• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah."

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

Judul Tesis : Dimensi Kepentingan Dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Nama : Siti Masithoh

NRP : A 152050071

Program Studi : Sosiologi Pedesaan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Titik Sumarti, MS Dr. Ir. Tri Pranadji, MS. APU

Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Sosiologi Pedesaan

Dr.Nurmala K.Pandjaitan, MS.DEA. Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini Saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul "Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal (Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah) adalah karya Saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang dikutip dari karya yang diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir karya ilmiah ini.

Bogor, Maret 2009

(3)

@Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(4)

RINGKASAN

SITI MASITHOH. Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal : Studi Kasus Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan TRI PRANADJI

Masalah ketahanan pangan dan kemiskinan merupakan masalah mendasar pembangunan masyarakat pedesaan. Desa Jambakan adalah salah satu desa rawan pangan di Kabupaten Klaten yang memperoleh bantuan Program Mapan pada tahun 2005 dengan jumlah KK miskin mencapai 74,7 persen. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani berstatus sebagai buruh tani atau penggarap dengan rata-rata kepemilikan lahan sangat sempit (kurang dari 0,5 ha). Jenis tanah tandus dan tidak ada sistem irigasi sehingga pertaniannya tadah hujan (padi setahun sekali dan selalu gagal panen). Oleh karena itu pertanian tidak bisa diandalkan dan mulai beralih pada off farm. Terdapat beberapa kelembagaan ketahanan pangan lokal yang secara langsung maupun tidak langsung sudah menjadi penjamin keberlangsungan masyarakat setempat, diantaranya arisan, lumbung pengajian, warung, dan kelompok usaha tenun.

Dalam perkembangannya, walaupun telah seringkali mendapatkan bantuan dari pemerintah, namun persoalan kemiskinan di desa ini yang terkait juga dengan masalah ketahanan pangan, belum juga terselesaikan. Hal ini disebabkan dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal telah meminggirkan kepentingan rumah tangga petani miskin. Bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan merupakan pertanyaan utama tesis ini. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2008 dengan pendekatan kualitatif dan strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan multi metode, yaitu menggabungkan metode wawancara mendalam, FGD, studi riwayat hidup dan pengamatan berperanserta.

Pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal di desa Jambakan yang dilakukan pada tingkat komunitas menunjukkan bahwa kepentingan rumah tangga petani miskin dapat terakomodir dalam hal jaminan pangan (basis pada produksi dan konsumsi). Sedangkan dalam pelaksanaan program Mapan sebagai salah satu bentuk intervensi dari pemerintah dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokaldi desa Jambakan terganggu dengan benturan kepentingan dari berbagai pihak yang ingin mendapatkan keuntungan sehingga menyebabkan terpinggirkannya kepentingan rumah tangga petani miskin. Pengelolaan program dikuasai oleh orang-orang tertentu pemilik faktor produksi dan akses. Kondisi demikian untuk program bergulir seperti mapan berdampak pada potensi macet. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hal diatas terjadi juga dikarenakan kelembagaan baru yang dibentuk program kurang menngakar dengan kelembagaan lokal yang sudah ada, misalnya dengan membentuk Lembaga Keuangan Desa, program tidak melihat pada ketersesuainnya dengan kebutuhan lokal, dan pada akhirnya program Mapan di desa Jambakan baru pada level meningkatkan pendapatan, walaupun hanya pada rentang waktu sesaat, dan belum pada peningkatan kesejahteraan.

(5)

ABSTRACT

SITI MASITHOH. The interest dimension in the development of local food security institution. Case study of the action program of food self-supporting village, in Jambakan Village, Bayat Sub-district, Klaten-District, Central Java-Province. Thesis supervised by TITIK SUMARTI and TRI PRANADJI.

The issues of food security and poverty are basically the problems that exist in rural community development. The aim of this research are to find the small peasant households ways to build their local institution of food security, its interaction to intervention institution (especially programs directly related and support the village food-security program), how long the peasant interest had been include on the security development and to identify the current food-security conditon of peasant’s household.

The research was done in Jambakan Village-Bayat subdistrict-Central Java provinci, which represented the poor food security. The design and methods in this research was the approach of comunity study (through survey and qualitative approaches) and case study.

The result research indicate that are : the implementation of food self reliant village program at Jambakan Village is not succes and the peasants interest on the food security development are not harmonized with the governance necessity. The succesfull keys are facilitasy process and the role of community organizator, and the appearance of community trust to local leader, whereas community are driven to develop their ability to manage the local institution.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, Siti Masithoh dilahirkan di Desa Karangrejo, kabupaten Magetan, Jawa Timur pada tanggal 08 Oktober 1978 dari orang tua Ibu Samiati dan Bapak Saribun. Riwayat pendidikan dari TK sampai SMA ditempuh di Magetan. Pada tahun 1997 penulis diterima melalui jalur UMPTN melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) pada Program Sosial Ekonomi Industri Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Selama masa kuliah memperoleh kesempatan menjadi asisten dosen di Fakultas Peternakan IPB pada matakuliah : Tataniaga, Sosiologi Pedesaan, Bank dan Perkreditan dan Kewirausahaan. Penulis menamatkan studi S1 pada tahun 2002 dengan menyusun skripsi yang berjudul "Analisis Preferensi dan Pola Konsumsi Daging Kerbau pada Rumah Tangga di Dati II Kabupaten

Pandeglang, Banten".

(7)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillahirabbil'alamin penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul "Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal untuk Rumah Tangga Petani Miskin Pedesaan. (Studi kasus Program Aksi Mandiri Pangan di desa Jambakan, Kecamatan Bayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah)".

Tesis ini dapat diselesaikan atas dukungan dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan kali ini, Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS dan Bapak Dr. Ir. Tri Pranadji, MS, APU selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar dan penuh kasih sayang membimbing dan memberi masukan yang sangat berarti sejak penyusunan proposal penelitian hingga tesis ini selesai

2. Bapak Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, selaku penguji luar komisi yang telah memberi banyak masukan selama ujian berlangsung demi perbaikan tesis ini.

3. Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen atas dorongan semangat dan dukungannya untuk optimis bisa menempuh studi pascasarjana walaupun sambil bekerja meskipun belum juga mendapatkan kesempatan beasiswa 4. Masyarakat Desa Jambakan atas kesediannya menerima penulis di

tebgah-tengah kehidupan mereka, mengamati dan mengikuti kegiatan mereka serta menjawab seluruh pertanyaan penulis selama penelitian berlangsung 5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu dosen di Program Studi Sosiologi Pedesaan yang

telah menyampaikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna

6. Gama Tri Utami dan keluarga di Solo yang telah berkenan meminjamkan sepeda motor "gagak rimang" nya selama penelitian ini berlangsung 7. Ibu Ir. Anisa Wijayanti, MS, Ibu Ir. Anna Fajriah, MS, Ery Karyanto, SE,

(8)

8. Beta Dwi Utami, MS dan Laela Nur Anisa, MS, atas persahabatan dan semua kebaikan dan bantuan yang diberikan selama ini

9. Teman-teman seperjuangan di SPD, Pak Awal, Bang Rinto, Mas Rais, Mas Husein, Mas Septri, Pak Witra juga Mba Ulfa, Kak Rosganda, Mba Hana, Mas Siwi, Qori, Mba Anggra, Mba Dharma

10.Dona Puspita, Pui Rahayu, Nani Rahayu, Nely Yulianawati atas doa dan kebersamaannya selama ini yang indah

11.Didit dan Mami di Ciganjur, atas persudaraan dan tawa canda selama ini, atas ijin ALLAH SWT yang telah mencukupkan rezkiNYA untuk yang mau bekerja keras....

12.Teman-teman di kos, Mumtazer tercinta, Mety, Himme, Nanda, Ida-daut, Dwi-bojong, Leni, Andri, Tutik, Mila, Endah, juga Ary, Bleke-nik, Nia 13.Adik-adik tercinta Inggrit, Alia, Rasyid, Patriavi, Bima, Adam, Nadhira,

Fatimah, Fathin, Inara, Edo, Ryninta, Rana, Fahry, Desy, Wildan, Gita, Dila, Nadia, Andre, Putri CK, Nuran, Vismaya, Hanny, NurNabillah

14.Teman-teman di Klaten, Mba Cahaya, Iin, Indri, Nana, juga warung angkringan ompong di alun-alun

15.Teman-temanku Wawan Widya, Santo, Bambang, Basit, Fajar, Hakim, Didik, Supri dan Mas Pur Tri Mulya

16.Sahabat-sahabat di Bimbel, Wahyu, Tutik, Elin, Iis, Mba Ahyuni, Engkus, mas Ifni, mas Har, Mas Mul, Mas Dadang

17.Keluarga penulis, Ibu Samiati dan Bapak Saribun untuk doa dan kasih sayang yang tiada henti, Mas Mahmud sekeluarga, Mas Khudori sekeluarga, Mas Hamid sekeluarga, dan adeku tersayang Imam sekeluarga dan Muslikatin, Semoga ALLAH SWT mengumpulkan kita semua di surgaNYA

Dengan semangat untuk terus belajar, semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Februari 2009

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

...

