• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P MODUL 1

SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA

PADA

DIKLAT WAS-GANIS

PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

Oleh: ELIAS

DOSEN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P MODUL 1: SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA

1. Tujuan

Tujuan modul 1 ini adalah agar peserta pelatihan setelah mengikuti pelatihan dapat memahami dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan silvikultur, sistem silvikultur, dan teknik silvikultur, bermacam-macam dan persyaratan sistem silvikultur yang berlaku di Indonesia, dan teknik-teknik silvikultur.

2. Pengertian Silvikultur, Sistem Silvikultur, Teknik Silvikultur dan Multisistem Silvikultur

Pengertian Silvikultur

Silvikultur adalah ilmu dan seni untuk mengelola tegakan hutan melalui pembangunan dan pengendalian tegakan, pertumbuhan, struktur dan komposisi tegakan, dan kualitas tegakan sesuai degan tujuan pengelolaan hutan yang ditetapkan.

Secara umum pengertian silvikultur adalah - Seni memproduksi hutan

- Penerapan pengetahuan silvika dalam perlakuan-perlakuan terhadap hutan - Tiori dan praktek pengendalian pembangunan hutan

Pengertian Sistem Silvikultur

Secara umum pengertian system silvikultur adalah suatu proses memproduksi hutan yang merupakan suatu siklus yang terdiri dari mata rantai-mata rantai komponen kegiatan yang berurutan satu sama lainnya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, penjarangan, pemanenan) untuk mencapai tujuan tertentu dalam pengelolaan hutan.

Jadi system silvikultur merupakan salah satu bagian penting (subsistem) dari system pengelolaan hutan, yang dapat menjamin kelestarian ekosistem hutan. Menurut Society of American Foresters dalam Suhendang (2008), system silvikultur didefinisikan sebagai suatu rangkaian perlakuan yang terencana terdiri atas pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali dari suatu tegakan.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, system silvikultur adalah system pemanenan sesuai tapak/tempat tumbuh berdasarkan formasi terbentuknya hutan yaitu proses klimatis dan edafis dan tipe-tipe hutan yang terbentuk dalam rangka pengelolaan hutan lestari atau system teknik bercocok tanaman dan memanen.

(3)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P Sistem silvikultur dapat dibedakan:

(1) Menurut siklus penebangannya, yaitu:

- Sistem Polycyclic yaitu jumlah penebangan yang lebih dari satu kali selama rotasi. Contohnya system TPTI

- Sistem Monocyclic yaitu jemlah penebangan yang hanya sekali dalam satu rotasi. Contohnya sistem THPB dan sistem THPA.

(2) Menurut banyaknya klas umur tegakan, yaitu: - Coppige

- Even-age - Two aged - Uneven-age

(3) Menurut metode regenerasi tegakannya, yaitu: - Clear cutting

- Seed tree - Shelter wood - Selection - Coppice

(4) Menurut system pemanenannya, yaitu: - Tebang pilih

- Tebang habis - Tebang rumpang - Tebang jalur

Pengertian Teknik Silvikultur

Teknik silvikultur adalah penggunaan teknik-teknik atau perlakuan tehadap hutan untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan. Perlakuan tersebut dapat dilakukan pada tahap permudaan, pemeliharaan dan penjarangan, serta pemanenan. Teknik silvikultur menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009, antara lain berupa: pemilihan jenis, pemuliaan pohon, penyediaan bibit, manipulasi lingkungan, penanaman dan pemeliharaan.

Aspek pengembang teknik dan teknologi sangat penting dalam pengembangan system system silvikultur yang meliputi aspek pemuliaan pohon. Manipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu.

Perlakuan teknik silvikultur sangat tergantung dari system silvikurtur yang dipergunakan dan tujuan pengelolan hutan. Perlakuan silvikultur yang memberikan input/energi yang besar disebut silvikultur intensif/SILIN, sedangkan perlakuan silvikultur yang

memberikan input energi yang kecil atau hanya diserahkan pada alam disebut silvikultur extensif/SILEX.

