• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Putusan Minah dan Rasmina: Tersisihnya Nilai Keadilan dalam RuangRuang Pengadilan T2 BAB III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T2__BAB III Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Putusan Minah dan Rasmina: Tersisihnya Nilai Keadilan dalam RuangRuang Pengadilan T2 BAB III"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Hasil Penelitian dan Analisis

A. Hasil Penelitian

1. Kasus-kasus Kecil yang Dijatuhi Vonis oleh Hakim

Akhir-akhir ini dunia hukum diperhadapkan dengan realita putusan pengadilan yang mengadili kasus-kasus pidana yang sifatnya kecil, kasus pencurian kakao, sandal, kayu, dan piring mengundang keprihatinan banyak pihak. Bagaimana tidak, acap kali penegak hukum terlihat “garang” ketika

menangani kasus seperti ini, ketimbang menangani kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat, perusahaan,atau aparat pemerintahan. Padahal, secara ekonomis, kerugian yang diderita akibat tindak pidana tersebut tidak terlalu signifikan dibanding dengan tindak pidana lain, seperti korupsi. Bahkan, kasus-kasus kecil seperti ini, seharusnya dapat diupayakan perdamaian, sehingga tidak sampai ke pengadilan. Pendapat seperti itu tidak hanya datang dari masyarakat umum. Jaksa Agung Basrief Arief juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya, kasus-kasus wong cilik seperti ini memang mengundang keprihatinan masyarakat, termasuk aparat penegak hukum. “Untuk itu, ke depan, hal-hal begitu tidak perlu ke pengadilan. Ini harus ada pengertian dari semua lini aparat penegak hukum. Baik dari penyidik, jaksa penuntut umum, maupun hakim,”

katanya, Jumat.1

1

(2)

“Selama ini kita selalu fokus pada penegakan hukum, tapi lupa untuk menegakkan keadilan”.pernyataan yang dilontarkan oleh Antasari Azhar

ini kerap terjadi dalam proses dan dinamika hukum di Indonesia. Bahwa penegakan hukum diteriakkan dengan keras namun hukum yang dimaksud tidak lain adalah undang-undang.

Ada sebuah kasus yang menarik beberapa tahun silam yang mungkin masih hangat sampai saat ini, Kisah seorang nenek tua bernama Minah ini berawal dari pencurian tiga butir buah kakao seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu Minah berkeinginan menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang sehingga dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah. Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno alias Nono. Dia pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang dicurinya.

(3)

kakao tersebut untuk dibawa mandor itu. Kendati telah meminta maaf, dia sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke pengadilan.

Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor Ajibarang untuk menjalani pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang dipetiknya di kebun PT RSA 4. Atas tuduhan tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman enam bulan penjara. Dalam putusan hakim, Nenek Minah terbukti bersalah melanggar Pasal 362 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah". Jika melihat dari kacamata dogmatif-normatif, maka tidak dipungkiri bahwa si nenek telah bersalah melanggar Undang-undang, dengan delik mengambil barang orang lain, dengan maksud untuk dimiliki.

(4)

dengan benar, yaitu barang bukti di persidangan tidak semuanya berasal dari majikan Rasminah. Selain itu, Artidjo juga menilai tidak ada unsur mengambil barang milik orang lain. Artidjo menilai, jaksa juga tidak dapat membuktikan bahwa putusan PN Tangerang tidak bebas murni. "Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka permohonan kasasi dari jaksa tidak dapat diterima," ujar Artidjo. Namun apa daya, dua hakim lainnya bersikukuh Rasminah bersalah. Ia kalah suara.

(5)

Patrialis.2 Di Palu Hakim Pengadilan Negeri Palu Sulawesi Tengah, Romel Tampubolon memvonis AAL (15), seorang pelajar Sekolah Menengah Kejuruan di Palu, terbukti mencuri sandal. Hakim tetap menyatakan AAL bersalah walaupun berdasarkan fakta persidangan menunjukkan sandal jepit yang diperkarakan oleh anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah ternyata bukan milik yang bersangkutan."Terlepas siapa pemilik sandal tersebut, tetapi terdakwa terbukti mengambil sandal yang bukan miliknya," kata hakim Romel Tampubolon pada sidang pembacaan putusan kasus sandal jepit itu, Rabu malam (4/1).

Menurut hakim, tindakan terdakwa mengambil barang yang bukan miliknya adalah unsur melawan hukum dari sebuah pencurian. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kecewa dengan putusan hakim. Sebab walaupun tidak dihukum, namun di sisi lain hakim tetap menyatakan AAL terbukti mencuri. kata Sofyan Farid Lembah dari Komnas PA Bidang Kapasitas dan Jaringan Kelembagaan, di Palu, kejanggalan putusan hakim karena barang bukti bukan milik saksi pelapor, namun hakim tetap memutuskan terdakwa terbukti bersalah. Kalau tidak ada pemiliknya berati pelapor tidak dirugikan. Dengan sendirinya gugur sebagai pelapor karena bukan miliknya. Seharusnya dakwaan terhadap terdakwa digugurkan," katanya. Menurut Sofyan, dengan mencap terdakwa sebagai orang yang mencuri berdasarkan keyakinan hakim,

2 http://fokus.news.viva.co.id/news/read/284443-rasminah-melawan-putusan-kasasi-ma.

(6)

padahal barang bukti yang diambil tidak ada pemiliknya, sehingga bisa saja dilakukan oleh orang lain.3

Pasutri Supriyono, 19, dan Sulastri, 19, terdakwa pencurian setandan pisang divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro Jawa Timur 3,5 bulan pada Februari 2010. Peristiwa diatas terjadi saat suami istri tersebut, karena merasa tidak punya makanan di rumah yang bisa dimakan, mereka berboncengan motor mau mencari hutangan uang untuk membeli makanan, saat melewati pekarangan tetangganya tergiur untuk mengambil setandan pisang dan sialnya ketahuan oleh tetangganya tersebut, yang kemudian melaporkannya ke kepolisian. Dalam kasus ini, sebenarnya bisakah kepolisian ataupun kejaksaaan melepas si terdakwa, karena alasan kemanusiaan dan kecilnya barang yang dicuri? Karena kalau melihat dari aspek keadilan sungguh ironis sekali hanya mencuri setandan pisang, hukumannya 3,5 bulan.

Perbuatan-perbuatan tersebut memang memenuhi unsur pidana, dalam hal ini pasal 362 KUHP, akan tetapi ada hal yang lebih penting dari terpenuhinya unsur pidana dalam peraturan tersebut, hal tersebut adalah keadilan dalam putusan pengadilan yang dijatuhkan. Semua orang ingin memiliki keadilan.

23 OKTOBER 2002 Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT Osaga Mas Utama, divonis hukuman kurungan selama 2 bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Hamdani dituduh mencuri sandal bolong milik perusahaan. Awal kasusnya, pada 4 September 2000, Hamdani hendak

3 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4f0486c16639d/terdakwa,(diunggah Kamis, 05

(7)

menjalankan salat Asar. Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya secara bergantian menggunakan sandal apkiran, yang tersimpan di sebuah gudang, untuk mengambil air wudu. Anehnya, manajemen pabrik melaporkan Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang dengan tuduhan mencuri. Padahal kebiasaan meminjam sandal sebelum salat juga kerap dilakukan karyawan di pabrik itu. Selama ini Hamdani dikenal sebagai pengurus serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di pabrik sandal yang terletak di Kilometer 5 kawasan Tangerang, Banten.

Kasus pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no. 1104 K/Pid/2010. Kasus pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko. No putusa perkara, 132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar dengan putusan no 2615 K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid.

