• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Dinamika Hutan

Pengusahaan hutan menggunakan alat produksi sebagai hasil produksi itu sendiri setelah melalui serangkaian proses pertumbuhan pohon dan interaksi dalam lingkungannya dalam jangka waktu yang lama. Dimensi tegakan bersifat dinamis dari tahun ke tahun dengan komponen produk yang bervariasi

kondisinya. Prediksi hasil pada tegakan berdiri melalui pengukuran tidak langsung sering menimbulkan bias disebabkab areal yang sangat luas sehingga sering menggunakan sampling, jumlah pohon yang banyak, kesulitan dalam mengukur tinggi pohon, bentuk batang tidak persis sama dan faktor kesalahan dalam pengukuran.

Untuk keperluan perhitungan hutan, selain menggunakan persamaan matematis biasa, beberapa sumber menggunakan pemodelan dengan memanfaatkan beberapa variabel yang terukur. Perhitungan ini dapat membantu dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil (growth and yield) tegakan yang sesuai dengan karakteristik jenis serta kondisi tapak setempat, sehingga perkiraan produksi pada saat pemanenan dapat dibuat sedini mungkin serta dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang bakal terjadi selama proses sedang berjalan. Kegiatan ini dapat meningkatkan kepastian usaha di bidang kehutanan sehingga para investor lebih tertarik menggeluti usaha di bidang kehutanan.

Model adalah suatu bentuk virtual yang dibuat untuk menirukan suatu proses yang terjadi pada dunia nyata (Muhammadi et al. 2001, Purnomo 2005). Kenyataan yang terjadi pada dunia nyata (real world) biasanya sangat komplek namun masih dapat dipelajari dan disederhanakan, terutama yang berkaitan dengan hubungan sebab akibat (causal loop). Pemindahan kondisi dunia nyata ke dalam bentuk dunia maya yang dilengkapi dengan sistem dan simulasinya dapat membantu kita dalam memahami suatu ekosistem secara lebih mudah. Model adalah gambaran kondisi alam yang menunjukkan proporsi dan susunan komponen penyusun serta ekspresi nyata dari suatu teori (Ford 1977). Model sering menggunakan persamaan matematika, angka, logika yang tepat dan kode-kode komputer. Hutan tropika mengandung banyak species, variasi umur, riap dan ukuran vegetasi, sehingga memerlukan model yang sangat komplek untuk menggambarkannya. Suatu model hampir mustahil mampu menggambarkan kondisi hutan secara keseluruhan. Dinamika

hutan hanya dapat digambarkan melalui beberapa variasi dan level tegakan yang terbatas serta hanya menggunakan unsur pendekatan.

Model pertumbuhan dan hasil dapat diprediksi melalui luas bidang dasar atau diameter pohon. Hutan tropika yang merupakan ekosistem sangat komplek menawarkan tantangan tersendiri bagi para pembuat model. Dalam satu hektar hutan dapat mengandung ratusan atau ribuan spesies dan ratusan jenis komersial. Pada hutan alam yang rapat, terdapat variasi yang besar pada jenis dan ukuran batang pohon dan nampak bahwa umur kurang berkorelasi dengan ukuran batangnya. Nilai suatu model terletak pada kemudahan untuk digunakan, mudah disimpan dan digunakan kembali (Vanclay 1995).

Model juga dapat digunakan untuk menggambarkan dinamika hutan, perlakuan silvikultur, menentukan teknik pengelolaan, mengetahui kondisi tegakan dan memprediksi tebangan pada akhir daur atau siklus berikutnya. Model tegakan hutan dapat digambarkan melalui stok pohon (jumlah pohon), luas bidang dasar atau volume tegakan per ha untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan. Model suksesi untuk memprediksi pertumbuhan pernah dilakukan menggunakan input cahaya, suhu, kesuburan tanah, fotosintesis dan alokasi fotosintesis untuk akar, batang dan daun (Landsberg 1986; Sievanen & Burk 1988; McMurtrie et al. 1990). Bossel and Krieger (1991) mencari pendekatan untuk membangun model lapisan kanopi tajuk di hutan Malaysia, namun menemukan hambatan dalam pemodelan hutan tropis yang komprehensif karena keterbatasan data pendukung yang menyangkut aspek fisiologi, ekologi, tapak dan kondisi tegakan hutan.

