• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Silvikultur di Indonesia Teori da (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sistem Silvikultur di Indonesia Teori da (1)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI

Dr. Wahyudi

Judul Buku:

Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi

Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tahun 2013

Diterbitkan Oleh:

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

Jl. Yos Sudarso, 73111, Palangka Raya, Indonesia Telepon: +62 81521560387, +62 85347153484 Email: isanautama@yahoo.com

ISBN 978-602-98568-0-4

Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (ayat 2):

(3)

KATA PENGANTAR

Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia sudah selayaknya memiliki sistem silvikultur untuk mengelola hutan produksi secara lestari. Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan telah diterapkan di Pulau Jawa sejak jaman kolonial Belanda dan masih dipakai hingga saat ini untuk mengelola hutan tanaman sedangkan sistem silvikultur Tebang Pilih untuk mengelola hutan alam baru dimulai tahun 1972 dan senantiasa mengalami perubahan seiring perkembangan kehutanan dan kebijakan pemerintah.

Buku Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi“ini disusun berdasarkan teori dan praktek silvikultur yang didapatkan dari penerapan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), sistem Agroforestry, Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) serta plot penelitian Tebang Rumpang yang menghasilkan draft system silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Tahapan kegiatan dalam setiap sistem silvikultur dalam buku ini diuraikan secara lengkap menggunakan petunjuk teknis sesuai dengan sistem masing-masing dengan tujuan memberi pengetahuan dan bekal bagi para pembaca tentang praktek beberapa sistem silvikultur yang pernah dan sedang diimplementasikan di lapangan. Meskipun beberapa tahapan kegiatan tersebut sudah tidak dianjurkan dengan alasan efisiensi dan efektifitas, namun relevansi dan urgensi tahapan tersebut masih sangat terasa dan masih penting untuk diketahui, khususnya bagi para praktisi dan rimbawan dalam melakukan pengelolaan hutan secara bijaksana sesuai sifat dan kondisi ekosistemnya.

Penulis juga menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan pada edisi mendatang. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap, semoga buku ini bermanfaat bagi kita. Terima kasih.

Penulis,

(4)

SAMBUTAN

Saya sangat mengapresiasi buku berjudul“Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi”yang ditulis oleh Dr. Wahyudi. Tulisan ini merupakan salah satu dari 100 karya tulis yang lulus dan mendapat pembiayaan dari Dirjen Dikti tahun 2014 melalui Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi. Sebagai reviewer, saya mendapat kesempatan untuk membaca dan terlibat dalam pembahasan buku ini.

Buku ini sangat baik dibaca oleh para pihak yang ingin menambah ilmu pengetahuan dan teknologi serta praktek silvikultur di hutan produksi Indonesia.

Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc F.Trop Ketua Program Studi Silvikultur, IPB

SAMBUTAN

Buku ini berusaha menghimpun sistem-sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan pada hutan Indonesia, mulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia tahun 1972 sampai sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia yang disusun tahun 2014. Pada beberapa bagian, penulis juga menyertakan perhitungan untuk memprediksi sediaan hutan pada siklus tebang berikutnya berdasarkan model dinamis yang berkembang dalam ekosistem hutan. Suatu usaha yang baik. Buku ini dapat menjadi bagian dari referensi buku kehutanan kita.

(5)

SAMBUTAN

Paradikma baru pengelolaan hutan adalah kembali pada alam (back to nature). Prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield

principles) yang diterapkan tahun 80-an sudah tidak sejalan lagi

dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan kehutanan saat ini. Pengelolaan hutan harus bertumpu pada kelestarian ekosistem hutan

(sustained forest ecosystem) karena pohon merupakan bagian dari

ekosistem itu sendiri.

Buku ini menjelaskan tentang praktek silvikultur di Indonesia yang disertai dengan pengenalan dasar-dasar dan teori tentang silvikultur menggunakan paradikma baru dalam pengelolaan hutan, sehingga pembaca dapat mengetahui secara baik tentang pelaksanaan sistem silvikultur di hutan Indonesia. Saya mengucapkan selamat kepada penulis yang telah menghimpun pengetahuan silvikultur dalam buku ini.

Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... iii

SAMBUTAN ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN... 1

II. KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR... 8

A. Sejarah dan Kebijakan ... 8

B. Pengertian Sistem Silvikultur ... 17

C. Landasan Sistem Silvikultur ... 23

D. Beberapa Sistem Silvikultur ... 38

III. PERTUMBUHAN DAN HASIL ... 43

A. Pertumbuhan Pohon... 44

B. Perhitungan Hasil... 50

C. Pemodelan Dinamika Hutan ... 54

D. Analisis Finansial Proyek Kehutanan ... 71

IV. TEBANG PILIH INDONESIA ... 76

A. Pengertian dan Dasar TPI ... 76

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI ... 77

C. Evaluasi Sistem TPI... 81

V. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA ... 85

A. Pengertian dan Dasar TPTI... 85

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI ... 87

C. Evaluasi Sistem TPTI ... 115

VI. TEBANG PILIH TANAM JALUR... 123

A. Pengertian dan Dasar TPTJ ... 123

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTJ... 125

C. Evaluasi Sistem TPTJ ... 129

VII. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIP ... 140

A. Pengertian dan Dasar TPTII ... 140

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII... 141

(6)

VIII. TEBANG RUMPANG... 154

A. Pengertian dan Dasar TR ... 154

B. Tahapan Kegiatan Sistem TR ... 157

C. Evaluasi Sistem TR... 162

IX. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN ... 163

A. Pengertian dan Dasar THPB... 163

B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB ... 164

C. Evaluasi Sistem THPB... 174

X. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM ... 176

A. Pengertian dan Dasar THPA... 176

B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA ... 177

C. Evaluasi Sistem THPA ... 179

XI. AGROFORESTRY ... 181

A. Pengertian dan Dasar Agroforestry ... 181

B. Hubungan Agroforestry dengan Bidang Lain ... 187

C. Desain Agroforestry... 190

XII. MULTISISTEM SILVIKULTUR ... 196

A. Pengertian dan Dasar Multisistem Silvikultur... 196

B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur... 198

DAFTAR PUSTAKA... 209

LAMPIRAN. ... 222

DAFTAR ISTILAH ... 225

DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan ... 13

2. Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah dan diameter pohon inti sistem TPI ... 78

3. Syarat pelaksanaan sistem TPI dan pedo-Man TPI hasil revisi tahun 1980 ... 82

4. Perbedaan tahapan sistem TPTI tahun 1989 dan 1993... 86

5. Thally sheet kegiatan PAK ... 90

6. Thally sheet kegiatan ITSP ... 93

7. Thally sheet kegiatan Penebangan ... 99

8. Perbandingan sistem RIL dan konvensional pada kegiatan eksploitasi hutan... 100

9. Thally sheet kegiatan perapihan... 102

10. Thally sheet kegiatan ITT ... 105

11. Thally sheet kegiatan tempat kosong dan kurang permudaan... 106

12. Thally sheet kegiatan pembebasan I ... 107

13. Thally sheet kegiatan pengadaan bibit ... 109

14. Thally sheet kegiatan pengayaan/rehabilitasi... 111

15. Thally sheet kegiatan pemeliharaan ... 112

16. Thally sheet kegiatan pembebasan II dan III ... 113

17. Thally sheet kegiatan penjarangan I, II, III ... 115

18. Tahapan kegiatan TPTJ... 125

19. Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ... 130

(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. State of the art sistem silvikultur... 6

2. Sebaran kawasan hutan alam yang pernah dan sedang dibebani konsesi ... 11

3. Tegakan Eucalyptus pellita di Kalsel... 43

4. Areal bekas tebangan sistem TPTI... 44

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbu-han pohon... 46

6. Kurva pertumbuhan pohon, CAI dan MAI ... 49

7. Contoh penataan areal kerja hutan tanaman... 53

8. Model pertumbuhan tanaman meranti ... 58

9. Struktur diameter tanaman meranti ... 59

10. Model perkembangan semai pada hutan alam setelah penebangan... 65

11. Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi kerapatan tegakan... 70

12. Contoh penataan seluruh areal kerja pada sistem TPTI... 89

13. Contoh label pohon tebang, pohon inti dan pohon dilindungi ... 92

14. Penandaan dan penempelan label pohon... 92

15. Pengangkutan kayu bulat ... 95

16. Pengukuran jaringan jalan menggunakan theodolit ... 96

17. Tempat pengumpulan kayu ... 98

18. Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuh annya pada kegiatan ITT... 104

