering kali menyebabkan gagal panen atau puso. Padi hanya ditanam setahun sekali pada musim penghujan,

Tabel 4. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di Desa Jambakan Tahun 2006

Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (Orang)

Persentase (%) Pegawai Negeri Sipil (PNS)

ABRI Swasta Tani Buruh Tani Pertukangan Wiraswasta/Pedagang Pensiunan Pemulung Jasa 30 6 70 155 165 10 8 19 2 3 6.40 1.30 14.90 33.10 35.50 2.10 1.70 4.06 0.40 0.60 Jumlah 468 100.00

Sumber : Data Monografi Desa Jambakan (2006)

Karena sebagian besar petani tidak memiliki pompa air maka jika ingin bertani pada musim kemarau mereka harus menyewa pompa dari pemilik yang biasanya biaya sewa nyaditentukan oleh pemiliknya langsung.

Keadaan tersebut menyebabkan pola tanam yang dilakukan masyarakat Desa Jambakan adalah padi-palawija-palawija. Seperti diutarakan oleh pak Dwi Setyanto berikut ini :

”...Jika pertanian dilakukan sesuai aturan pola tanam yaitu dalam setahun menanam palawija – padi – palawija maka bisa panen tiga kali dalam setahun. Tetapi jika dengan pola tanam padi – padi – palawija maka kemungkinan hanya bisa panen sekali setahun, karena untuk masa tanam padi yang kedua akan berlangsung di bulan-bulan Juni, dimana bulan tersebut sudah musim kemarau yang sangat sulit mendapatkan air……….” (DS, Carik desa Jambakan, Ketua Kelompok Afinitas Trijaya Perkasa)

Komoditas yang biasa ditanam adalah kedelai, jagung dan bengu (kacang koro). Jika terjadi kemarau panjang dan masyarakat terlambat menanam maka lahan hanya dapat digunakan untuk dua kali masa tanam dan selebihnya diberakan. Oleh karena itu, setelah panen atau derep padi, masyarakat langsung menanam di lahan tersebut tanpa diolah terlebih dahulu. Hal ini karena jika harus diolah tersebih dahulu, maka kondisi tanah akan kering bahkan hingga retak-retak.

Sebagian besar masyarakat yang bergerak dibidang pertanian, statusnya adalah buruh tani atau penggarap dengan sistem bagi hasil atau lebih dikenal dengan maro. Sistem maro yaitu sistem bagi hasil dengan dengan perbandingan bagi hasil antara pemilik lahan dan penggarap adalah 50 persen : 50 persen. Pemilik lahan mendapat setegah bagian dari hasil panen, dan setengah bagian lagi diterima oleh penggarap. Penggarap berkewajiban menyediakan semua yang berkaitan dengan sarana produksi pertanian. Jika terjadi gagal panen maka resiko yang ditangung lebih banyak diterima oleh penggarap. Hal ini karena biaya produksi yang dikeluarkan oleh penggarap lebih besar dibandingkan dengan hasil panennya.

Hasil pertanian di Desa Jambakan, untuk komoditas padi umumnya digunakan untuk konsumsi sendiri. Sebelum tahun 1970-an, masyarakat desa Jambakan belum bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri, sehingga mereka sering makan nasi dicampur dengan ubi atau jagung. Sekalipun orang-orang bertani di sawah, tetapi mereka selalu membeli beras untuk konsumsi sehari-hari. Sedangkan palawija seperti kedelai atau jagung, umumnya di jual kepada bakul atau pedagang keliling sehingga masyarakat tidak perlu menjualnya ke pasar. Harga ditetapkan oleh bakul yang disesuaikan dengan harga pasar. Masyarakat hanya menerima saja. Hal ini karena jika dijual di pasar secara langsung harga akan sama saja, tidak jauh berbeda.

Namun, aktivitas yang banyak dilakukan laki-laki yaitu saat derep atau panen dan pengolahan lahan. Sedangkan perempuan terlibat dalam kegiatan penanaman atau nandur serta perawatan. Terdapat pembedaan upah, buruh laki- laki mendapat upah Rp 30.000,- ditambah dengan rokok dan kopi dan makan, buruh perempuan hanya mendapat Rp 25. 000,- dan makan.