Table pertumbuhan dan hasil hutan tidak seumur dipublikasikan pertama kali di Jerman pada tahun 1787 (Vanclay 2001). Saat ini, tabel hasil meliputi tabel tinggi, diameter, kerapatan, luas bidang dasar, riap rata-rata tahunan dan tabel volume. Pemodelan meliputi seni dan ilmu untuk menggambarkan kondisi alam yang sebenarnya. Banyak model

dibuat dengan pendekatan empiris, kalibrasi data dan mendasarkan pada teori-teori biologi yang berkembang dan semuanya dikumpulkan untuk menyusun model hutan alam yang komplek. Tidak ada pendekatan tunggal yang optimal dalam pemodelan hutan tropika. Semua metode yang akan digunakan harus diperhitungkan kelebihan dan kekurangannya.

1. Model pertumbuhan tanaman

Sistem silvikultur yang menerapkan tebang habis dengan permudaan buatan membentuk pola tegakan seumur (even-aged

forest). Model pertumbuhan tanaman pada pola ini dapat

digambarkan dengan grafik sigmoid growth melalui persamaan eksponensial seperti diungkapkan oleh Brown (1997), Grant et

al. (1997), Radonsa et al. (2003), yaitu:

y= c1.ec2X dimana x : diameter awal y : diameter akhir c1,c2 :konstanta

Brown (1997) dan Burkhart (2003) menggunakan persamaan polinomial rata-rata dalam menggambarkan pertumbuhan tanaman, yaitu:

y = c1+ c2x + c3x2

dimana: y : diameter akhir rata-rata x : waktu dalam tahun c1,c2,c3: konstanta.

Wahyudi (2010) menuliskan model dinamika pertumbuhan tanaman meranti di Kapuas, Kalimantan Tengah, menggunakan persamaan polinomial rata-rata, yaitu:

y = 0,0297x2+ 0,8208x+0,3728; dengan R2= 86,89% seperti terlihat pada Gambar 12.

Dalam rangka mendapatkan informasi pertumbuhan yang lebih detail, Wahyudi (2011) memisahkan data pertumbuhan tanaman dalam 5 kelompok tanaman berdasarkan kecepatan pertumbuhannya, yaitu kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat. Interval riap

ditentukan berdasarkan jumlah kelompok yang diinginkan, sebagai berikut:

Ir= (rb–rk) / 5

dimanaIr: interval berdasarkan riap rb: riap terbesar

rk: riap terkecil

Model persamaan polinomial menggunakan kelompok tanaman dapat dirumuskan sebagai berikut:

yi= ci1+ ci2x + ci3x2

dimanayi : diameter akhir rata-rata kelompok ke-i x : waktu (tahun)

ci1,ci2,ci3 : konstanta.

Gambar 8. Model pertumbuhan diameter tanaman meranti menggunakan model persamaan polinomial

Penyebaran diameter pada hutan tanaman (even-aged forest) selalu tidak merata sehingga ditemukan pola grafik berbentuk lonceng dalam menggambarkan penyebaran diameter ini (Hauhs et al. 2003, Wahyudi, 2010). Hal ini menandakan

bahwa kelompok pertumbuhan menengah selalu mempunyai jumlah tertinggi dalam tegakan dan sebaliknya kelompok pertumbuhan terkecil dan terbesar mempunyai jumlah terendah. Pada penelitian tanaman Shorea leprosula dalam jalur tanam sistem TPTII, Wahyudi (2010) menemukan distribusi diameter tanaman membentuk garfik seperti lonceng. Grafik tersebut semakin bergeser ke arah kanan sejalan dengan bertambahnya umur, yang menandakan semakin banyak pohon yang berada pada kelompok diameter yang lebih besar, namun semuanya masih mempunyai pola yang sama yaitu berbentuk lonceng. Selanjutnya, Wahyudi (2011) menemukan jumlah kelompok tanaman yang terdapat dalam setiap kelompok pertumbuhan sangat lambat, lambat, sedang, cepat dan sangat cepat masing- masing sebesar 17,36%; 25,62%; 27,27%; 25,62% dan 4,13%.