19. Kegiatan ITT... 105

20. Persemaian tempat memproduksi bibit ... 109

21. Hasil kegiatan penanaman Shorea spp... 110

22. Posisi jalur bersih dan jalur antara pada sistem TPTJ... 128

23. Tingkat penutupan tajuk pada sistem TPTJ ... 131

24. Kurva sigmoid, CAI dan MAI pada meranti... 133

25. Respon pertumbuhan volume pada Shorea leprosula terhadap pemanenan ... 135

26. Kuvio dengan bestek yang jelas pada sistem Tebang Rumpang... 161

27. Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka ... 168

28. Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman ... 169

29. Pengolahan lahan secara mekanis ... 170

30. Penyiapan lahan secara kimia ... 171

31. Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB (a) tanaman sungkai (b) tanaman ampupu ... 172

32. Pemanenan Acacia mangium secara manual ... 173

33. Sistem mekanis penuh dalam pemanenan hasil hutan kayu ... 174

34. Agroforestry: tanaman pokok (jati) dengan tanaman semusim (jagung) ... 183

35. Sistem agroforestry: tanaman keras melin-dungi tanaman semusim dari angin/ badai ... 184

36. Rehabilitasi lahan dengan agroforestry ... 187

37. Sistem agroforestry mengoptimalkan peng-gunaan lahan ... 192

38. Menugal. menyemai benih padi gogo diantara tanaman sengon ... 193

39. Tanaman padi gogo berdampingan dengan tanaman sengon... 194

40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi ... 197

41. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTI di PT GM... 199

42. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTJ di PT GM... 201

43. Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong dalam kawasan hutan produksi ... 202

44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi gogo... 204

45. Lereng Gunung Tambora di Sumbawa merupakan hutan alam monokultur yang dikelola menggunakan sistem TJTI ... 205

(8)

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau

(evergreen), intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun

serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti hutan pantai (coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swam forest), hutan dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi (high

land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada

mosaik hutan daratan dengan formasi edafis yang khas (sand

soil) sering dijumpai formasi hutan kerangas (heath forest) dan

pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim

(monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang

menggugurkan daur daun (deciduous forest).

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009, luas kawasan hutan di Indonesia dilaporkan 120,35 juta ha yang menempati lebih dari 60 % luas daratan Indonesia (Balitbanghut 2008). Namun berdasarkan hasil penataan kawasan hutan tahun 2010 tercatat luas kawasan hutan sebesar 137,6 juta ha (Ditjen BUK 2011). Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Kawasan hutan produksi, baik hutan produksi tetap maupun hutan produksi terbatas, dikelola melalui sistem konsesi hutan berdasarkan azas kelestarian ekosistem hutan

(sustainable forest management) dan azas manfaat yang

meliputi aspek produksi, ekologi dan sosial.

Pengelolaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan

Alam (IUPHHK-HA) (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan– HPH) dilakukan sejak awal tahun 70-an dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini lahir sebagai penjabaran dari UU Nomor 1 tahun 1967 , UU Nomor 5 tahun 1967 dan UU Nomor 6 tahun 1968. Sistem silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal (SK Dirjen) Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972. Pada tahun 1989 sistem TPI diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba dan pada tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir sama yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).

Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas dalam skala uji coba pada beberapa izin konsesi hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia (1993), Tebang Jalur Tanam Konservasi (1994), Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (1997), Tebang Rumpang dan Bina Pilih. Sistem silvikultur agroforestry banyak diterapkan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat setempat sedangkan sistem silvikultur yang bersifat perlindungan dan konservasi alam diterapkan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.

Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan rawang dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur tebang habis perbuatan buatan (THPB) sedangkan pada padang alang-alang dan tanah kosong dapat dilakukan reboisasi.

(9)

komposisi tegakan dan lain-lain. Sistem silvikultur juga pernah mengakomodasi kepentingan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu bulat, secara berlebihan sehingga mengedepankan prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield

principle). Prinsip ini terbukti kurang sesuai sehingga perlu

diganti dengan prinsip kelestarian hutan (sustained forest

management) yang mengedepankan aspek ekosistem setempat.

Pada dua dasawarsa pertama semenjak sistem konsesi hutan alam dibuka, kepentingan pemanfaatan hasil hutan kayu telah memenuhi sasarannya sampai mengantarkan Indonesia sebagai penghasil kayu bulat terbesar di dunia, menjadi pemasok 79 persen kebutuhan tropical hardwood dunia dan eksportir plywood terbesar di dunia. Pada akhir tahun 80-an sektor kehutanan menyumbang devisa terbesar setelah migas. Pada masa itu produksi kayu bulat Indonesia pernah mencapai 25-27 juta meter kubik per tahun.

Keberhasilan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam rupanya tidak diikuti dengan keberhasilan regenerasi hutan. Laju kerusakan hutan (forest degradation) dan perubahan hutan

(deforestation) di Indonesia terus meningkat dan mencapai

puncaknya pada masa reformasi digulirkan sebagai imbas dari eforia masyarakat. Hutan tropis Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1,8 juta ha/tahun (1995-1997) sampai 2,8 juta ha/tahun (1997-2000). Indonesia pernah tercacat sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat didunia (Global

Forest Resources Assessment (GFRA 2005) dan menyandang

predikat sebagai negara penghasil gas rumah kaca (CO2) terbesar ke-3 di dunia.

Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan banyak faktor yang saling berkaitan, diantaranya konversi hutan untuk berbagai kepentingan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, areal pemukiman, pertanian dan lain-lain. Faktor lainnya adalah kebakaran hutan (forest fire) dan lahan, penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan,

perladangan berpindah (shifting cultivation), kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang masih “miskin”,

lemahnya kelembagaan, koordinasi dan konsolidasi, lemahnya pengawasan dan evaluasi, lemahnya penegakan hukum (low

enforcement), ketimpangan antara kemampuan suplai kayu

bulat dengan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu, penebangan lebih besar dari riap hutan, konsesi hutan, lesunya pembangunan hutan tanaman, pungutan liar dan lain-lain. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem dan teknik silvikultur yang digunakan dalam mengelola hutan.

Para ahli kehutanan menilai sistem silvikultur yang pakai untuk mengelola hutan di Indonesiadi sudah cukup baik, namun dalam tahap pelaksanaan di lapangan terdapat pergeseran atau penyimpangan dari ketentuan yang termuat dalam sistem itu sendiri. Banyak pula yang berpendapat masih terdapat kelemahan dalam sistem silvikultur kita. Sistem TPI dirasakan masih terlalu sulit dalam aplikasinya karena menggunakan beberapa pilihan teknis limit diameter berdasarkan kondisi hutan yang tidak mudah dipraktekan di lapangan serta aspek pembinaan hutan yang masih belum memadai dibanding kegiatan pemungutan hasil hutan kayu. Kelemahan sistem TPTI terletak pada aspek pengawasan (controlling) dan indikator keberhasilan regenerasi hutan, baik dari tegakan tinggal (residual trees) maupun hasil penanaman perkayaan

(enrichment planting). Melimpahnya permudaan alam sering

(10)

Untuk meningkatkan transparansi kegiatan regenerasi hutan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman, diperkenalkan sistem TPTJ. Namun sistem ini dinilai beberapa pihak masih mengandung kerawanan karena adanya variasi lebar jalur tanam, yang menerapkan tebang habis, sehingga dikhawatirkan mengurangi keanekaragaman jenis di areal tersebut serta dapat disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Sistem TPTII hanya menerapkan satu cara saja dalam pembuatan jalur tanam dengan lebar 3 meter serta jalur antara 17 meter.

Adanya titik-titik kelemahan semacam ini dijadikan alasan untuk mengganti sistem silvikultur yang satu dengan lainnya, meskipun sistem silvikultur lama belum pernah tuntas sampai satu siklus tebang atau akhir daur. Namun demikian ada baiknya apabila kita tetap mengkaji kembali semua sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di hutan Indonesia untuk mendapatkan akumulasi historis ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan yang bermanfaat dalam melangkah ke depan serta mengambil pelajaran berharga dari pengalaman masa lalu.

Pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan pada kawasan hutan tidak produktif, yaitu semak belukar, padang alang-alang dan lahan kosong. Namun banyak kasus di lapangan menyalahi ketentuan tersebut. Pembangunan hutan tanaman yang memerlukan dana besar sering dijadikan alasan untuk mengambil hasil hutan kayu melalui tebang penyiapan lahan sebelum penanaman itu dilakukan. Mereka lupa bahwa kondisi tanah di hutan tropis yang marginal rentan terhadap pencucian hara dan erosi, sehingga sangat cepat mengalami degradasi kesuburan. Tanaman biasanya tumbuh subur pada 3 sampai 5 tahun pertama, setelah itu mengalami staknasi disebabkan minimnya unsur hara tanah yang tersisa. Menurut Wasis (2006), telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6% di hutan tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan diameter sebesar 19,8%; biomassa sebesar 16,8% dan volume batang sebesar 19,0%. Hal ini

disebabkan adanya penurunan pH tanah C organik, N, Ca dan Mg.