Secara umum teknik silvikultur dapat diterapkan dalam: - Pemilihan jenis tanaman

(4)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P - Perbenihan dan persemaian

- Seleksi dan pengangkutan bibit - Penyiapan lahan

- Penanaman, termasuk penentuan jarak tanam

- Pemeliharaan tanaman yang termasuk penyulaman tanaman - Pemberantasan gulma

- Pemupukan - Penjarangan dan

- Pengendalian hama dan penyakit

Pengertian Multisistem Silvikultur

Multisistem silvikultur adalah system pengelolaan hutan produksi yang terdiri dari dua atau lebih system silvikultur yang diterapkan pada suatu areal pengusahaan hutan dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian keawasan hutan produksi. Multisistem silvikultur diterapkan dalam pengusahaan hutan di Indonesia mengingat keadaan mosaic areal hutan dan kondisi hutan di Indonesia telah mengalamai perubahan yang sangat besar, yakni menjadi sangat beragam dan pada umumnya mengalami perubahan perubahan potensi dan ekologinya. Contoh multisistem silvikultur dalam suatu unit pengusahaan hutan adalah terdapat lebih dari satu system silvikultur yang diterapkan, misalnya TPTI dan TPTII; TPTJ dan THPB; THPA dan THPB Pola Agroforestry.

Menurut Pasaribu (2008) penerapan multisistem silvikultur perlu memperhatikan: (1) Keberadaan hutan prawan yang kompak dan LOA yang masih baik

(2) Hutan perawan yang lokasinya tersebar dan LOA yang masih baik

(3) LOA tersebar dengan kondisi tidak cukup anakan asli setempat dan dominasi alang-alang dan semak belukar.

(4) LOA dengan kondisi baik dan kemampuan regeneratif alami dan areal tidak peka erosi.

Menurut PP 6 Tahun 2007 dasar-dasar pemilihan silvikultur didasarkan pada pendekatan (Pasaribu, 2008):

(1) Keanekaragaman hayati, berdasarkan tipe hutan sesuai formasi klimatis (hutan hujan tropis, hutan monsoon, hutan gambut) dan formasi edafis (hutan rawa, hutan payau, hutan payau).

(2) Topografi, geografi, geologi, dan tanah (3) Konservasi tanah dan air

(4) Teknologi

(5) Tujuan pengelolaan hutan.

(5)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P 3. Dasar Hukum Penerapan Sistem Silvikultur

Dasar hokum kebijakan teknis dan kebijakan operasional penerapan silvikultur dalam pengelolaan hutan di Indonesia adalah sebagai berikut:

(1) Sistem TPI, THPB, dan THPA penerapannya berdasarkan Keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/1972

(2) Sistem TPTII, THPB, dan THPA penerapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 485/Kpts-II/1989, Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHH/1903

(3) System TPTJ penerapannya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 625/Kpts-II/1998, yang telah dicabut dengan Peraturan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 309/Kpts-II/1999 dan selanjutnya dicabut dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2995.

(4) Sistem TPTII diterapkan berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. SK. 226/VI-BPHA/2005.

(5) Standar Sistem Silvikultur pada Hutan Alam Tanah Kering atau Hutan Alam Tanah Basah/Rawa dijelaskan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. P. 30/Menhut-II/2005.

(6) Sistem THPB, THPA, TPTI, Tebang Rumpang (TR), TPTJ diterapkan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/Menhut-II/2009.

4. Sistem-Sistem Silvikultur di Indonesia

Daur dan siklus tebangan system-sistem silbikultur yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009 dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daur dan Siklus Tebangan dalam Sistem-Sistem Silvikultur yang ditetapkan Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 11/Menhut-II/2009

No Sistem Silvikultur Limit Diameter (Cm) Daur/Rotasi/Siklus Tebang

1 Tegakan Seumur (THPB dan THPA)

- Masak tebang

ekonomis 2 Tegakan Tidak Seumur ya

2.1. TPTI atau TR ≥ 40 Cm pada HP & HK 50 Cm pada HPT

30 tahun 2.2. TPTJ di hutan tanah

kering

Tebang habis pada jalur 3 m ≥ 40 Cm pada jalur antara/kotor

25 tahun

2.3. Di hutan rawa ≥ 30Cm 40 tahun

2.4. Di hutan

payau/manggrove

10 Cm untuk kayu chips 20 tahun 2.5. Di hutan

payau/manggrove

10 Cm untuk kayu arang 30 tahun

(6)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P 5. Teknik-Teknik Silvikultur SILIN di Hutan Alam

Persyaratan Pemilihan Teknik SILIN di Hutan Alam

Kapasitas produksi hutan dapat ditingkatkan melalui penerapan teknik silvikultur yang sekaligus dapat memaksimalkan manfaat social ekonomi masyarakat setempat, ekonomi dan ekologi.