DAFTAR TABEL

...

DAFTAR LAMPIRAN

...

PENDAHULUAN

Latar Belakang ...

Perumusan Masalah ...

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pembangunan Perekonomian Pedesaan ………

Program Aksi Mandiri Pangan (Mapan) ...

Komunitas Petani dan Kemiskinan ...

Kelembagaan Lokal Masyarakat Pedesaan ………...

Dimensi Kepentingan ...

Kerangka Pemikiran .

...

Hipotesa Pengarah Penelitian

...

METODE PENELITIAN

Metode ...

Lokasi dan Waktu Penelitian...

Sumber dan Teknik Pengumpulan Data...

Teknik Pengumpulan Data...

Analisis Data ...

i

iii

iv

1

4

7

9

16

24

32

38

41

44

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemetaan Sosial Kemiskinan Pedesaan

Lokasi dan Keadaan Alam ...

Penduduk, Mata Pencaharian dan Aktivitas Ekonomi Lokal ...

Pola Pemukiman dan Aktivitas Sosial Budaya...

Pengembangan Ketahanan Pangan Lokal Melalui Program Aksi Mandiri

Pangan

Potensi dan Isu Strategis Ketahanan Pangan Lokal...

Deskripsi Program Aksi Mandiri Pangan...

Implementasi Program Aksi Mandiri Pangan ...

Dinamika Kepentingan Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal...

Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal, Relasi Aktor dan

Dimensi Kepentingan

Karakteristik Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal dan Interaksinya

dengan Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan ...

Kelompok Kepentingan (Aktor) dalam Implementasi Kelembagaan

Program Aksi Mandiri Pangan...

Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi

Kelembagaan Program Aksi Mandiri Pangan...

Dimensi Kepentingan Rumah Tangga Miskin Dalam Pengelolaan

Ketahanan Pangan Lokal

...

Kesimpulan dan Saran

...

DAFTAR PUSTAKA

...

49

50

56

61

68

75

94

105

111

116

128

133

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14

Prosedur Pengumpulan data...

Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di

Desa Jambakan Tahun 2006...

Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di

Desa Jambakan Tahun 2006...

Jumlah dan Persentase Penduduk Menurut Jenis Mata Pencaharian di

Desa Jambakan Tahun 2006...

Potensi Komunitas dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Desa

Jambakan...

Jumlah dan Persentase Keluarga Miskin di Kabupaten Klaten Tahun

2006...

Tahun Persiapan Program Aksi Mandiri Pangan di Desa Jambakan

tahun 2006...………

Kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan pada Tahap Pertumbuhan di

Desa Jambakan Tahun 2007...………

Perkembangan Usaha Kelompok Afinitas Program Aksi Mandiri

Pangan Desa Jambakan...

Karakteristik Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambakan ...

Kondisi dan Dinamika Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Desa

Jambakan...

Identifikasi Kelembagaan Berdasarkan Fungsi Yang Dijalankan di Desa

Jambakan...

Identifikasi Kelembagaan Ketahanan Pangan Lokal...

Aktor yang Terlibat dalam Program Mapan dan Tingkat

Keterlibatannya dalam Memberdayaan Kelompok Afinitas...

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

2.

3.

Alur Pemikiran Penelitian...

Kepentingan Aktor Dalam Pengelolaan Ketahanan Pangan Lokal Di

Desa Jambakan...

Relasi Aktor dan Dimensi Kepentingan dalam Implementasi Program

Aksi Mandiri Pangan...

43

116

117

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

2.

3.

Contoh Surat Kesepakatan Kelompok Afinitas dalam Program Mapan..

Model Pemberdayaan program Mandiri Pangan ...

Karakteristik Data Responden...

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta (17, 75 %). Sebagian besar penduduk miskin, sekitar 63,41 persen berada di pedesaan, umumnya bergantung pada sektor pertanian. Selama periode tahun 1993-2003 terjadi kecenderungan peningkatan jumlah rumah tangga pertanian dan jumlah petani gurem di pedesaan Jawa dan luar Jawa. Sebagian besar petani gurem (75 %), berada di pedesaan Jawa dan seluruhnya tergolong miskin. Kemiskinan petani gurem di pedesaan yang sepertinya tidak kunjung terselesaikan. Salah satu penyebabnya bahwa kebijakan pertanian pemerintah yang tidak tepat. Baik dalam pendekatan yang dilakukan maupun pemilihan bentuk program seringkali tidak mengakomodir secara langsung kepentingan rumah tangga miskin.

Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan melalui program pengentasan kemiskinan seperti KUT, IDT, Raskin dan BLT secara empiris terbukti tidak efektif dan banyak kasus menemui kegagalan. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan oleh adanya penyimpangan yang dilakukan oleh penerima program dalam pelaksanaan program-program tersebut. Penyelewengan tersebut terjadi antara lain disebabkan karena kesengajaan para pelakunya dan kebijakan yang terlalu berorientasi pada proyek.

(14)

Kondisi ini selaras dengan apa yang dikemukakan Chambers (1987) bahwa jaringan kekerabatan dan koneksi kelompok lapisan elit pedesaan kerapkali menjadi “jaring penangkap” bagi bantuan-bantuan yang diperuntukan bagi keluarga-keluarga miskin. Pendekatan politik pembangunan di pedesaan masih bias elit desa, baik elit aparat pemerintahan desa maupun elit yang menguasai faktor-faktor produksi di pedesaan. Kebijakan dan implementasi pembangunan pertanian di pedesaan pada masa pemerintahan Orde Baru lebih banyak ditekankan pada upaya peningkatan produksi pangan (terutama beras) yang dilakukan secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Sebagaimana halnya program revolusi hijau yang didasarkan pada penyebaran “teknologi baru” berupa bibit unggul dan penambahan pemakaian pupuk dan bahan kimia, meskipun berhasil meningkatkan produksi pangan (beras) nasional, namun karena tanpa didukung dengan pembangunan kapasitas diri manusia dan kapasitas kelembagaan lokal yang kuat, pada akhirnya memberikan gambaran tidak mampu mempertahankan keberlanjutan swasembada beras.

Meskipun pemerintah di masa lalu telah berupaya membangun kelembagaan di tingkat desa (seperti kelompok tani, pemerintahan desa dan KUD), namun karena dibentuk dan dijalankan secara terpusat, maka kelembagaan-kelembagaan tersebut cenderung berorientasi pada kepentingan supra-desa dan memarginalkan kepentingan masyarakat strata bawah. Kondisi seperti ini, digambarkan oleh Sayogyo (1982) sebagai proses modernisasi yang tidak diiringi dengan proses pembangunan (modernization without development). Pendekatan pembangunan pertanian di masa lalu juga cenderung menekankan pada pembangunan “perangkat keras” dan input teknologi yang relatif tinggi.

(15)

Kemiskinan merupakan isu dan masalah sangat strategis dalam pembangunan masyarakat pedesaan di Indonesia, dalam hal ini berkorelasi positif atau erat kaitannya dengan masalah pangan. Masalah ketahanan pangan yang dihadapi masyarakat pedesaan ini, tidak hanya terbatas pada sistem produksi (ketersediaan), melainkan juga pada sistem distribusi dan sistem konsumsi (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Hal pokok yang dihadapi pada sistem ketersedian pangan di Indonesia adalah laju peningkatan produksi (penyediaan) pangan nasional belum mampu mengejar laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk. Kondisi ini ditunjukkan dengan adanya ketergantungan negara kita terhadap impor pangan pada beberapa komoditas pangan tertentu (seperti beras, gandum dan kedelai) yang masih relatif tinggi.