2. Tanggung Jawab Negara Terhadap Kesejahteraan Rakyat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34

“ayat (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”.4

Ayat (2) Negara mengembangkan sistem sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dab tidak mampu sesuai dengan martabak kemanusiaan.5 Melihat pada pasal ini maka sudah seharusnya kasus-kasus kecil seperti ini tidak dipebolehkan sampai pada meja hijau, negara memiliki peran penting dalam mensjahterakan rakyat, kasus kasus kecil diatas dilakukan oleh orang-orang miskis yang hanya untuk berthan hidup atau untuk

4 Lihat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 5

(8)

memiliki sesuatu yang sebtulnya tidak bernilai yang besar, orang-orang miskin yang melakukan perbuatan tersebut hanya ingin diperlakukan adil secara sosial dan ekonomi.

Keadilan sosial sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam Pancasila yang disebut sebagai staatsfundamental norm/ rechtsidee sekaligus berfungsi sebagai norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat oleh hakim wajib menjiwai nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.

Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh undang-undang saja tetapi hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila. Hakekat dari norma dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.6 dalam sila ke-lima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki cita hukum (rechtsidee) bahwa keadilan yang dihadirkan oleh hukum Indonesia hendaknya dapat diakses oleh seluruh lapisan masayarakat.7 Dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34 ayat 1 “ fakir miskin dan anak

terlantar dipelihara oleh negara”.

6 Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,

Yogyakarta, 2013, hal. 69.

7

(9)

Konsep keadilan sosial telah menjadi salah satu pemikiran filosofis Soekarno. Keadilan sosial menurut Soekarno adalah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan. Menurutnya keadilan sosial haruslah lebih berorientasi pada kaum masyarakat kecil. Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika bangsa Indonesia yang harus diraih. Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu harus dimulai dari hidup bermasyarakat.8

Moh, Hatta memberi masukan terkait dengan keadilan dan kesejahteraan sosial secara lengkap sebagai berikut:

a. Orang Indonesia hidup dalam tolong menolong;

b. Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan mendapat penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar hidup minimum bagi seseorang;

c. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama, menurut dasar kolektif;

d. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah

e. Tanah adalah kepunyaan masyarakat, orang-seorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga;

8 Bur Rasuanto, Keadilan Sosial Dua Pemikiran Indonesia Soekarno dan Hatta , Jurnal Wacana,

(10)

f. Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas orang lain;

g. Fakir miskin dipelihara oleh pemerintah.

Menurut Mahfud MD, keadilan sosial sebagaimana dimaksudkan dalam sila ke lima Pancasila mempunyai makna, pendistribusian sumber daya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan sosial terutama bagi kelompok masyarakat terbawah atau masyarakat lemah sosial ekonominya.

selain itu keadilan sosial juga menghendaki upaya pemerataan sumber daya agar kelompok masyarakat yang lemah dapat dienteskan dari kemiskinan dan agar kesenjangan ekonomi di tengah-tengah masyarakat dapat dikurangi, dengan demikian distribusi sumber daya yang ada dapat dikatakan adil secara sosial jika dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi kelompok yang miskin sehingga tingkat kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat dapat dikurangi.9

Orang miskin ditolak dari perlindungan hukum, institusi dan kebijakan yang menyangkut bidang ekonomi, sosial dan politik. Kebanyakan orang miskin tidak hidup dalam perlindungan hukum. Mereka tidak punya kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan hukum. Mereka tidak hanya terabaikan dari sistem hukum, tetapi sering malahan ditindas oleh sistem hukum. Dengan demikian, lingkup kemiskinan haruslah mencakup ketiadaan pengetahuan dan kesadaran hukum, mekanisme bantuan dan dampingan hukum ketika mereka membutuhkannya, dan akses kepada

9 Moh, Mahfud, MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandeman Konstitusi, Rajawali

(11)

proses politik pengambilan kebijakan di berbagai tingkat daerah dan pusat. Jika orang miskin diberdayakan secara hukum, maka mereka mendapat perlindungan hukum. Disinilah pentingnya untuk melihat keadialn sosial dari perspektif hukum.

Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa seyogyanya tidak aka ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Indonesia harus memiliki keadilan sosial (keadilan ekonomi). Indonesia harus memiliki keadilan kehidupan yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia. Secara khusus, keadilan sosial dalam sila kelima Pancasila menekankan prinsip keadilan dan kesejahteraan ekonomi, atau apa yang dikatakan Soerkano sebagai prinsip sociale rechtvaardigheid. Sila kelima merupakan perwujudan yang paling konkrit dari prinsip-prinsip Pancasila.10 Keadiln sosial secara umum menyangkut selururuh kebutuhan masyarkata, baik jasmani maupun rohani.

Negara memiliki peran penting dalam perlindungan hukum kepada mereka yang melakukan perbuatan melawan hukum yang hanya untuk bertahan hidup, seperti kasus pencurian tiga biji kakao, 6 piring, sandal, pisang, dan sabun yang dilakukan oleh orang-oang yang satatus sosialnya rendah atau miskin. Kedudukan negara dijamin dalam Konstitusi Indonesia, yang mana pasal 34 ayat (1) dan (2) menjelaskan secara explisit, bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara sudah seharusnya melindungi bahkan menjamin kehidupan yang layak bagi orang-orang miskin.

10

(12)

Setiap aparat kepolisian harus dapat mencerminkan kewibawaan negara dan menunjukan disiplin yang tinggi dikarenakan polisi pada hakekatnya adalah sebagai pengatur dalam penegakan hukum di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, Tentang Kepolosian Negara Republik Indonesia. Dalam pasal 5 disebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta meberikan perlindungan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharnya keamanan dalam negeri, didalam pasal 13, disebutkan bahwa tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah;

a. Memelihara keamana dan ketertiban masyarakat b. Menegakan hukum

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Tugas dan tanggung jawan polisi yang di atur didalam pasal 16 ayat (1) dan (2) UU No 2 tahun 2002

Ayat (1)

a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. Membawa dan menghadapkan orang kepadapenyidik dalam rangka penyidikan;

d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. Mengadakan penghentian penyidikan;

(13)

j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Ayat (2)

tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai beriku:

a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. Menghormati hak asasi manusia.11

Dari serangkaian tugas kepolisian, salah satu tugas yang mendap perhatian adalah penegak hukum, sebagai penegak hukum polisi masuk dalam jajaran Sistem Peradilan Pidana (SPP), sebagai salah satu sub sistem. Didalam SPP polisi merupakan pintu gerbang bagi para pencari keadilan. Dari sinilah segala sesuat dimulai, sebagai penyidik polisi harus melakukan penangkapan dan bila perlu dilakuka penahanan, yang berarti polisi harus mempunyai dugaan yang kuat bahwa orang tersebut adalah pelaku kejahatan. Satjipto Raharjo menyebut, tugas kepolisian sebagai Multi Fungi, yaitu tidak sebagai polisi saja, tetapi juga sebagai jaksa dan hakim sekaligus.12

11 Lihat Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia Pasal 16,

Ayat (1) Dan (2)

12 Satjipto Raharjo, Study Kepolisian Indonesia: Metodologi Dan Subtansi, Makalah

(14)

Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya dibidang penuntutan. Penuntutan yang dimaksud adalah tindakan jaksa untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwewenang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim sebagai mana telah diatur dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.13 Pada ayat 2 menyatakan bahwa, kejakasaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.14 Kekuasaan tersebut dilaksanakan secara merdeka, artinya dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.15