Pemanfaatan dana reboisasi dinilai belum efektif untuk menunjang kegiatan reboisasi itu sendiri, terutama dalam mengatasi peningkatan jumlah kawasan hutan yang tidak produktif dan lahan kosong. Dalam banyak kasus pemanfaatan dana yang berasal dari kayu bulat hutan alam ini sering menyimpang dari tujuan semula, bahkan pernah dipergunakan untuk hal-hal diluar sektor kehutanan seperti pembangunan pabrik pesawat terbang di Bandung dan pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.

Gambar 1. State of the art penerapan sistem silvikultur pada hutan produksi

Target pembangunan hutan tanaman industri sebesar 6 juta ha pada tahun 1990 hanya terealisasi 2-3 juta ha (berdasarkan

Tropical Forest Landscape

Wet Land Dry Land

Mangrove Peat Swamp Low Land High Land Mountain Heath Monsoon Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest

Protection Production Conservation

Forest Forest Forest

Berhutan Tidak

produktif

Kawasan Kawasan Kawasan Semak be

lindung produksi non produksi lukar,alang-alang, lahan Sistem Lestari Degradasi kosong Silvikultur

TPI, TPTI, Hutan

(11)

laporan). Pengucuran dana reboisasi untuk kegiatan Gerakan Nasional-Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) juga masih belum menampakkan hasil. Pada tahun 2007 Departemen Kehutanan meluncurkan program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dengan target 9 juta ha sampai tahun 2014.

Pengelolaan hutan alam dan pembangunan hutan tanaman di daerah tropis dapat memberi prospek yang sangat baik karena wilayah ini kaya akan sinar matahari dan curah hujan, sebagai modal utama bagi pertumbuhan pohon. Sebagai contoh, untuk mendapatkan potensi kayu bulat sebesar 60 m3/ha, Indonesia hanya memerlukan waktu 6 tahun sementara Korea Selatan di daerah temperate memerlukan waktu hingga 60 tahun. Namun, apabila terjadi kesalahan dalam pengelolaan hutan dan penerapan sistem silvikultur di daerah tropis, degradasi hutan akan lebih mudah terjadi dan memerlukan waktu yang lama untuk pemulihannya (recovery), karena dengan curah hujan dan suhu yang tinggi, proses penguraian dan pelapukan bahan induk juga berjalan lebih cepat yang diikuti oleh laju pencucian hara dan erosi yang tinggi.

Kedepan, pembangunan kehutanan akan semakin mendapat perhatian dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan hasil hutan kayu (timber forest product) dan hasil hutan non kayu

(non timber forest product), terlebih lagi adanya kecenderungan back to nature, perhatian pada keanekaragaman jenis (biodiversity) dan isu perubahan iklim serta pemanasan global (global warming and climate change issues).

II. KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR

A. Sejarah dan Kebijakan

Sejarah pengelolaan hutan alam di luar Jawa pada jaman Belanda belum banyak dilaporkan kecuali dalam skala kecil di Kalimantan Timur, demikian pula pada jaman Jepang. Pada jaman orde lama pengelolaan hutan alam telah dilakukan di Kalimantan Timur dalam skala terbatas. Pada jaman ini pemerintah menyadarai adanya keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan sumber daya hutan. Dengan mengacu pada UUD 1945 pasal 33, pemerintah mulai menata pengaturan hukum pengelolaan hutan yang sesuai dengan kondisi Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Pada tahun 1957 dikeluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 169) tentang Penyerahan urusan bidang kehutanan kepada Daerah Swatantra Tingkat I.

Pada jaman orde baru pemerintah mulai menggalakkan pembangunan di segala bidang, tidak terkecuali bidang kehutanan. Pemerintah mengeluarkan UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan (direvisi dengan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan), UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 junto PP No. 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH dan HPHH).

(12)

Indonesia (TPI) berdasarkan SK Dirjen Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972 tentang Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-Pedoman Pengawasannya.

Kelemahan sistem TPI terletak pada dominasi kegiatan penebangan dibanding kegiatan pembinaan hutan. Sistem ini juga mengandung ketidakpastian limit diameter pohon tebang serta jumlah pohon inti yang harus tersedia. Perbedaan ini menyebabkan para praktisi kesulitan dalam menentukan pilihan. Evaluasi sistem ini dilakukan pertama kali tahun 1974 oleh konseptor TPI Sugiarto Warsopranoto dan Ishemat Soerianegara yang menghasilkan beberapa kewaspadaan penerapan sistem. Evaluasi berikutnya dilakukan Direktorat Reboisasi tahun 1980 dengan merevisi beberapa ketentuan limit diameter pohon tebang dan jumlah pohon inti berdasarkan tipe hutan dan pada tahun 1987 Badan Litbang Kehutanan, IPB dan UGM melakukan pengkajian sistem TPI. Sistem ini berjalan hampir dua dasawarsa sebelum diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) pada tahun 1989.

Sistem TPTI mulai digunakan sejak dikeluarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 485/Kpts-II/1989 tentang Sistem Silvikultur Pengelolaan Hutan Alam di Indonesia serta pedoman pelaksanaannya berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564/Kpts/IV-BPHH/1989 tanggal 10 April 1989. Setelah empat tahun digunakan, sistem TPTI direvisi dengan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993. Tidak banyak yang berubah dalam revisi tersebut kecuali beberapa tahapan pembinaan hutan yang dibuat lebih jelas pada sasarannya.

Pada tahun 1993 diujicobakan sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) yang berubah nama menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi tahun 1994. Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 435/Kpts-II/1997 dan SK Menteri Kehutanan dan

Perkebunan Nomor 625/Kpts-II/1998. PT Sari Bumi Kusuma menggunakan sistem TPTJ berdasarkan SK Menhut Nomor 201/Kpts-II/1998. Pada tahun 2002 sistem TPTJ dicabut berdasarkan Kepmenhut Nomor 10172 tahun 2002 namun masih diterapkan PT Sari Bumi Kusuma berdasarkan SK Menhut Nomor 201/Kpts-II/1998 dan PT Erna Djuliawati berdasarkan SK Menhut Nomor 15/Kpts-II/1999. Tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir sama dengan nama Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif berdasarkan SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor 77/VI-BPHA/2005 tanggal 3 Mei 2005 dan Nomor 226/VI-BPHA/2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman TPTII. IUPHHK-HA yang menerapkan sistem TPTII pertama kali adalah PT. Sari Bumi Kusuma, PT. Erna Djuliawati, PT. Suka Jaya Makmur, PT Balikpapan Forest Industry, PT. ITCI dan PT. Sarpatim. Sistem TPTII dapat diterapkan pada sebagian areal konsesi berdampingan dengan sistem lama (TPTI) pada 25 IUPHHK berdasarkan SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.41/VI-BPHA/2007 tanggal 10 April 2007. Pada tahun 2010 bertambah lagi menjadi 29 IUPHHK-HA yang menerapkan sistem TPTII. Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas adalah Tebang Rumpang dan Bina Pilih.

(13)

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan (pasal 30) dan PP Nomor 6 tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan (pasal 38, masih menggunakan kriteria hutan tidak produktif sesuai Kepmenhut No.200/Kpts-II/1994).

= Areal yang pernah dan sedang dibebani konsesi

Gambar 2. Sebaran kawasan hutan alam produksi di Indonesia yang pernah dan sedang di bebani konsesi (IUPHHK) dengan sistem silvikultur tebang pilih.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 200/Kpts-II/1994 bahwa kriteria hutan produksi alam yang tidak produktif adalah:

1) Pohon inti yang berdiameter minimum 20 cm kurang dari 25 pohon/ha

2) Pohon induk kurang dari 10 pohon/ha 3) Permudaan alam kurang, yaitu:

a) Permudaan tingkat semai kurang dari 1.000 batang/ha b) Permudaan tingkat pancang kurang 240 batang/ha c) Permudaan tingkat tiang kurang dari 75 batang/ha.