Untuk mempermudah pemodelan serta mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap tentang pertumbuhan tanaman serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dapat dibuat analisis umpan balik. Pemodelan dapat menggunakan berbagai perangkat lunak seperti stella, powersim, symfor dan lain-lain.

Gambar 9. Dinamika struktur tanaman meranti membentuk grafik lonceng

Gadow dan Hui (1999) memperkenalkan tiga model pertumbuhan untuk menentukan tinggi tegakan, yaitu model Bertalanffy, model Biging and Wensel (1985) dan model Schumacher, sebagai berikut :

a. Model Bertalanffy………. b. Model Bigingand Wensel (1985)…. c. Model Schumacher………

dimana H: tinggi (m), S: kelas tapak (baik:1, buruk:0), e: eksponensial dan t: waktu.

Gadow dan Hui (1999) mengembangkan persamaan untuk mengetahui luas bidang dasar tegakan Cunninghamia lanceolata di China, yaitu:

Dimana: G1 : luas bidang dasar pada t1 (m2/ha) G2 : luas bidang dasar pada t2 (m2/ha) N1 : kerapatan pada t1 (phn/ha) N2 : kerapatan pada t2 (phn/ha) H1 : tinggi tegakan dominan pada t1 H2 : tinggi tegakan dominan pada t2

Untuk tegakan seumur digunakan persamaan berdasarkan pertumbuhan luas bidang dasar, dengan asumsi riap luas bidang dasar per ha adalah fungsi dari umur tegakan (t) dan luas bidang dasar awal. Contoh kasus diambil dari tanaman Pinus

pinaster di Spanyol yang melahirkan persamaan:

H = a(1-e-bx)c H= a.e-b1/t H= a.Sb.(1-e-ct)d 0,601 0,601 G2= G1N21-0,142H2 N10,142H1 -1(H2/H1)4,292 ∆G = 27,78.G0,3367. t-1,3407.

dimana: G: luas bidang dasar (m2/ha) t : umur tegakan

Pienaar et al. (1990) membuat model untuk tanaman Pinus

elliothi di Georgia melalui persamaan:

∆G : Pertumbuhan luas bidang dasar tahunan (m2/ha/th) G : Luas bidang dasar (m2/ha)

N : Jumlah pohon per ha (N/ha) H : Tinggi tegakan dominan (m)

t : Umur tegakan

Dari persamaan di atas, Forss et al. (1996) mengaplikasikan persamaan di Pienaar et al. (1990) dan mendapatkan konstanta untuk tegakan Acacia mangium di Kalsel (Indonesia), yaitu: α 0= -4,147;α 1= -2,074;α 2= 0,9958 dan α 3= 0,6239. Gadow and Hui (1999) mengembangkan persamaan Pienaar et al. (1990) untuk meningkatkan akurasi hasil pengukuran melalui persamaan:

Munculnya pohon tertekan yang berdampak pada kematian

(mortality) merupakan fungsi dari kerapatan tegakan yang

dirumuskan oleh Reineke (1933) dalam Gadow dan Hui melalui persamaan:

Selanjutnya Gadow dan Hui (1999) menemukan persamaan untuk Pinus radiata di Afrika Selatan sebagai berikut:

Nmax= 729416 Dg-1,91

dimana: Nmax :jumlah pohon hidup maksimum per ha Dg :kwadratik diameter rata-rata

α 0,α 1 :konstanta

Kerapatan pohon (N) dan luas bidang dasar (B) adalah parameter dasar dari stok yang saling berhubungan serta dapat dipergunakan untuk memprediksi karakteristik tegakan.

lnG =α 0+α 1(1/t) +α 2.ln(H)+α 3(N), dimana

ln(G2) = ln(G1) +α 1(1/t2- 1/t1) +α 2[ln(H2) - ln(H1)]+α 3[ln(N2)-ln(N1)]

Nmax= α 0Dgα 1.

ln(G2) = ln(G1) +α 1(1/t2- 1/t1) +α 2[ln(H2) - ln(H1)]+ α 3[ln(N2)-ln(N1)]

Kerapatan tegakan dapat dipergunakan sebagai input dalam memprediksi pertumbuhan dan hasil tegakan sebagai reaksi dari perlakuan silvikultur.

