• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aliran legisme merupakan garis yang paling ektrim dari positivisme, para penganut aliran legisme mereka mengidentifikasi hukum hanya sebagai hukum positif, tidak ada norma hukum diluar hukum positif, menyebabkan hakim hanya sebagai corong Udang-undang.72 Hakim apabila hendak mengejar

71 Ibid., Hal 308 72

kebenaran objektif, harus menafsirkan hukum positif secara monotafsir, yaitu metode tafsir yang hanya bersumber pada teks hukum positif secara ketat agar tidak enyimpang dari original teks.73

Kelsen menjelaskan dalam bukunya the pure theory of law tentang penafsiran, bahwa meragukan penafsiran yang dikembangkan selama ini karena hanya mengarah pada hasil yang mungkin tidak pasti dan tidak pernah mengarah pada hasil yang langsung benar, Kalsen monalak argument bahwa a contrario dan analogi sebagai sara penafsiran. keduanya sama-sama mengarah pada hasil yang berlawanan dan tidak ada criteria untuk menentukan kapan norma yang satu dan kapan norma yang lain harus diterapkan.74 Dalam penafsiran Kelsen juga menolak prinsip menimbang bobot kepentinagn. Alasan Kalsen prinsip menimbang bobot tidak menyediakan standar objektif untuk membandingkan kepentinagn-kepentinagn yang saling bertentangan sehingga tidak meberikan solusi. Kalsen juga mengingatkan bahwa moral, keadilan yang melekat dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarkat, yang biasanya ditunjukan dengan frasa semisal “kebaikan masyarakat, kepentingan negara, kemajuan, dari sudut hukum positif semua itu hanya negative, itu semua bukan norma dari hukum positif. 75 hal ini dilakukan Kalsen semata-mata untuk penemuan hukum mencapai derajat tertinggi atas kepastian hukum.

73 Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma positivisme hukum. Yogyakarta, Genta

Publishing, 2011, hAl 142

74 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan. Op cit. hal 93 75

Pemikiran Kalsen ini ditantang oleh Ronal Dworkin, ia mengingatkan bahwa seorang hakim jika dihadapkan dengan kasus konkrit tidak saja berurusan dengan masalah teknis (prosudural semata), tetapi juga berurasan dengan subtansi hukum, ketika hakim mempersoalkan etika, bukan lagi bertanya tentang prosedur teknik penyelesaian hukum, melainkan juga mempersoalkan subtansi hukum apakah adil atau tidak.76 Dworkin menyarankan bahwa apabila menghadapi kasus rumit, tidaklah cukup meyalin pasal-pasal tertentu, tetapi harus melakukan interpretasi konstruktif dari praktik hukum.77

Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2 (dua) Aliran yakni:

1) Aliran Konservatif: yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada ketentuan hukum tertulis ( Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini dipengaruhi oleh aliran legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya.78 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula bahwa undang-undang (kodifikasi), Justru diadakan untuk membatasu hakim, yang kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan-wenangan

76Widodo Dwi Putro, Kritik terhadap paradikma…..Op cit. hal 144 77 Ibid., hal 148

78 Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra

atau tirani.79 Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum ( Lex dura tamest suntscripta), biarpun in Concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidak adilan.

2) Aliran Progresif yaitu: putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai corong undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom, bukan lagi heteronom.80

Berbicara mengenai Legisme maka tentu kita tidak bisa lepas dari aliran Positivisme hukum. Positif yang dimaksudkan adalah poenere yang artinya ditetapkan, istilah positive untuk memberikan maksud bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan dan Moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata. Karena telah begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang perlunya memisahkan antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen).81 Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa atau inti dari aliran positivisme adalah norma hukum adalah sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas yang

79 J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta,

Bandung: Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan. 2000.hal 52

80 Van Eikeme Hommes, 1999, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit, hal 26 81

berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan digantungkan pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain adalah undang- undang yang adalah sumber hukum, diluar undang-undang bukan hukum, teori hukum positif mengakui adanya norma hukum yang bertentangan dengan nilai dan moral tetapi tidak mengurangi keabsahan norma hukum tersebut.

Aliran positivisme sangat mengagungkan hukum tertulis, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis, pada hakekatnya merupakan penghargaan kepada kekuasaan yang mencipatakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap hukum.82 Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh adalah Hans Kalsen dengan teori hukum murni. Kalsen mangatakan bahwa hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan, karena keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik.83

Aliran positivisme hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan bahwa tidak ada hukum diluar Peundang- undangan.Hakim legisme merupakan hakim yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang berpandangan sebagai berikut.84

1) Hukum adalah perintah.

2) Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis, dan penilaian kritis.

82 Ibid, hal 235 83 Ibid, hal 242

84Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,

3) Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan- peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

4) Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

5) Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan diinginkan.85

Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan Undang-undang pada peristiwa yang konkrit.86 Undang-undang dan hukum diidentikkan.87 Hakim positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang- undang. Hakim yang menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum akan terganggu.88 Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan. Anggapan legisme hukum sesuai dengan trias politica-nya Monstequie yang mengajarkan hanya apa saja yang dibuat bdan legislative saja yang dapat memuat hukum, jadi sesuatu kaidah yang tidak ditentukan oleh badan legislative bukanlah merupakan kaidah hukum.

85

Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal. 249-250.

86Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti,

Yogyakarta, 1993, hal. 5.

87Ibid., hal. 120.

88

Dokumen terkait