Menurut Sabarnurdin, Budiadi dan Widiyatno (2008), dalam memilih teknik silvikultur didasarkan persyaratan-persyaratan sbb:

(1) Persyaratan ekologi jenis tanaman (2) Kondisi seed bed alamiah

(3) Pengaruh pemanenan terhadap fauna dan flora (4) Tepe kedalaman tanah, aspek dan kelerengan (5) Kondisi pathogen dan sumber kerusakan hutan

(6) Harapan masyrakat tentang karakter dan manfaat yang diperoleh dari hutan (7) Finansial dan tujuan pemilik lainnya dari hutan yang dikelola

(8) Efek kumulatif dari keputusan silvikultur spesifik tegakan pada struktur hutan dan proses ekologi pada tingkat lanskap

(9) Kecocokan intervensi pemanenan dengan integritas ekologi jangka panjanghutan.

Faktor Pembatas Penerapan Silvikultur Intensif Di Hutan Alam

Mengingat silvikultur intensif memerlukan input energi yang besar, sehingga memerlukan investasi/biaya yang tinggi dalam pembangunan tegakannya, dan pertimbangan perubahan keseimbangan ekologi/lingkungan hutan alam dan

sekitarnya yang dapat diakibatkan penerapan silvikultur intensif, serta pemasokan bahan baku kayu untuk industri perkayuan pada masa yang akan datang diperkirakan dapat dipenuhi hanya dari areal seluas 10 – 20 % dari luas areal hutan alam yang ada untuk dikelola dengan silvikultur intensif, maka penerapan silvikultur intensif harus diusahakan hanya ditrapkan di lokasi hutan alam yang tepat, yaitu areal yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Areal yang aksesibilitasnya baik 2. Areal yang relatif subur

3. Areal yang topografinya datar sampai sedang

4. Areal yang letaknya di bagian tengah sampai hilir dalam suatu daerah aliran sungai (DAS)

5. Areal yang sifat tanahnya tidak mudah tererosi (sensitifitas erosinya rendah)

6. Areal hutan yang potensinya rendah sampai sedang, terutama disarankan pada areal bekas tebangan dan hutan rawang.

Faktor-faktor pembatas seperti topografi yang berat, tanah mudah tererosi, areal yang berada di hulu suatu DAS, letak areal yang tinggi (misalnya ketinggian tempat lebih dari 1 000 m dari permukaan laut ) merupakan faktor penbatas penerapan sislvikultur intensif yand penting/utama dalam menjaga keseimbangan lingkungan.

(7)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P

Penerapan silvikultur intensif di areal yang sensitif terhadap kerusakan lingkungan harus sedapat mungkin dihindarkan, apalagi di wilayah yang curah hujannya sangat tinggi. Karena pada umumnya penerapan silvikultur intensif di hutan alam tropika akan

menyebabkan keterbukaan tanah cukup besar dan kerusakan tegakan tinggal yang cukup berat pada waktu persiapan lahan dan pembuatan jalur tanam, pelebaran jalur tanam untuk memperoleh intensitas sinar matahari yang lebih banyak pada waktu pembebasan herizontal dan vertikal, penjarangan, dan pemanenan akhir kayu.

Teknik SILIN dalam TPTII

Berdasarkan Pedoman TPTII (2005), sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan secara jalur pada areal pasca penebangan tebang pilih, tanpa memperhatikan cukup tidaknya semai dari permudaan alami yang tersedia dalam tegakan tinggal.

Tegakan tinggal yang dikelola dengan sistem TPTII dibangun berdasarkan 4 pilar utama, yaitu:

1. Target jenis unggul 2. Pemuliaan genetik 3. Manipulasi lingkungan

4. Pembrantasan hama dan penyakit terpadu

Dengan penerapan ketiga pilar tersebut dalam pengelolaan hutan alam dengan sistem TPTII diharapkan mutu hutan dan produksi kayu dari hutan alam tropika dapat meningkat.