Berdasarkan Undang-undang tersebut, kejaksaan sebagai salah satu lembaga pengak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegahkan supermasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan HAM, serta pemberantasan KKN. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senangtiasa bertindak berdasarkan hukum, artinya selalu berpedoman pada asas legalitas, namun juga wajib mengindahkan norma-norma agama, kesopanan dan kesusilaan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidp dalam masyarakat, dan juga menjaga kehormatan profesinya.16

Kepolisian FH UNDIP Bekerja Sama Dengan Akademi Kepolisian Negara (AKPO) Dan Mabes Polri Semarang, 19-20 Juli 1993

13

Lihat, Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

14 Lihat Pasal 2 Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia 15 Rusli Muhammad, Op,cit., hal 20

16

(15)

Sudah seharusnya Polisi maupun Jaksa yang merupakan kaki tangan negara memperhatikan apa yang diamanatkan oleh dasar negara dan konstitusi Indonesia, yang mana kasus-kasus kecil seperti ini sudah seharusnya tidak sampai pada tingkat pengadilan, sebab mereka mewakili negara untuk melindungi secara hukum, jika kasus-kasus kecil seperti ini dilaporkan, maka tugas negara adalah menyelesaikan, negara harus melindungi, negara harus bertanggung jawab jika kasus-kasus seperti ini terjadi, negara harus mengakui kegagalannya dalam memenuhi hak-hak masyarakat seperti yang tertuang dalam pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

(16)

3. Kasus posisi Rasmina dan Nenek Minah: Pertimbangan Hakim Dalam

Proses Mengadili Perkara.

Kasus Posisi Rasmina Kasus Posisi Mina

Kasasi Nomor 653K/Pid.2011 diterima MA pada 24 Januari 2011. Putusan MA itu dibuat pada 31 Mei 2011 dengan amar putusan mengabulkan permohonan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Tangerang dan membatalkan putusan PN Tangerang 1364/Pid.B/2010/PN. TNG. Bermula dari Rasmina yang bekerja sebagai pembantu dirumah majikannya Aysah di tangerang, ketika itu menurut Rusmina, majikannya tersebut membrikan kepada dia 6 piring, akan tetapi dikemudian hari rasmina dilaporkan ke kepolisian dengan tuduhan pencurian. Rasmina mengaku bahwa piring tersebut diberikan majikannya pada saat terjadi banjir. bahwa piring tersebut diberikan majikannya pada saat terjadi banjir.

Namun, begitu sampai di rumah kontrakannya, Rasminah tidak jadi memasak bahan-bahan olahan tersebut menjadi sop buntut. Karena, ia melihat bahan-bahan olahan tersebut sudah kadaluarsa atau tidak layak

Putusan yang menjadi objek kajian kali ini adalah putusan atas kasus pencurian tiga buah kakao (cokelat) yang dilakukan oleh seorang wanita tua bernama Mina. Mina memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu

meletakkannya di tempat. “Inyong seq

teng kebon, enten kopi- coklat mateng inyong pendhet digletakaken eng siti (Saya di kebun, ada kakao matang saya ambil dan diletakkan di tanah.)18

Tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Mina mengaku hal itu perbuatannya,. 3 buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Sepekan kemudian, Min dipanggil dan diperiksa polisi di Polsek Ajibarang. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan Mina sepenuhnya memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP

18

(17)

konsumsi.Enam buah piring dan bahan olahan sop buntut itulah yang kemudian dijadikan sebagai barang bukti oleh Polsek Ciputat. Kemudian, Rasminah ditahan selama dua bulan di Polsek Ciputat dan dilakukan pemeriksaan. "Namun, saya lupa kapan kejadian itu terjadi, yang jelas itu bulan Juni 2010 kemarin," ungkapnya. Rasminah dituduh melanggar Pasal 362 KUHP tentang pencurian dengan hukuman penjara maksimal lima tahun.

Rasminah pun harus menghuni sel dingin di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang. Dalam putusan kasasi ini, satu orang anggota majelis kasasi, Artidjo Alkostar, mengajukan beda pendapat (dissenting opinion).17

yang secara legal-formal dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian.19 Tanpa menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, Nenek Minah yang tak hanya buta huruf, tetapi juga buta hukum, tanpa didampingi pengacara Min mengiyakan saja apa yang ditulis polisi dalam BAP-nya dan apa yang ditulis jaksa dalam surat dakwaannya. Min juga harus menjalani tahanan rumah sehingga sebagai petani ia tidak bisa lagi bekerja ke ladangnya.

Mina dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Hakim menjatuhkan vonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan.20

Pertimbangan Hakim dalam kasus

Rasmina

Pertimbangan Hakim dalam kasus

Nenek Mina

Dalam memutuskan kasus Rasmina, MA membatalkan putusan pegadilan Negeri dengan alasan bahwa bukti-bukti persidangan sudah jelas perbuatan Rasmina melanggar hukum. Dengan

Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa Min pada hari minggu, tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB telah mengambil 3 (tiga) buah kakao/ cokelat

17

http://www.gresnews.com/berita/hukum/205301-ma-hukum-nenek-rasminah-pencuri-piring-4-bulan-10-hari/0/#sthash.WkxgRwhP.dpuf

19 URNAL YUDISIAL Vol-III/No-03/Desember/2010 hal 221 20

(18)

menimbang.

Bahwa dalam kenyataannya ada barang-barang berupa 1 (satu) buah piring keramik merek Anchor Hocking,1(satu) buah piring Geshen Kartikel, 2 (dua) buah piring merek Royal Province,1(satu) buah piring merek Taichi Cinadan 3 (tiga) buah piring kecil, Tempat Tisu,1(satu) buah piring biasa,1(satu) buah gelas,1(satu)buah mangkok, 1(satu) buah Hairtonic Hadi Suwarno serta shamponya, Baju Muslim, Sapu Tangan, Listerin obat kumur,Force Magic dan 1 (satu) bungkus plastik daging buntut sapi (yang telah diganti dengan foto) dan beberapa pakaian bekas adalah seluruhnya ditemukan di rumah kontrakan Terdakwa dan benar seluruhnya adalah barang-barang milik majikannya (saksi Pelapor HJ. SITI AISYAH MR SOEKARNO PUTRI) yang telah diambil Terdakwa tanpa seijin saksi Pelapor.

Bahwa Pemohon Kasasi/Jaksa/ Penuntut Umum berhasil membuktikan bahwa putusan judex facti (Pengadilan Negeri) adalah putusan bebas tidak murni;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut

dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT. RSA dan hingga tertangkap tangan oleh saksi mandor Tarno Bin Sumanto dan saksi Rajiwan, dan bagi Rasmina diakui bahwa dimengambil bumbu masak. Berdasarkan keterangan saksi- saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa dimuka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3(tiga) buah kakao atau coklat seluruhnya milik PT. RSA bukan milik terdakwa Mina

(19)

Mahkamah Agung berpendapat Terdakwa terbukti telah bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Pemohon Kasasi/Jaksa/ Penuntut Umum, oleh karena itu Terdakwa harus dihukum;

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan, melanggar pasal 362 KUHP karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan perbuatannya tersebut.21

Dalam pertimbangan hakim di atas ditemukan bahwa unsur perbuatan

pidanalah yang dicari, sejatinya dalam putusan hakim, ia harus melihat kepada,

landasan filosofis, sosiologis, yuridis ke tiga landasan ini sudah seharusnya dimuat

dalam mempertimbangkan perbuatan Mina dan Rasmina oleh hakim, jika dilihat dari

lasndasan yuridis, maka Nenek Mina dan Rasmina telah melakukan perbuatan

pidana, dan perbuatan mereka telah memenuhi unsure pidana yang termuat dalam

pasal 362 KUHP, sementara lasndasan folosofis dan sosiologis terabaikan. Nilai

materil yang dirugikan oleh perbuatan mereka pun tidak besar, hal ini berbanding

terbalik dengan apa yang mereka pertanggung jawabkan.