Selain dibidang pertanian aktivitas ekonomi lokal yang umumnya dilakukan masyarakat Desa Jambakan adalah berdagang atau membuka warung hek. Ada yang membuka warung hek di sekitar desa, atau bahkan sampai ke kota Klaten, Solo, Yogyakarta, Sukoharjo dan Semarang. Biasanya mereka yang bekerja di luar, pulang ke rumah sebanyak satu hingga dua kali dalam sebulan. Pendapatan dari usaha warung hek dalam sehari mencapai Rp 30.000 hingga Rp 50.000,-.

Sementara itu ada juga masyarakat yang menjadi tukang becak, buruh pabrik dan buruh bangunan. Untuk buruh bangunan, upah yang diterima dalam satu hari berkisar antara Rp 35.000,- hingga Rp 50.000,-. Sedangkan buruh pabrik mendapat upah sebesar Rp 800 ribu hingga satu juta rupiah per bulan. Pendapatan utama keluarga umumnya di dapat dari suami (laki-laki), namun tidak sedikit istri (perempuan) yang juga melakukan pekerjaan produktif untuk menopang kehidupan rumah tangga.

Kegiatan produktif yang dilakukan oleh istri antara lain menenun, menjadi buruh tani saat musim panen dan tanam, dan membuka warung kelontong atau makanan. Kegiatan tenun, dilakukan setelah pekerjaan reproduktif dilakukan. Hasil tenun dijual kepada bakul keliling dengan harga Rp 7.000,- hingga Rp 8.000,- untuk satu gendok (dua selendang). Dalam satu bulan pendapatan yang diterima dari hasil menenun sekitar 600 ribu rupiah hingga 700 ribu rupiah. Selain menenun, usaha yang dilakukan istri atau perempuan untuk menambah pendapatan keluarga adalah dengan membuka warung kelontong (makanan atau kebutuhan rumah tangga lainnya). Pendapatan yang diterima dari usaha warung berkisar antara Rp 15.000,00 – Rp 30.000,00.

Kegiatan menenun dan membuka warung dilakukan oleh perempuan di Desa Jambakan, karena mereka dapat mengerjakan pekerjaan tersebut tanpa harus meninggalkan pekerjaan rumahtangga seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan lain-lain. Pendapatan yang diterima oleh istri (perempuan) umumnya digunakan untuk pemenuhan makan sehari-hari, sedangkan pendapatan yang diterima oleh suami digunakan untuk biaya pendidikan anak dan lainnya. Masyarakat Desa Jambakan biasanya bertani sambil beternak untuk memenuhi kebutuhan mata pencaharian sebagai aktivitas ekonomi lokal yang lainnya. Jenis ternak yang dipelihara adalah ayam kampung (200 ekor), itik (25 ekor), kambing (150 ekor) dan sapi (250 ekor).

Sedangkan sektor industri Desa Jambakan sedang berkembang walaupun industri tersebut masih berskala kecil. Jenis industri tersebut adalah tenun lurik, menjahit, makanan ringan seperti krupuk rambak. Sebagai penunjang aktivitas ekonomi, sarana prasarana sangat besar pengaruhnya.

Desa Jambakan memiliki beberapa sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan formal dan informal. Terdapat sepuluh jalan dusun/lingkugan dan lima jalan desa, serta lima buah jembatan. Untuk sarana pendidikan formal yang ada di Desa Jambakan terdiri dari dua Sekolah Dasar Negeri yaitu SD Negeri Jambakan 2 dan SD Negeri Jambakan 3. Selain itu terdapat satu Taman Kanak-kanak yang dikelola oleh ibu-ibu PKK yang bernama TK Pertiwi.

Pola Pemukiman dan Aktivitas Sosial Budaya

Dari data monografi Desa Jambakan, kondisi fisik perumahan dibedakan menjadi rumah permanen sebanyak 106 buah, dan rumah non permanen sebanyak 594 buah. Kondisi ini adalah catatan sebelum adanya perbaikan perumahan warga yang terkena dampak bencana gempa. Dalam pandangan masyarakat, rumah permanen adalah rumah berdinding tembok, semi permanen adalah rumah berdinding tembok dan bilik, sedangkan rumah non-permanen adalah rumah berdinding bilik. Sekalipun dalam catatan monografi, jumlah rumah yang tipe non-permanen lebih banyak, namun kondisi fisik perumahan masyarakat desa Jambakan hampir merata sudah menunjukkan kesejahteraan dan keberlanjutan nafkah rumah tangganya. Dengan penggunaan tanah untuk pekarangan 53.640 ha, rata-rata masing-masing rumah masih memiliki halaman yang cukup di depan rumahnya.

