• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika kaum positivisme mengamati hukum sebagai obyek kajian, ia menganggap hukum hanya sebagai gejala sosial. Kaum positivisme pada umumnya hanya mengenal ilmu pengetahuan yang positif, demikian pula positivisme hukum hanya mengenal satu jenis hukum, yakni hukum positif. Positivisme hukum selanjutnya memunculkan analytical legal positivism,

analytical jurisprudence, pragmatic positivism,dan Kelsen‟spure theory of law.89

Oleh aliran positivis hukum hanya dikaji dari aspek lahiriahnya,apa yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma- norma seperti keadilan, kebenaran,kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi aturan-aturan hukum tersebut, maka nilai-nilai ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Sebenarnya positivisme hukum juga mengakui hukum di luar undangundang, akan tetapi dengan syarat: “hukum tersebut ditunjuk atau dikukuhkan oleh undang-undang”. Di samping itu, pada dasarnya kaum positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau berlaku(positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma ideal, akan tetapi kaum positivis menganggap, bahwa kedua hal tersebut harus dipisahkan dalam bidang-bidang yang berbeda.

Oleh karena mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran,kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, makapositvisme hanya berpegang pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

89 Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remaja Rosda Karya,

1) Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being).

2) Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukumyang seharusnya (das sollen).

3) Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakandari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undangundang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.

4) Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepadatujuan-tujuan sosial,kebijaksanaan, dan moralitas.

5) Penghukuman (judgement) secara moral tidakdapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.90 Dari keterangan di atas berikut prinsip-prinsip yang dijadikan pegangan kaum positivisme hukum, makaterlihat dengan jelas, bahwa aliran positivisme mempunyai pengaruh terhadap filsafat hukum, yang berwujud dengan nama positivisme hukum. Sebelum positivisme hukum terlebih dahulu ada aliran pemikiran dalam ilmu hukum yaitu legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyakberpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang- undang, tidak ada hukum di luar undang-undang tertulis. Satusatunya sumber hukum adalah undang-undang.91

Aliran legisme, menganggap undang-undang sebagai „barang keramat‟, dan mendorong para penguasa untuk memperbanyak undang-undang sampai seluruh kehidupan diatur secarayuridis. Mereka berpikir, bila terdapat peraturan- peraturan yangbaik, hidup bersama akan berlangsung dengan baik. Aliran positivismedan legisme, yang mengedepankan undangundang tertulis, mendapat

90 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum. Jakarta: Rajawali, 1996, hlm. 147. Lihat juga

Satjipto Raharjo. IlmuHukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal.148.

91

dukungan kuat di wilayah hukum kontinental, yang memiliki kecenderungan akan adanya kodifikasi hukum. Semangat kodifikasi ini sebenarnya diilhami pula oleh hukum Romawi. Pada zaman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja adalah membuat peraturan melalui dekrit, yang dari berbagai dekrit ini dijadikan rujukan oleh para administrasi negara dalam menjalankan dan memutus berbagai perkara. Meskipun kaum positivis hukum dengan tegas memisahkan hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada, pemisahan antara wilayah kontemplatif dan wilayah empiris,akan tetapi dalam kerangka pemikiran hukum aliran positivis tetap dikategorikan sebagai aliran filsafat dalam hukum, dengan metode mereka sendiri yang khas dan dipengaruhi oleh cara berpikir empirisme.

Hukum dan peraturan perundang-undangan pada dasarnya hanyalah merupakan sarana atau lambang yang secara intrinsik dan ideal mengandung kebenaran dan keadilan. Namun menerjemahkan idealitas hukum dalam bahasa masyarakat ternyata tidak mudah. Tidak sedikit orang memandang hukum an sich, sebagai realitas obyektif tanpa makna, bahkan ada sarjana yang menggagas

“teori hukum murni”, dan menganggap hukum steril dari elemen-elemen non-

yuridis seperti etika, moral, agama, dan lain-lain. Dalam kaitan ini dapatlah dikatakan, bahwa menganggap hukum itu bebas dari unsur-unsur non-hukum adalah khayalan belaka. Friedman menunjukkan bahwa agama mempengaruhi pandangan filsafat dan pandangan politik dari ajaran skolastik, prinsip-prinsip etika mempengaruhi filsafat hukum Kant, ekonomi mendasari filsafat hukum