4. Landasan Filosofis.

Hakim perlu melihat hal diluar dari undang-undang itu sendiri, nenek Mina dan Nenek Rasmina merupakan orang miskin yang tidak tau apa-apa tentang hukum, sudah seharusnya hakim sebagai abdi negara juga melihat hal ini, Pancasila sebagai dasar negara menginginkan keadilan sosia bagi seluruh Rakyat

21

(20)

Indonesia, akan tetapi ada yang untuk makan saja dia harus mencuri, Nenek mina dan Rasmina sudah seharusnya dibebaskan, sebab negara dianggap gagal memenuhi kebutuhan mereka.

Pancasila dan Alinea kedua Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kata melindungi disini mempunyai pengertian yang sangat jelas, haruslah orang-orang seperti Mina dan Rasmina ini dilindungi oleh negara, fungsi negera harus terwujud kepada orang-orang seperti ini.

(21)

Pancasila yang merupakan fundamental norma dalam proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh undang-undang saja tetapi hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam pancasila. Hakekat dari norma dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.22 Sila ke-lima (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang memiliki cita hukum (Rechtsidee) bahwa keadilan yang dihadirkan oleh hukum Indonesia hendaknya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.23 Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum memang harus mengakomodasikan ketiganya. Putusan hakim merupkan hukum. Oleh sebab itu pentingnya landasan filosofis bagi hakim sangat munjunjung meraka dalam memberikan keadilan bagi pencari keadilan. Undang-undang memberikan kewenangan bagi hakim dalam menemukan hukum. Jadi tidaklah salah apabila hakim memutuskan dengan pertimbangan status sosial dari kedua nenek ini.

Mina yang disidang tanpa didampingi pengacara mengaku tidak tahu liku-liku acara pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal dalam bahasa Indonesia yang sepanjang hidup tinggal di desa dan hanya ,menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Yang dipikirkan

22 Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,

Yogyakarta, 2013, hal 69.

23

(22)

hanyalah bagaimana kasusnya cepat selesai. Karena jika tidak, ia harus pulang-pergi dari rumah ke kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer, sehingga terpaksa mengutang uang angkot dan ojek Rp. 50 ribu kepada tetangga setiap kali menjalani pemeriksaan.

Melihat biaya transportasi tersebut, maka pertanyaan yang timbul, apakah perbuatan Mina tersebut merugikan orang lain?, mina yang miskin karena ingin mematuhi hukum yang berlaku maka dia harus mengutang pada tetangganya, lalu diamana kedudukan negara? Yang sudah mestinya menjamin hal-hal seperti ini, sudah seharusnya jaksa dapat berpean aktif pada saat menghadirkan Mina ke pengadilan, maka jaksa sudah harus menanggung beban pulang pergi Mina ke Kampungnya, oleh sebab itu diperlukan hakim dapat melihat hal-hal seperti ini, apakah sebuah kasus itu layak diputuskan hanya dengan mempertimbangkan factor yuridis saja.

5. Politik Hukum.

Posisi Norma Sanksi Pidana dalam Undang-Undang

Sejatinya, masalah sanksi menjadi isu penting dalam hukum pidana karena

dipandang sebagai pencerminan sebuah norma dan kaidah yang mengandung tata

nilai yang ada di dalam sebuah masyarakat. Adanya pengaturan dan penjatuhan

sanksi muncul akibat adanya reaksi dan kebutuhan masyarakat terhadap

pelanggaran/kejahatan yang terjadi. Untuk itu, Negara sebagai perwakilan dari

masyarakat menggunakan kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya

(23)

digunakan Negara adalah pemberian sanksi pidana melalui undang-undang.

Namun dalam pelaksanaannya penetapan sanksi pidana melalui undang-undang

sekarang ini lebih digunakan sebagai primum remedium daripada sebagai ultimum

remedium. Hal ini dapat dilihat dari beberapa undang-undang yang ada dimana

hampir sebagian besar undang-undang mencantumkan sanksi pidana.

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum yang berfungsi sebagai

perlindungan kepentingan manusia dalam penegakannya harus memperhatikan 3 (tiga)

unsur fundamental hukum, antara lain: kepastian hukum (Rechtssicherheit),

kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Oleh karena itu, dalam

menentukan pemberian sanksi pidana dalam suatu undang-undang perlu

memperhatikan ketiga unsur fundamental hukum tersebut karena pada dasarnya

itulah yang menjadi hakikat dari tujuan hukum.

Dalam undang-undang lainnya, konstruksi norma sanksi pidana dalam bagian

Ketentuan Pidana dalam sebuah Undang-undang dari perspektif penafsiran

sistematis, sanksi pidana selalu ditempatkan lebih dahulu ketimbang sanksi

administratif maupun sanksi denda. Misalnya dalam ketentuan Pasal 104 UU

Perdagangan, pada frasa,”pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun) dan/atau denda

paling banyak Rp.5000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Selain itu frasa “dan/atau”

memuat makna kumulatif dan alternatif. Artinya dapat dijatuhi pidana penjara saja,

(24)

Penerapan sanksi hukum pidana juga tidak selalu menyelesaikan masalah

karena ternyata dengan sanksi pidana tidak terjadi pemulihan keadilan yang

rusak oleh suatu perbuatan pidana. Oleh karena itu konsep keadilan restoratif perlu

menjadi pertimbangan dalam pemulihan keadilan terhadap suatu tindakan pidana.24

Konsepsi hukum pidana menempatkan hukum pidana sebagai ultimum

remedium. Suatu perbuatan yang pada dasarnya bukan merupakan suatu tindak

pidana, sepatutnya tidak dijatuhi sanksi pidana. Sanksi denda ataupun sanksi

administratif merupakan solusi tepat agar kedudukan hukum pidana tetap sebagai

ultimum remedium dan bukan menjadi primum remedium. Artinya penetapan suatu

perbuatan itu dikategorikan suatu tindak pidana, maka perlu dilihat terlebih dahulu

apakah perbuatan itu merupakan mala in se25 atau mala prohibita26. Jika perbuatan

itu termasuk kategori mala prohibita, maka penetapan status sebagai perbuatan

pidana merupakan politik hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk

undang-undang. Dengan demikian dalam membuat suatu produk hukum, konsepsi hukum

pidana sebagai ultimum remedium dan konsepsi mala in se dan mala prohibita,

24

Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 4, Desember 2015

25 Mala in se atau malum in se atau biasa disebut mala per se berasal dari bahasa latin yaitu

suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang hukum positif atau Undang-Undang (UU), melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural. Dalam terminologi bahasa Inggris disebut natural crime. Mala in se adalah “acts wrong

in themselves/ acts morally wrong/offenses against conscience”.

26

Mala prohibita atau malum prohibitum, mengacu kepada perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh hukum positif atau oleh Undang-Undang. Mala prohibita merupakan “ acts wrong because they are prohibited/prphibited wrongs or offenses/ acts which are made offenses by

(25)

dan konsepsi hak asasi manusia harus menjadi pertimbangan dalam membuat produk

hukum yang humanis.

Pencantuman sanksi pidana dalam suatu undang-undang bukanlah suatu

kewajiban atau keharusan seperti yang selama ini terjadi. Pencantuman sanksi pidana

hampir di setiap Undang-undang atau menjadikan sanksi pidana sebagai primum

remedium merupakan pandangan keliru yang sebaiknya mulai diperbaiki. Selain

dipandang tidak efektif, perlu diingat kembali bahwa seiring dengan perkembangan

zaman dan perubahan sosial yang dinamis, pemikiran-pemikiran yang berasal dari

teori absolut atau teori relatif sudah tidak sesuai dengan keadaan Negara Indonesia

sekarang. Untuk itu, hendaknya Indonesia sudah meninggalkan pemikiran-pemikiran

aliran klasik dan mulai menerapkan hukum pidana modern yang lebih sesuai dengan

perkembangan zaman.