Dalam sistem distribusi pangan, kita masih dihadapkan pada masalah terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan yang dapat menjangkau seluruh wilayah terutama daerah terpencil. Sistem distribusi pangan untuk mengatasi kerawanan pangan disamping masih belum tertata dengan baik, juga belum bekerja secara efektif. Harga pangan yang sampai ke tingkat rumah tangga tidak menunjukan harga yang sebenarnya karena prasarana dan kelembagaan pasar belum mampu menjamin terciptanya sistem distribusi yang adil, merata dan terjangkau. Pada akhirnya hal ini berakibat pada semakin lemahnya kemampuan rumah tangga (terutama rumah tangga petani miskin) untuk dapat mengakses pangan secara cukup dan terjangkau. Daya beli serta penguasaan atau pemilikan lahan juga menjadi penyebab serius terjadinya kerawanan pangan di pedesaan.

(16)

Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan rumah tangga petani di pedesaan adalah melalui program Aksi Mandiri Pangan dengan sasaran wilayah adalah desa rawan pangan dan rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Program ini sudah dimulai sejak tahun 2006, salah satunya di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Program mapan berpontensi menjadi kelembagaan yang bisa mempertemukan kepentingan rumah tangga miskin dengan pihak supradesa.

Oleh karena itu dalam permasalahan penelitian yang ingin diketahui adalah; bagaimana keberpihakan terhadap kepentingan rumahtangga petani miskin dalam pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan di pedesaan ?

Perumusan Masalah

Dari berbagai penelitian diperoleh gambaran bahwa upaya pemerintah untuk mengatasi masalah kerawanan pangan dan pengentasan kemiskinan hingga saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kepentingan rumah tangga petani masih terabaikan, baik dalam kegiatan perumusan konsep kebijakan maupun dalam implementasinya di lapangan.

Pada masa pemerintahan orde baru, program-program pertanian cenderung dirancang secara terpusat, searah (top-down) dan seragam. Selain itu orientasi pembangunan pertanian didominasi dan bertumpu pada kegiatan fisik dan bantuan modal melalui kredit. Dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan petani termarginalkan. Kondisi ini menyebabkan tidak adanya titik temu atau harmonisasi antara kepentingan negara/pemerintah dengan kepentingan petani.

(17)

Selain itu, kebijakan-kebijakan pembangunan di bidang ketahanan pangan seyogyanya dapat mempertemukan dan mengharmoniskan antara aparat kepentingan pemerintah dengan kepentingan rumah tangga petani. Agar kedua kepentingan tersebut dapat bertemu dan harmonis, maka harus ada kelembagaan yang menyediakan ruang yang luas untuk mendialogkan dua kepentingan tersebut. Dalam pengertian, baik mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan hingga tahap evaluasi, seluruh pihak yang terlibat, terutama kepentingan petani gurem di akomodir secara aktif dan intensif di dalamnya. Program aksi mandiri pangan (Mapan) sebagai salah satu program pengentasan kemiskinan rumah tangga petani dan kerawanan pangan, yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal pedesaan, hadir dengan bentuk dan model baru.

Program Mapan adalah suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian dimana rumah tangga miskin sebagai penerima manfaat program. Secara aturan, langkah-langkah pelaksanaan program ini bisa dikatakan sudah bercirikan memberdayakan rumah tangga petani miskin di pedesaan.

(18)

Keberadaan kelembagaan lokal di desa berfungsi sebagai panutan berperilaku dalam menjaga keutuhan masyarakat setempat baik dalam kehidupan beragama, berekonomi maupun juga berpolitik serta dalam berinteraksi dengan pihak luar desa. Bahwasanya, secara sosiologis suatu kondisi desa miskin terjadi bukan karena mentalitas penduduk yang malas bekerja sehingga menjadi miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya, tetapi terjadi karena masalah struktural yaitu kelembagaan yang dapat memfasilitasi proses kemandirian tidak pernah dibangun keberadaannya. Kelembagaan lokal yang terdapat di pedesaan telah memainkan peranannya dalam ikut menggiatkan aktivitas perekonomian dengan menggerakkan, memberdayakan dan memandirikan masyarakat sekitarnya dengan semua potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki. Kaitannya dengan pola-pola hubungan yang berpusat pada aktivitas masyarakat dalam mengentaskan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan pangan, kelembagaan lokal mampu mengoptimalkan kekuatan-kekuatan sosiologis berupa modal-modal sosial, kekuatan tindakan-tindakan kolektif, kepemimpinan ekonomi, juga kemampuan membangun jaringan dengan pihak-pihak luar sehingga terjadi kolaborasi yang menguntungkan antara kekuatan-kekuatan lokal dengan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengkaji, bagaimana program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan?

Hal menarik adalah ketika dalam suatu masyarakat sudah terbangun kelembagaan ketahanan pangan, kemudian terjadi interaksi dengan masuknya intervensi dari pemerintah dalam upaya pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal, maka pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana pengaruh kepentingan berbagai aktor dalam program pengembangan kelembagaan ketahanan pangan lokal ?

(19)

Pada akhirnya penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan konsep bagaimana melihat dimensi kepentingan dalam pengelolaan kelembagaan ketahanan pangan lokal serta interaksinya dengan program pemerintah (mapan) pada suatu komunitas yang mengembangkan partisipasi masyarakat pedesaan melalui kelembagaan lokal setempat. Dalam konteks pembangunan, membangun sebuah kemandirian masyarakat pedesaan harus didasarkan dan berbasis pada kelembagaan lokal yang terdapat dalam suatu wilayah tersebut. Belum berhasilnya program penanggulangan rawan pangan yang telah dilakukan selama ini karena tidak diiringi dengan perubahan kelembagaan yang ada.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan pokok penelitian adalah menganalisis kelembagaan ketahanan pangan lokal dan interaksinya dengan program Mapan dalam upaya pengentasan kemiskinan dan sejauh mana program tersebut mampu menjadi ruang untuk mendialogkan berbagai kepentingan yang berbeda. Secara khusus, penelitian ini bertujuan :

1. Mengkaji pelaksanaan program ketahanan pangan lokal untuk mengatasi kemiskinan dan kerawanan pangan

2. Menganalisis pengaruh berbagai kepentingan (ekonomi, sosial, politik) aktor dalam program pengembangan Kelembagaan ketahanan pangan lokal

(20)

Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terutama bagi penulis adalah memperkaya pengalaman penelitian dan kegiatan keilmuan, disamping dapat mengetahui lebih banyak tentang konsep dimensi kepentingan dalam emberdayaan masyarakat di desa rawan pangan. Pengetahuan tentang dimensi kepentingan ini dapat dijadikan sebagai informasi tambahan bagi peneliti lain yang berminat mengkaji tema ini lebih dalam.

(21)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Pembangunan Perekonomian Pedesaan

Menurut Suhardjo (1998), dalam menentukan program pembangunan dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu : Program pembangunan ditentukan oleh pihak luar (pemerintah), oleh masyarakat sendiri dan ditentukan bersama oleh masyarakat sendiri dan pemerintah. Program pembangunan yang ditentukan oleh pihak luar (pemerintah) didasarkan atas perhitungan bahwa program tersebut diperlukan oleh masyarakat, tanpa melalui konsultasi atau pertemuan formal terlebih dahulu dengan masyarakat setempat, baik dengan seluruh anggota masyarakat ataupun melalui pemimpin/wakil mereka.

Kegiatan pembangunan semacam ini bercirikan instruktif dan dimaksudkan untuk kecepatan bertindak, efisien dari segi waktu dan energi, menyelesaikan masalah dengan segera, dan menghasilkan manfaat yang besar. Resiko dari cara ini adalah bahwa masyarakat tidak dipersiapkan dari awal untuk berpartisipasi terhadap program pembangunan tersebut, sehingga ada kemungkinan akan sulit diajak berpartisipasi dalam tahap pelaksanaannya, bahkan pada pemanfaatannya, padahal partisipasi masyarakat merupakan factor yang esensial dalam pembangunan.

(22)

Pembangunan selalu membawa dimensi kepentingan politik, perebutan sumberdaya ekonomi, konflik sosial, dan membawa masalah dalam menentukan pilihan-pilihan penyelesaian. Menurut Arsyad (1999), pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tersebut.

Pembangunan ekonomi daerah juga mencakup proses pembentukan institusi-institusi baru, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru. Setiap upaya pembangunan ekonomi daerah, mempunyai tujuan utama utnuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerahnya.

Pembangunan yang juga merupakan pemberdayaan masyarakat pedesaan adalah upaya menuju kemandirian masyarakat pedesaan, yang dapat berdiri dengan kaki sendiri dengan mengoptimalkan segala kemampuan yang dimiliki. Pembangunan pedesaan dipahami sebagai serangkaian aktivitas dan aksi dari beragam pelaku individu, organisasi, kelompok yang bahu-membahu melakukan pembaharuan demi kemajuan (progress) berbagai sektor di wilayah pedesaan (Dharmawan, 2002).