Rodriguez and Soalleiro (1995) menemukan konstanta yang menghubungkan volume dengan luas bidang dasar, yaitu

V= 0,4215 G.H

dimana: V : volume (m3/ha)

G : luas bidang dasar (m2/ha) H : tinggi (m).

Jansen et al. (1996) memasukkan unsur waktu dalam persamaan di atas sehingga persamaan tersebut menjadi:

V = G.H1,073-0,00133te-1,144+0,00432t.

Pada tegakan Cunninghamia lanceolata di China berlaku persamaan:

V= 0,000058777 d1,9699h0,8965

2. Model pertumbuhan tegakan tinggal

Sistem silvikultur yang menerapkan tebang pilih membentuk pola tegakan tinggal semua umur (all-aged forest). Pertumbuhan tegakan dipengaruhi oleh jenis pohon, genetik, perlakuan silvikultur, faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik, serta interaksi diantara komponen-komponen tersebut (Suhendang 1998). Dimensi tegakan yang sering dijadikan parameter adalah diameter, tinggi, luas bidang dasar, diameter tajuk, kerapatan, kelas tapak dan lain-lain. Menurut Bella (1971) data berupa luas bidang dasar memberi nilai R2 yang lebih baik dibanding data diameter, namun menurut West (1980) dan Shifley (1987) tidak ada bedanya menggunakan data luas bidang dasar atau diameter. Pembuatan model berdasarkan riap tinggi pohon tidak efektif dilakukan di hutan tropis karena pengukurannya sulit dan hasilnya tidak akurat. Sebagai gantinya dapat ditempuh menggunakan tabel volume lokal.

Kurva sebaran pohon dibuat untuk mengetahui kenormalan sebaran tegakan hutan semua umur (Appanah & Weinland

1993; Davis & Johnson 1987; Meyer et al. 1961; Nyland 1996; Suhendang 1998) dengan persamaan:

N=No e-kD, dimana

N : kerapatan (phn/ha)

No,k : konstanta

E : eksponensial

D : kelas diameter.

Mengingat pengukuran tinggi pohon khususnya dalam tegakan hutan campuran yang rapat sulit dilakukan dan menimbulkan masalah keakuratan, maka disusunlah tabel volume untuk mengkonversi diameter pohon menjadi volumenya. Balitbanghut (2008) telah menyusun tabel volume untuk berbagai wilayah di Indonesia melalui pendekatan kelompok pohon. Persamaan tabel volume hutan alam di Kalimantan Tengah selain telah disusun oleh Balitbanghut (2008), juga telah dibuat oleh Rombe et al. (1982). Wahyudi dan Matthews (1996) menyusun persamaan tabel volume lokal di areal PT GM (wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Tengah) dalam proyek percontohan pembentukan KPHP di Kalimantan. Perbandingan ke-3 tabel volume di wilayah Kalimantan tengah tersebut adalah:

- Balitbanghut (2008)

Kel. meranti V= 0,000101 D2,5844

Kel. diptero non meranti V= 0,000133 D2,5035

Ramin V= 0,000124 D2,5379

- Rombe et al. (1982)

Kel. meranti V= 0,000321 D2,3218

Kel. diptero non meranti V= 0,000226 D2,4310

Kel. lain-lain V= 0,000267 D2,3591

- Wahyudi dan Matthews (1996)

Kel. meranti V= 0,000118 D2,5617

Kel. diptero non meranti V= 0,000178 D2,4131 Kel. komersial lain V= 0,000089 D2,6388 Struktur tegakan dalam hutan semua umur senantiasa berubah menurut fungsi waktu dan bentuk perlakuan yang ada

(Oliver & Larson 1990) sehingga memerlukan minimal dua kali pengukuran untuk mendapatkan dinamikanya (Davis & Johnson 1987; Buongiorno & Gilles 1987). Data yang terkumpul dapat diolah menurut persamaan biometrika hutan untuk menjalankan suatu model. Komponen utama dalam pemodelan hutan adalah laju pertumbuhan, sebaran diameter, komposisi jenis dan penjadwalan (Leuschner 1990). Pemodelan dapat dipergunakan untuk mengetahui ketersediaan tegakan (pohon/ha), luas bidang dasar (m2/ha) dan volumenya (m3/ha) (Vanclay 1995) melalui aliran stok pohon (N, kubikasi) dalam setiap kelas diameter dan kelompok jenis (Labetubun 2004; Suhendang 1998; Vanclay 1995, 2001).