Idealnya, pencantuman sanksi pidana dalam Undang-undang mengacu

pada prinsip ultimum remedium, yakni penggunaan sanksi pidana merupakan sarana

terakhir dalam mengatasi masalah kejahatan di masyarakat. Untuk itu pembentuk

Undang-undang perlu menyadari bahwa dalam pencantuman sanksi pidana dalam

Undang-undang diperlukan rasionalitas dan proporsionalitas. Rasionalitas maksudnya

yaitu hanya dapat diberikan dengan alasan yang dapat dibenarkan. Sementara itu

proporsionalitas yaitu pemberian sanksi pidana perlu diseimbangkan dengan

(26)

ketertiban dan keamanan dalam masyarakat. Menyitir pendapat Bassioni27 Dalam

buku Teguh Prasetyo, pidana hanya dapat dibenarkan apabila ada kebutuhan yang

bermanfaat bagi masyarakat dan sebaliknya pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat

dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat.

Dalam kasus Minah dan Rasmina, maka sudah seharusnya hakim

mempertimbangkan asas keadilan dan asas kemanfataan juga, Mina dan Rasmina

merupakan orang miskin yang buta hukum, dan membutuhkan perlindungan negara,

jika orang miskin sperti mereka dipidanakan hanya dengan mempertimbangkan

Undang-undang semata, maka keadilan sebagai tujuan dari hukum akan sulit dicapai,

pemidanaan sudah seharusnya dijadikan sebagai titik akhir, bukan langkah awal

dalam kasus ini, pada saat mereka dipanggil ke kantor polisi, itu sudah merupakan

sanksi terberat bagi mereka.

B. Analisis

1. Kedudukan hakim dalam Sistem peradilan Pidana

a. Pengertian sistem peradilan pidana

Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang dikenal di Indonesia sebenarnya

merupakan terjemahan sekaligus penjelmahan dari “Crimanl Justice System”.

Untuk pertama kalinya istilah ini diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan parah ahli dalam Crimanl Justice Science karena ketidak puasaan terhadap mekanisme kerja aperatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang dibuktikan dengan meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada

27

(27)

tahun 1960-an. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Justice System

diartikan sebagai ”the network of court and tribunals which deal with criminal

law and it’s enforcement”. Pengertian ini lebih menekankan pada suatu

pemahaman baik mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan maupun pada fungsi dari jaringan untuk menegakan hukum pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut dengan membangun suatu jaringan.

Menurut Neil C. Chalin, pada mulanya di Amerika Serikat komponen SPP hanyalah terdiri atas, Polisi, Pengadilan dan Lembag Permasyarakatan yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan yang timbul didalam tata kehidupan mayarakat pada tingkat local government. Ia menyatakan:

“Basically the American Criminal Justice System is composed of

police, Courts and corrections in local, state and Federal levels. These criminal justice component function separately and together with

majority of activities accuring at the local level of government ( City

and Country)”.28

(Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana Amerika terdiri dari polisi, Pengadilan dan koreksi di tingkat lokal, negara bagian dan federal. Komponen peradilan pidana ini berfungsi secara terpisah dan bersamaan dengan sebagian besar kegiatan yang dilakukan di tingkat pemerintah daerah (Kota dan Negara).

28 Neil C. Chalin Et.Al., Introduction To Criminal Justice, New Jersey; Pretince-Hall, 1975, hal

(28)

Dalam kurung waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, criminal justice sebagai disiplin studi tersendiri telah menggerser posisi law enforcement atau police studies, yang di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menjadi model dominan dengan menitikberatkan pada the administration of justice dan memberikan perhatian yang sama terhadap semua komponen dalam penegakan.29 Pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah pendekatakn hukum dan ketertiban (law and order approach). Adapun penegakan hukum dalam konteks pendekatannya dikenal dengan istilah law enforcemen.30 Yang mengedepankan aspek hukum dalam melakukan penanggualngan kejahatan dengan kepolisian sebagai pendukung utama. Efektivitas maupun efesiensi kerja organisasi kepolisian sangat menentukan berhasil atau tidaknya penanggulanga kejahatan, karena dalam praktiknya, pihak kepolisian banyak dihadapkan pada berbagai kendala, baik yang bersifat operasional maupun prosedur-legal.31

salah satu dari tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, salah satu unsur untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya penegakan hukum atau peradilan yang bebas, mandiri, adil, dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapakan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu struktur badan yang

29 Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik Hukum Acara Pidana Khusus,

Cv Pustaka Setia, Bandung, 2016, hal 285

30 Romli Atmasadmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionism,

Binacipta, Bandung, 1996, hal 7

31 Indrianto Seno Adji, Arah Sistem Peradilan Pidana, Kantor Pengacara Konsultan Hukum

(29)

mandiri (pengadilan).32 Struktur lembaga-lembaga SPP yang terbentuk sebagai suatu tata urutan mulai penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga Permasyarakatan, menunjukan bahawa SPP terangkai dalam unsur-unsur (sub) yang mempunyai peran masing-masing secara utuh untuk menunjukan adanya mata rantai yang terpadu untuk memperoleh tujuan akhir, oleh karena itu kegiatan salah satu unsur tersebut hanya merupakan tahapan atau bagian dari kegiatan yang utuh untuk mencapai tujuan bersama.33

Dalam perkembangan SPP di Indonesia mengalami perluasan arti dan tujuannya, dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa SPP (criminal justice sistem) adalah operasionalisasi atau sistem yang bertujuan untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima.34 Norval Morris Menyatakan:

The Criminal Justice System is best seen as a crime containment system, one of the methods thad society uses to keep crime at whatever level each particular culture is willing to acep. But, to a degree, the criminal justice system is also involved in the secondary prevention of crime, that is to say, in trying to reduka criminality among those who have been convicted of crimes and trying by deterrent processe os detections, conviction, and punishment to reduce the commission of crime by those who are so minded and so acculturated.35

(Sistem Peradilan Pidana paling baik dipandang sebagai sistem penahanan kejahatan, salah satu metode yang digunakan masyarakat untuk menjaga kejahatan pada tingkat apapun yang diinginkan setiap budaya tertentu. Namun, sampai pada tingkat tertentu, sistem peradilan pidana juga terlibat dalam pencegahan kejahatan sekunder, artinya

32Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Op Cit., hal 286 33 Ibid.

34

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Di Inonedia (Pran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, HAM Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1994, hal 84-85

35 UNAFEI, Criminal Justice System, The Reguest For An Integrated Approach, UNAFEI,

(30)

mencoba mengulang kejahatan di antara mereka yang telah dihukum karena melakukan kejahatan dan berusaha melakukan deteksi, penghukuman, dan hukuman pencegahan. Mengurangi komisi kejahatan oleh mereka yang begitu berpikiran dan berakulturasi). Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan dikeluhkan masyrakat dapat diselesaikan dengan diajukan ke pengadilan dan menerima sanksi, selain itu juga termasuk bagian tugas sistem adalah:

1) Mencegah masyarakt menjadi korban kejahatan;

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadlan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana 3) Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan untuk

tidak mengulangi lagi perbuatannya. 36

Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) dapat dalihat dari elemen kata yang melekat dalam sistem peradilan pidana tersebut;

“Sistem berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem, makna susunan ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan dan penataan yang hierarkis dan sistematis pada suatu sistem”

Samodra Wibawa mengemukakan bawa sistem merupakan hubungan antara beberapa unsur, dan unsur yang satu bergantung pada unsur lain.