Perhitungan tersebut didasarkan pada jumlah petak ukur (PU) per ha sesuai tingkat pertumbuhan dikalikan dengan 100%, 75%, 60% dan 40% masing-masing untuk tingkat pohon, tiang, pancang dan semai, sebagai berikut:

1) Tingkat pohon = (10.000 m2/400 m2) x 100% = 25 (batang/ha)

2) Tingkat tiang = (10.000 m2/100 m2) x 75% = 75 (batang/ha)

3) Tingkat pancang = (10.000 m2/ 25 m2) x 60% = 240 (batang/ha)

4) Tingkat semai = (10.000 m2/ 4 m2) x 40% = 1.000 (batang/ha)

Berdasarkan SK Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151/Kpts/IV-BPHH/1993 bahwa areal bekas tebangan pada IUPHHK tidak perlu diperkaya (enrichment planting) apabila memenuhi persyarakatan sebagai berikut:

1) Mempunyai pohon inti minimal 1 batang/PU (1x25 PU= 25 btg/ha) atau

2) Mempunyai permudaan tiang minimal 2 batang/PU (2x100 PU=200 btg/ha) atau

3) Mempunyai permudaan pancang minimal 4 batang/PU (4x400 PU)=1600 btg/ha

4) Mempunyai permudaan semai minimal 8 batang/PU (8x2500 PU)=20.000 btg/ha

Sebagai contoh, hasil analisis vegetasi di areal kerja PT GM (Wahyudi 2011), PT RTC (Indrawan, 2000) dan PT SBK (Pamoengkas 2006) menunjukan bahwa kerapatan pohon pada ketiga areal tersebut tergolong baik, karena lebih dari yang dipersyaratkan kedua ketentuan di atas (Tabel 1)

Pada tanggal 4 Pebruari 2008 dikeluarkan PP Nomor 3 tahun 2008 tentang Perubahan PP Nomor 6 tahun 2007. Pada PP ini kriteria hutan tidak produktif menjadi kabur kembali dan kewenangan ada pada Menteri Kehutanan.

(14)

produktif dan lahan kosong dengan memanfaatkan dana reboisasi yang memang sejak awal diperuntukkan untuk itu.

Tabel 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan (Et+0) di areal PT GM, PT RTC dan PT SBK

Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, sebagai pengganti UU Nomor 5/1967, keberadaan hutan dapat dilihat dari status maupun peranannya, yaitu sebagai hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Beberapa aspek penting yang termuat dalam UU ini antara lain:

1. Berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara (termasuk hutan adat) dan hutan hak.

2. Berdasarkan fungsinya, hutan dibagi menjadi 3 yaitu: a. Hutan konservasi, yang terdiri dari hutan suaka alam,

hutan pelestarian alam dan taman buru b. Hutan lindung

c. Hutan produksi

Tingkat Kelompok Jenis PT Gunung Meranti (Btg/ha) PT RTC PT SBK Kepmenhut Dirjen PH Datar-landai Ac-curam Rata-rata Btg/ha* Btg/ha** No.200 (Btg/ha) No.151 (Btg/ha) Meranti 8.214 9.875

Semai Dipt.non meranti 1.071 250 24.369 23.966 19.312 1000 20.000 Komersial lain 10.952 18.375

Meranti 1.714 620

Pancang Dipt.non meranti 457 560 5.808 3.546 2.260 240 1.600 Komersial lain 2.724 5.540

Meranti 116 82

Tiang Dipt.non meranti 50 16 200 193 377 75 200 Komersial lain 88 48

Meranti 101 93

Pohon Dipt.non meranti 25 16 183 126 188 25 25 Komersial lain 79 53

Keterangan * ) Terdiri dari kelompok komersial ditebang, komersial tidak ditebang dan jenis lain (Indrawan 2000) **) Terdiri dari kelompok dipterocarp, non dipterocarp dan non komersial (Pamoengkas 2006) PT RTC : PT Ratah Timber Co; PT SBK: PT Sari Bumi Kusuma

3. Luas kawasan yang harus dipertahankan dalam suatu das atau pulau minimal sebesar 30% yang tersebar secara proporsional.

4. Ijin pemanfaatan hasil hutan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha swasta Indonesia dan badan usaha negara atau daerah.

5. Perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan untuk menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, konservasi dan produksi dapat tercapai secara optimal dan lestari.

6. Larangan-larangan:

- Merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan - Mengerjakan/menggunakan/menduduki kawasan hutan

secar tidak sah

- Merambah kawasan hutan

- Menebang pohon dalam radius 500 m dari tepi waduk/danau, 200 m dari mata air dan sempadan sungai di rawa, 100 m kiri kanan sungai dan 50 m kiri kanan anak sungai, 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang, 130 kali selisih pasang tertinggi dan terendah di pantai - Membakar hutan

- Menebang tanpa hak dan tanpa ijin dari pejabat berwenang

- Menerima, membeli, menjual, menyimpan hasil hutan yang berasal dari kawasan hutan yang dipungut secara tidak sah.

- Eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri

- Mengangkut, menguasai hasil hutan tanpa dokumen yang sah (SKSHH)

- Penggembalaan liar

- Membawa alat berat dan alat penebang/pemotong kayu tanpa ijin pejabat berwenang

(15)

- Mengeluarkan tumbuhan dan hewan tanpa ijin pejabat berwenang.

7. Tugas perlindungan hutan ada pada kepolisian khusus (polsus)

8. Litbang kehutanan bertujuan meningkatkan kemampuan pengurusan hutan dalam mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan nilai tambah hasil hutan. 9. Pendidikan dan latihan kehutanan bertujuan untuk

membentuk sumber daya manusia yang menguasai dan mampu memanfaatkan/mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pengurusan hutan secara adil dan lestari didasari iman dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa 10. Penyuluhan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan serta mengubah sikap dan perilaku masyarakat agar mau dan mampu mendukung pembangunan kehutanan atas dasar iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta sadar akan pentingnya sumber daya hutan bagi kehidupan manusia.

11. Kewajiban pengawasan ada pada pemerintah dan pemda. Masyarakat dan perorangan dapat berperan serta melakukan pengawasan (Bab VII).

12. Untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka otonomi daerah, maka pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah. (Bab VIII)

13. Masyarakat hukum adat yang masih ada dan diakui keberadaannya berhak untuk:

- Memungut hasil hutan untuk keperluan hidup sehari-hari

- Mengelola hutan berdasarkan hukum adat - Mendapatkan pemberdayaan

14. Penyelesaian sengketa kehutanan dapat dilakukan melalui pengadilan atau diluar pengadilan.

15. Sanksi pidana dapat diberikan kepada pihak yang melanggar ketentuan dalam UU No.41/1999 ini berupa denda uang dan pidana penjara.

Penjabaran UU No. 41/1999 dilakukan melalui Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 2002 tentang pengaturan hutan dan kehutanan, termasuk sebagian menyangkut konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Urusan pemerintahan di bidang kehutanan yang dianggap terlalu sentralistis di zaman orde baru ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah, meskipun masih menimbulkan perbedaan penafsiran di lapangan.

Kebijakan selanjutnya sebagai implementasi UU No. 41/1999 adalah Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tanggal 27 Januari 1999 dengan beberapa poin penting antara lain:

1. Pemberian HPH dengan luas lebih dari 50.000 hektar dilakukan melalui pelelangan.

2. Ada pembatasan luas HPH yang dapat diberikan kepada suatu perusahaan

3. Tanaman hasil HTI menjadi aset perusahaan yang mengusahakannya sepanjang ijinnya masih berlaku

4. Masa konsesi HPH Alam diperpanjang menjadi 20 tahun ditambah daur tanaman pokok, sedangkan masa konsesi HPH tanaman diperpanjang menjadi 35 tahun ditambah daur tanaman pokok.

5. HPH bisa dipindahtangankan 6. Koperasi dapat memperoleh HPH

7. Adanya kesatuan pengusahaan hutan produksi (KPHP). Adanya ketentuan bahwa HPH dapat digunakan sebagai jaminan kemudian mendorong pemerintah mengeluarkan produk hukum baru yaitu Peraturan Pemerintah No.34/ 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; Peraturan Pemerintah No. 35/2002 tentang Dana Reboisasi dan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2004 tentang Perencanaan Hutan.

(16)

1. Pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan kawasan 2. Kesatuan pengusahaan hutan produksi diubah menjadi

kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), disamping ada bentuk kesatuan pengelolaan hutan yang berfungsi lain seperti KPHL untuk Hutan Lindung dan KPHK untuk Hutan Konservasi

3. Hak pengusahaan hutan (HPH) diganti menjadi ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK)

4. Wewenang pemberian ijin kepada pemerintah propinsi dan kabupaten/kota.

Meskipun menggunakan nama Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) namun pemegang ijin masih dibebani berbagai pekerjaan yang sebenarnya tergolong sebagai pekerjaan pengelolaan hutan. Pemegang ijin usaha diwajibkan membayar dana reboisasi yang menjadi pendapatan negara bukan pajak, tetapi pada saat yang sama pemegang ijin masih diwajibkan melakukan kegiatan rehabilitasi hutan. Apakah tidak sebaiknya nama Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diganti dengan Hak Pengelolaan Hutan (HPH) saja?