Antara kampung atau dukuh yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh jalan-jalan desa yang sudah beraspal dengan rapi. Hanya saja, jalan desa yang bisa mencapai kantor kecamatan Bayat paling dekat masih berupa jalan makadam (berbatu-batu). Lokasi perumahan yang relatif berdekatan memudahkan penyebaran informasi hingga antar desa. Misalnya antara dukuh Mbareng dengan dukuh Banyu Uripan sekalipun berhadap-hadapan dan hanya dipisahkan oleh jalan beraspal, namun keduanya berada di desa yang berbeda. Kondisi tersebut menyebabkan warga sangat sulit menyimpan rahasia. Untuk pemenuhan air bersih dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti untuk pemenuhan air minum, mandi, mencuci, buang air besar semua dilakukan di rumah masing-masing walaupun belum semuanya memiliki sumur.

Kondisi tanah Desa Jambakan yang tandus yang menyebabkan setiap tahun pada musim kemaru desa ini mengalami kekurangan air. Masyarakat lebih banyak menggunakan air sumur galian baik dengan menggunakan katrol ataupun dengan pompa listrik.

Selain itu, bagi masyarakat yang tidak memiliki sumur atau MCK (Mandi Cuci Kakus) sendiri, untuk pemenuhan air bersih dapat menggunakan sumur umum. Sumur umum ini dibangun atas bantuan pemerintah pada tahun 2007 yang dilengkapi dengan MCK. Sumur umum tersebut dibangun di tiap rukun warga dengan masing-masing empat buah. Tidak adanya sumber mata air menyebabkan Desa Jambakan sering mengalami kesulitan untuk mendapatkan air. Kedalaman sumur bisa mencapai 20-30 meter. Selain mengandalkan bantuan air dari pemerintah, biasanya pada musim kemarau dan pada saat lebaran ketika anggota keluarga yang merantau pulang mudik, untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari, beberapa masyarakat desa yang mampu membeli air ke PDAM lalu disimpan ke sumur-sumur mereka yang kekeringan dengan harga Rp.75.000- 100.000 per tangki (kurang lebih 5000 lt) untuk pemakaian satu minggu.

Hampir seluruh rumah penduduk menggunakan penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Hampir seluruh penduduk mampu secara ekonomi memasang listrik sendiri, tetapi masih ada beberapa yang benar-benar tidak mampu umumnya menyalur dari tetangga terdekatnya. Yang tergolong mampu dan anggota keluarganya ada yang merantau ke kota, biasanya rumahnya dilengkapi fasilitas telepon rumah, meskipun demikian penggunaan telepon selular (HP) sudah merata ke hampir semua warga.

Dalam sehari, umumnya warga desa Jambakan makan tiga kali sehari. Pada pagi hari terdapat beberapa yang berjualan nasi pecel untuk sarapan, tetapi pada umumnya warga memasak makanannya sendiri karena tidak terbiasa jajan. Karena sebagian besar warga memiliki pekarangan di bagian depan atau belakang rumahnya, maka hampir setiap pagi atau sore hari melakukan pembakaran sampah di pekarangan. Toko atau warung kecil umumnya buka sejak pukul 06.00-21.00 WIB. Warung yang buka hingga malam hari adalah warung angkringan untuk nongkrong sambil bertukar informasi setelah seharian lelah bekerja.

Selain sarana pendidikan formal, Desa Jambakan memiliki saran pendidikan informal yang terdiri dari tiga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Tiga PKBM tersebut adalah PKBM Dahlia dengan program Paket A, dan PKBM Harapan Bangsa dengan program keaksaraan fungsional berjalan mulai tahun 2006 berdasarkan bantuan dari Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Klaten. Dan ketiga adalah PKBM Tunas Bangsa yang membawahi Kelompok Bermain Tunas Bangsa untuk anak usia dini dan Kelompok Belajar Mekar Sari dengan Program Keaksaraan Fungsional yang berjalan atas bantuan Dinas Pendidikan Sub. Bagian Pendidikan Masyarakat pada Tahun 2007. Ketiga Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat itu dikelola oleh ibu-ibu.