36 Mardjino Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pustaka

(31)

Apabila salah satu unsure hilang, sistem tidak dapat berfungsi.37 Memperhatikan dasar pemahaman tersebut. Maka SPP tidak hanya berbicara tentang putusan lembaga peradilan di dalam memberikan sanksi pidana, tetapi lebih dari itu, yaitu berbicara tentang persoalan mekanisme ataupun menajemen dari bekerjanya pengadilan tersebut, untuk melahirkan suatu keputusan yang adil.38 Dengan demikian dapat pula dikemukan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan mekanisme dan/atau manajemen proses peradilan (justice Processes) dalam melahirkan suatu keputusan dan dalam menjatuhkan sanksi pidana.39

Muladi juga berpendapat bahwa, Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana, namun jika sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan.40 Menurut Romli Atmasasmita; apabila SPP diartikan sebagai alat penegakan hukum atau law Enforcement, didalamnya harus mengandung aspek hukum yang menitikberatkan pada operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan untuk mencapai kepastian hukum.41 SPP didalamnya terkandung gerak sistemik dari subsistem pendukungnya, yakni

37 Samodra Wibawa, Kebijakan Public, (Proses Dan Analisis), Jakarta, Intermedia, 1994, hal

50-51

38

Romli Atmasamira, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksestensialisme Dan Abolisionism, Bandung, Bina Cipta, 1996, hal 38

39Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Op Cit., hal 287 40 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, BP. UNDIP, 1995, hal 1-2 41

(32)

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan Lembaga Permasyarakatan, yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan (totalitas) berusahan mentransformasikan masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan SPP yaitu, menangulangi kejahatan atau mengandalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas teleransi yang dapat diterima masyarakat.42

b. Tujuan Sistem peradilan Pidana.

Dari beberapa pengertian sistem peradilan pidana sebegaimana yang telah penulis paparkan terkait dengan istilah Sistem Peradilan Pidana, pada dasarnya dapat diketahui tujuan dari Sistem Peradilan Pidana Pidana, walaupun masih terdapat ahli hukum yang tida secara gamblang dan lugas dalam menjelaskan tujuan dari Sistem Peradilan Pidana. Mardjono Reksodiputro menjelaskan secara terperinci terkait dengan tujuan Sistem Peradilan Pidana, Yaitu;

1) Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

2) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidanakan;

3) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.43

Begitupun, sebagai mana diungkapkan oleh Romli Atmasasmita. Bahwa tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya mekanisme kerja antar masing-masing sub-sistem untuk terciptanya tolok ukur kerbahasilan dalam

42 Rusli Muhammad, Sistem Pradilan Pidana, Yogyakarta, UUI Pres, 2011, hal 13

43 Mardjono Reksodiputro, HAM Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan, Jakarta, Pusat

(33)

penanggulangan kejahatan.44 Muladi membagi tujuan dari Sistem Peradilan Pidana dalam beberapa tujuan.45

1) Tujuan jangka pendek berupa rasiolisasi pelaku tindak pidana, tujuannya lebih kepada pelaku tindak pidana dan mereka yang berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku sadar akan perbuatannya sehingga tida melakukan kejahatan lagi, demikian pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan semakin berkurang.46

2) Tujuan jangkah menengah berupa mencegah kejahatan. Tujuannya adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan damai dalam masyarakat, tujuan ini dapat tercapai jika tujuan jangka pendek tercapa, sebab tidak mungkin akan tercipta rasa aman dan damai dalam masyarakat jika kejahatan masih saja terjadi.47

3) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Tujuannya adalah terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh dikalangan masyarakat. Tujuan ini merupakan konsekuensi dari tujuan jangka pendek dan menengah sehingga keberhasilan juga bergantung pada tujuan-tujuan sebelumnya.48

Adapun Barda Nawawi Arief menjelaskan tentang makna sistem peradilan pidana pada dasarnya identik dengan sistem penegakan hukum, meneyebutkan tujuan dari sistem peradilan pidana adalah terciptanya terciptanya penegakan hukum (law enforcemenr).49 Tolib Effendi menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana memiliki dua tujuan besar, yaitu melindungi masyarakat dan menegahkan hukum. Ia juga menjelaskan bahwa sistem perdilan pidana memiliki beberap fungsi penting antara lain;

1) Mencegah kejahatan;

2) Menindak pelaku kejahatan dengan memberikan pengertian kepada palaku tindak pidana dimana pencegahan tidak efektif;

44Romli Atmasamira, Sistem Peradilan…. Op Cit,. hal 16-18

45 Fransiska Avianti, Kebijakan Perundang-Undangan Mengenai Badan Penyidik Dalam Sistem

Peradilan Pidana Terpadu Indonesia, Semarang, MIH UNDIP, 2008, hal 49

46 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta, UII Pres, 2011, hlm 3-4 47 Ibid.

48 Ibid

(34)

3) Peninjauan ulang terhadap legalitas ukuran pencegahzan dan penindakan

4) Putusan pengadilan untuk menentukan bersalah atau tida bersalah terhadap orang yang ditahan;

5) Disposisi yang sesuai terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah;

6) Lembaga koreksi oleh alat-alat negara yang disetujui oleh masyarakat terhadap perilaku mereka yang melanggar hukum pidana.50

Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang ada baik yang terdapat di dalam maupun diluar KUHAP dapat diterangkan bahwa SPP di Indonesia mempunyai perangkat struktur atau sub-sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan sebagai quasi sub-sistem.

c. Asas-asas dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.

1. Asas Legalitas (Legality Principle)

Yaitu asas yang mendasari beroperasinya SPP dan sebagai jaminan bahwa SPP tidak akan berkerja tanpa landasan hukum tertulis, asas ini berpangkal tolak pada kepentingan masyarakat yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum, dengan asas ini maka SPP hanya dapat menyentuh dan menggelindingkan suatu perkara pidana jika terdapat aturan-aturan hukum yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilanggar.

Adanya asas legalitas ini tidak hanya berlaku pada masing-masing sub-sistem dari SPP, melainkan pada keseluruhan sub sub-sistem yang ada. Ini berarti

50 Tolib Effendi, Sistem Peradilan Pidana Perbandingan Komponen Dan Proses Sistem

(35)

pihak penyidik ketika melakukan penyedikan sudah harus berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ada dan menghindarkan diri dari tindakan yang berlawanan atau bertentangan dengan hukum. Demikian pula Jaksa Penuntut Umum (JPU) ketika akan melimpahkan berkas ke pengadilan senantiasa mendasarkan diri pada ketentuan hukum yang ada, kejahatan atau perbuatan pidana terlebih dahulu sudah dirumuskan dalam Perundag-undangan. Hal yang sama harus dilakukan hakim di sidang pengadilan senantiasa tindakannya harus menyesuaikan diri dan berpedoman dengan ketentuan yang telah diatur dalam sebelumnya dalam hukum pidan baik formil maupun materiil.51

Makna asas legalitas yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, bahwa sanksi pidan hanya dapat ditentukan dengan Undang-undang dan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.52 Menurut Moeljatno, ada tiga penegrtian yang terkandung dalam asas legalitas;

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan Undang-undang;

b. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana, tidak boleh digunakan analogi

c. Aturan hukum pidana tidak berlaku surut.53

Dalam kasus Mina dan Rasmina, Penulis menemukan bahwa penerapan asas legalitas pada kedua kasus di atas sangatlah jelas, pasal 362

51 Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta , UII Pres, 2011, hal 10-11 52 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesiam Refika Aditama, Bandung,

2003, hal 42

53

(36)

yang menjerak Mina dan Rasmina ke pengadilan. Tiga biji kakao dan 6 piring merupakan memang bukan merupakan sesuatu dengan nilai jual yang besar, akan tetapi berdasarkan Pasal 1 KUHP, maka dengan jelas, perbuatan kedua Nenek ini merupakan perbuatan melawan hukum.