Peraturan Pemerintah No. 34/2002 direvisi oleh Peraturan Pemerintah No. 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang berisi antara lain:

1. Diperkenalkannya Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk memberi akses kepada masyarakat pada kawasan hutan serta pembentukan lembaga keuangannya

2. Dihilangkannya pemberian IUPHHK melalui lelang

B. Pengertian Sistem Silvikultur

Silvikultur berasal dari kata sylva yang berarti hutan dan

culture yang berarti budidaya atau pengelolaan sehingga sistem

silvikultur dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan terencana yang berhubungan dengan budidaya dan pengelolaan hutan. Dalam sistem silvikultur terdapat pengaturan mengenai kelas

diameter, kelas umur, riap, kegiatan pembibitan (nursery), penanaman pengayaan (enrichment planting), pemangkasan

(pruning), penjarangan (thinning), siklus tebang, daur,

penebangan (harvesting) serta informasi silvikultur jenis (Pasaribu 2008).

Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Definisi serupa juga termuat dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 309/Kpts-II/1999.

Menurut Ditjen PH (1993) tentang pedoman teknis TPTI, sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenani pengelolan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi kayu atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews (1992) dalam Mansur (2008) sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda.

Berdasarkan keterangan di atas, tahapan suatu sistem silvikultur dapat berbeda-beda. Pada sistem tebang habis (seperti THPB), sistem silvikultur dimulai dari pembibitan atau regenerasi atau peremajaan sampai penanaman (regeneration) kemudian pemeliharaan (tending) dan pemanenan (harvesting), namun pada sistem tebang pilih (seperti TPTI) dimulai dari pemanenan, regenerasi dan pemeliharaan. Dengan demikian tahapan sistem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama, yaitu permudaan

(regeneration), pemeliharaan (tending) dan pemanenan

(17)

Sistem silvikultur dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk hutan seumur

(even-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai tumbuhan

dengan umur yang sama, biasanya terdiri dari satu jenis pohon

(monoculture), contoh sistem THPA dan THPB; sistem

silvikultur untuk tegakan beberapa umur (uneven-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai lebih dari satu umur tumbuhan namun tidak sampai membentuk strata berlapis dan sistem silvikultur untuk tegakan semua umur (all-aged forest) yaitu hutan yang mempunyai semua umur tumbuhan, dimulai dari semai, pancang, tiang dan pohon, yang ditandai oleh multi strata serta keanekaragaman jenis yang tinggi, contoh pada sistem TPI dan TPTI. Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih (selective cutting) dan sistem tebang habis (clear cutting).

Menurut Manan (1995) dalam Indrawan (2008), sistem silvukultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1. Sistem silvikultur siklus berganda (Polycyclic system), yaitu sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk dalam sistem ini karena menggunakan dua kali siklus tebang (2x35 tahun) selama rotasi 70 tahun

2. Sistem silvikultur siklus tunggal (Monocyclic system), yaitu sistem yang mempunyai jumlah penebangan (siklus tebang) yang hanya sekali selama rotasi, seperti sistem THPA dan THPB.

Sistem silvikultur siklus berganda (polycyclic system) hingga kini masih dipercaya paling aman karena berdampak minimal terhadap tapak hutan. Sistem ini banyak digunakan diberbagai negara yang mempunyai hutan alam campuran semua umur (allaged-mixed forest). Namun demikian, sistem siklus berganda mempunyai permasalahan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

a. Variasi genetik yang sangat tinggi.

Pada allaged forest selalu mengandung vegetasi tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Kenyataan ini sering mengecoh pola pemikiran linier, karena mereka beranggapan semua vegetasi dalam berbagai tingkatan mempunyai dinamika pertumbuhan yang konstan. Kenyataannya tidak selalu demikian sebab tidak adanya hubungan antara diameter dengan umur dalam beradaptasi terhadap peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya di hutan yang sangat rapat. Banyak pohon berdiameter kecil atau menengah yang telah mencapai daur teknis sehingga sangat sedikit atau sudah tidak mampu bertambah besar lagi, bahkan beberapa jenis komersial yang secara umum mampu mencapai diameter besar ternyata hanya menampilkan fenotip berukuran sedang meskipun telah berusia ratusan tahun karena tertekan di bawah kanopi jenis dominan atau faktor genetik. Di sisi lain, pohon-pohon yang berada dalam lingkungan yang lebih baik dan atau mempunyai kombinasi genetik yang lebih unggul dapat tumbuh sangat cepat dan mampu membentuk diameter besar.

b. Degradasi genetik pohon unggul atau ekonomis (the poor

performance of residual trees). Sistem tebang pilih hanya

memanen pohon-pohon yang unggul dengan diameter besar, sehingga yang tertinggal hanya pohon-pohon yang lebih kecil dan cacat sehingga dikhawatirkan terjadi degradasi genetik dalam ekosistem hutan yang menyebabkan ketidakmampuan beradaptasi dengan peningkatan ruang tumbuh dan intensitas cahaya yang ada. c. Penyebaran diameter pohon dari spesies ekonomis yang

(18)

Beberapa contoh sistem siklus berganda yang digunakan di daerah tropis antara lain Philippine selective logging system, N-queensland selective logging system, CELOS-system of Surinam, Tebang Pilih Indonesia dan Tebang Pilih Tanam Indonesia.

Sistem silvikultur dengan siklus tunggal (monocyclic

system) menerapkan sistem tebang habis dan penanaman

dilakukan serentak sehingga vegetasi hutan tumbuh bersama sampai mencapai daur dan siap tebang pada siklus berikutnya. Pada hutan alam campuran sistem ini sangat jarang digunakan, karena merusak keanekaragaman jenis yang tinggi serta penurunan kualitas tapak. Namun demikian dengan berbagai pertimbangan ekonomi serta kemudahan dalam pengelolaannya sistem ini masih sering diadopsi diberbagai tempat dan negara. Beberapa sistem silvikultur siklus tunggal ini adalah Malayan Regeneration Improvement System (MRIS), Malayan Uniform System (MUS), Tropical Shelterwood System in West Africa, High Shade Shelterwood System (HSSS) of Trinidad, Andaman Canopy Lifting System, THPA, THPB (untuk Hutan Tanaman Industri) dan lain-lain.

Berdasarkan pemilihan jenis, sistem silvikultur dibedakan menjadi dua, yaitu sistem silvikultur untuk jenis toleran/ semi toleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan naungan penuh atau sebagian untuk pertumbuhannya dan sistem silvikultur untuk jenis intoleran, yaitu jenis-jenis yang memerlukan cahaya penuh agar pertumbuhan berjalan optimal. Yang termasuk jenis toleran adalah meranti dan jenis-jenis dari Dipterocarpaceae dan jenis intoleran seperti sengon

(Paraserianthes falcataria), jabon (Anthocephalus cadamba)

dan lain-lain. Sesuai dengan sifatnya, jenis intoleran mampu memanfaatkan sinar matahari secara maksimal, sehingga pertumbuhannya dapat berlangsung lebih cepat, namun tidak semua jenis intoleran masuk dalam kelompok jenis cepat tumbuh (fast growing species) seperti jati (Tectona grandis), sungkai (Peronema canescens) dan lain-lain.

Setelah berjalan lebih dari 20 tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi (Indrawan 2008). Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mosaik (Pasaribu 2008; Suhendang 2008) yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multi sistem silvikultur (multiple silvicultural system) menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya.

Menurut Indrawan (2008) multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi.

Suhendang (2008) menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal (single silvicultural system) dan sistem silvikultur jamak (multiple silvicultural system).

(19)

lingkungan dan lain-lain. Menurut Soekotjo (2009) teknik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

1. Teknik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies (genetik), manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu (integrated pest management).

2. Teknik perlindungan tempat tumbuh (agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya) dan pohon (dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis)

3. Teknik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan.

C. Landasan Sistem Silvikultur

1. Prinsip sistem silvikultur

Dalam menentukan sistem silvikultur harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Azas kelestarian hutan

- Tidak terjadi penurunan atau kekosongan produksi jenis komersial pada rotasi tebang berikutnya.

- Konservasi tanah dan air

- Perlindungan hutan dari gangguan. b. Teknik silvikultur.

Teknik silvikultur yang digunakan harus sesuai dengan: - Keadaan tempat tumbuh atau tapak (site)

- Tipe hutan, baik komposisi maupun struktur hutan - Karakteristik pertumbuhan tiap jenis pohon. c. Pengusahaan hutan yang menguntungkan

d. Transparan, yaitu dapat diawasi secara efektif dan efisien e. Pengusahaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat

sekitar kawasan hutan.

Menurut Soerianegara (1970), pemilihan dan penggunaan sistem silvikultur di daerah tropika ditentukan oleh:

a. Syarat penggunaan sistem masing-masing

Setiap sistem silvikultur telah didesain dalam kerangka kerja yang jelas dan terarah, sehingga sering kali mencantumkan syarat-syarat teknis yang harus dijalani. Contoh persyaratan sistem silvikultur tebang pilih adalah penerapan batas limit diameter dalam penebangan, penetapan rotasi tebang, jumlah dan batas diameter pohon inti atau alokasi waktu dalam setiap tahapan kegiatan. b. Tipe hutan yang terdiri dari struktur dan komposisi hutan.