Dalam menunjang kegiatan keagamaan di Desa Jambakan terdapat sembilan masjid dan satu langgar dalam kondisi yang baik dan terawat. Masjid atau langgar tersebut digunakan oleh masyarakat untuk ibadah shalat lima waktu, shalat jumat baik kaum laki-laki maupun perempuan, pengajian bergilir yang dilakukan oleh ibu-ibu setiap bulannya yaitu pada mingu legi. Masjid atau langgar di Desa Jambakan digunakan pula untuk kegiatan Taman Pendidikan Al-Quran bagi anak-anak dan remaja.

Kegiatan olah raga yang dilakukan oleh masyarakat Desa Jambakan adalah sepak bola dan bola voli yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki hampir tiap sore. Kegiatan olah raga tersebut ditunjang dengan lapangan voli dan sepak bola yang letaknya bersebelahan dengan balai desa. Fasilitas lapangan bulu tangkis adalah milik salah satu warga, tetapi dapat dipergunakan oleh siapa saja. Untuk kegiatan olah raga bulutangkis siapa saja bisa terlibat, namun sering kali kaum perempuan dan anak-anak mendapat porsi yang lebih sedikit. Keadaan jalan di Desa Jambakan sudah cukup baik. ini dikarenakan pada tahun 2007 terdapat pembangunan jalan berupa pembuatan talud, betonisasi, pengaspalan dan pembuatan saluran irigasi dari Program Pengembangan Kecamatan(PPK) dan Program Peningkatan Infrastruktur Perdesaan (PPIP) dari Departemen Pekerjaan Umum. Akibat gempa pada tahun 2006, bangunan kantor Desa Jambakan hancur. Sekarang ini kegiatan pemerintahan masih berada di Balai Desa yang terbuka. Pembangunan gedung baru telah dilakukan dan akan dilanjutkan ketika Anggaran Dana Desa sudah cair.

Untuk fasilitas kesehatan, awalnya Desa Jambakan hanya memiliki satu bidan desa yang bertempat tinggal di salah satu rumah warga. Namun, pada tahun 2007 berdasarkan bantuan dari AAI (Australian Aid International) telah dibangun Poliklinik Desa. Masyarakat desa dapat memeriksa kesehatannya atau melakukan pengobatan di poliklinik tersebut. Poliklinik tersebut sekaligus menjadi rumah dinas bidan desa Jambakan.

Dalam kehidupan masyarakat desa Jambakan, kegiatan gotong-royong masih bisa ditemui pada waktu-waktu tertentu. Gotong-royong didefinisikan oleh masyarakat desa Jambakan adalah kebiasaan saling membantu antara masyarakat secara ikhlas tanpa digaji dan dipaksa. Jenis kegiatan gotong-royong di Jambakan pada saat ini adalah pada saat membangun jalan kampung, ketika ada tetangga yang ngedek-ne rumah (memasang kerangka rumah), kerja bhakti bersih desa, nyadaran awal puasa, membantu pesta pernikahan (sinoman), kesripahan (ada tetangga yang meninggal), sunatan dan perayaan adat yang lain. Kegiatan tersebut dilakukan berupa tenaga untuk membantu secara langsung maupun juga membantu dari sisi materi.

Menurut salah seorang sesepuh desa Jambakan, pada masa lalu, masyarakat membangun apa saja dengan gotong-royong. Masih kuat dalam ingatannya, banyak proyek pembangunan masuk ke Jambakan seperti membangun SD Inpres, memindahkan rumah gedhek (rumah bilik non- permanen), dan sebagainya. Kegiatan proyek tersebut dilaksanakan dengan gotong-royong. Tetapi pada saat ini, pengerjaan proyek pembangunan tidak mungkin bisa dengan gotong-royong, karena pada masa lalu, masyarakat tidak mengetahui sejumlah anggaran proyek pembangunan, bahkan bisa jadi mereka tidak tahu apakah ada anggaran pembangunan dari pemerintah atau tidak, sedangkan pada saat ini mendapatkan informasi semacam itu sangatlah mudah, sehingga tidak mau kalau tanpa diupah. Saldo yang dikelola bersama di lingkungan tingkat RW dengan mekanisme kegiatan simpan pinjam. Misalnya di RW % punya saldo 78 juta (potongan dana RR). RR tahap I tiap RW 41 juta. RR tahap II per RW 33 juta, perkumpulan pemuda yang merantau ke Jakarta (JAMVATRO = Jambakan Van Metro) saldo Rp. 19 juta, juga perkumpulan PERSIMA (persatuan sinoman Marhaen) yang pernah punya omzet ratusan juta.

Di desa Jambakan, diperoleh keterangan bahwa aktivitas menyumbang