(23)

Salah satu wujud rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah sikap mendukung dari warga masyarakat daerah terhadap penyelenggaraan pembangunan daerah yang ditujukkan dengan keterlibatan (partisipasi) aktif warga masyarakat (Tony, 2003).

Pendekatan pembangunan di negara-negara berkembang dan termasuk di Indonesia (terutama di masa Orde Baru) pada kenyataannya cenderung menggunakan pendekatan modernisasi dengan indikator keberhasilannya diukur dari tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sebagaimana dikemukakan oleh Korten dan Syahrir (1988), walaupun tujuan dasarnya untuk mensejahterakan rakyat, namun karena strategi, metodologi dan implementasinya berpusat pada produksi, maka pada akhirnya kurang memberi manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Hal ini terjadi karena tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak secara otomatis menjamin tercapainya pemerataan hasil atau manfaatnya secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal ini mulai disadari oleh para pengambil keputusan kebijaksanaan pembangunan di era reformasi dan otonomi daerah ini, dimana pendekatan pembangunan nasional mulai bergeser pada “ekonomi kerakyatan”.

Proses modernisasi meliputi proses transformasi model struktur, kultur, pengetahuan, modal dan juga teknologi dari luar (negara maju) ke dalam sebuah masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga. Proses transformasi ini dapat berjalan dengan baik, jika individu-individu di dalam masyarakat juga mengalami transformasi kepribadian.

(24)

Menurut Israel (1990), timbulnya kecenderungan penekanan pembangunan terhadap aspek-aspek fisik disebabkan oleh dua alasan pokok yaitu ; pertama, teori pembangunan dan praktek telah begitu lama berada di tangan para ahli ekonomi, mengikuti tradisi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada efisiensi, bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam menggunakan sumberdaya yang sudah dialokasikan. Strategi pembangunan penekanannya masih pada perencanaan dan penaksiran bukan pada pelaksaanaan, lebih kepada investasi serta kebijakan bukannya pada operasi. Selain itu kecondongan kuantitatif dalam ilmu ekonomi dan pembangunan ekonomi selama dekade belakangan ini lebih menguntungkan masalah analisa lokasi sumberdaya, seperti perencanaan dan prakiraan dibandingkan dengan masalah pelaksanaan, yang memang kurang dapat dikuantifikasi.

Kedua, terabaikannya masalah-masalah kelembagaan karena hal ini merupakan bidang yang rumit. Bidang-bidang seperti ilmu manajemen dan administrasi pembangunan belum cukup berhasil dalam mengatasi masalah di negara-negara sedang berkembang. Tujuan utama ilmu manajemen telah terlanjur mengarah pada masalah-masalah sektor swasta di negara maju, dan telah menemui kesulitan dalam mengadaptasikannya ke dalam kegiatan publik atau campuran dari lingkungan yang lebih buruk dan lebih politis.

(25)

Ketika pihak luar memberikan banyak investasi terhadap kapasitas kelembagaan (organizational capability), maka hal itu akan memberikan keuntungan yang berlipat. Pendekatan-pendekatan ekonomi makro, nyata-nyata kurang mampu menjangkau dan menyelesaikan masalah masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan. Ketika kebijakan pembangunan ekonomi tidak dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di pedesaan, maka dapat dikatakan secara umum kebijakan pembangunan tersebut telah gagal.

Aktivitas pembangunan yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk modernisasi maka indikator keberhasilannya dilihat melalui ukuran-ukuran kuantitatif seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat pendapatan negara (GDP) atau tingkat produktivitas. Model-model indikator keberhasilan pembangunan ekonomi seperti itu tidak dapat menggambarkan realitas (kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat) yang sebenarnya.

Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi di suatu negara, tidak serta merta berarti pula telah tercapai upaya-upaya pemerataan bagi masyarakat dalam menikmati hasil-hasil pertumbuhan ekonomi secara adil. Jika sarana atau modal produksi tidak dimiliki secara “merata” dan adil oleh seluruh lapisan masyarakat, maka bisa jadi angka-angka tersebut bersifat semu karena manfaat atau keuntungan dari surplus produksi sebagian besar terkonsentrasi pada sekelompok kecil masyarakat.

Sedangkan sebagian besar dari masyarakat hanya menikmati sedikit dari hasil-hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan ada diantaranya yang tidak menikmati sama sekali. Kebijaksanaan pembangunan (modernisasi) pedesaan di negara-negara berkembang yang cenderung bertumpu pada pertumbuhan ekonomi terbukti belum berhasil mengurangi kemiskinan di negara berkembang (Kasryno dan Stepanek, 1985).

(26)

Sebagaimana dikemukakan Sajogjo (1982), petani kecil masih dihadapkan pada resiko-resiko seperti lemahnya akses mereka pada kredit murah yang disediakan pemerintah dan mereka tidak mampu membebaskan dirinya dari ketergantungan dan lilitan hutang dari petani kaya dan tengkulak. Meskipun modernisasi pertanian di pedesaan telah memulai membimbing petani untuk mengorganisasikan dirinya agar dapat menolong dirinya sendiri, seperti melalui penyuluhan dan pembentukan koperasi petani (KUD), namun terbukti upaya tersebut belum memberi hasil yang memuaskan.

Kondisi masyarakat miskin di pedesaan Indonesia tidak mengalami banyak perubahan dan bahkan kondisinya semakin memburuk sebagai dampak krisis ekonomi di tahun 1997. Kondisi perekonomian masyarakat pedesaan di negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Boeke (1953) masih dicirikan dengan adanya dualisme ekonomi.

Masyarakat pedesaan di Indonesia (terutama Jawa) memang tidak sepenuhnya persis sebagaimana tesis yang dikemukakan oleh Geertz (1974) tentang involusi pertanian, karena pada dasarnya petani itu selain pekerja keras juga kreatif dalam mensiasati kerasnya kehidupan. Breman dan Gunardi (2004) menunjukkan bahwa keterbatasan sektor pertanian dipedesaan untuk menutupi kebutuhan hidup telah mendorong masyarakat desa untuk mencari mata pencaharian ganda.

(27)

Sebagaimana dikemukakan Tjondronegoro dalam kata pengantarnya untuk buku karya Breman dan Wiradi (2004), pasar tenaga kerja untuk petani kecil dan keluarga miskin di pedesaan tidak mempunyai kelenturan. Dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah, sulit bagi mereka untuk melakukan mobilitas horisontal apalagi vertikal, pun untuk jenis-jenis pekerjaan di sektor informal.

Posisi terdesak dari mayoritas petani ini sangat membahayakan bagi keamanan dan ketahanan nasional. Dalam tataran lokal dan daerah, kondisi ini akan mendorong maraknya tindak kejahatan. Namun jika kondisi ini terus berlangsung, hingga melampaui batas-batas kesabaran dan kesadaran, maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan pembangkangan dan bahkan hingga pemberontakan, yang cakupannya tidak hanya meliputi geografis lokal kedaerahan, bahkan nasional.

Tentunya kondisi tersebut tidaklah kita harapkan terjadi, oleh karena itu bagi pemerintahan sekarang, sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro tantangan yang terberat adalah masalah kemiskinan di pedesaan sebagai akibat pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung. Sehingga dibutuhkan model pembangunan baru, yang mampu memecahkan masalah pengangguran dan kemiskinan struktural dalam kurun waktu yang sependek mungkin.

Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses aksi sosial yang berkesinambungan dimana masyarakat mengorganisir diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan, merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama, membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan non-pemerintah di luar masyarakat.

(28)

Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang dipilih, maka pola tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan hakikat dari pemberdayaan masyarakat yakni terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada.

Pemberdayaan masyarakat dengan segala kegiatannya dalam pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan

expected need .

Program Aksi Mandiri Pangan(Mapan)

Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah, menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi ketersediaan pangan atau produksi disisi makro saja melainkan juga harus memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi baik ditingkat rumah tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri.

(29)

Berdasarkan sifatnya kerawanan pangan dibedakan menjadi dua yaitu kerawanan pangan sementara dan kerawanan pangan khronis. Kerawanan pangan sementara terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup pada suatu waktu karena sebab-sebab tertentu yang terjadi secara mendadak seperti bencana alam. Kerawanan pangan khronis terjadi karena individu tidak mampu memperoleh pangan yang cukup dalam jangka waktu yang lama.

Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah akan berdampak pada terjadinya kelaparan dimana individu tidak mampu memenuhi 70 persen dari kebutuhan pangan dan gizinya berturut-turut selama 2 bulan dan diikuti dengan penurunan berat badan karena masalah daya beli dan atau masalah ketersediaan pangan.

Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dikenal luas di dalam forum pangan sedunia seperti FAO. Sebagai titik tolak alat evaluasi yang penting dalam kebijakan pangan, konsep ketahanan pangan mengalami banyak perubahan sesuai kondisi sosial, ekonomi dan politik.

Pada tahun 1970-an, aspek ketersediaan pangan menjadi perhatian utama, Tahun 1980-an, beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu dan Tahun 1990-an, konsep ketahanan pangan mulai memasukan aspek kelestarian lingkungan (Handewi dan Ariani, 2002).

Badan Bimas Ketahanan Pangan (2004), merumuskan konsepsi ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari : (1) tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata; (4) terjangkau.

Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut :

(30)

b. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama

c. terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air

d. terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau

Pembangunan subsistem ketersediaan mencakup pengaturan kestabilan dan kesinambungan penyediaan pangan baik yang berasal dari produksi dalam negeri, cadangan maupun impor dan ekspor. Pembangunan subsistem distribusi mencakup aksesibilitas pangan antar wilayah dan antar waktu serta stabilitas harga pangan strategisl. Pembangunan subsistem konsumsi mencakup jumlah, mutu, gizi/nutrisi, keamanan, dan keragaman konsumsi pangan. Pendekatan yang ditempuh dalam membangun ketiga subsistemtersebut adalah koordinasi dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif . Pendekatan ini berbasis pada system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkelanjutan, berkerakyatan dan desentralistis.

Keberhasilan pembangunan ketiga subsitem ketahanan pangan tersebut perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana,prasarana dan kelembagaan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan, juga didukung oleh faktor-faktor penunjang seperti kebijakan, peraturan, pembinaan dan pengawasan. Di samping itu perlu adanya jaringan informasi yang mencakup dimensi yang luas seperti produksi ketersediaan, konsumsi dan harga pangan serta status gizi antar waktu dan wilayah. Informasi ini berguna sebagai basis perencanaan, prakiraan dan evaluasi serta intervensi program.

(31)

Selanjutnya menurut Handewi dan Ariani, (2002), dimensi ketahanan pangan sangat luas, mencakup dimensi waktu, dimensi sasaran, dimensi sosial ekonomi masyarakat, sehingga diperlukan banyak indikator untuk mengukurnya. Pada tingkat global, nasional, regional indikator ketahanan pangan yang dapat digunakan adalah tingkat ketersediaan pangan dengan memperhatikan variabel tingkat kerusakan tanaman/ternak/perikanan, rasio ketersediaan (stock) dengan konsumsi, skor PPH, keadaan keamanan pangan, kelembagaan pangan, dana pemerintah dan harga pangan.

Sementara itu, untuk tingkat rumah tangga dan individu, indikator yang dapat digunakan adalah pendapatan dan alokasi tenaga kerja, proporsi pengeluaran pangan terhadap tingkat pengeluaran total, perubahan kehidupan sosial, keadaan konsumsi pangan (jumlah, kualitas, kebiasaan makan), keadaan kesehatan dan status gizi. Berdasarkan luasnya dimensi ketahanan pangan tersebut di atas, maka pilihan kebijakan dan program juga sangat kompleks, tergantung seberapa besar ancaman ketahanan pangan, misalnya kronis atau sementara.

Ditinjau dari aspek pendekatan yang terkait dengan strategi untuk mencapai ketahanan pangan, secara umum digunakan dua pendekatan yaitu : (1) pendekatan ketersediaan pangan, dan (2) pendekatan kepemilikan (entitlement). 1 Pendekatan atau paradigmma terbaru mengacu pada konsep ketahanan pangan yang berkelanjutan, yang mendasarkan pada empat aspek yaitu : pertama, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia ; kedua, ketahanan pangan harus diperlakukan sebagai sistem hirarki dari tingkat global, nasional, daerah hingga rumah tangga ; dan ketiga, perlunya peranan pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, dan keempat, ketahanan pangan mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif.

1

(32)

Salah satu program pemerinthah untuk meningkatkan ketahanan pangan adalah Program Desa Mandiri Pangan (Proksi Mapan). Program ini dimulai pada tahun 2005 merupakan suatu kegiatan strategis yang menjadi andalan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan di wilayah pedesaan, dimana perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil (pedesaan) sebagai basis kegiatan pertanian.

Tujuan dari program adalah meningkatkan ketahanan pangan dan gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sasaran program adalah desa rawan pangan yang pada tahun 2006 Pemerintah melalui departemen pertanian mengeluarkan daftar 100 kabupaten rawan pangan di Indonesia.

Alasan pokok pentingnya melakukan pengembangan kegiatan berkenaan dengan ketahanan pangan di pedesaan yaitu bahwa masih adanya masyarakat yang memiliki kemampuan rendah dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumberdaya alam, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi dan teknologi, terbatasnya akses masyarakat desa terhadap lembaga pemasaran serta belum optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan kelompok tani sehingga kurang mempunyai peluang dalam berusaha di bidang pertanian maupun non-pertanian.

Selain itu di pedesaan masih banyak adanya kemiskinan structural, sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Serta yang tidak kalah penting adalah masih minimnya sarana dan prasarana seperti pengairan, jalan desa, sarana usaha tani, air bersih, listrik dan pasar yang dimiliki di pedesaan.

(33)

Kegiatan ini merupakan kegiatan lintas pemerintah yang ditangani berjenjang antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan : 1) pelatihan untuk petugas penyusun data awal desa (data base desa) dan pelatih untuk aparat, dilaksanakan oleh pusat, selanjutnya provinsi melakukan pelatihan untuk kabupaten, sedangkan kabupaten melakukan pengumpulan data desa, dan menyusun profil desa dalam data base desa; 2) apresiasi, advokasi dan sosialisasi dilaksanakan berjenjang; 3) pendampingan merupakan suatu kegiatan dilakukan oleh pendamping yang menguasai pemberdayaan masyarakat untuk bersama-sama masyarakat menumbuhkan kelompok mandiri, mengajarkan cara mengenali potensi, masalah dan peluang yang ada serta menyusun rencana kelompok untuk membangun dan mengembangkan usahanya; 4) pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh kabupaten melalui pertemuan kelompok yang efektif dan efisien yang difasilitasi oleh pendamping sedapat mungkin tidak mengganggu aktifitas usaha yang selama ini dilakukan.

(34)

Basis pembangunaan pedesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan diharapkan desa mampu memproduksi dan memenuhi produk – produk pangan yang dibutuhkan masyarakat dengan dukungan unsur – unsur pendukungnya yang selanjutnya dapat mengurangi kerawanan pangan, upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mampu mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif pemecahan masalah serta memanfaatkan sumber daya alam secara efisien sehingga tercapai kemandirian.

Salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan melalui Peraturan Pemerintah (PP) no. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui : a) pengembangan system produksi pangan yang bertumpu pada sumberdaya keseimbangan dan budaya local ; b) pengembangan efisiensi system usaha pangan; c) pengembangan teknologi pangan; d) pengembangan sarana dan prasarana produk pangan ; dan e) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP tersebut pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam memanfaatkan kelembagaan social ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat pedesaan dengan focus utamanya adalah rumah tangga pedesaan. Kabupaten Klaten dalam program ini juga berkesempatan untuk mengelola dan menerapkan program ini karena dari 401 Desa/Kelurahan ada beberapa desa yang termasuk kriteria rawan pangan.

(35)

Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternative peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan, dan akhirnya tercapai kemandirian masyarakat. Tujuan Program adalah untuk meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi (mengurangi kerawanan pangan dan gizi) masyarakat melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan. Sedangkan sasarannya adalah terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi.

Dalam pelaksanaannya, program akan difasilitasi dengan masukan antara lain: instruktur, pendamping dalam bidang manajemen kelompok dan usaha serta teknis, bantuan permodalan, sarana dan prasarana, tenaga kerja serta teknologi. Berbagai masukan tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan seperti pemberdayaan masyarakat (pendampingan, pelatihan, fasilitasi dan penguatan kelembagaan), harmonisasi system ketahanan pangan dan pengembangan keamanan pangan serta antisipasi maupun penanggulangan kerawanan pangan. Melalui berbagai kegiatan tersebut, diharapkan masyarakat desa mempunyai kemampuan dalam mengelola aspek ketersediaan dan distribusi pangan dengan gizi seimbang dan aman, dan mampu mengatasi masalah pangan serta mampu membentuk aliansi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melawan kelaparan dan kemiskinan, sehingga diharapkan dapat menurunkan kerawanan pangan dan gizi.