Suatu sistem silvikultur dirancang dengan memperhatikan stuktur hutan awal dan struktur hutan yang akan terbentuk kemudian. Pada hutan hujan tropis memilki strata yang berlapis. Untuk menjaga dan meminimalisir kerusakan struktur hutan diterapkan sistem tebang pilih (selective

longging) dengan limit diameter. Komposisi hutan adalah

susunan vegetasi penyusun tegakan. Beberapa ahli menghawatirnya kemunduran komposisi tegakan pada sistem tebang pilih, karena hanya beberapa jenis komersial yang diambil.

c. Sifat silvikultur dan ekologi jenis pohon

Setiap jenis pohon mempunyai sifat dan karakteristik berbeda-beda. Pembedaan sifat yang melekat pada suatu pohon sering dilihat dari sudut toleran (perlu naungan) atau intoleran (perlu cahaya penuh), jenis cepat tumbuh (fast

growing species) atau lambat tumbuh (slow growing species), komersial atau non komersial, jenis terapung atau

tenggelam, sifat fisik kayu, riap pohon, arsitek batang, asosiasi, kesesuaian dengan tempat tumbuh, ketahanan terhadap hama dan penyakit dan lain-lain.

d. Produktifitas dan nilai ekonomi jenis pohon

(20)

a) Pemilihan jenis yang paling unggul dalam pertumbuhan dan harga

b) Lebih mudah memanipulasi lingkungan c) Menggunakan bibit unggul

d) Hasil lebih besar

e) Pemanfaatan lahan lebih optimal f) Memungkinkan mekanisasi g) Biaya operasinal dapat diturunkan h) Cepat regenerasi

i) Ukuran pohon lebih seragam j) Perbaikan kualitas kayu

k) Sistem silvikultur lebih sederhana dan mudah dipahami

e. Teknik penebangan yang dipakai

Pilihan pada teknik penebangan dapat mempengaruhi teknik silvikultur yang dipakai. Dalam sistem tebang pilih, teknik penebangan diarahkan pada jenis komersial terpilih dan meminimalkan kerusakan tegakan tinggal. Penebangan pada jalur bersih sering diarahkan pada pembersihan lahan untuk tujuan penanaman dari awal. Pada daerah yang mempunyai topografi curam penebangan dan penyaradan menggunakan sistem kabel. Sistem tebang habis diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pekerjaan melalui penyederhanaan ekosistem. Pekerjaan pemanenan, peremajaan dan pemeliharaan dilakukan serentak dalam areal yang cukup luas dengan teknik yang lebih sederhana sehingga dapat meminimalisir biaya.

f. Pendanaan

Setiap kegiatan akan berhasil baik apabila ditunjang dengan pendanaan kegiatan yang cukup, misalnya untuk pemenuhan sarana dan prasarana, adminsitrasi, upah tenaga kerja dan biaya produksi, peremajaan, pemeliharaan dan lain-lain.

2. Pengelolaan tapak hutan

Sistem silvikultur diperlukan dalam rangka pengelolaan hutan secara ekonomi menguntungkan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan (ekonomi dan ekologi) serta dapat memberi manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat, khusus yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pengelolaan tegakan sebagai subyek (seperti komposisi, struktur dan dinamika tegakan, kualitas pohon, riap, regenerasi dll) dan tempat tumbuh atau tapak (site), yaitu komponen lingkungan. Menurut Lamprecht (1990) faktor tapak terdiri dari suhu, curah hujan, kelembaban, sinar, unsur hara (di tanah dan udara), angin (mechanical factors) dan kombinasinya. Lebih jauh, sistem harus memperhatikan komponen site relationship triangle yang terdiri dari faktor tanah (edapis), iklim (klimatis) dan vegetasi. Menurut Pancel (1993) variasi dari komponen-komponen tersebut akan menentukan sistem silvikultur yang dipakai serta hasil yang akan diperoleh.

Sistem silvikultur diciptakan agar hutan mampu menjalankan fungsi dengan baik, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Salah satu keunikan pengelolaan hutan dalam rangka memenuhi fungsi produksi adalah tegakan hutan yang berperan sebagai alat produksi sekaligus sebagai hasil dari produksi itu sendiri. Sementara itu, untuk menciptakan pengelolaan hutan lestari, prinsip yang dipakai tidak sekedar menciptakan kelestraian hasil, namun harus didasarkan pada pengelolaan ekosistem hutan agar fungsi hutan dapat berjalan secara kontinyu. Pengelolaan hutan alam dilakukan dengan merekayasa sebagian kecil dari ekosistem hutan untuk memenuhi fungsi produksi dan sebagian besar masih dipertahankan.

Menurut Mitlöhner (2009), kecenderungan teknik pengelolaan hutan dunia saat ini adalah kembali ke alam (back

to nature). Pada awalnya hutan berada dalam kondisi klimak

(21)

keseimbangan ekosistem dalam hutan adalah kematian pohon secara alami yang disebabkan telah tercapainya daur biologis pohon tersebut. Pohon yang mati akan menciptakan ruang tumbuh bagi permudaan sebagai bagian dari suksesi hutan. Kematian sekelompok pohon juga dapat terjadi disebabkan oleh bencana alam. Makin besar bencana yang terjadi makin lambat suksesi mencapai klimaknya seperti semula. Sistem tebang pilih individu atau tebang pilih dalam kelompok pohon dapat menyerupai fenoma alam ini. Dengan demikian, pengelolaan hutan tidak lagi menggunakan prinsip kelestarian hasil namun berubah menjadi prinsip pengelolaan hutan lestari yang mengedepankan pengelolaan ekosistem hutan.

Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari tiga dasawarsa, kondisi ekologis kawasan hutan tropis di Indonesia sangat bervariasi, mulai dari yang masih asli sebagai hutan primer maupun yang telah berubah menjadi hutan bekas tebangan atau hutan sekunder, hutan rawang, semak dan belukar, padang herba (alang-alang, paku-pakuan) sampai pada lahan kosong.

Hutan primer masih mempunyai kondisi ekologis yang baik dan sering dijadikan rujukan untuk menilai perubahan dan tingkat degradasi hutan dalam berbagai penelitian. Struktur dan komposisi tegakan sangat beragam dan komplek. Puluhan ribu jenis vegetasi dalam berbagai tingkatan umur terdapat di sana menyebar secara randon dan contigious dalam strata yang berlapis-lapis. Hutan tropis tumbuh lebat dan selalu hijau padahal hanya tumbuh pada kondisi tanah marginal. Dalam kondisi itu, ekosistem hutan membentuk siklus hara tertutup. Menurut McKinnon (2000) mekanisme siklus hara tertutup pada hutan hujan tropis mampu mempertahankan kesuburan lapisan atas tanah dan proses kehilangan unsur hara masih dapat diabaikan karena diimbangi oleh proses pembentukan kembali, kecuali dalam beberapa kasus, unsur Kalium sering tercuci lebih besar. Sistem silvikultur tebang pilih telah dipercaya para ahli selama puluhan tahun sebagai sistem yang mempunyai serangkaian teknik berdampak minimal terhadap ekosistem hutan. Pembinaan hutan setelah pemanenan

disarankan terutama untuk pemeliharaan pohon inti dan permudaan termasuk kegiatan rehabilitasi lahan yang kurang dan tidak produktif agar menjadi tegakan hutan sekunder yang baik sehingga mampu menciptakan kelestarian hasil.

Pada hutan sekunder dengan keadaan tapak yang lebih terbuka dan kondisi tegakan tidak selebat pada hutan primer dapat disarankan menggunakan sistem tebang pilih dan tanam jalur atau rumpang. Sistem ini yang mengkombinasi polycyclic

system pada jalur antara atau areal konservasi dan monocyclic system pada jalur bersih (jalur tanam) atau rumpang. Pada jalur

antara ekosistem relatif tidak mengalami perubahan yang menyolok dan dapat berfungsi sebagai konservasi hutan dan menjaga keanekaragaman jenis, menjaga kondisi tapak serta menciptakan ruang tumbuh yang optimal bagi tanaman yang berada dalam jalur tanam seperti berbagai jenis Shorea spp yang berifat toleran dan semi toleran. Jalur tanam ditujukan untuk penanaman dan pengayaan jenis terpilih yang bernilai komersil tinggi dan cepat tumbuh seperti Shorea leprosula, s.

parvifolia, s. smithiana, s. johorensis, s. macrophylla, s.ovalis,

s. platyclados, s. selanica, dan lain-lain.