Komponen yang bekerja dalam aliran stok pohon (N) adalah

ingrowth, upgrowth dan mortality yang merupakan fungsi dari

kerapatan tegakan (N), diameter (D) dan luas bidang dasar (m2/ha) (Buongiorno & Michie 1980; Solomon et al. 1986; Mengel & Roise 1990). Penentuan komponen yang akan digunakan tergantung pada nilai koefisien determinasinya yang sering berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Komponen kelas tapak sering menjadi masalah dalam menetapkan model hutan alam karena keterbatasan data, namun beberapa peneliti sering menetapkan kisaran angka antara 1 (baik) sampai 0 (buruk).

Ingrowth adalah pertambahan permudaan dalam kelas

pertumbuhan tertentu menurut fungsi waktu. Ingrowth dapat dimulai dari tingkat semai yang merupakan fungsi dari jumlah pohon fertil (Nguyen & Sist 1998), kelembaban, prosen perkecambahan alami dan prosen kematian anakan yang terjadi dalam waktu satu tahun. Proses perkecambahan akan berjalan normal bila berada pada kelembaban yang cukup tinggi. Semai yang keluar disebabkan proses perpindahan dari tingkat semai ke tingkat pancang (upgrowth) dan karena kematian, baik kematian alami maupun akibat pemanenan kayu (Indrawan 2003a).

Upgrowth adalah peluang pohon yang hidup dalam kelas

atasnya dalam waktu satu tahun. Upgrowth merupakan fungsi dari nilai tengah diameter (D) dan luas bidang dasar (B) (Buongiorno et al. 1995, Favrichon 1998, Favrichon & Kim 1998, Fyllas et al. 2010, Vanclay 1995).

Mortality adalah jumlah pohon yang mati dalam kelompok

jenis dan kelas diameter tertentu selama satu tahun. Kematian pohon dalam hutan yang dikelola dapat disebabkan faktor alam dan faktor disturbance, seperti efek penebangan, sehingga sulit mengaitkan kematian pohon dalam hutan seperti ini hanya sekedar dari faktor alam saja. Berdasarkan hasil penelitian Elias (1997) dan Sist and Bertault (1998) bahwa tingkat kerusakan tegakan tinggal, yang dapat bermuara pada kematian, sangat berkaitan dengan intensitas penebangan yang dilakukan. Kematian catastropic (pencurian kayu, kebakaran dll) tidak diperhitungan dalam persamaan yang akan dibuat.

Gambar 10. Model perkembangan tingkat semai pada hutan alam setelah penebangan (Indrawan 2003a)

Ingrowth dan upgrowth pada dasarnya merupakan gambaran

dari pertumbuhan tegakan hutan sebagai fungsi dari faktor klimatis (iklim mikro), edapis dan jenis atau kelompok jenis. Pemodelan menggunakan mekanisme ingrowth, upgrowth dan

mortality dapat dilakukan dalam beberapa kelompok pohon,

namun dalam perhitungan interaksi dalam ekosistem hutan semua kelompok tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling berhubungan satu dengan lainnya. Sebagai contoh, pertumbuhan jenis pohon tertentu dalam hutan alam campuran yang rapat terutama dipengaruhi oleh kerapatan tegakan secara keseluruhan, bukan saja kerapatan kelompok pohon tersebut. Kerapatan tegakan terutama berhubungan dengan intensitas cahaya serta persaingan tempat tumbuh untuk mendapatkan unsur hara, sehingga semakin tinggi kerapatan tegakan maka semakin rendah pertumbuhan pohon-pohon penyusun tegakan hutan.

Persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality diolah melalui data hasil pengukuran minimal sebanyak empat kali dalam kurun waktu masing-masing minimal satu tahun sehingga diperoleh data pertumbuhan tegakan minimal tiga kali. Makin banyak data yang diolah makin akurat persamaan yang dihasilkan.