(36)

Komunitas Petani dan Kemiskinan

Teori mengenai ekonomi rumah tangga petani telah dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Chayanov (1966), Vink (1984), Geertz (1983), Scott (1976), dan Popkin (1979). Melalui konsepsinya tentang peasant family farms, Chayanov mengatakan bahwa variabel penggunaan tenaga kerja keluarga (operated with hired workers) yang membedakannya dengan perusahaan (capitalistic enterprises). Pada usaha tani keluarga, semua tenaga kerjanya adalah anggota keluarga sehingga tidak diberi upah. Sedangkan pada perusahaan, tenaga kerjanya adalah orang lain yang diberi upah agar dapat mendatangkan keuntungannya. Variabel itulah yang oleh Chayanov dipandang dominan, disamping variable lainnya yaitu ada-tidaknya kepentingan untuk pembentukan modal (interest on capital), sewa lahan (rent for land), dan keuntungan dalam peruasahaan (profits of enterprises). Akhirnya Chayanov menyimpulkan bahwa terdapat dua karakteristik yang dimiliki usahatani keluarga, yaitu eksistensinya sebagai unit ekonomi yang sekaligus juga sebagai unit social. Sebagai unit ekonomi, usahatani keluarga akan mengalokasikan segala sumberdaya yang dimilikinya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Pada tingkat yang paling ekstrim, alokasi sumber daya tersebut sampai sedemikian rupa sehingga merusak fisik dan mentalnya hanya sekedar upah yang tidak seberapa (self-exploitation). Di sisi lain, usahatani keluarga juga sebagai unit social karena tempat mensosialisasikan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(37)

Oleh karena itu menurut Vink, terdapat beberapa keterikatan dalam melakukan usahatani. Masing-masing adalah keterikatan dengan masyarakat, keadaan alam, hubungan kerja, permodalan dan kondisi lahan pertanian. Dengan kata lain menurut Vink, usahatani khususnya di Indonesia lebih merupakan perusahaan kolektif daripada perusahaan perseorangan. Kesimpulan sedemikian ini ditarik oleh Vnk dari hasil penelitiannya di beberapa pedesaan di Indonesia pada tahun 1940-an dan tampaknya saat ini masih relevan dengan keadaan petani di pedesaan Indonesia.

Kesimpulan Vink, senada dengan temuan Clifford Geertz (1983) di daerah pedesaan Jawa. Melalui pendekatan ekologi budayanya Julian Steward, Geertz melihat bahwa sawah bagi masyarakat pedesaan Jawa sangat erat sangkut pautnya dengan cara organisasi kerja, bentuk struktur desa, dan proses pelapisan masyarakat. Inti budaya Jawa lah yang meliputi pola-pola social, politik dan agama yang secara empiris mempengaruhi penyelenggaraan kehidupan dan kegiatan perekonomian masyarakat.

Dalam usaha tani sawah misalnya, tidak hanya merupakan kegiatan yang akan menghasilkan keluaran ekonomik saja, akan tetapi akan berkaitan juga dengan kemampuan menyerap atau mempekerjakan tenaga kerja manusia. Sehingga menurut Geertz, meskipun sebenarnya sebidang usahatani sawah telah cukup dikerjakan olej sekelompok tenaga kerja, akan tetapi terpaksa menerima tambahan tenaga kerja. Akibatnya memang dapat meningkatkan hasil produksi secara keseluruhan per unit usahatani sawah, akan tetapi perolehan per tenaga kerja justru menurun. Fenomena demikian inilah yang diformulasikan oleh Geertz sebagai “Involusi Pertanian”. Konsepsi Involusi kemudian diperluas oleh Geertz, tidak hanya diberlakukan di sector pertanian sawah saja, akan tetapi juga dalam sector-sektor lainnya. Seperti misalnya, sector perdagangan atau industri rumah tangga.

(38)

Involusi pertanian menjadi semacam penyakit menular yang menghinggapi masyarakat pedesaan di Jawa. Dibawah tekanan penduduk yang semakin meningkat di satu sisi, dan keterbatasan sumberdaya lahan disisi yang lain, masyarakat pedesaan di Jawa masih tetap mempertahankan homogenitas ekonominya, dengan cara membagi rejeki yang ada secara merata. Oleh karena rejeki semakin lama semakin menipis, maka pembagian kemiskinanpun tidak dapat dielakkan lagi. Proses itulah yang disebut kemiskinan berbagi (shared poverty).

Lepas dari berbagai kritik yang dilontarkan pada hasil temuan Geertz kurang lebih 30 tahun (1963-1994) yang lalu, ternyata relevansinya masih cukup tinggi dengan fenomena yang berkembang di pedesaan Jawa saat ini. Sepanjang perjalanan waktu tersebut, masyarakat di pedesaan jawa juga semakin berubah. Kemiskinan memang masih menjadi penyakit yang belum dapat disembuhkan secara tuntas, akan tetapi perubahan orientasi produksinyapun juga terjadi.

Di satu sisi sekelompok masyarakat masih bertahan dengan orientasi produksi secara subsistens dan di sisi yang lain, sekelompok masyarakat terlah berorientasi produksi secara komersial.. Adalah James C. Scoot (1976) dan Samuel L. Popkin (1979) yang berhasil menjelaskannya melalui penelitiaannya di pedesaan Asia Tenggara.

Keduanya mencoba mengangkat kehidupan petani kecil (peasant), akan tetapi dari sudut pandang yang berbeda. Scoot menelusurinya melalui pendekatan ekonomi moral (the moral economy) sedangkan Popkin melalui pendekatan ekonomi politik (the political economy). Menurut scoot, inti dari perilaku ekonomi petani kecil adalah mendahulukan agar dapat selamat (safety-first principle). Hal ini dikarenakan kehidupan petani kecil laksana orang yang berendam dalam kolam air sampai sebatas lehernya, sehingga ombak kecil apapun telah mampu menenggelamkannya.

(39)

Oleh karena itu menurut Scoot, masyarakat petani kecil akan cenderung mempertahankan mekanisme-mekanisme social di desanya yang selama ini dianggap dapat membantu terpenuhinya ambang batas subsistensinya. Seperti misalnya, bentuk-bentuk kelembagaan di pedesaan yang mengatur hubungan tolong-menolong, hubungan patron-klien, ataupun bentuk-bentuk “arisan social” lainnya. Bagi masyarakat petani kecil, konsepsi keadilan social adalah penjabaran dari aturan tolong-menolong tersebut, dan adanya hak untuk melakukan produksi secara subsisten (norm of reciprocity and right to subsistence). Desa lah yang dipandang sebagai sebuah komunitas yang dapat memberikan kerangka kelembagaan tersebut. Scoot melihat bahwa seandainya terjadi pemberontakan di kalangan petani, hal ini bukan dikarenakan oleh adanya perebutan kelebihan hasil produksi. Akan tetapi lebih merupakan adanya pengrusakan kelembagaan social petani yang dapat menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensinya.

Dinamit sosial yang selama ini telah melekatinya, yaitu kerentanan ekologis (ecological vulnerability), kerentanan system harga (price-system vulnerability), dan kerentanan monokultur usaha tani (monocrop vulnerability) akan serta merta menjadi pemicu timbulnya pemberontakan petani. Akhirnya menurut Scoot, yang harus juga dipahami secara lebih mendalam adalah berkembangnya semacam filosophi bahwa : bukan apa yang diambil ? Akan tetapi lebih pada berapa banyak yang masih tersisa ?

(40)

Berbeda dengan Scoot yang melihat bahwa petani tidak bersedia menanggung resiko, justru sebaliknya bagi Popkin. Dia melihat sebenarnya petani kecilpun berani menanggung resiko, terutama jika dilihat keberaniannya melakukan investasi, merubah norma-norma yang menjamin terpenuhinya ambang batas subsistensi dan rasionalitasnya dalam melakukan tindakan kolektif. Jika terjadi pemberontakan di kalangan petani kecil, hal ini bukan dikarenakan kelembagaan sosialnya dilanggar sebagaimana dinyatakan oleh Scoot, tetapi dalam rangka petani kecil tersebut menjinakkan kapitalisme yang mencoba melakukan intervensi pasar ke pedesaan.