Marxisme, sedangkan ilmu pengetahuan empiris memberikan inspirasi terhadap pendekatan fungsional gerakan realis.92

Selain itu, jauh sebelumnya, Hegel juga pernah menyebutkan, bahwa hukum merupakan pencerminan dari roh (moralitas). Secara ideal, setiap jenis peraturan perundangan-undangan harus memuat aspek yuridis, sosiologis,dan filosofis. Aspek yuridis antara lain,berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1) Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang- undangan.

2) Keharusan adanya kesesuaian bentukatau jenis peraturan perundang- undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi atau sederajat.

3) Keharusan mengikuti tata cara tertentu.

4) Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.

Aspeksosiologis berkaitan dengan ajaran Sociological jurisprudence, yang menyebutkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum atau undang-undang akan memilikilegitimasi sosial, ketika hukum tersebut sesuai dan dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan, selain itu terdapat kesesuaian antara keinginan atau kebutuhan masyarakat dengan kehendakpembentuk undang-undang.

92

Sedangkan aspekfilosofis, berkaitan dengan isi dari undang-undang tersebut ialah yang memuat nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Apabila dalam pertimbangan hakim menyampingkan moral, maka sudah barang tentu putusan itu akan jauh dari keadilan, sebagaimana sudah dibahasa sebelumnya, bahwa dalam memutuskan sebuah perkara pidana, maka moralitas yang baik akan membawa kualitas yang baik bagi putusan itu, keadilan yang menjadi tujuan utama dalam hukum, akan tidak bermakna, sebab kepastia hukum diutamakan, penulis melihat pada Undang-undang No 48 tahun 2009

pasal 1 butir satu menyatakan „’Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasiladan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Dari kutipan ayat ini, dapat dilihat bahwa kepastian hukum dalam hal ini lebih diutamakan, tampa mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Savigny berpendapat bahwa

1) Hukum itu lahir dari kebiasaan; 2) Hukum itu ditemukan bukan dibuat; 3) Hukum itu berasal dari perasaan rakyat

4) Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang jenius 5) Hukum itu hadir sebagai ekspresi jiwa bangsa

Roncoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selain itu juga dianjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakannya dengan hukum yang tertulis (law in books). Pond juga mengatakan bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering (hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat membangun masyarakat). Menurut Pound, pada saat terjadi keseimbangan antara kepentingan dalam masyarakat maka yang akan muncul adalah kemajuan hukum. Ia mengadakan tingga penggolangan utama,terhadap kepantingan-kepetingan yang dilindungi oleh hukum

a. Public interest, yang meliputi kepentinan negara sebagai badan hukum dala tugasnya untuk memelihara hakekat negara dan kepentingan negara sebagai penjaga dari kepentingan sosial.

b. Kepentingan orang-perorangan 1) Kepentingan pribadi

2) Kepentingan-kepentingan dalam hubungan dirumah tangga 3) Kepentingan mengenai harta benda

c. Kepentingan sosial yang meliputi keamanan umum, keamanan dari institusi-institusi sosial, moral umum, pengamanan sumberdaya sosial, kemajuan sosial dan kehidupan individual.

Rasa empati tidak dapat disembunyikan Ketua Majelis Hakim sewaktu membacakan putusan dengan menangis tersedu-sedu. Dalam kasus Mina,

menunjukan bahwa hakim juga manusia bahwa faktor psikologis juga ikut mempengaruhi. Hakim juga terlihat menangis saat membaca putusannya. Mengapa menangis ketika membaca putusan kasus Mina? alam teori penalaran klasik, bernalar dengan argumentasi rasa kasihan atau iba bertentangan dengan logika. Dalam konsep logika, dianggap kesesatan dalam penalaran atau disebut argumentum ad Misericordiam. (B. Arief Sidharta, 2008, hal. 61). Rasa kasihan dianggap tidak logis, dikhawatirkan .terjadi pencampuradukan antara perasaan dan jalan pikiran hakim, sehingga mempengaruhi hakim dalam putusannya. Menurut ajaran Positivisme Hukum, hakim dilarang menggunakan perasaan dan faktor-faktor non hukum, tetapi harus dengan rasio atau nalar murni. Apakah pada waktu

memeriksa perkara “kepala” dan “hati” hakim benar-benar bisa dikosongkan?

Tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan Hans Kelsen dalam “The Pure Theory of Law” bahwa hukum tidak boleh terkontaminasi anasir nonhukum.( Hans Kelsen, 1976).

Dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati, sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan hubungan kemanusiaan. Hukum adalah pergulatan manusia tentang manusia. Pertimbangan hakim dalam putusan kasus Min menunjukan sisi kemanusiaan hakim menanggapi sisi kemanusiaan pihak yang berperkara. Selama hakim manusia, ia tidak bisa lepas dari faktor psikologis (empati, emosi, iba, marah, dan sebagainya)

Fantasi dan imajinasi suatu yang diharamkan oleh aliran legisme yang merupakan varian paling ekstrem dari Positivisme Hukum. Legisme mengindentikkan hukum hanya sebagai hukum positif, sehingga hakim dilarang menggunakan fantasi dan imajinasi karena dikhawatirkan keluar dari tawanan Undang-undang.

Ronald Dworkin kurang sepakat dengan cara pandang klasik itu Dworkin mengingatkan bahwa seorang hakim ketika dihadapkan pada kasus konkrit tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosedural semata) tetapi juga berhadapan dengan substansi hukum. Ketika seorang hakim mempersoalkan masalah etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknis penyelesaian hukum tetapi juga mempersoalkan substansi hukum apakah adil atau tidak. (Ronald Dworkin, 1999 : 1)

Upaya hakim berusaha keras mencari berbagai sumber, tidak hanya membaca teks hukum formal melainkan juga sumber-sumber non hukum patut dihargai. Kasus Mina dan rasmina sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya 3 kakao dan 6 piring) tetapi sesungguhnya ”hard cases” yang sarat dengan perselisihan paradigma.

Tamanaha melihat “hard cases” sebagai suatu yang sangat dilematis,

sebagai berikut (Brian Z. Tamanaha, 2010 : 192.);

What jurists refer to as “hard cases” usually fall into one of the

two preceding categories: cases involving gaps, conflicts, or ambiguities in the law, and cases involving bad rules or bad results. It confuses matters to lump the two together under same label because they raise distinct dilemmas. The former asks what a judge should do when the law is unclear; the latter asks what a judge should do when a

clear law or its consequences is deemed objectionable. Both situations

are “hard” in the sense that there is no easy course for the judge. They

sometimes merge, for instance, when a bad result encourages a judge to see the law as less clear than initially thought, paving the way for a different result. But the distinction between these types of hard cases is generally marked. The former is continous with legal analysis in which the judge engage in difficult search for the correct legal answer, whereas the latter raises questions about the extent of the judge’s

obligation to follow the law.”

(Terjemahan bebasnya sebagai berikut: Apa yang ahli hukum sebut

sebagai “kasus-kasus berat” biasanya jatuh ke salah satu dari dua

kategori sebelumnya: kasus-kasus yang melibatkan kesenjangan, konflik, atau ambiguitas dalam hukum, dan kasus-kasus yang melibatkan aturan yang buruk atau hasil buruk. Masalah ini membingungkan untuk menyatukan di bawah label yang sama karena mereka menimbulkan dilema-dilema yang berbeda. Hakim pertama bertanya apa yang harus dilakukan ketika hukum tidak jelas, hakim kedua bertanya apa yang harus dilakukan bila hukum yang jelas atau konsekuensinya dianggap pantas. Kedua situasi adalah “keras

atau rumit” dalam arti bahwa tidak ada yang mudah bagi hakim. Mereka

(kadangkala bergabung, misalnya, ketika akibat buruk mendorong hakim untuk melihat hukum sebagai kurang jelas dari pemikiran awalnya, membuka jalan bagi hasil yang berbeda. Namun perbedaan antara jenis kasus yang sulit umumnya ditandai. Yang pertama adalah terus-menerus dengan analisis hukum di mana hakim terlibat dalam pencarian sulit untuk jawaban hukum yang benar, sedangkan yang terakhir ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kewajiban hakim untuk mengikuti hukum.)