Kegiatan dalam pelaksanaan sistem TPTII terdiri dari (Pedoman TPTII, 2005): 1. Pengadaan Bibit

- Sumber bibit (kebun/tegakan benih, semai alami, kebun stek pucuk) - Persemaian

2. Penyiapan Lahan

- Pembuatan jalur tanam

- Pembuatan dan pemasangan ajir - Pembuatan lubang tanam 3. Penanaman

- Pengangkutan bibit

- Penampungan/tempat penyimpanan bibit di lapangan - Penanaman bibit

4. Pemeliharaan Tanaman Muda - Penyiangan dan pemulsaan - Pembebasan vertikal - Penyulaman

5. Penjarangan

6. Perlindungan Tanaman

(8)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P - Perlindungan terhadap gulma dan hama penyakit

- Perlindungan terhadap perambahan hutan 7. Pemanenan

Siklus tebang TPTII diperkirakan 30 tahun .Jarak antar sumbu jalur tanam adalah 20 m dan lebar jalur tanam 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m, sehingga jumlah bibit yang ditanam 200 pohon per ha. Jenis-jenis yang ditanam adalah kelompok dipterocarpa (jenis-jenis meranti) komersial dan (jenis-jenis unggulan lokal komersil yang cepat tumbuh.

Jenis meranti yang direkomendasikan, antara lain: - Shorea leprosula - Shorea johorensis - Shorea platycladus - Shorea macrophylla - Shorea parvipolia - Shorea selanica - Shorea smithiana

Gambar 1: Layout Jarak Antar Jalur Tanam, Lebar Jalur Tanam dan Jarak Tanam dalam Jalur Tanam dalam Sistem TPTII

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) mengenai rekayasa silvika dan silvikultur hutan alam menunjukkan, antara lain bahwa:

1. Menurut Sukoco (2008), riap pohon unggulan yang ditanam dari semai di hutan alam dengan teknik silvikultur intensif (SILIN) adalah sebesar 1,67 m3/ha/tahun. Hasil penelitian mengenai jenis-jenis unggulan meranti menunjukkan hasil yang baik seperti disajikan dalam Table 2 dan 3.

1.5 m 17 m 1.5 m 2.5 m (jarak dlm jalur) 20 m 3 m Jalur Kotor

Arah Rebah

Arah Rebah

Arah Rebah

(9)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P Tabel 2. Hasil Penelitian Jenis Unggulan Meranti (Sukoco, 2008)

Species Target Riap Diameter (cm/th)

S. johorensis 3,21

S. dasyphylla 2,44

S. fallax 2,33

Tabel 3. Diameter Jenis Unggulan Meranti Umur 40 Tahun Menurut Appanah dan Weinland dalam Sukoco (2008)

Species Diameter Batang Pada Umur 40 Tahun

S. parvifolia 107, 5 Cm S. leprosula 73,6 Cm S. resinosa 67,9 Cm S. macrophylla 97,0 Cm S. accuminata 71,1 Cm S. talura 65,5 Cm

2. Menurut beberapa hasil penelitian, apabila pohon unggulan (kelompok jenis meranti) dalam tegakan tinggal dibebaskan secara vertikal dan herizontal secara teratur dan intensif, dapat diharapkan pertumbuhan rata-rata diameternya mencapai 1,5 cm/th, sehingga riap rata-rata hutan alamnya mencapai 10 m³/ha/th. Harapan tersebut diperkuat dengan hasil penelitian dan praktek sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ).

Berdasarkan hasil penelitian Pamoengkas (2006) dalam praktek sistem TPTJ di PT. SBK, petumbuhan tanaman selama 5 tahun di jalur tanam dari Shorea parvivolia 1,67 cm/th, S. leprosula 1,25 cm/th dan S. johorensis 1,04 cm/th. Sedangkan hasil rekapitulasi pertumbuhan 10 jenis tanaman TPTJ di PT. SBK dapat dilihat dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Rekapitulasi Pertumbuhan 10 Jenis Tanaman TPTJ

No Jenis Tanaman Umur (th)

Rata-rata Tanaman Rata-rata Pertumbuhan/Tahun Diameter (cm) Tinggi (m) Diameter (cm) Tinggi (m) 1 Shorea leprosula 4,50 9,06 7,62 2,01 1,69 2. Shorea johorensis 4,50 8,69 7,54 1,93 1,68 3 Shorea parvifolia 4,50 8,42 7,07 1,87 1,57 4 Shorea compresa 4,50 7,61 6,29 1,69 1,40 5 Shorea seminis 5,50 5,98 4,17 1,33 0,93 6 Shorea virescens 3,30 4,38 3,67 1,33 1,11 7 Shorea fallax 4,50 5,46 4,45 1,21 0,99 8 Shorea macroptera 3,28 3,25 3,22 0,99 0,98 9 Hovea mangerawan 3,23 2,25 2,98 0,70 0,92

(10)

D o w n l o a d F r o m B P P H P 1 7 J Y P

10 Shorea leavis 3,42 2,19 2,79 0,64 0,82

Sumber: PT. SBK Tahun 2004 (Mulyana, Hardjanto dan Hardiansyah, 2006)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terdapat peluang dan harapan cukup besar untuk memperbaiki mutu hutan alam yang telah rusak dan meningkatkan poduktifitas hutan alam bekas tebangan dengan menerapkan silvikultur intensif.