2. Asas kelayakan atau kegunaan (expediency principle)

Asas yang menghendaki bahwa dalam beroperasinyan SPP menseimbangkan antara hasil yang diharapkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Bekerjanya SPP dimulai dengan memperhitungkan bahwa apakah yang dilakukan itu sebuah aktivitas yang layak dan berguna untuk dilakukan sehingga terkesan lebih memberikan kemanfaatan ketimbang kerugian.

Sistem Peradilan Pidana tentu banyak menghadapi kejahatan yang sangat bervariasi, ada kejahatan yang tergolong berat sedang dan ringan. Ada kejahatan yang pengaruhnya berdampak berbahaya bagi masyarakt maupun negara. SPP secara yuridis formal mengharuskan mengambil bagian dalam menghadapi berbagai kejahatan yang terjadi. Meskipun demikian SPP dalam mensikapi dan menindak lanjuti dengan mempertimbangkan kelayakan dan kegunaannya sehingga ada kemungkinan berbagai kejahatan itu tidak harus dilanjutkan dengan melibatkan seluruh sub-sub sitem dalam SPP, melainkan diselesaikan oleh sub sistem tertentus saja.54

54

(37)

Pada kasus nenek Mina dan Rasmina, sudah seharusnya tidak melibatkan Sub-sub sistem yang lain, hanya sub sistem kepolisian saja, untuk menyelesaikan kasus tersebut, polisi merupakan sub sistem yang terlibat langsung dalam interaksi dengan masyarakat bagitupun juga dengan kasus-kasus yang layak untuk dilanjutkan ke Penuntut Umum, jika nenek Mina dan Rasmina yang mengambil Tiga Biji Kakao dan 6 Piring yang tidak besar nilainya, menurut penulis sudah seharusnya di selesaikan oleh penyidik.

3. Asas Prioritas (priority principle)

Asas yang menghendaki agar SPP mempertimbangkan aktivitas-aktivitas yang perlu dudahukukan, misalnya menyelesaikan perkara-perkara yang dinilai membahayakan masyarakta atau yang menjadi kebutuhan mendesak. Asas ini didasarkan pada semakin beratnya beban SPP, sementara kondisi kejahatan cenderung semakin meninggi. Perioritas ini tidak hanya berkaitan dengan berbagai katagori tindak pidana, tetapi juga bisa berbagai kejahatan dalam katagori yang sama dan juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan kepada pelaku.55

Kasus pencurian 3 Biji Kakao dan 6 piring merupakan kasus-kasus kecil yang terjadi, yang seharusnya kasus-kasus seperti ini diselesaikan oleh penyidik saja, agar supaya kasus-kasus yang sifatnya besar bisa diselesaikan dengan baik. Tingkat kejahatan semakin tinggi, dibutuhkan keteladanan untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Dengan demikian penyidik harus bisa memperioritaskan kasus-kasus yang sifatnya besar.

55

(38)

4. Asas Proporsionalitas (proporsionality principle).

Asas yang menghendaki agar SPP dalam penegakan hukum pidana hendaknya mendasarkan pada proporsional antara kepentingan masyarakat, kepentingan negara dan kepentingan pelaku tindak pidana serta kepentingan korban. Dengan asas ini maka SPP bukan sekedar menjalankan dan melaksanakan hukum, melainkan seberapa jauh penerapan hukum cukup beralasan dan memenuhi sasaran-sasaran yang diinginkan.

Putusan pengadilan terhadap nenek Mina dan Rasmina, mendapat perhatian dari masyarakat, diamana putusan tersebut dilihat jauh dari nilai keadilan yang ada. Masyarakat menilai bahwa penerapan hukum terhadap kasus tersebut tidak beralasan. Dampak terhadap lingkungan sosialnyapun tidak terlihat. Yang ada hanyalah kurangnya kepercayaan dari masyarakat terhadap sistem penegakan hukumdi Indonesia.

5. Asas Subsidair (subsidairity principle)

Asas yang menerangkan bahwa penerpan hukum pidana bukan yang utama dalam menanggulangi kejahatan tapi hanya merupakan alternative second. Dengan asas ini berarti SPP baru dapat berbuat menerapkan hukum pidana jika hal itu sudah tidak ada pilihan lai, namun jika masih ada sasaran lainnya yang dapat digunakan menanggulangi kejahatan maka sarana hukum pidana sedapat mungkin dihindari.56

Nenek Mina dan Rasmina merupakan orang miskin. Yang sudah seharusnya mendapat perlindungan dari negara. Dengan begitu penyelesaian

56

(39)

kasus kedua orang ini tidak perlu diputuskan di pengadilan, penerapan hukum pidana bisa saja dihindari, jika kepolisian mampu menyelesaikan kasus ini, dengan pertimbangan yang matang.

6. Asas kesamaan didepan hukum (equality before the law)

Asas ini menerangkan bahwa setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum, tida ada pilih kasih, semuanya mendapat perakuan yang sama, dengan asas ini SPP selalu mengedepankan kesamaan sehingga siapapun dan bagaimanapun kondisi setiap subyek hukum yang menghendaki pelayanan dalam penyelesaian permasalahan hukum harus dipandang sama dan dengan perlakuan yang sama pula, harus menghindari diskriminatif dengan tidak mendahulukan dan mengutamakan yang beruang atau berkuasa sementara mengabaikan atau meninggalkan yang tidak atau kurang berdaya.57

Lembaga pengadilan adalah pelaksanaan atau penerapan hukum terhadap suatu perkara dengan sutau putusan hakim yang bersifat melihat putusan mana dapat berupa pemidanaan, pembebasan maupun pelepasan dari hukum terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga pengadilan sangat penting, dikarenakan pada hakekatnya pengadilan merupakan tempat pengujian dan perwujudan negara hukum, merupakan barometer daripada kemampuan bangsa melaksanakan norma-norma hukum dalam negara, sehingga tampa pandang bulu siapa yang melanggar hukum akan menerima hukuman yang

57

(40)

setimpal dengan perbuatannya, dan semya kewajiban yang berdasarkan hukum akan terpenuhi.58

Berbicara tentang lembaga pengadilan maka sudah pasti akan berbicara tentang hakim, hakim dengan kekuasaan kehakiman yang dimiliki mempunyai peranan yang sangat besar juga menentukan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana dan akses public pencari keadilan keperadilan pidana. Peranan yang besar dan menentkan tersebut tidak hanya terkait dengan pelaksanaan dari sistem peradilan pidana itu, tapi yang utama juga adalah usaha dari sistem peradilan pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu; usaha yang rasional dari masyarakat dalam upaya penanggulangan atau pencegahan kejahatan.59

Hakim memiliki kedudukan demi tegaknya hukum, oleh karena itu ada beberapa nilai yang dianut wajib dihormati oleh hakim dalam menjalankan tugas dan kewajiban. Nilai-nilai tersebut sebagai berikut;60

a. Profesi hakim adalah profesi yang bebas guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.61

58 Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,

Jakarta, Bina Aksa, 1987

59

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Undip, 1995, hal Vii

60 C.S.T. Kansil Dan Chritine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta, Pradnya

Pramita, 1996, hal 46-48

61

(41)

b. Nila keadilan tercermin dari kewajiban hakim dalam meneyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat dan biaya ringan agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang.