Dalam merancang pemodelan dinamika hutan, ingrowth merupakan fungsi dari luas bidang dasar tegakan (B) dan kerapatan (N) (Buongiorno & Michie 1980; Coates 2002 dalam Fyllas 2010; Vancly 2001). Menurut Vanclay (2001) persamaan ingrowth merupakan fungsi dari jumlah pohon (kerapatan) dan luas bidang dasar per ha melalui persamaan:

Nr = a + bN - cB

dimana: Nr : ingrowth (phn/ha/th) N : total stok (phn/ha)

B : luas bidang dasar (m2/ha) a,b,c : konstanta.

Buongiorno dan Michie (1980) juga memprediksi ingrowth berdasarkan N dan B. Bosch (1971) memprediksi regenerasi berdasarkan jumlah pohon mati saja. Vanclay (1989) dalam Vanclay (2001) memprediksi ingrowth berdasarkan luas bidang dasar (B) dan kualitas tapak (S) melalui persamaan:

Buongiorno et al. (1995) membuat persamaan ingrowth,

upgrowth dan mortality untuk mengetahui dinamika hutan tidak

seumur di Perancis melalui tiga pengelompokkan jenis pohon (Fir, Spruce dan Beach) sebagai berikut:

dimana:

Ikt : ingrowth jenis ke-k (phn/ha/th)

Uij : upgrowth jenis ke-i kelas diameter ke-j (phn/ha/th) B : total luas bidang dasar semua jenis pohon ke-i, kelas

diameter ke-j (m2/ha)

Dj : rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j (cm) Mij : mortality jenis ke-i kelas diemeter ke-j (phn/ha/th) d,e,c,p,q,s,u,v,w : konstanta.

Favrichon dan Kim (1998) membuat model dinamika hutan tropis di Kalimantan Timur dengan membuat dua kelompok pohon, yaitu kelompok dipterocarp dan non dipterocarp, melalui persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality sebagai berikut: a. Persamaan ingrowth : Igd = 4,22–0,06989 Bt ... (R2= 0,04) Ignd= 14,73–0,27603 Bt ... (R2= 0,1) b. Persamaan upgrowth : Ugd= 0,04764+0,0028D–0,00004772D2+0,000000259D3- 0,00235Bt (R2=0,57) Ugnd= 0,02204+0,0025D-0,00005429D2+0,00000036D3- 0,00143Bt (R2=0,71) m n n Ikt = ∑ Nik∑ B (yijt–hijk) + ek∑ (ykjt-hkjt) + ck…..(R 2 = 0,37-0,47) i=1 j=1 j=1 m n Uij = pi+ qi∑ ∑ B (yijt–hijt) + sjDj………...(R 2 = 0,013-0,4) i=1 j=1 m n Mij= ui+ vi∑ ∑ B (yijt–hijt) + wjDj ………(R 2 = 0,07) i=1 j=1

c. Persamaan mortality dibuat konstan. dimana:

Igd : ingrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Ignd: ingrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th) Ugd: upgrowth kelompok dipterocarp (phn/ha/th) Ugnd: upgrowth kelompok non dipterocarp (phn/ha/th)

B : total luas bidang dasar tegakan waktu ke-t (m2/ha) D : rata-rata diameter

Favrichon (1998) membuat persamaan ingrowth, upgrowth

dan mortality di hutan tropis Guyana melalui lima

pengelompokkan jenis pohon yaitu (1) sangat toleran naungan, (2) toleran naungan, (3) toleran darurat, (4) intoleran naungan dan (5) pionir sebagai berikut:

a. Persamaan ingrowth: I1 = 15,306–13,173 (Yt/Yo) ...(R2= 0,15) I2 = 14,562–12,358 (Yt/Yo) ...(R2= 0,15) I3 = 5,193–4,258 (Yt/Yo) ...(R2= 0,09) I4 = 11,320–10,670 (Bt/Bo) ...(R2= 0,20) I5 = 681,89 e-13,173 (Bt/B0) b. Persamaan upgrowth: U1= 0,0595-0,0067D+0,00034D2-0,000005D3+0,0521- 0,0424(Bt/Bo)...(R2= 0,09) U2= -0,0438+0,0095D-0,00028D2+0,000003D3+0,1177- 0,1213(Bt/Bo)...(R2=0,22) U3= -0,1048+0,0188D-0,00052D2+0,000004D3+0,1642- 0,1526(Bt/Bo)... (R2=0,12) U4= -0,1463+0,0269D+0,0009 D2+0,000009D3+0,2313- 0,2309(Bt/Bo) ...(R2=0,17) U5= 0,5677-0,0873D+0,00498 D2-0,0000883D3+0,3520- 0,219(Bt/Bo)...(R2= 0,05) c. Persamaan mortality: M1= 0,0062+0,014 D-0,000018D2 ...(R2= 0,11) M2= -0,0166+0,002 D-0,00002D2 ...(R2= 0,23) M3= 0,0088+0,0004 D-0,000006D2 ...(R2= 0,04) M4= -0,0056+0,097 D-0,0001D2 ……(R2 = 0,63)

M5= -0,148 +0,0236 D-0,0006D2 ……(R2= 0,09) dimana:

I, U, M : ingrowth, upgrowth dan mortality Yt dan Yo : pohon pada tahun ke-t dan 0 (phn/ha) Bt dan Bo : luas bidang dasar pada tahun ke-t dan 0 (m2/ha) D : rataan diameter pohon.

Dalam rangka menyusun model dinamika pertumbuhan hutan campuran semua umur untuk memprediksi potensi hutan pada saat pemanenan, Wahyudi (2011) menggunakan pendekatan diagram aliran stok yang dimulai dari tiang sampai tingkat pohon dewasa, karena pada tingkat ini dimungkinkan mendapatkan data pertumbuhan diameter, luas bidang dasar, kerapatan dan kubikasi. Model ini disusun berdasarkan persamaan ingrowth, upgrowth dan mortality pada kelompok pohon meranti, dipterocarp non meranti, komersial ditebang dan komersial lain belum ditebang serta dinamika perkembangan kerapatan tegakan hutan yang digambarkan melalui dinamika jumlah pohon (N) per ha dan luas bidang dasar (B) per ha. Model diagram alir (time lags) tersebut apat dilihat pada Gambar 11.

Mendoza dan Gumpal (1987) memprediksi pertumbuhan dan hasil untuk jenis dipterocarp di Pilipina melalui persamaan yang mengakomodir fungsi luas bidang dasar tegakan tinggal dan tinggi rata-rata pohon berdiameter 50-80 cm, sebagai berikut:

Log(YT) = 1,34 +0,394 Log(B0) +0,346 Log(T) +0.00275 S/T dimana:

YT : hasil produksi (yield) (m3/ha) pada tahun ke-T BO : luas bidang dasar tegakan tinggal (m2/ha)

S : rataan tinggi (m) pada jenis dipterocarp berdiameter 50-80 cm

T : waktu (tahun)

Ket: St: stock (N/ha) tiap kelas diameter B : luas bidang dasar (m2/ha) N : kerapatan (N/ha)

CE : cutting effect (efek tebangan) Tab : tabel volume pohon berdiri Vol : volume pohon

Ingrowth,upgrowth,mortality: Sudah jelas

Gambar 11. Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi kerapatan tegakan

Dari semua pembahasan tentang pemodelan dinamika hutan tropis, Vanclay (1995, 2001) menyimpulkan bahwa kualitas

model pertumbuhan dan hasil dipengaruhi banyak faktor, namun yang paling penting adalah kualitas data. Untuk mendapatkan data yang berkualitas sebaiknya data diambil dari Petak Ukur Permanen. Sebagian besar model cukup baik digunakan pada hutan tanaman namun sangat sedikit untuk hutan hujan tropis karena kondisinya sangat komplek dan jumlah jenis yang sangat banyak dengan berbagai ukuran sehingga sangat sulit bila didekati dengan hanya beberapa variable. Pendekatan dengan pengelompokan kelas tegakan dapat direkomendasikan karena lebih sederhana dan dapat menyediakan informasi yang lebih mewakili kondisinya.

Dokumen terkait