Pada hutan rawang (low potential forest), hutan terdegradasi (degraded forest), semak belukar (shrub and bushes) dan padang alang-alang (grass land) serta lahan kosong

dapat diterapkan pembinaan hutan yang lebih intensif atau menggunakan sistem tebang habis dan penanaman buatan. Secara umum areal ini mempunyai tapak yang kurang mendukung terjadinya suksesi komersial secara alami. Daerah ini mempunyai intensitas sinar yang berlebih sehingga tidak sesuai untuk suksesi jenis Dipterocarpaceae secara langsung disamping rawan pencucian unsur hara, erosi dan terbakar yang berdampak pada semakin menurunnya kesuburan tanah. Kondisi tegakan biasanya didominasi jenis pionir seperti alaban

(vitex pubescens), mahang (Macaranga spp), jabon

(22)

Sistem silvikultur yang diterapkan pada suatu kawasan harus sesuai dengan kondisi tapak setempat. Di daerah tropis kondisi tapak dicirikan dengan intensitas sinar, suhu, kelembaban dan curah hujan yang tinggi dan merata. Keadaan ini menyebabkan pelapukan (oleh alam) dan penguraian (oleh mikroba) berjalan lebih cepat. Pada kondisi yang terbuka faktor pelapukan lebih dominan. Struktur dan agregat tanah akan mengalami kerusakan oleh tumbukan air hujan sehingga sangat rawan erosi dan pencucian.

Keadaan tanah umumnya marginal (kurang dan tidak subur) dengan kesuburan dan pH yang rendah. Kandungan biomass pada hutan tropis sebagian besar (hampir 75 %) berada dalam vegetasi. Kegiatan penebangan dan pemanfaatan pohon dalam jumlah besar dari hutan berarti pengurangan sejumlah besar biomassa dari daerah tersebut yang dapat berakibat penurunan potensi biomassa dan mengganggu neraca hara. Selama ekosistem hutan masih terjada, kelangsungan pertumbuhan hutan ditopang oleh siklus hara tertutup. Sistem silvikultur yang dipakai harus dapat melindungi ekosistem hutan dan menjamin kelestarian berbagai fungsi yang telah berjalan dengan baik.

Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan seperti:

a. Tidak menimbulkan pembukaan lahan secara besar-besaran karena dapat memperbesar erosi dan pencucian hara.

b. Tidak mengambil biomassa (tegakan) dalam jumlah yang melebihi daya dukung hutan. Penebangan hendaknya sama atau lebih kecil dari riap hutan.

c. Mempertahankan siklus hara tertutup untuk menjaga kesuburan tanah dan kondisi tapak secara keseluruhan serta menjamin kontinyuitas pertumbuhan tegakan

d. Mempertahankan strata dalam hutan untuk menjamin kelangsungan regenerasi dan perlindungan tanah. Banyak jenis-jenis dalam hutan yang bersifat toleran dan

semi toleran yang memerlukan naungan pada awal pertumbuhannya.

e. Mempertahankan lapisan serasah dan humus di permukaan tanah sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhan vegetasi.

f. Penebangan harus meminimalkan pembukaan areal dan kerusakan tegakan tinggal

g. Secara ekonomi masih menguntungkan. h. Bermanfaat bagi masyarakat

Sistem silvikultur harus sesuai dengan kondisi tegakan hutan. Hutan alam tropis mempunyai komposisi, struktur, dinamika, karakteristik dan nilai ekonomi yang spesifik.

a. Komposisi vegetasi dalam hutan alam tropis sangat banyak dan beragam yang menyebabkan jumlah jenis per satuan luas lahan menurun. Menurut Whitmore (1975) dan Mc Kinnon, K. (2000) variasi vegetasi dalam hutan tropis Kalimantan berkisar 25.000 sampai 30.000 jenis dan sekitar 4000 diantaranya tumbuhan berkayu. Jenis komersial diperkirakan hanya 450 jenis yang didominasi famili Dipterocarpaceae, seperti marga Shorea (sekitar 200 jenis),

Dipterocarpus, Dryobalanops, Hovea, Vatica, Anisoptera

dan Parashorea. Jenis komersial lainnya seperti Scapium

podocarpum, ulin (Eusyderoxilon zwageri), Aghatis

bornensis, marijang (Sindora sp), kempas (Koompassia malaccensis), nyatoh (Palaquium sp) dan lain-lain.

Dominasi famili Dipterocarpaceae pada pohon-pohon dalam hutan tropis, khususnya di wilayah Indonesia bagian Barat yang mencapai 70-80%, menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan Dipterocarpaceae (Mc Kinnon

et al. 2000).

b. Struktur vertikal hutan hujan tropis mempunyai beberapa strata yang berguna untuk regenerasi dan perlindungan tanah

(23)

nilai distribusi = 1 yang menunjukkan pola random (menyebar) pada beberapa jenis lainnya.

d. Pada hutan primer umumnya telah mencapai klimak. Suksesi alami terjadi ketika terjadi celah (gap), misalnya pada saat pohon tua mati atau karena bencana alam dan pengaruh manusia.

e. Jenis komersial seperti famili Dipterocarpaceae umumnya bersifat toleran (perlu naungan) dan semi toleran pada awal pertumbuhannya, kemudian berubah pada saat dewasa. f. Semua tumbuhan di hutan tropis melakukan simbiosis

dengan cendawan (mikoriza). Perlakuan yang diberikan pada tumbuhan harus memperhatikan keberadaan dan karakteristik kehidupan mikorisa pula.

Dengan demikian sistem silvikultur yang diterapkan pada hutan alam tropis harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Menjaga komposisi dan keanekaragaman jenis dalam hutan

tropis

b. Mempertahankan struktur hutan dengan 5 strata secara vertikal

c. Distribusi contigious dan random dapat dirubah menjadi reguler (merata) dengan melakukan enrichment planting. d. Teknik penebangan meniru pola regenerasi hutan alami

melalui sistem tebang pilih individu (seperti TPI dan TPTI) atau sistem tebang pilih kelompok, baik kelompok melingkar (rumpang) atau memanjang (TPTJ dan TPTII). e. Penanaman dan pemeliharaan permudaan alam

memperhatikan karakteristik jenis, misalnya memberi naungan ringan pada tingkat anakan jenis Dipterocarpaceae dengan cara ditanam dalam celah. Apabila tidak tersedia celah dengan intensitas cahaya yang cukup maka permudaan yang melimpah di lantai hutan akan mengalami staknasi pertumbuhan.

f. Tetap menjaga kondisi tanah melalui mekanisme siklus hara tertutup

g. Mempertahankan keberadaan dan fungsi pengurai (cendawan-mikoriza, bakteri, serangga dan lain-lain) sebagai bagian penting dalam ekosistem hutan.

h. Melakukan kegiatan penanaman dan pengayaan jenis

(enrichment planting)

i. Melakukan kegiatan perawatan tanaman untuk menekan gulma dan menciptakan ruang tumbuh tanaman yang optimal

j. Melakukan pembebasan dan penjarangan untuk menciptakan ruang tumbuh yang lebih baik bagi pohon binaan.

Dengan demikian faktor tapak dan kondisi vegetasi sangat diperlukan dalam menentukan suatu sistem silvikultur yang terkait dengan karakteristik pertumbuhan jenis-jenis yang dipilih. Perlakuan sistem silvikultur dengan memodifikasi tapak hutan untuk mendapatkan intensitas sinar yang cukup bagi pertumbuhan permudaan hutan dengan meminimalkan perubahan ekosistem hutan menjadi pilihan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari. Beberapa teknik silvikultur dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini, seperti:

a. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 50 atau 60 cm ke atas) dapat meningkatkan intensitas sinar di lantai hutan, khususnya pada lokasi pohon ditebang. Pola ini meniru perilaku hutan dalam kasus terciptanya celah pada saat pohon tua tumbang.

b. Menebang dengan limit diameter tertentu (misalnya 40 cm ke atas) dalam jalur antara atau areal konservasi

c. Menebang habis pada kelompok pohon dalam rangka membuat rumpang dengan jari-jari setinggi pohon besar yang rebah dapat menciptakan ruang terbuka dengan intensitas sinar yang optimum untuk memacu pertumbuhan permudaan alam atau tanaman jenis meranti

(24)

intensitas sinar optimum untuk memacu pertumbuhan tanaman meranti atau permudaan lainnya.

e. Pada metode line enrichment dengan lebar jalur bersih 2 meter dan pada batas kiri dan kanan jalur masing-masing selebar 4 m, seluruh pohon yang tingginya > 4 m ditebang, juga dapat menciptakan ruang tumbuh dengan intensitas sinar yang baik untuk memacu anakan alam serta tanaman meranti.

f. Pada line enrichment yang dimodifikasi Catinot, lebar jalur 5 m dan semua pohon pada jalur tanam yang berdiameter < 15 cm ditebang serta pohon berdiameter > 15 cm diteres. g. Variasi jarak tanam dalam jalur tanam sebesar 2,5 m pada

sistem TPTII atau 3 m pada line enrichment Catinot atau 5 m dalam TPTJ atau pada kegiatan penanaman yang lain tidak memberi pengaruh berarti pada saat tanaman berumur kurang dari 5 tahun. Namun demikian jarak tanam yang lebih rapat dapat meningkatkan kerapatan tanaman (N/ha) sehingga prosen jadi tanaman serta jumlah tanaman di akhir daur dapat lebih banyak sehingga dapat meningkatkan potensi dan produktifitas hutan. Tanaman yang ditanam dalam jalur tanam mempunyai variasi genetik yang tinggi sehingga seleksi tanaman yang mempunyai kualitas baik akan lebih menguntungkan bila dilakukan pada kasus dengan kerapatan yang lebih tinggi.