Dalam menentukan/menilai apakah suatu Pemegang IUPHHK Hutan Alam dapat dijadikan Model TPTII, dipergunakan beberapa kriteria yang sebagai acuan penilaian, yaitu:

1. Areal yang akan dikelola dengan sistem TPTII harus memenuhi syarat sbb: 1. Aksesibilitas ke areal tersebut mudah

2. Topografinya tidak curam, yakni datar sampai sedang 3. Tanahnya cukup subur

4. Tidak ada sengketa/konflik atas areal tersebut (kecuali sistem TPTII tersebut akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa areal oleh fihak-fihak yang terlibat)

2. Pemegang IUPHHK ybs secara finansial mampu melaksanakan sistem TPTII. Aspek ini harus jelas dan meyakinkan. Misalnya dapat dicerminkan dari potensi hutan di areal IUPHHKnya, yakni volume kayu/ha yang terdapat dalam hutan alam cukup tinggi dan cukup luas, sehingga diperkirakan dari hasil pemanenannya minimal mampu menanggung biaya penanaman sistem TPTII selama 5 tahun.

3. Pemegang IUPHHK ybs memiliki kesungguhan melaksanakan sistem TPTII dan mempunyai pengalaman dan sumber daya manusia di bidang pembinaan hutan yang berkecukupan

Sesuai dengan RKT dari IUPHHKHA Model TPTII, rencana penanaman sampai tahun 2008 adalah seluas 69 292,00 ha, dan realisasi penanaman sampai dengan November 2008 adalah seluas 50 748,83 ha, atau 73,24 % dari luas rencana penanamannya. Luas dan sebaran lokasi penanaman pelaksanaan TPTII disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Realisasi Penamanan Pelaksanaan TPTII dan Sebarannya s.d Tahun 2008

No. Provinsi Jumalah Unit IUPHHKHA Model TPTII

Realisasi Luas Tanaman TPTII (ha)

1 Kalimantan Tengah 8 41 084,42 2 Kalimantan Barat 1 2 096,65 3 Kalimantan Timur 8 5 839,42 4 Maluku Utara 1 500,00 5 Papua 2 894,34 6 Papua Barat 3 250,00 7 Sumatera Barat 1 84,00 8 Riau 1 0,00 Jumlah 25 50 748,83

Gambar

Tabel 1. Daur dan Siklus Tebangan dalam Sistem-Sistem Silvikultur yang ditetapkan  Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No
Gambar 1:  Layout Jarak Antar Jalur Tanam, Lebar Jalur Tanam dan Jarak Tanam dalam  Jalur Tanam dalam Sistem TPTII
Tabel  3.  Diameter  Jenis  Unggulan  Meranti  Umur  40  Tahun  Menurut  Appanah  dan  Weinland  dalam Sukoco (2008)
Tabel 5. Realisasi Penamanan Pelaksanaan TPTII dan Sebarannya s.d Tahun 2008

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Meranti Merah ( Shorea leprosula Miq.) pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA

Mempelajari struktur dan komposisi tegakan pada areal bekas tebangan dan kegiatan penjaluran dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) yang

Tanaman Shorea leprosula Miq dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat) adalah

Tebang Pilih Indonesia (TPI - SK Dirjen Kehutanan No. 485IKpts-1111989) adalah sistem silvikultur yang ditujukan untuk hutan hujan tropika Indonesia yang sebagian

Erna Djuliawati sebagai salah satu perusahaan pemegang IUPHHK telah melakukan kegiatan pemanenan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur

Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan rawang (low potential forest) dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur tebang

Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas dalam skala uji coba pada beberapa izin konsesi hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur dapat meningkatkan riap pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman meranti Shorea johorensis, Shorea leprosula dan Shorea parvifolia pada