Dalam mengadili, hakim yang sedang menjalani persidangan tidak boleh mebeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjwabkan secara horissontal, yaitu ditujukan kepada sesama manusia, tetapi juga ditujukan pada lembaga peradilan yang tinggi maupun kepada masyaakat luas dan secara vertical, menegakan keadilan dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.62

a. Hakim tida boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukumnya tidak ada atau kurang jelas.63 Apabila melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, hakim wajib menggali nilai-nilai hukum dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.64

b. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan. Prinsip menjunjung tinggi harga diri hakim dinilai mampu mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aperatur peradilan.65

c. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai objektivitas.

Profesi hakim sering digambarka sebagai pemberi keadilan. Oleh karena itu hakim dapat digolongkan sebagai profesi luhur (officium nobile) yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat selaku pencari keadilan. Selain itu hakim dituntut untuk memiliki keahlian khusus sekaligis memahami secara mendalam ruang lingkup tugas , kewajiban, serta tanggung jawabnya sebagai wakil Tuhan dengan menyempurnakan takaran dan timbangan yang adil,

62

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Prespektif Hukum Profresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hal 3

63 Lihat Pasal 10 Ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 64 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim, Op,.Cit, hal 7

65

(42)

kendatipun tersangka yang telah melanggar hukum adalah saudara, kerabat dekat, ataupun atasannya.66

Pengertian tanggung jawab sangat bervariatif, adakalahnya tanggung jawab dikaitkan dengan keharusan unntuk berbuat sesuati dan tanggung jawab dihubungkan dengan kesedihan untuk menerima konsekuensi dari suatu perbuatan. Namun pengertian tanggung jawab lebih berkisar pada kesadaran untuk melaukan, kesediaan untuk melakukan, dan kemampuan untuk melakukan. Tanggung jawab dalam profesi hukum dapat menjadi tiga jenis, yaitu;

a. Tanggung jawab moral

Tanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kehidupan profesi yang bersangkutan, baik bersifat pribadi maupun bersifat kelembagaan bagi suatu lembaga yang merupakan wadah para aparat bersangkutan.67

b. Tanggung jawab hukum

Diartikan sebagi tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk melaksanakan tugasnya dengan tida melanggar rambu-rambu hukum

c. Tanggung jawab profesi

Merupakan tuntutan bagi aparat penegak hukum untuk melaksanakan tuganya secara professional sesuai dengan criteria

66Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Loc.Cit., hal 303-304 67

(43)

teknis yang berlaku dalam bidang profesi, baik bersifat umum maupun khusus dalam lembaganya.68

Tanggung jawab tidak terlepas dari kewajiban seseorang yang tidak dapat dipisahkan dari kapasitas dan kapabilitas sebagai pribadi ataupun anggota masyarakat dalam berinteraksi. Tanggung jawab dapat melahirkan tuntutan hukum, tuntutan moral dan etika bersifat pribadi, seperti penyalagunaan jabatan atau wewenang yang erat dengan kualitas moral dan etika, oleh karena itu perlu dipertegas kembali asas-asas moraltas yang mendasari profesi hakim sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak selama mengemban profesi sebagai hakim peradilan.69

2. Tanggung Jawab Moral Hakim

Secara filosofi, tujuan akhir dari profesi hakim adalah menegakan keadilan. Cita hukum keadilan yang terdapat dalam kenyataan normative (das sollen) harus diwujudkan dalam kenyataan alamiah (das sein) melalui nilai-nilai yang terdapat pada etika profesi, termasuk etika profesi hakim.70 Salah satu etika profesi yang menjadi pedoman profesi hakim dilihat dari perspektif hukum dalam peradaban manusia adalah, the four commandments for judges dari Socrates. Kode etik hakim tersebut terdiri atas empat butir, sebagai berikut;

1) Mendengar dengan sopan dan beradab (hear corteosly) 2) Menjawab dengan arif dan bijaksana (answer wisely)

68 Ibid.

69Hari Pratama Tegug Dan Usep Saepullah, Teori Dan Praktik………Loc.Cit., Hal 304 70

(44)

3) Mempertimbangkan tanpa terpengaruh apapun (consider soberly) 4) Memutus tidak berat sebelah (decide impartially)

Hukum di dunia Barat dilambangkan dengan Dewi Yustitia (mata tertutup dengan pedang di tangan kanan dan timbangan di tangan kiri). Sedangkan hukum di Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin yang melambangkan bahwa hukum itu mengayomi cita-cita negara, bangsa, dan rakyatnya. Sewaktu hakim belum lepas dari Departemen Kehakiman, hakim tetap dilambangkan dengan pohon beringin, namun setelah lepas dari Departemen Kehakiman, lambang hakim pun berubah dengan Simbol Panca Dharma Hakim.

3. Tanggung Jawab Hukum Hakim

(45)

uang yang tidak bisa dipisahkan. Hukum diperlukan untuk mengatur interaksi antar individu dalam masyarakat.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas dari kebutuhannya berinteraksi dengan orang lain. Interaksi antar individu dalam suatu masyarakat seringkali menimbulkan gesekan yangsaling berbenturan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan keteraturan, ketertiban dan ketenteraman. Tatanan yang dimaksudkan adalah sebuah perangkat yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku berupa kaedah hukum. Hukum merupakan seperangkat kaedah atau norma yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dan disertai dengan sanksi. Hukum bisa bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumberlain yang diakui keberlakuannya oleh masyarakat. Jika hukum dilanggar maka akan diberikan sanksi. Dengan sanksi itu, masyarakat diharapkan selalu berada dalam koridor yang baik serta menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam masyarakat.

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:

(46)

b) bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. c) bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera.71

Dalam kasus Mina dan Rasmina, maka sudah seharusnya hakim mempertimbangkan nilai-nilai yang ada didalam masyarakat, seperti yang tercantum dalam Undang-undang pokok kehakiman. Apakah adil, jika mereka diputuskan bersalah, karena mengambil sesuatu yang sebtulnya nilai materiilnya tidak besar. Bahkan sudah menjadi kebiasaan masyarakat setempat, untuk melakukan penanam kembali biji kakao. Hakim seharusnya tidak hanya mempertimbangkan nilai-nilai yuridis semata, melaikan keadilan dan juga kemanfaatan dalam pertimbangkan putusannya.

4. Sikap Hakim Yang Legalistik (legisme)

Aliran legisme merupakan garis yang paling ektrim dari positivisme, para penganut aliran legisme mereka mengidentifikasi hukum hanya sebagai hukum positif, tidak ada norma hukum diluar hukum positif, menyebabkan hakim hanya sebagai corong Udang-undang.72 Hakim apabila hendak mengejar

71 Ibid., Hal 308 72

(47)

kebenaran objektif, harus menafsirkan hukum

Referensi

Dokumen terkait

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

Prestasi mesin pada turbin uap adalah ukuran berapa besar randemen atau efisiensi yang dihasilkan turbin uap tersebut. Hubungan Daya efektif dan Daya Internal Turbin yang

Pemerintah Pusat setiap tahunnya telah mengalokasikan dan menyalurkan DBH- CHT sebesar 2% (dua persen) dari penerimaan negara cukai hasil tembakau yang dibuat

Fokus penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah penerapan pembelajaran Snowball throwing yang dapat meningkatkan prestasi belajar matematika

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut:Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 tentang Frasa

Tahap 0 (Visualisasi) dengan tipe 7 ( Jawabab benar, komplit, dan alasan cukup yang jelas mencerminkan tahap berpikir yang ditentukan) artinya berada pada Derajat Pencapaian

Faktor yang paling dominan menghambat pelaksanaan pembebasan bersyarat bagi narapidana anak di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Bandar Lampung dalam