Bagi para hakim konservatif hukum diandaikan sudah lengkap, tidak ada celahnya, dan jelas. Pandangan semacam itu melukiskan hukum mampu menghasilkan jawaban yang pasti terhadap semua kasus sehingga tidak mengenal istilah “hard cases”

Berbeda dengan Dworkin yang melihat “hard cases” sebagai

signifikan (sebagai kasus penting) yang menguji prinsip-prinsip fundamental. Terobosan putusan hakim menjadi penting karena tidak semua kasus hukum yang kompleks dan berat (hard cases) dapat secara langsung ditemukan jawabannya dalam hukum positif yang tersedia. Dalam “hard cases” diperlukan kemampuan menganalisis, menginterpretasi, dan melakukan terobosan hukum untuk mendapat jawaban yang memadai. Meskipun demikian, menurut Dworkin, para hakim bukan, dan seharusnya tidak, menjadi pembuat hukum. Karena itu bagi Dworkin, tetap dibutuhkan

teori yang lebih memadai untuk menangani „kasus berat‟. Kalau hakim tidak

boleh membuat hukum sementara dia dihadapkan kasus berat, bagaimana terobosan hukum bisa dimungkinkan?

Dworkin berpendapat,”I shall argue that even when no settled rule

disposes of the case, one party may nevertheless have a right to win.” Tanpa peraturan yang ditentukan untuk kasus sekalipun, salah satu pihak yang berperkara tetap berhak memenangkan perkara. Dengan demikian, tugas hakim, menurut Dworkin, menemukan hak-hak dari pihak-pihak yang berperkara. Pertanyaannya, kalau dalam kasus berat tidak tersedia prosedur untuk menentukan apa yang menjadi hak hukum setiap pihak, lalu apakah hakim memeriksa dan memutus perkara tanpa prosedur apa pun? Dworkin menjawab pertanyaan itu dengan memberi perbedaan yang jelas antara apa yan disebut argumen prinsip (argument of principles) dan argumen kebijakan (argument of policies). Disebut argumen kebijakan ketika hakim berusaha mempertanggungjawabkan keputusan dengan dengan

menunjukan manfaat bagi komunitas politik secara keseluruhan. Sementara itu, argumentasi prinsip adalah argumen hakim yang membenarkan putusan karena pada dasarnya menghormati atau melindungi hak-hak individu atau kelompok, misalnya anti-diskriminasi di mana minoritas mempunyai hak untuk mendapatkan penghargaan dan perhatian yang sama. (Dworkin, 1978 : 81- 130)

Setiap kasus (baik “hard cases” maupun “clear cases”) pada hakikatnya unik sehingga memerlukan interpretasi hukum yang baru, atau dengan kata lain, tidak pernah ada dua perkara yang sepenuhnya serupa.

Karena itu, hakim harus mengambil “fresh judgement” untuk menemukan

hukum yang tepat. Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur ”melanggar hukum”, yang di dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Kebiasaan masyarakat adat Bayumas, mengambil buah untuk dijadikan bibit, tidak melanggar hukum adat setempat, atau tidak melanggar norma yang hidup dalam masyarakat.

Hakim dalam putusannya sebenarnya mempertimbangkan apakah ada dasar pembenar dan alasan pemaaf yang dapat meniadakan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak hanya merujuk pada KUHP tetapi juga hukum yang tidak tertulis, yakni; alasan pemaaf yang tidak

tertulis adalah “tidak tercela”.93

93

Nenek Mina dan Rasmina, dari keterangan mereka, barang yang diambil sudah mereka akui, dan sudah mereka meminta maaf, seharusnya ini menjadi pertimbangan dalam kasus ini. Kedua nenek tersebut tidak mengakui bahwa memang betul, itu bukan milik mereka, nenek Mina Berjanji tidak mengulanginya lagi, Nenek Rasmian mengaku diberikan oleh majikannya, sudah sepatutnya hakim mempertimbangkan diluar Undang- undang. Sebab menurut penulis, keadilan ditemukan dalam masyarakat.

Dokumen terkait