Desa dalam pandangan Popkin bukanlah sebuah komunitas tertutup yang masih mengembangkan kebersamaan yang kental diantara warganya dan membina hubungan yang berikatan ganda antara petani dengan tuan tanahnya sebagaimana dikatakan oleh Scoot, akan tetapi sebagai sebuah komunitas terbuka yang mengembangkan hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual dan berikatan tunggal.

Oleh karena itu ancaman subsistensi bagi petani tidak berhubungan dengan munculnya tindakan kolektif. Popkin menyebut pula kemungkinan adanya para petani pembonceng (free-riders) cukup tinggi. Petani sedemikian ini memiliki pertimbangan untung-rugi dalam berpartisipasi untuk kegiatan kolektif, seperti misalnya, proyek pembangunan.

Factor-faktor yang dipertimbangkannya meliputi : seberapa besar sumberdaya yang harus dikeluarkannya, keuntungan apa yang akan diperolehnya nanti, ada tidaknya peluang untuk melakukan dalam memperoleh keuntungan tersebut, dan ada tidaknya pemimpin yang mampu memobilisasi sumberdaya yang tersedia.

(41)

Untuk mendefinisikan secara tepat juga mengalami kesulitan. Berkaitan dengan itu Lansberger dan Alexandrov (1981), mengatakan bahwa berpanjang-panjang dalam hal olah membuat definisi petani, itu sama halnya dengan membuka diri untuk dituduh sebagai ilmuwan yang sok ilmiah dan steril. Penjelasan tentang konsep petani umumnya masih berbeda.

Pertama, istilah petani menunjuk kepada penduduk pedesaan secara umum, tidak peduli apa pun kerjanya. Kedua, pandangan yang lebih terbatas dibanding konsep pertama, seperti dalam tulisan James C. Scott. Menurutnya definisi petani tidak mencakup seluruh penduduk pedesaan, tetapi hanya menunjuk kepada penduduk pedesaan yang bekerja sebagai petani saja. Artinya petani adalah orang yang bercocok tanam (melakukan budidaya) di lahan pertanian (Scott, 1976). Ketiga, pandangan yang mengikuti Wolf, menurutnya petani adalah segolongan orang yang memiliki sekaligus menggarap lahan pertanian guna menghasilkan produk yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, bukan dijual (Wolf, 1985).

Ketiga konsep di atas cenderung menimbulkan pertanyaan. Setidaknya jika petani mencakup seluruh penduduk pedesaan. Disadari bahwa belum tentu seluruh penduduk pedesaan itu adalah petani. Di antara penduduk pedesaan ada pedagang, pegawai, buruh dan sebagainya. Jika mengacu pada konsep petani saja, maka perlu diperhatikan petani yang mana, karena belum tentu petani itu pemilik sekaligus penggarap. Ada petani yang hanya sebagai pemilik, di pihak lain ada petani yang tidak memiliki lahan dan hanya sebagai penggarap.

(42)

Petani primitif dan petani (peasant) perbedaannya pada teknologi yang digunakan. Petani primitif menggunakan peralatan sederhana seperti tugal dan golok, sedangkan petani (peasant) menggunakan cangkul (pacul), garu dan bajak. Perbedaan pada tingkat ini belum dipandang sebagai hal penting. Perbedaan penting adalah bagaimana hubungan kedua tipe petani itu dengan kota. Seperti diungkapkan oleh Redfield (1985), bahwa terbentuknya petani peasant itu karena munculnya kota atau kotalah yang membuat adanya petani peasant. Tidak ada petani peasant sebelum kota pertama muncul di muka bumi ini.

Sebaliknya petani primitif adalah petani yang hidup dan hubungannya dengan kota relatif terisolasi (terbatas). Pada konteks Indonesia saat ini, kelompok masyarakat (komunitas) primitif ini mungkin dikenakan kepada masyarakat berburu dan meramu atau dikenal dengan masyarakat terasing. Perbedaan antara petani peasant dengan farmer terletak pada sifat usahatani yang dilakukan. Peasant berusahatani dengan bantuan keluarga dan hasilnya juga untuk keluarga. Sedangkan petani farmer berusahatani dengan bantuan tenaga buruh tani dan bertujuan mencari keuntungan.

Produksi tidak hanya untuk keluarga, justru sebagian besar dijual ke pasar guna mendapatkan keuntungan. Singkatnya, dikatakan oleh Wolf (1985) bahwa, petani peasant berusahatani keluarga, sedangkan petani farmer berusahatani seperti prinsip ekonomi perusahaan (komersil). Kesamaannya adalah sama-sama mempunyai hubungan dengan kota secara politis, ekonomis dan kultural. Berbagai konsep petani tersebut, mengisyarakatkan bahwa petani tidak lepas dari komunitas. Istilah komunitas pun mempunyai makna beragam, setiap segi-segi pengertiannya mempunyai arti yang sama penting.

(43)

Sehingga penting memperhatikan batas-batas ruang komunitas. Berkaitan dengah hal itu Sanders (1958) membagi komunitas menjadi empat tipe. Pertama, komunitas pedesaan yang terisolir dan relaltif mampu mencukupi kebutuhan sendiri. Kedua, komunitas kota kecil dan ketiga, komunitas urban serta yang keempat, sub-komunitas metropolitan.

Berbeda dengan Redfield, Sanders juga menekankan komunitas sebagai sistem sosial. Konsep ini tidak hanya membatasi komunitas pedesaan yang cenderung terisolasi. Namun aspek ekologis juga tidak dilupakan, dan segi-segi lain yang membentuk pengertian komunitas juga dikemukakan. Misalnya komunitas sebagai suatu ruang maka, dalam dirinya juga terbentuk suatu arena interaksi. Artinya sebagai suatu tempat untuk berinteraksi maka, komunitas melibatkan setiap pelaku dalam komunitas yang mencakup seluruh segi kehidupan dari kategori. Gambaran komunitas sebagai sistem sosial menurut Sanders (1958) mengacu pada ruang relasi sosial. Ruang relasi sosial diisi oleh lima faktor yaitu:

a. Ekologi, komunitas berada dan terorganisasi di wilayah serta hidup dengan pola pemukiman tertentu. Di dalamnya tercipta jaringan komunikasi yang beroperasi dengan baik, ada distribusi berbagai fasilitas, layanan sosial dan orang mampu mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas. b. Demografi, dalam komunitas yang terdiri dari populasi pada semua tahap

lingkaran hidup sedemikian rupa sehingga anggota baru muncul melalui proses kelahiran. Setiap individu di komunitas harus memiliki keterampilan dan pengetahuan teknis yang memadai untuk kelangsungan hidupnya.

c. Budaya, setiap komunitas bertujuan mencapai kesejahteraan tertentu, untuk itu mereka mempunyai cara dan nilai tersendiri. Kecenderunganya mencapai suatu integrasi normatif dan merangkum secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan satu atau beberapa kelompok di dalam komunitas.

d. Personalitas, komunitas mempunyai mekanisme mensosialisasikan anggota baru dan mengembangkan identitas psikologis dengan simbol lokalitas.

(44)

Kelembagaan Lokal dan Kelembagaan Ketahanan Pangan

Menurut Koentjaraningrat, kelembagaan sosial adalah terjemahan langsung dari istilah social institustion (pranata sosial) yang memiliki dua makna. Yaitu kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok, dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Kelembagaan sosial dan asosiasi adalah sebagai satu bagian yang saling mendukung satu sama lain.

Kelembagaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat umum, sedangkan asosiasi adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus.Setiap masyarakat pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok dan tujuan-tujuan hidup yang disepakati bersama. Upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mencapai tujuan hidup lainnya tentunya harus diatur sedemikian rupa melalui aturan yang tercerin dalam norma-norma agar tercapai suatu tata tertib hidup bermasyarakat.

Pada hakikatnya, norma-norma dan peraturan-peraturan tata tertib itulah yang menjadi ciri dasar dari sebuah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui dan mempelajari masyarakat dan kebudayaan tertentu, maka menjadi suatu keharusan untuk mempelajari organisasi atau lembaga sosial dan ekonomi yang ada di dalam masyarakat yang bersangkutan.