Sebagai contoh, dengan menggunakan lebar jalur tanam 3 meter, maka pada jarak tanam 2,5 m x 17 m (pada sistem TPTII) dan 5 m x 25 m (pada sistem TPTJ) masing-masing akan mempunyai kerapatan 200 tanaman/ha dan 80 tanaman/ha. Dengan asumsi faktor areal efektif 76%, prosen hidup tanaman unggul di akhir daur 61% serta faktor eksploitasi 70%, maka jumlah pohon yang dapat diambil pada saat pemanenan masing-masing sebesar 93 pohon/ha dan 37 pohon/ha dengan kubikasi masing-masing (93 x V/phn x 0,7) m3/ha dan (37 x V/phn x 0,7) m3/ha.

Dengan demikian sepanjang kegiatan pemuliaan pohon belum mendapatkan hasil yang baik dan bibit yang

diproduksi masih mempunyai variasi genetik yang tinggi atau cenderung berkualitas rendah, maka penerapan jarak tanam dalam jalur tanam sebaiknya lebih pendek.

Teknik rekayasan tapak hutan (lingkungan) dilakukan melalui faktor-faktor yang masih memungkinkan dengan biaya yang rasional. Sifat fisik tanah seperti lereng, aspek, kondisi struktur dan tekstur tanah umumnya sulit untuk dimanipulasi sedangkan sifat kimia tanah pada hutan tanaman masih memungkinkan, misalnya melalui pengapuran dan pemupukan, namun pada hutan alam hampir tidak rasional. Rekayasa tapak hutan yang paling efektif dilakukan pada pengelolaan hutan alam adalah pembuatan celah (jalur atau rumpang) untuk meningkatkan intensitas sinar yang sampai ke lantai hutan dalam rangka perbaikan mekanisme regenerasi, yaitu mempercepat pertumbuhan anakan Dipterocarpaceae serta permudaan lainnya.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan tapak hutan adalah: a. Intensitas sinar

Intensitas sinar berkaitan dengan perolehan energi untuk proses fotosintesis yang dilakukan pada organ-organ tanaman yang mengandung zat hijau daun (klorofil) dengan menggunakan karbondioksida (CO2) dari udara dan air (H2O). Proses endoterm ini menghasilkan karbohidrat (C6H12O6) dan gas oksigen (O2) dari proses fotofosforilasi yang dilepas ke udara. Persamaan reaksi fotosintesis adalah adalah:

sinar

6CO2+ 6H2O C6H12O6+ 6O2

klorofil

(25)

oksigen (O2) menghasilkan 6 molekul karbondioksida, 6 molekul air dan energi sebesar 674 kalori. Kalori inilah yang dipergunakan untuk menjalankan metabolisme tumbuhan. Persamaan reaksi eksoterm dalam proses respirasi (kebalikan dari reaksi endoterm dalam proses fotosintesis) adalah proses oksidasi sebagai berikut:

C6H12O6+ 6O2 6CO2+ 6H2O + 674 kalori

b. Suhu

Suhu (temperature) merupakan salah satu faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman. Setiap jenis tanaman mempunyai relung suhu tertentu untuk menjalankan proses metabolisme. Suhu yang terlalu rendah atau tinggi dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan tanaman. Menurut Ormorod (1961), semakin tinggi suhu maka semakin banyak cahaya yang diperlukan agar tanaman dapat berfotosintesis secara normal.

Suhu mempengaruhi kegiatan fotosintesa, respirasi, serapan air dan hara, aktifitas enzym, koagulasi protein dan permeabilitas dinding sel (bila suhu rendah maka translokasi berjalan lambat karena dinding sel kurang melewatkan cairan sebaliknya bila suhu tinggi terjadi denaturasi protein).

Sebagai contoh, tanaman jenis akasia mangium dan jabon memerlukan kisaran suhu antara 18-34oC (Deptan, 1980a), tanaman sungkai hidup baik pada suhu 21-34oC (Hatta, 1999), tanaman sengon mampu tumbuh pada suhu 18-31oC (Dephut, 1998) dan tanaman meranti memerlukan suhu yang lebih rendah pada awal pertumbuhannya kemudian mampu hidup pada suhu yang lebih tinggi di daerah tropis (Mc Kinnon et al, 2000). Iklim mikro dalam hutan mempunyai kisaran suhu yang lebih rendah dibanding suhu di luar hutan.

c. Curah hujan

Besarnya curah hujan (precipitation) yang terjadi di suatu wilayah terutama dipengaruhi oleh letak geografisnya. Angin muson dan angin pasat yang berasal dari lautan membawa uap air sebaliknya yang berasal dari daratan biasanya kering. Musim hujan di Indonesia terjadi pada saat posisi matahari

berada di Lintang Selatan (bulan Oktober-Maret) sehingga terjadi pergerakan angin dari arah Timur Laut (samudera pasifik) menuju wilayah Indonesia yang membawa banyak uap air. Sebaliknya, musim kemarau terjadi pada saat posisi matahari di Lintang Utara (bulan April-September) sehingga pergerakan angin yang menuju wilayah Indonesia berasal dari Tenggara (benua Australia) yang relatif kering. Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa hutan dapat memompa udara dari lautan menuju daratan sehingga dapat meningkatkan curah hujan. Disamping berasal dari lautan, uap air juga berasal dari proses evapotranspirasi.

Curah hujan merupakan komponen iklim yang paling penting di daerah tropis. Schmidt and Ferguson menciptakan klasifikasi iklim berdasarkan jumlah dan karakteristik curah hujan. Perbandingan antara bulan kering (<100 mm/bln) dan bulan basah membentuk iklim A (basah), B (cukup basah), C (kering) dan seterusnya. Pada umumnya wilyah Indonesia membentuk iklim A dan B dan sedikit iklim C seperti di beberapa tempat di wilayah Nusa Tenggara Timur. Tingginya curah hujan di hutan tropis menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan hujan tropis (tropical rain forest) (Whitmore, 1975).

d. Kelembaban

Curah hujan yang tinggi dan merata menyebabkan tingkat kelembapan udara (humidity) dalam hutan tropis juga tinggi. Kelembaban yang tinggi sangat diperlukan dalam proses perkecambahan biji di lantai hutan serta munculnya tunas-tunas baru sebagai komponen penting dalam regenerasi hutan. Kelembaban juga dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme dan menopang proses penguraian bahan organik. Terbentuknya iklim mikro yang selalu lembab dalam hutan menyebabkan hutan ini sering disebut sebagai hutan tropika basah (tropical

Gambar

Gambar 1. State of the art penerapan sistem silvikultur padahutan produksi
Gambar 3.TegakanKalimantan Selatan, dibangun menggunakan
Gambar 5.Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhanpohon
Gambar 6. Kurva pertumbuhan pohon (CAI dan MAI)
+7

Referensi

Dokumen terkait

21 tahun 1970 dinyatakan bahwa Hak Pengusahaan Hutan adalah hak untuk mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan

Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur yang diterapkan pada areal HPH, khususnya pada areal hutan hujan

Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang IUPHHK telah melakukan kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur yang diterapkan pada areal HPH, khususnya pada areal hutan hujan

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dapat meningkatkan riap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman meranti Shorea johorensis, Shorea leprosula dan Shorea parvifolia pada

Semak Belukar B/2007 Kawasan bekas hutan lahan kering yang telah tumbuh kembali atau kawasan dengan liputan pohon jarang (alami) atau kawasan dengan dominasi vegetasi

Pemantapan Kawasan Hutan dengan sasaran terselenggaranya Peran serta Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan pada Zona Hutan Produksi yang semula adalah semak belukar

Tebang Pilih Indonesia (TPI) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) adalah sistem silvikultur yang diterapkan pada areal HPH, khususnya pada areal hutan hujan