(45)

Menurutnya, kelembagaan masyarakat didefinisikan sebagai himpunan semua norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan pada definisi tersebut, maka fungsi dasar keberadaan kelembagaan masyarakat tiada lain yaitu untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat menurut Soekanto (1990) pada dasarnya memiliki fungsi untuk (1) memenuhi kebutuhan pokok manusia, (2) memberi pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia, (3) menjaga keutuhan masyarakat, dan (4) memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control). Keragaman kebutuhan manusia tersebut pada akhirnya melahirkan berbagai jenis atau bentuk kelembagaan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (1965) dapat digolongkan menjadi : (1) Kelembagaan kekerabatan domestik (kehidupan kekerabatan), (2) kelembagaan ekonomi (mata pencaharian, memproduksi, menimbun dan mendistribusikan kekayaan), (3) kelembagaan pendidikan (penerangan dan pendidikan), (4) kelembagaan ilmiah (ilmiah manusia dan menyelami alam semesta), (5) kelembagaan politik (mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan negara), (5) kelembagaan keagamaan (untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan), (6) kelembagaan estetika dan rekreasi (untuk menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi) dan (7) kelembagaan somatik (jasmaniah manusia).

(46)

Terkait dengan komunitas pedesaan di Indonesia, maka terdapat beberapa unit-unit sosial (kelompok, kelembagaan dan organisasi) yang dapat diasumsikan sebagai satu satuan komunitas yang merupakan aset untuk dapat dikembangkan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Pengembangan kelembagaan dan organisasi di tingkat lokal dapat dilakukan dengan membangun sistem jejaring kerjasama (kolaboratif) dan sinergy. Sebuah program atau proyek pembangunan misalnya dapat melibatkan beberapa organisasi di tingkat komunitas dan juga lembaga di tingkat supra-desa (pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi) dengan menggunakan strategi jejaring kerjasama yang setara dan saling menguntungkan.

Kelembagaan di pedesaan dapat dibagi ke dalam dua kelompok yaitu : pertama, lembaga formal seperti pemerintah desa, BPD, KUD, dan lain-lain. Kedua, kelembagaan tradisional atau lokal. Kelembagaan ini merupakan kelembagaan yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri yang sering memberikan “asuransi terselubung” bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut. Kelembagaan tersebut biasanya berwujud nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan dan cara-cara hidup yang telah lama hidup dalam komunitas seperti kebiasaan tolong menolong, gotong-royong, jimpitan, simpan pinjam, arisan, beras perelek, lumbung paceklik, pesantren, dan lain-lain. Menurut Scott (1976), keberadaan lembaga asli di pedesaan memiliki fungsi ambivalensi, dimana lembaga tersebut memberikan “energi sosial” yang merupakan kekuatan internal masyarakat dalam mengatasi masalah-masalah mereka sendiri.

(47)

Kondisi ini terjadi terjadi disebabkan oleh beberapa alasan yaitu : pertama, bahwa teori dan praktek pembangunan telah lama berada di tangan para ahli ekonomi yang memfokuskan pada alokasi sumberdaya dan alokasi yang berdasarkan pada aspek efisiensi dan bukan pada cara-cara yang paling efektif dalam menggunakan sumberdaya yang dialokasikan. Kedua, karena masalah kelembagaan merupakan bidang keilmuan yang rumit. Ketiga, hampir semua program pembangunan lebih ditekankan pada pembangunan di bidang fisik, hal ini karena pembangunan fisik tersebut relatif lebih berhasil dan mudah diukur tingkat keberhasilannya jika dibandingkan dengan bidang kelembagaan.

Kebijakan pembangunan di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, cenderung menekankan pada tercapainya stabilitas ekonomi dan politik yang tinggi. Dalam kebijakan pembangunan seperti ini, tujuan akhirnya yaitu tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada kenyataannya tidak didukung dengan kelembagaan yang mampu membangun instrumen untuk mendistribusikan hasil-hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut secara adil. Demikian pula halnya dengan pembangunan di bidang pertanian, upaya-upaya modernisasi pertanian lebih ditekankan pada upaya peningkatan produktivitas yang tinggi, tetapi tidak dimbangi dengan pembangunan kelembagaan di tingkat desa. Ditinjau dari segi produktivitas pertanian (beras) memang meningkat, tetapi ditinjau dari kelembagaan lokal penunjang aktifitas pembangunan pertanian lemah.

(48)

Sehingga hampir tidak ada ruang dan akses bagi kelompok strata bawah (kelompok miskin dan petani gurem) untuk terlibat aktif dan menikmati manfaat pembangunan melalui lembaga-lembaga tersebut. Lembaga-lembaga tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Tjondronegoro (1977), cenderung menumbuhkan kepemimpinan yang berorientasi kepada kepentingan ”supra-desa”, dibandingkan pada kepentingan kesatuan kecil masyarakat, seperti halnya petani-petani kecil. Kerjasama antar desa yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Kecamatan sudah lama melemah. Sehingga kedepannya, untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat strata bawah (petani gurem), seyogyanya dilakukan dengan merangsang organisasi pada tingkat dukuh (komunitas) yang disebutnya sebagai ”sodality”. Pada era reformasi dan otonomi daerah ini, terbuka peluang yang sangat besar untuk mewujudkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan melalui pendekatan partisipasi, modal sosial dan pengorganisasian (rekayasa) masyarakat sipil.

Sebagaimana dikemukan Ufford dan Giri (2004), model pendekatan seperti ini mesti ditempatkan secara kritis, karena terdapat kecenderungan bahwa model tersebut berupaya memperluas area intervensi dan pengelolaan dari bidang teknik dan ekonomi (dalam arti insentif untuk memaksimalkan hasil materi) ke bidang sosial dan budaya. Dimana pendekatan pembangunan dari bawah ke atas (bottom-up), dan pendekatan partisipatoris dirangkai dengan ”manajemen orientasi hasil” kerapkali cenderung memenuhi kebutuhan penting untuk penyampaian program, bila dibanding untuk menghidupkan kembali politik kritis. Hal ini dibuktikan dimana pendekatan partisipatoris jarang menghasilkan tantangan yang radikal terhadap struktur kekuasaan yang tidak demokratis dan berkeadilan, sehingga yang terjadi malah sebaliknya sejalan dengan sistem-sistem perencanaan yang terpusat dan searah (top-down).

(49)

sudah saatnya sekarang melakukan ”revolusi kebudayaan non-material” melalui pemberdayaan petani di bidang politik, sosial, ekonomi dan kesehatan. Upaya tersebut juga membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi dan sektor swasta. Hal ini penting karena kapasitas kelembagaan pedesaan masih rendah dan untuk meningkatkannya perlu adanya pendampingan serta transfer pengetahuan tentang nilai-nilai pembangunan yang selaras dan menguatkan nilai-nilai lokal. Melalui mekanisme jaringan kerjasama (kolaborasi) dan kemitraan antara lembaga masyarakat lokal dengan pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan sektor swasta, maka masing-masing pihak dapat saling belajar dan bekerjasama untuk mencari dan merumuskan nilai-nilai pembangunan yang berkeadilan dan mensejahterakan.

Jika upaya-upaya peningk

Gambar

Gambar 1.   Alur Pemikiran Penelitian Dimensi Kepentingan dalam Pengembangan Kelembagaan Ketahanan Pangan
Tabel 1.  Prosedur Pengumpulan Data Penelitian
Tabel 2. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Pendidikan di Desa  Jambakan Tahun 2006
Tabel 3. Jumlah dan Presentase Penduduk Menurut Kelompok Tenaga Kerja di Desa  Jambakan Tahun 2006
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis dapat diperoleh bahwa Taman Lapangan Banteng sebagai taman kota berdasarkan kriteria kualitas taman terdapat kekurangan seperti lahan parkir

dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang Penetapan Status Penggunaan Barang Milik Negara pada

Mereka merasa kecewa karena ketidakhadiran Gubsu Erry Nuradi maupun Sekertaris Daerah Provinsi Sumatera Utara (Sekdaprovsu), Hasban Ritonga dalam rapat tersebut. Saat itu,

Sementara itu penelitian yang terkait sistem pakar yang diterapkan dalam bidang kesehatan juga telah banyak dilakukan diantaranya sebagaimana yang telah ditulis dalam Nurochman dkk

Interaksi edukatif merupakan jembatan yang menghubungkan persenyawaan antara hati nilai values, pengetahuan knowledge dan perbuatan behavior yang mengantarkan pada pola tigkah

Bilang isang mag-aaral, mapapaunlad ko ang aklat na ito sa pamamagitan ng pag- rekomenda sa iba pang mambabasa na tangkilikin o basahin ang aklat na ito na nilathala ni

Sedangkan hubungannya dengan Pasal 37 A khususnya ayat (3), bahwa sistem pembalikan beban pembuktian menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber (asal)

Berdasarkan pendapat ahli dan hasil penelitian terse- but bahwa daun sirih merah mengandung zat kimia yang dapat digunakan sebagai antiseptik dan antimikroba yang efektif sehingga